Naskah final Setengah Hati Menuju Ilahi

  Pengantar Penulis

  Naskah Buku Setengah Hati Menuju Ilahi

  Buku ini awalnya meupakan hasil riset etnografi selama 3 bulan di

  Menyingkap Perilaku Pacaran Santri Talqin

  Pesantren Suryalaya, Oktober-Desember 2012 yang kemudian mendapat

Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya

  Program Bantuan Publikasi Ilmiah Dirjen Pendis Kemenag RI Tahun 2015. Untuk itu saya ucapkan terika kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa dalam penerbitan buku ini diantaranya: Direktur Pendis, Kasubdit Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Publikasi ilmiah, Kasi Publikasi Ilmiah kemenag RI. Terimaksih juga saya haturkan kepada semua narasumber yang bersedia dengan ikhlas hati berbagai infomasi yang mungkin bagi orang lain dianggap sebagai aib. Dengan tulus ikhlas

  Apapun istilah dan alasannya, pacaran tetaplah pacaran, yaitu perilaku terimaksih juga saya haturkan kepada beberapa key informan saya yang bermuara dari hasrat primitf untuk memuaskan kesenangan- terutama Bapak Wawan atas bantuan, kerelaan dan kesediaannya untuk imajenatif seksual yang tak pernah terpuaskan, menemani menelisik setiap lorong Kampus dan Pesantren Suryalaya sehingga bukanlah hal keliru jika pacaran diartikan sebagai seni untuk melihat jejak-jejak keintiman para santri.Semoga buku ini menikmati estetika perempuan oleh para pemuja keliaran kelamin. memberikan manfaat dan memberikan sisi lain kajian tentang Suryalaya. Melalui pacaran, perempuan tak ubahnya dijadikan barang uji coba.

  Purwokerto, 1 Desember 2015 Para pria bebas memilih dan membuang semena-mena. Penulis

  Sikap tanggung jawab dan kedewasaan dalam pacaran hanyalah tipu daya para pria untuk memikat hati wanita supaya dapat melampiaskan libido bologis secara praktis dan ekonomis

  Oleh KHOLIL LUR ROCHMAN

Dosen dan Peneliti dalam Bidang Konseling

  Diterbitkan kerjasama: Tambaksogra Conseling Centre (TaCon Centre) Jl. Tambaksogra No. 13 Sumbang Banyumas

  Pengantar Editor MENELISIK KEPASRAHAN DALAM EROTISME PACARAN

  Oleh: Nur Alfiana-Rachman Cinta merupakan anugerah Yang Maha Kuasa. Dengan cinta dan sex manusia diharapkan dapat melaksanakan fungsi reproduksi demi kelangsungan eksistensi manusia itu sendiri, tentunya melalui pintu legitimasi yang di sebut “Pernikahan/ perkawinan”. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui proses yang sehat antara cinta, sex, pacaran dan pernikahan. Proses ini dianggap penting karena kesuksesan perkawinan juga ikut menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Sex yang mendahului cinta, bukan fondasi perkawinan yang kokoh. Tidak ringan bagi pria dan wanita di abad modern ini, untuk bisa tetap teguh melakukan peran sebagai manusia yang bermartabat di tengah pergaulan dengan tata nilai yang sudah semakin membolehkan berbuat apa saja (permissivenessisme) atau hidup “suka-suka gue”.

  Banyak kasus pacaran sesungguhnya nyaris bersifat ketelanjuran. Terlanjur menjadikannya sebagai pacar, terlanjur sudah akrab dengan keluarga besarnya, terlanjur janji sehidup semati, terlanjur melakukan hubungan sex, dan sebagainya. Padahal sejatinya mungkin belum tentu dia yang terbaik buat kita. Belum apa-apa sudah pergi nonton bioskop berdua, ke tempat karaoke berdua, naik mobil malam-malam berdua, pergi pesta pulang malam berdua. Sehingga dengan pola pacaran yang membedakan mana nafsu dan mana cinta. Ini merupakan awal yang tidak kokoh dalam membangun fondasi perkawinan. Tidak tepat rasanya jika keputusan memilih teman hidup terdesak oleh pertimbangan seksualitas belaka. Maka ketika seks sudah terasa membosankan, pasangan yang sudah terlanjur memutuskan menikah atas dasar seks semata hari-hari perkawinannya nanti akan beresiko kehilangan daya pikat lagi, rapuh dan terancam perceraian.

  Kunci menahan seks selama pacaran sesungguhnya ada pada tangan wanita. Wanita harus menjunjung tinggi kehormatannya. Ia sendiri harus menghargai tubuhnya untuk tidak sembarangan dicium, dipeluk dan dipegang-pegang oleh pria yang belum tentu menjadi suaminya. Terdengar kuno memang, tetapi kodrat seks tidak berubah. Karena apabila wanita sampai mudah terjebak dalam pikatan seks, akan sukar baginya untuk mengelak dan mengatakan ‘tidak ‘. Hukum seks bagi wanita berbunyi “ the point of no return”,. Dalam faal seksualitas wanita memiliki tabiat, akan tercapai suatu perasaan tiba pada “suatu titik kepasrahan sempurna” yang tidak akan mungkin mundur lagi. Ketika wanita sudah terangsang hebat oleh ciuman, pelukan dan rabaan, maka libidonya akan mencapai puncak. Pada titik itulah wanita biasanya tidak mungkin mundur lagi. Ia tidak mungkin lagi mengatakan “ tidak”, karena nafsu sudah diatas ubun-ubun. Lalu terjadilah hubungan seks yang sebenarnya tidak diinginkannya. Maka agar the point of no return ( titik kepasrahan sempurna yang tak mungkin undur lagi) itu tidak terjadi, pria dan wanita perlu merancang model pacaran yang sehat. Menjauhi peluang-peluang berbahaya yang memberi kemungkinan seks dadakan seperti berduaan di kamar kost, berduaan di mobil dimalam hari, pacaran di tempat sunyi, dan sebagainya. Bahwa seks itu harus didudukkan sebagai bunga dari cinta, yang hanya boleh dinikmati setelah pernikahan. Ancaman dari pria sering berbunyi:” kalau betul kau cinta, buktikan dengan kau mau tidur denganku” atau “ kalau kau tak mau tidur denganku kita putus saja”. Ini adalah bentuk stereoptik gombalnya cinta laki-lali. Sering wanita seolah dikodratkan untuk terpedaya.

