PRO HUKUMAN BAGI ISTRI TERDAKWA KASUS PE

PRO HUKUMAN BAGI ISTRI TERDAKWA KASUS PENCUCIAN UANG YANG IKUT
MENERIMA ALIRAN DANA.
DITUNTUT UNTUK DIJADIKAN SAKSI MAHKOTA
Istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
acara pidana di Indonesia yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Walaupun demikian istilah saksi mahkota sering ditemui pada praktik hukum acara pidana.

Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”

Namun, saksi mahkota memiliki perbedaan dengan saksi dalam definisi tersebut di atas. Mengenai
definisi saksi mahkota sendiri, kami mengutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:
“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota
(kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai
Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang
bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan
mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah
dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang

sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang
pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam
peristiwa penyertaan.”

Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru. Misalnya, dalam
kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin pernah dijadikan saksi mahkota (lebih
jauh simak artikel Syahril Sabirin Jadi Saksi Mahkota).Dalam kasusyang menjerat mantan ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi mahkota juga dihadirkan dalam persidangan (lebih
jauh simak artikel Antasari Azhar dan Wiliardi Tuding Ada Konspirasi dan Jaksa Diminta Siapkan
Tuntutan untuk Antasari).
Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang
menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu
bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Menjawab pertanyaan Anda, sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa
yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan
pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi dalam praktiknya memang sering
dijumpai adanya saksi mahkota untuk pembuktian pada perkara pidana.

DITUNTUT UNTUK DIJADIKAN JUSTICE COLLABORATOR
Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi).
Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan
kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang
memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang
ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.”
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap negara peserta wajib
mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya untuk
memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam
penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan
konvensi ini.”
Selanjutnya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA No 4/2011),pada angka 9(a dan b) ditegaskan beberapa pedoman
untuk menentukan kriteria justice collaborator.
Pertama, yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan
yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai

saksi di dalam proses peradilan. Kedua, jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa
yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga
penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif,
mengungkap pelakupelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asetaset/hasil suatu tindak pidana. Berdasarkan SEMA No 4/2011 tersebut,adalah sesuatu yang tidak logis dan
di luar logika hukum jika kepada Angie diwacanakan status justice collaborator. Sejak awal Angie lebih
banyak menyangkal fakta-fakta yang dituduhkan kepadanya.
DITUNTUT DENGAN ALASAN PASAL 5 UU TPPU
para penadah hasil uang kejahatan korupsi sudah diatur dalam UU TPPU. Ancaman penjara 5 tahun
menanti bagi para penadah. Ini ada ancamannya, yaitu 5 tahun hukuman penjara dan denda Rp 5 miliar,
Untuk itu PPATK, meminta kepada seluruh warga agar hati-hati menerima dana dari transaksi yang

mencurigakan. Masyarakat perlu perhatikan ini jangan mau dijadikan sasaran TPPU kejahatan korupsi,
jika melakukan itu bisa kena pasal 5 UU TPPU.
Pasal 5 UU TPPU
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan

kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.