  Harold Bessel, menemukan bahwa cinta itu memiliki 3 (tiga) unsur utama yaitu : Romantic Attraction (RA), Intimaccy (I ) dan Commitment

  (C). Romantic Attractions adalah bentuk perasaan kasmaran karena

  ketertarikan fisik. Intimaccy adalah proses saling mencocokkan apakah dua orang dari latar belakang berbeda dapat bersatu. Jika Romantic

  attraction dan proses intimaccy dapat dilalui dengan baik maka hasilnya

  adalah Commitment, yaitu kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam sebuah ikatan resmi pernikahan. Seyogyanya proses intimaccy tidak cocok, sering tertutupi oleh semakin besarnya dorongan seks. Sehingga antara cinta sejati dan seks menjadi kabur tidak jelas. Hanya proses

  intimaccy yang sungguh-sungguh yang akan membuahkan kemampuan

  saling memahami, toleransi, dan pengertian atas perbedaan. Itulah yang akan mengekalkan baku cinta yang sudah ada dalam setiap sanubari manusia.

  Jatuh cinta itu sendiri adalah proses kimiawi, kata Helen Fisher ( 2006). Kadar dopamine pada otak akan meningkat pada orang yang sedang jatuh cinta. Berbeda dengan wanita. Pria jatuh cinta lebih didominasi oleh tampilan fisik wanita (bersifat visual). Misalnya oleh kecantikan wajah, body yang seksi, kulit yang mulus, atau payudara yang besar. Sedangkan wanita cenderung lebih terpikat oleh audio dan kepribadian. Jika ia merasa dilindungi, merasa ada yang perhatian, setia dan romantis, dengan sendirinya akan terbentuk ‘peta cinta’ dalam hati wanita. Kesulitan umum ketika pria harus memilih pasangan hidup adalah timbulnya keraguan apakah wanita yang dipilihnya betul-betul mencintainya, bukan karena hartanya, pangkatnya . Laki-laki bisa saja tidak mencintai, tetapi ia takut kalau tidak dicintai.

  Akhirnya marilah sejenak kita berfikir jernih tentang perilaku pacaran remaja yang mengkin membuat kita geleng kepala dan mengernyitkan dahi. Selamat membaca.

  Cinta Sejati Cinta sejati bukan berarti harus memilik, tapi merelakan orang yang kita cintai bahagia walaupun dengan orang lain. Cinta sejati bukan dilihat dari materi, tapi cinta sejati datang dari kata hati, apakah kita bisa mencintai dan menerima apa adanya walau dia hanya sebatang kara

  Cinta sejati bukanlah sebuah pembodohan bagi orang – orang yang bisa mengerti apa arti cinta yang sebenarnya Cinta adalah sebuah kebodohan, bagi orang-orang yang salah mengartikan apa itu cinta

  Cinta sejati adalah untaian kata yang bisa membuat hati merasa bahagia Jangan pernah mengorbankan cinta demi harta, karena cinta akan lebih berarti bila kita menjalaninya dengan hati dan perasaan.

  Daftar Isi Kata Pengantar TESTIMONI PACARAN: Seni Menikmati Estetika Wanita Oleh: Niki Qomurisa Fisiologi Cinta, Pacaran dan Belahan Jiwa Oleh: dr. Alvernia Rendra

  BAB I Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali hanya dirinya MENGENAL SURYALAYA Cinta pun tidak mengambil apa-apa kecuali dari dirinya Pusat Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Tatar Sunda Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki Karena cinta telah cukup untuk dicinta BAB II (Kahlil Gibran)

  SISI LAIN SPIRITUALITAS TAREKAT Membaca Ulang Riset “Dibalik Rok dan Jeans: Potret Etika Mahasiswi Suryalaya” karya Ahmad Zamili

  BAB III MENAWARKAN PERMASALAHAN: Sebuah Pendahuluan tentang Perilaku Pacaran Santri Tarekat BAB IV MEMAHAMI PERILAKU PACARAN SANTRI: Dari Imaji Konseptual-Transaksional sampai Praktis-Implementatif BAB V PACARAN ALA SANTRI TAREKAT: Dari Erotisme Seksual-Taarufan dan Kamuflase Keintiman Melalui “Kakak-Adik” Angkat

  BAB VI Memahami Beragam Model Pacaran Santri Tarekat dalam Perspektif Domain Spradley BAB VII Penutup BAB I MENGENAL SURYALAYA Pusat Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Tatar Sunda Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan. Namun dengan izin Allah dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui, hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya=Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit. Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan

  khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin.

  berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan. Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah

  Naqsabandiyah (TQN)-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk

  kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah

  Naqsabandiyah (TQN) dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan

  beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu “tanbih” Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad meninggal pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akbrab dipanggil dengan sebutan Abah

  Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.

  Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, seiring membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII yang membuat masyarakat tergerak untuk belajar Thariqah Qadiriyah

  Naqsabandiyah (TQN)semakin banyak dan mereka datang dari berbagai

  daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah

  Naqsabandiyah (TQN) dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren

  Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Mentri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah

  Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Dengan adanya yayasan, maka didirikanlah lembaga pendidikan formal sesuai dengan keperluan dan kepentingan masyarakat. Lembaga hingga ke perguruan tinggi. Selain untuk menunjang pendidikan formal, yayasan juga berusaha mendukung berbagai kepentingan pesantren antara lain; mengatur pengajian bulanan yang biasa disebut manaqib, baik di Suryalaya maupun di tempat-tempat lainnya. Bidang lain yang dikelola oleh Yayasan Serba Bakti adalah Bidang Sosial, dan Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Obat Narkotika dan Kenakalan Remaja (INABAH). Abah Anom menggunakan nama inabah menjadi metode bagi program rehabilitasi pecandu narkotika, remaja-remaja nakal, dan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Konsep perawatan korban penyalahgunaan obat serta kenakalan remaja adalah mengembalikan orang dari perilaku yang selalu menentang kehendak Allah atau maksiat, kepada perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah atau taat. Dari sudut pandang tasawuf orang yang sedang mabuk, yang jiwanya sedang goncang dan terganggu, sehingga diperlukan metode pemulihan (inabah). Lembaga-lembaga Pendidikan yang didirikan Abah Anom, Secara langsung atau tidak langsung, berperan serta dalam mengembangkan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Kalau pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pada masa Abah Sepuh terbatas melalui media tradisional pesantren, maka dimasa kepemimpinan Abah Anom, selain menggunakan media tradisional yang telah ada, juga melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi semuanya amat berperan dalam mengembangkan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Mengingat pendidikan mempunyai peranan penting untuk membentuk akhlak serta budi pekerti mulia dan dalam mencerdaskan bangsa serta untuk menanamkan ideologi dalam proses integrasi nasional. Selain itu terselenggaranya pendidikan formal yang baik juga dapat meningkatkan taraf dan mutu kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan yang ada dilingkungan Pondok Pesantren Suryalaya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan formal yang ada terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal umum dan Keagamaan. Pendidikan Formal Umum yang terdiri :

  • Taman Kanak-kanak
  • Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama - Sekolah Menengah Umum - Sekolah Menengah Kejuruan - Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah (STIELM)

  Pengajian Non Formal:

  • Pengajian Tradisional - Madrasah Tsanawiyah - Madrasah Aliyah - Madrasah Aliyah Keagamaan - Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM)

  Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya, yaitu menuntun manusia agar mendapat ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan TQN tergambar dalam muqadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan melakukan zikrullah. Kalimah dimaksud adalah: Ilaahii anta maqsuudi wa ridhaaka

  mathluubii A ’thinii mahabbataka wa ma’rifataka. (Tuhanku,

  Engkaulah yang aku maksud dan keridhoan-Mu yang aku cari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan ma’rifat kepada-Mu). Do’a tersebut di atas oleh para ikhwan Tarikat Qadiriyah Naqsabandiyah setiap habis sembahyang wajib dibaca minimal tiga kali sebagai mukaddimah untuk mengamalkan zikir. Dalam do’a tersebut terkandung empat macam tujuan TQN itu sendiri, yaitu: Taqarrub terhadap Allah, Menuju jalan Mardhatillah, Kemahabbahan dan Kemarifatan terhadap Allah.

  TQN yang berkembang di Pesantren Suryalaya ialah TQN yang berasal dari Syekh Ahmad Khotib Syambas melalui Syekh Tolhah dari Trusmi, Kalisapu Cirebon Jawa Barat. Penyiaran TQN hingga ke Suryalaya dipererat dengan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan putera Syekh Tolhah, guru Abah Sepuh, dengan putra Abah Sepuh. Putra Syekh Tolhah bernama Raden H.K. Munadi. Putri Abah Sepuh bernama Hj. Sukanah. Dengan demikian, hubungan Syekh Tolhah dengan Abah Sepuh bukan saja hubungan guru murid melainkan juga hubungan besan.

  Modal pertama TQN Suryalaya berupa sebuah mesjid yang dijadikan tempat mengaji dan mengajarkan TQN. Mesjid itu dibangun atas restu Syekh Tolhah. Cikal bakal pesantren tersebut diberi nama patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah dengan singkat disebut Suryalaya.. mesjid itu diresmikan pada tanggal 7 Rajab 1323 H /5 September 1905 M. tanggal tersebut kemudian dijadikan titi mangsa kelahiran (milad) Pesantren Suryalaya. Sekalipun pesantren itu telah diberi nama Suryalaya, ketika itu masyarakat masih menyebutnya Godebag, nama kampong di mana terletak Pesantren Suryalaya.

  TQN sebagai sebuah aliran dalam tasawuf mempunyai amaliyah yang khusus yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan amaliyah dalam tarekat yang lain. Kalaupun ada kesamaan, kemungkinan dalam beberapa hal saja karena memang sumber ajarannya sama- sama dari Rasulullah. Amaliyah yang bersifat spiritual ini harus diamalkan oleh dan ikhwan bagi Guru Mursyid dalam komunitas tarekat termaksud.

  Amaliyah tersebut merupakan amalan yang maha penting yang mesti dilakukan oleh murid setelah melakukan amaliyah syar’iyyah yaitu shalat fardu.

  1. Dzikrullah Zikir yang dimaksud dalam TQN adalah zikir dengan makna khas, yaitu “hudurul Qalbi ma’ Allah (hadirnya hati bersama Allah).

  Zikir dalam arti khusus ini terbagi dua, yaitu: Dzikir lisan/ jahar untuk mengunci pintu syetan di dalam diri manusia, berdasarkan petunjuk Allah dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 17, Q.S. Ibrahim ayat 24-25 dan 27 dan Dzikir khafi / ingatan hati untuk membersihkan qalbu (hati) dari semua sifat-sifat mazmumah / tercela berdasarkan Q.S. Al-A’raaf ayat 205 Zikir jahar adalah melafalkan kalimah tayyibah yakni “ La ilaha illallah” secara lisan dengan suara keras dan dengan cara-cara tertentu. Dzikir lisan/jahar diamalkan setiap selesai mendirikan shalat fardu banyaknya tidak boleh kurang dari 165x dan lebih banyak sangat diutamakan, sedangkan dzikir khafi/ingatan hati harus secara terus menerus tidak henti-hentinya, baik sedang berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring kapan saja dan dimana saja, sebagaimana keberadaan orang-orang yang dikategorikan ulil albab dalam Q.S. Ali Imran 191.

  Dalam kitab Miftah as-Sudur dijelaskan bagaimana cara berzikir yang benar sebagai amalan dalam TQN, baik zikir jahar maupun zikir khafi, yaitu: “orang yang berzikir memulai dengan ucapan Laa dari bawah pusat dan diangkatnya sampai ke otak dalam kepala, sesudah itu diucapkan Ilaaha dari otak dengan menurunkannya perlahan-lahan kebahu kanan. Lalu memulai lagi mengucapkan Illallah dari bahu kanan dengan menurunkan kepala kepada pangkal dada disebelah kiri dan berkesudahan pada hati sanubari dibawah tulang rusuk lambung dengan menghembuskan lafadz nama Allah sekuat mungkin sehingga terasa geraknya pada seluruh badan seakan-akan di seluruh bagian badan amal yang rusak itu terbakar dan memancarkan Nur Tuhan.

  Amaliah zikir berupa kalimah thoyyibah bagi ikhwan / akhwat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya merupakan amalan harian yang dilaksanakan setiap ba’da shalat fardhu maupun shalat sunat dengan ketentuan sebagai beikut:

  • Bilangan zikir kalimah Thayyibah bagi ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya setiap kali melaksanakan tidak boleh kurang dari 165 kali, lebih banyak lebih baik dengan ketentuan diakhiri hitungan bilangan ganjil. (perjalanan) dilain waktu ketika senggang. Sebaiknya malam hari sebelum tidur atau setelah shalat malam.
  • Pelaksanaan amaliyah zikir sebaiknya dilaksanakan berjama’ah dengan suara keras sehingga diharapkan dapat “menghancurkan” kerasnya hati kita yang diliputi oleh sifat-sifat mazmumah (buruk) diganti dengan sifat mahmudah (baik) sehingga berbekas membentuk perilaku pengamalnya, yaitu pribadi pengamal zikir yang berakhlak mulia berbudi luhur sebagai buahnya zikir.

  Untuk melakukan zikir terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, hendaklah orang yang berzikir mempunyai wudu secara sempurna. Kedua, hendaklah berzikir dengan suara keras sehingga hasil cahaya zikir terpancar di dalam hati pelakunya jadilah hati akibat cahaya ini menjadi hidup abadi hingga ke kehidupan ukhrawi.

  2. Talqin dan Bai’at Untuk dapat mengamalkan zikir khas (yakni zikir dalam TQN), begitu juga amalan-amalan lainnya dalam TQN, seorang salik (murid) mesti memulai dengan proses “talqin” talqin ialah peringatan guru kepada murid. Sedangkan bai’at adalah kesanggupan dan kesetiaan murid dihadapan gurunya untuk mengamalkan dan mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkan mursyidnya. Talqin memiliki dua sasaran; pertama, sasaran yang bersifat umum, dan kedua, bersifat khusus. Adapun sasaran yang bersifat umum adalah seseorang yang sudah bertalqin berarti sudah masuk dalam silsilah (lingkaran) komunitas pengamal ajaran tarekat. Sedangkan sasaran talqin yang bersifat khusus yakni talqin suluk setelah masuk dalam lingkaran komunitas sufi. Karena perkembangan TQN begitu pesat, maka guru mursyid mengangkat wakil talqin. Wakil talqin adalah orang yang mendapat izin dari guru mursyid untuk melaksanakan talqin, sekaligus melakukan pembinaan bagi ikhwan-ikhwan yang sudah di talqin.

  Dengan semakin menyebarnya ajaran TQN di dalam dan di luar negeri, maka Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya menunjuk beberapa orang kepercayaan yang disebut “Wakil” dengan tugas utama ialah mentalqinkan zikir TQN kepada siapa yang menginginkan dan yang merasa dirinya berkepentingan, dengan maksud supaya orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit dan orang-orang yang jauh tempat tinggalnya dapat melaksanakan maksudnya tanpa banyak memakan biaya dan waktu, begitu pula meringankan beban Pimpinan Pondok Pesantren yang setiap hari terus menerus didatangi tamu dari Pesantren.

  3. Tahapan-Tahapan Dalam Bidang Ubudiyah.

  Tahapan Pertama, yang paling ringan adalah melaksanakan shalat sunat rawatib, yaitu salat sunat qabla dan ba’da salat-salat fardu salat sunat yang biasa dilaksanakan oleh para ikhwan di Suryalaya adalah: Salat sunat fajar (qabla Subuh) dan salat lidaf’il bala, Salat sunat qabla dan ba’da dhuhur, Salat sunat qabla ‘Asar, Salat sunat qabla dan ba’da magrib, Salat sunat qabla dan ba’da Isya,

  Selain salat sunat ba’da magrib, Tahapan kedua, tahapan ini merupakan upaya peningkatan ubudiyah dengan melaksanakan salat- salat sunat sebagai berikut:

  Salat sunat Syukrul wudu setiap kali selesai berwudu, Salat sunat Isyraq, sekitar pukul 06.00, Salat sunat Isti’azah, setelah selesai salat Isyraq, Salat sunat istikharah, setelah selesai salat Isti’azah, Salat Tahapan ketiga, tahapan ini berupa pelaksanaan qiyamullail atau sholat malam. Pelaksanaannya mengikuti cara-cara sebagimana dijelaskan oleh Pangersa Abah dalam buku yang beliau tulis berjudul “Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja”. Buku ini sebagai panduan bagi para Pembina Inabah bagaimana proses penyadaran dan penyembuhan para remaja korban Narkoba dan obat-obat terlarang di Inabah agar sembuh dari ketergantungan dengan sadar dan sukarela. Cara dimaksud adalah sebagai berikut: Mandi Taubat sekitar pukul 02.00 dini hari, Salat sunat, Syukrul wudu, Salat sunat Taubat, Salat sunat Tahajud (12 rakaat), Salat Sunat Tasbih (4 rakaat), Salat sunat witir (11 rakaat), Setelah selesai melaksanakan salat sunat hendaklah si salik berzikir sebanyak banyaknya hingga waktu salat subuh tiba. Pangersa Abah tidak beranjak dari tempat salat setelah subuh sampai waktu isyraq.

  4. Khataman Kata khataman berasal dari kata “khatama yakhtumu khataman” artinya selesai/menyelesaikan. Maksud khataman dalam TQN adalah menyelesaikan atau menamatkan pembacaan aurad (wirid-wirid) yang menjadi ajaran TQN pada waktu-waktu tertentu. Wirid- wirid itu minimal dibaca secara keseluruhan sampai khatam (tamat) satu kali dalam satu minggu. Aurad TQN yang menjadi amalan mingguan itu terdapat dalam buku yang dihimpun dan dikodifikasikan oleh Syekh etimologis artinya untaian mutiara. Secara substansial, aurad itu terdiri atas dzikir, shalawat, do’a-do’a dan bacaan-bacaan yang biasa diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Khataman dilakukan setelah selesai shalat fardu dan dzikir. Tertib amalan khataman pertama tawasul, lalu membaca wirid-wirid yang terdapat dalam kitab uqud al juman sampai selesai dan diakhiri dengan do’a khataman itu sendiri. Khataman bisa dilakukan secara munfarid atau berjama’ah, bisa di masjid atau di rumah-rumah. Namun kalau dilakukan di masjid dengan berjama’ah tentu lebih baik. Kalau tidak memungkinkan di masjid secara berjama’ah di majlis- majlis dzikir juga akan lebih baik. Yang penting bagaimana wirid itu dapat dilakukan secara khusyu’ dan tamat. Secara umum, waktu pelaksanaan khotaman yang biasa dilaksanakan di Pondok Pesantren Suryalaya adalah Setiap hari antara Magrib dan Isya dan setelah shalat sunat Lidafil Bala’i ba’da shalat Isya dan Hari Senin dan Kamis ba’da shalat Ashar.

  sunat Duha waktunya sekitar pukul 07.30, Salat sunat kifarat al-baol setelah selesai salat duha, Salat sunat lidafil bala, setelah salat isya, Salat sunat hajat sebelum tidur,.

  5. Manaqib Kata manaqib merupakan kata jama dari manqabah mendapat akhiran an. Manqabah sendiri artinya babakan sejarah hidup seseorang. Dalam tradisi bahasa Sunda kata manaqib ditambah dengan an sehingga bacaannya menjadi manaqiban yang mengandung arti proses pembacaan penggalan hidup seseorang secara spiritual. Manaqib dalam TQN adalah manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sebagai pendiri tarikat Qadiriyah. Isi manaqib secara khusus menceritakan akhlak Tuan Syeikh, silsilahnya, kegiatan dakwahnya, karomahnya dan lain-lainnya yang relevan untuk dijadikan pelajaran oleh para pengikutnya.

  Manaqiban dalam TQN merupakan amalan syahriyyah artinya amalan yang harus dilakukan minimal satu bulan satu kali. Biasanya materi manaqiban terbagi pada dua bagian penting. Pertama, materi (kontens) tentang hidmah ‘amaliyah yang intinya adalah manaqiban itu sendiri. Kedua, hidmah ‘ilmiyyah adalah pembahasan tasawuf secara keilmuan dan pembahasan aspek-aspek ajaran Islam secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk membuka wawasan keislaman para ikhwan, memperdalam ilmu ketasawufan, dan memotivasi para ikhwan agar semakin rajin (konsisten) melakukan amalan ajaran Islam khususnya amalan TQN. Pelaksanaan amalan manaqib berjama’ah paling sedikit 1x dalam sebulan dan susunan acara manaqib harus sesuai dengan Maklumat Nomor 50. PPS.III. 1995 tanggal 11 Maret 1995 yang ditandatangani oleh sesepuh Pontren Suryalaya, K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin ra

  • Pembukaan
  • Pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an
  • Pembacaan Tanbih
  • >Pembacaan Taw>Pembacaan Manqabah dan Do’a
  • Pembinaan pemahaman amalan
  • Pembacaan shalawat Bani Hasyim 3x
BAB II SISI LAIN SPIRITUALITAS TAREKAT Membaca Ulang Riset “Dibalik Rok dan Jeans: Potret Etika Mahasiswi Suryalaya” karya Ahmad Zamili Kesan utama saya saat menapakkan kaki di Suryalaya awal November 2012 saat mengikuti Shourtcourse Riset Etnografi adalah lokasi yang penuh berkah dengan Tarekat Qodiriyah Naqsabadiyah (TQN) sebagai mazhab kehidupan. Kesan ini begitu kontras saat kita masuk Ke Kampus Suryalaya yang terdiri dengan Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Latifah Mubarokiyah (STIELM) yang mahasiswinya tampak modis dengan balutan pakaian ketat yang menampakkan lekuk tubuh. Sejenak saya tersentak, dan secara tak sengaja pikiran ini menyoal kenapa kehidupan yang begitu berkah dengan tarekat damparan tanah Suryalaya ini dihiasi dengan show kemolekan dan parade lekuk tubuh mahasiswinya yang tentunya adalah penganut TQN juga. Pertanyaan-pertanyaan menggugat semakin kompleks setelah 3 bulan menetap di Suryalaya, setelah saya menerima fakta-fakta bahwa ikhwan TQN yang saya sebut dengan istilah Santri Talqin ini juga pacaran bahkan dikolaborasikan dengan nafsu dan erotisme seksual. Sekilas saya berfikir apakah ini tidak paradok ditengah kehidupan salik yang memantapkan hati menuju Tuhan?.

  Kesan yang saya rasakan juga ditangkap oleh Ahmad Zamili Dosen IAIN Ibrohimy Ponorogo yang menelisik keseksian cara berpakaian bagi ikhwan tarekat ini dalam riset etnografinya pada November 2011. Riset Zamili ini mengunakan model etnografi. Menurutnya ada beberapa komponen pokok dan substantive bagi etnograf, antara lain: peneliti melakukan pengamatan langsung/direct observation pada subjek. Hal ini dilakukan ketika peneliti telah memiliki topic yang akan diteliti. Selanjutnya adalah mencatat, merekam, membuat deskripsi, sambil lalu melakukan analisis tertulis. Perbedaan penelitian etnografi dengan penelitian lainnya yaitu pada langkah berikutnya, lebih pada pengamatan berperan serta/participant observation, kebebasan dalam teknik pengumpulan data. Kebebasan ini diprediksi sebab data kemungkinan menyempit atau bertambah. Bagi Kaplan, dalam perkembangan etnografi kekinian, etnograf harus berupaya mereproduksi realitas budaya seturut pandangan, penataan, dan penghayatan warga budaya yang diteliti. Ini berarti bahwa pemaparan tentang suatu budaya tertentu harus diungkap sehubungan dengan kaidah konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif “pribumi” dan tidak sehubungan dengan kategori konseptual yang diperoleh dari pendidikan sang antropolog dan dibawa-bawa kekancah penelitian (Kaplan dan Manners. (2002: 260).

  Dengan demikian, bias budaya etnograf tidak bercampur aduk dengan budaya murni yang sedang menjadi subjek penelitian. Sekiranya, hal di atas dilakukan, maka deskripsi dan realitas budaya yang sedang diteliti akan menjadi laporan yang benar-benar perpaduan antara subjektif dan objektif atau disebut dengan intersubjectivity.

  Paradigma penelitian ini adalah fenomenologi.

  Technically, paradigma fenomenologi digunakan untuk menganalisis

  terwujudnya gagasan atau ide. Secara teoritis, paradigma ini menekankan terbentuknya eksistensi dasar dari budaya.

  Phenomenology to analyse ‘embodied mind’. Here the theoretical emphasis is on the body as ‘the existential ground of culture’

  (Barnard and Spencer, 2005: 692). Mulanya, tradisi fenomenologi dalam antropologi mengambil konsentrasi dalam ranah interpretasi dan penerjemahan sistem makna. Pendekatan ini berimplikasi pada variasi tentang alam dan insiden perang, untuk menjelaskan perbedaan nilai dan kepercayaan yang terjadi di dalamnya. Namun pada perkembangan selanjutnya, fenomenologi dalam antropologi cenderung digunakan untuk menggali makna sosiologis; studi tentang kebiasaan manusia dalam mengeskpresikan dan memahami kehidupan sehari-hari, phenomenology in anthropology, it tends to

  take its sociological meaning: the study of the ways in which people experience and understand everyday life (Barnard and Spencer,

  2005: 922) Berdasarkan hasil riset Zamili yang saya baca, secara sadar dia pengakuannya dalam riset tersebut. Kesan kaget. heran, aneh, riuh tapi mengasyikkan Itulah pertama kali Zamili rasakan saat memasuki konteks penelitian di kampus Institut Agama Islama Latifah Mubarokiyah Suryalaya. Seketika, dia mencoba menyiapkan mata dan telinga untuk mencermati gerak budaya yang terjadi di antara internal costumer.

  Pelanggan yang dimaksud adalah mahasiswi. Mengapa harus mahasiswi? Sebab, mahasiswi menyiratkan fenomena dwifungsi, sebagai wanita dan sebagai wanita pembelajar. Setelah beberapa hari, Zamili mendapati dua kategori tentang mereka; yaitu mahasiswi pemakai rok-jeans, dan pengguna rok saja. Bukan soal jeans dan rok yang membuat menarik, tapi sesuatu atau fenomena dibalik pemakaian jeans dan rok. Artinya, dari sekian mahasiswi yang tampak di sekitar kampus; ruang kuliah, kantin, perpustakaan, masjid, dan tempat parker, hampir semuanya mengenakan celana jeans yang ketat melekat diputaran paha dan pinggul. Padahal kampus tersebut berada di bawah naungan pondok pesantren Suryalaya, yang secara khusus mengajarkan dan menanamkan perilaku hidup sufi. Fenomena memberikan pemandangan cukup kontras, jika memperhatikan makna pesantren Suryalaya sebagai penggembleng ilmu keagamaan

  (thariqah) yang syarat aroma dzikir, tauladan dan geliat kesederhanaan serta kerendahan hati (tawadhu).

  Fakta demi fakta bermunculan seiring perjalanan riset Zamili menyusuri tempat-tempat yang telah disebutkan di atas. Dari sekian observasi, khusus mahasiswi STIE IAILM begitu menggugah penglihatan untuk terus fokus memandang ke arah lekuk busana yang mereka kenakan, dibalut kerudung yang menjadi ciri khas wanita muslimah sebagai penutup aurat (Observasi di kampus, 19 Nopember 2011). Meski sebenarnya tutup aurat itu tereduksi dengan bentuk kerudung yang semakin modis dan menyempit sebab tuntutan zaman untuk selalu berubah. Terlepas dari persoalan kerudung, sungguh, busana mereka benar-benar menggugah “syaraf” kelelakian siapapun yang menatap tajam. Begitu pula pada hari-hari paling ranai, yakni hari Senin hingga Rabu, mahasiswi STIE pun menggodok jantung dan nyali untuk, paling tidak menatap mereka lekat-kekat. Selain karena keinginan untuk melihat apresiasi Tuhan, lebih dari itu, karena lekuk itulah yang menarik dan membedakan mereka dengan mahasiswi IAILM, khususnya fakultas dan prodi agama Islam.

  Pekan berikutnya, Sabtu, 8:45 WIB ada yang beda dengan view sebelumnya (Observasi di kampus, 20 Nopember 2011). Hari itu yang menjadi “pengunjung” kampus adalah khusus mahasiswa diniyah, yaitu mahasiswi jurusan tarbiyah, syariah dan dakwah atau mungkin PGSD. sangat kontras dengan mahasiswi STIE. Perbedaannya, mahasiswi diniyah ini mayoritas menggunakan rok dan hanya beberapa yang menggunakan jeans. “Celakanya,” rok maupun celana yang mereka kenakan ada yang nampak menempel ketat di sekitar perut, seolah itu adalah obyek terindah yang layak dan pantas untuk dieskpos oleh pengguna busana, bahkan oleh siapa pun yang tak sengaja menatap atau curi-curi lihat. Ada pula yang mengenakan kaos lengan panjang; tapi, seperti yang sudah dideskripsikan, kaos tersebut rupanya tak nyaman jika tak mengikat kuat namun seolah lunglai di bagian-bagian yang cukup “sensitif”. Selain itu, terekam jua jejak-jejak asimetris nan kokoh namun rada lunak di sekitar pinggang, panggul, dan pinggul. Wow, ini sungguh realitas yang menarik. Dimana, lokasi kampus ini ada di area pesantren, itulah yang bikin lebih menarik. Bukan sekedar pesantren seperti yang peneliti kenal; pesantren salaf maupun modern, tapi pesantren dengan sisi religiusitas yang tinggi dengan adanya aktivitas dan basis Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah (TQN) di Jawa Barat dengan pengikut dari beragam latar belakang dan terbesar di Jawa Barat.

  Secara universal, ajaran tarekat adalah upaya untuk melakukan penyatuan diri secara vertikal (dengan Allah SWT). Namun, pertanyaan yang muncul, apakah penyatuan vertikal tersebut tecermin dalam kehidupan sehari- hari dalam bertata sikap yang arif dalam hal berbusana. Asumsinya, penyatuan pada-Nya dengan kepasrahan yang sangat serta kerendahan diri dihadapan Ilahi Rabbi akan memunculkan sikap saling toleran antar-sesama, itu adalah visi TQN Suryalaya. Kembali lagi pada hasil observasi yang dilakukan Zamili, baik di dalam kampus; perpustakaan, halaman kampus, kantin ataupun di lapangan serba guna, memang, tidak bisa dipungkiri, berbusana secara etis atau dalam pandangan Islam adalah busana Muslimah telah menjadi icon dikalangan kampus dengan label Islam. Ini berlaku bagi kampus atau sekolah tinggi manapun di Indonesia yang berlabelkan Islam seperti di Suryalaya. Sejalan dengan praktek busana mahasiswi dan nilai tawadhu, setelah hampir dua pekan, ternyata masih belum ditemukan adanya korespondensi antara penyatuan vertikal (tarekat-dzikir) dan urusan horisontal (etika berbusana), sebuah fenomena yang kontras. Sejenak, ketika Kontras berikutnya, observasi yang tampak dipermukaan ada di wilayah sufistik yang sensitif, ketika dibenturkan dengan dokumen etis yang telah dibingkai oleh kampus (tata tertib dan aturan berbusana). Terkait pemaknaan nilai etis dalam berbusana, dari capaian data penelitian, ternyata hanya di Fakultas Tarbiyah yang memiliki kode etik secara tertulis. Sementara fakultas lain atau bahkan STIE hanya dapat baru) di awal masuk kampus. Di sini peneliti uraikan etika busana yang semestinya diamini oleh semua mahasiswi, antara lain: (1) Pakaian menutup aurat; (2) Mode pakaian bebas, dengan syarat-syarat: terasa nyaman dipakai; longgar tidak ketak; tidak transparan; bersih, rapih, dan indah; menyejukkan hati yang melihat; tidak mencolok baik warna maupun modenya; tidak diperkenankan memakai sendal jepit; tidak diperkenankan memakai kaos oblong/tanpa kerah.

  Disamping ketentuan umum di atas, bagi mahasiswi berlaku ketentuan khusus sebagai berikut: (1) Pakaian menutup seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan; (2) Bagian-bagian pakaian mahasiswi:

  a) lebar dan panjang kerudung menutupi kepala sampai seputar dada; b) panjang baju atas sampai pertengahan paha (minimal menutupi pantat atau pinggul); c) panjang pakaian bawah (celana/long dress) tidak sampai melebihi mata kaki dan tidak ketat. Lagi-lagi kontras, melihat begitu besar keinginan pondok pesantren Suryalaya untuk membentuk pribadi yang tangguh dan sesuai dengan tatakrama yang telah mereka susun. Kenyataanya, bagaimana mungkin mahasiswi dapat melaksanakan kode etis di atas jika dosennya, yang waktu itu adalah pemateri short course, bertolak belakang dengan poin (f) dengan berdandan mencolok seperti yang terlihat dalam acara di atas (Observasi di kelas, Sabtu, 17 Desember 2011).

  Dalam kesempatan berbeda, dari observasi Zamili tentang pemahaman kode etik berbusana bagi mahasiswi, belum ditemui pemahaman bersama. Hal ini terungkap dari wawancara peneliti dengan beberapa mahasiswi PGSD dan STIE yang hampir setiap ditemui mereka mentakan kurang tahu dan bahkan tidak tahu, bahwa di kampus mereka ada kode etik dalam berbusana (Wawancara Ratih, mahasiswi STIE semester 5, Selasa, 27/12/2011 & Wawancara Pipih: mahasiswi STIE semester 5, Rabu, 28/12/2011). Dengan demikian, sosialisasi, internalisasi, atau bahkan enkulturasi nilai-nilai yang terkandung dalam etika berbusana di atas belum diamini sepenuhnya oleh mahasiswi. Lebih- lebih jika ditanya tentang apa yang mereka pahami tentang tawadhu? Dari mahasiswi semester satu sampai semester tiga, belum juga ditemui suatu pemahaman yang sama pula. Padahal, jika ditanya tentang kurikulum yang diberlakukan, materi tasawuf-yang didalamnya terdapat materi tawadhu-telah mereka dapatkan sejak semester satu dan minimal sampai semester tiga untuk mahasiswi PGSD. Bagi mahasiswi jurusan diniyah (tarbiyah, syariah dan dakwah) di setiap semester mereka mendapatkan materi tasawuf. Dari realitas tersebut, dapat diinterpretasikan dari tiga varian dinamika kebudayaan jika dikomparasikan dengan tema penelitian pemaknaan sikap tawadhu bagi mahasiswi.

  Fakta lain menunjukkan, teguran bagi mahasiswi masih bersifat parsial. Artinya, mahasiswi yang tidak bersikap sesuai etika berbusana, hanya beberapa dosen yang berani menegur. Teguran inipun terkesan tentatif dan parsial. Meski demikian, Zamili berasumsi bahwa fenomena paradok antara kampus yang berbasis tarekat dengan dandanan mahasiswi yang di beberapa kesempatan terlihat glamour dan mencolok adalah bentuk aktulisasi diri dalam perspektif Abraham Maslow, yakni hierarki kebutuhan manusia (Maslow, 2006: 153). Selain itu, manusia modern tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan kapitalisme yang mengaburkan hampir seluruh makna universal tentang etika dan nilai-nilai dalam tasawuf.

  Ada fenomena lain yang mengejutkan ketika Zamili banyak berbincang dengan mahasiswi Suryalaya. Pernyataan ini menurutnya sangat bertolak belakang dengan pemahaman teman-teman lain di kampus yang memandang etika berbusana dan nilai tawadhu dalam tasawuf.

  Mulanya, Zamili berpikir, dengan konten tasawuf di kampus, tentunya etika busana serupa tanda yang sinergis. Nyatanya, asumsi tersebut bertentangan dengan realitas yang ditemukan (Observasi di kampus, 27 Nopember 2011). Lebih-lebih ketika dia mencoba benar-benar menjadi penelaah yang aktif (participant observation). Senada dengan observasi yang dilakukan, Laila, misalnya, mengungkap bahwa tak jadi soal bagi anak-anak ekonomi (STIE) terkait busana yang dikenakan, yang penting adalah tetap sopan dan nyaman saja di pakai (Wawancara Laila, mahasiswi STIE semester 3, 21 Nopember 2011). Lalu ketika ditanya seperti apa batas-batas kesopanan atau nilai-nilai etis dalam berbusana? Untuk persoalan ini sangat subjektif. Sebab, mengenakan busana yang etis (jeans) itu asal tidak menarik orang lain untuk berpikiran buruk (misalkan, terlihat seksi dan menampakkan belahan-belahan tertentu pada bagian tubuh), itu sudah cukup untuk dikatakan etis atau sopan menurut mahasiswi yang lain, misalnya Wulan Eka (Wawancara Wulan Eka, mahasiswi STIE semester 3, 21 Nopember 2011).

  Dari hasil observasi dan wawancara di atas, dapat diinterpretasikan bahwa, terdapat kebebasan yang absolut bagi mahasiswi IAILM dalam membentuk sistem sosial di kampus. Jeans adalah lokalisasi budaya yang mereka bentuk dengan sendirinya. Dengan beragam latar belakang, cara pandang yang berbeda pula, mahasiswa STIE mereproduksi nilai-nilai etis dalam berbusana dengan mengenakan jeans. Padahal, kampus Suryalaya merupakan kampus dengan sistem tarekat yang ramai. Fenomena ini memang bertolak belakang bila dipandang sekilas mata. Kita bisa melihat Jombang Jawa Timur, misalnya. Di sana menurut Zamili, tarekat juga menjadi jalan penyatuan diri pada Yang Maha Kuasa. Nama tarekatnya sama dengan Suryalaya, yaitu Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Dengan ikatan tarekat itu, mahasiswi Darul Ulum lebih dominan mengenakan rok sebagai sistem budaya daripada mengenakan jeans. Dengan keberadaan tarekat tersebut, mahasiswi Darul Ulum terikat oleh kebesaran nama sang Mursyid, yaitu kiai Mustain Ramli. Sedangkan di Suryalaya, kebesaran Abah Anom yang populis dengan fleksibelitas pemikirannya justru telah mereproduksi tatanan logis dengan kebebasan berbusana.

  Fenomena di atas ditegaskan oleh Helsa yang menyatakan, bahwa Suryalaya bukanlah tempat yang fanatik, apalagi soal pakaian. Di sini, yang terpenting adalah munculnya kesadaran pribadi dengan sendirinya.

  Karena profil/pola berpikir dari Abah yang mampu menerima heterogenitas dari setiap status sosial

  4

  . Jadi, mereka yang datang kemari merasa tidak tersingkirkan dengan penerimaan tersebut. Kalau saya boleh berasumsi, selama masa “penyembuhan” tersebut, mereka memang terkesan urakan dan tidak sopan, tapi bisa jadi orang-orang yang jelek dimata sosial tadi, kali saja mereka belum tahu atau mengerti dengan kebiasaan yang ada. Dari ketidakpahaman mereka itu, Abah terus mendampinginya dengan keteladanan yang imbasnya memunculkan otomatisasi respect kepada Suryalaya. Toh, yang penting menutup aurat kan (Wawancara, Mahasiswi PPGSD semester 3, IAILM, Desember 2011). Helsa juga menambahkan, misalkan saja saya mau pulang kampung saya pakai celana jeans, ini kan era modern. Lihat kondisi harus pulang kan ribet. Jadi, sangat bergantung pada kesadaran diri (self

  concicousness). Kesadaran diri ini juga berlaku untuk mahasiswi yang