PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA

(STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

Oleh

ZEPY TANTALO

Pemerintah Indonesia menyadari semakin banyaknya penyalahgunaan narkotika dikalangan masyarakat Indonesia, menyadari penyalahgunaan Narkotika ini dirasakan sangatlah merugikan Indonesia karena dampak yang timbul bagi bangsa ini adalah suatu pembodohan rakyat secara masal. Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa dan bernegara membawa keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang hukum acara pidana terkait dengan proses peradilan dalam hal penjatuhan sanksi pidana. Banyak upaya yang telah ditempuh pemeritah dalam pemberantasan narkotika ini diantaranya dengan membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur tentang narkotika, memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, dan membentuk badan-badan khusus yang menangani tindak pidana narkotika seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), pemerintah juga menekankan kepada para penegak hukum untuk tidak pandang bulu dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pada skripsi ini mengangkat permasalahan tentang, putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika ini masuk kedalam putusan pidana pokok, putusan pidana tambahan, atau masuk putusan pidana diluar ketentuan pidana tersebut, dan Mengungkap faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana.

Penelitian ini dilakukan di pengadilan negeri liwa terhadap 2 (dua) orang hakim sebagai responden, 1 (satu) orang Kepala seksi Pidana Umum pada kejaksaan negeri liwa, serta ditambah salah satu dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam proses penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan memiliki dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data skunder.

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai berikut, yaitu tentang penyalahgunaan pemakaian narkotika tentunya kita memiliki pemikiran mengenai pemposisian terdakwa apakah si terdakwa tersebut dapat diakatakan sebagai pelaku ataukah sebagai korban dari pelaksanaan proses penegakan hukum terhadap pelanggaran penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi


(2)

Zepy Tantalo

rehabilitasi terhadap pelanggarnya, dan pemberian tindakan pemidana berupa tindakan perawatan dan perbaikan terhadap pelaku tindak pindana pengguna narkotika sebagai pengganti dari hukuman didasarkan pada korban adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan rehabilitasi. Penerapan putusan rehabilitasi ini adalah salah satu bentuk dari penggabungan antara adanya suatu tindakan (treatment) perbaikan diri tehadap seseorang dengan adanya perampasan hak kemerdekaan terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika serta dalam proses pelaksanaan putusan rehabilitasi ini bagi pelaku yang telah dijatuhkan putusan rehabilitasi diharuskan wajib lapor kepada jaksa sebagai pelaksana dari penjatuhan putusan terhadap terdakwa. Faktor yang menjadi penghambat dalam proses penerapan putusan rehabilitasi ini adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, dan faktor masyarakatnya.

Saran dalam penulisan skripsi ini adalah Penerapan putusan rehabilitasi ini seharusnya ditetapkan sebagai suatu tindakan pemidanan bukan termasuk dalam pidana pokok ataupun pidana tambahan terhadap semua pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Karena pengguna narkotika bukan merupakan pelaku kejahatan melainkan seorang korban yang dianggap tidak jahat, penetapan ini dialakukan agar pelaku pengguna tidak mendapat tekanan batin (mental) karena dianggap sebagai pelaku kejahatan. Serta faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang berasal dari faktor penegak hukum serta faktor sarana dan prasarana dapat diatasi dengan baik, baik oleh pemerintah ataupun aparaturnya sendiri agar dalam proses pelaksananaan putusan rehabilitasi ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan semula yang diharapkan.


(3)

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA

(STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

Oleh

Zepy Tantalo

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA

(STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW) (Skripsi)

Oleh

Zepy Tantalo

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. Pendahuluan

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………...…………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual……… 8

E. Sistematika Penulisan ………... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana ……… 21

B. Pengertian Putusan …………..………. 22

C. Dasar Hukum Pidana Rehabilitasi ……… 23

D. Rehabilitasi ………... 26

E. Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika ………. 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………. 32

B. Sumber dan Jenis Data ………. 32

C. Penentuan Populasi dan sample ……… 33

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ………. 34


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ……….. 37 B. Putusan Rehabilitasi Pada Kasus Tindak Pidana Pengguna Narkotika

Termasuk Dalam Pidana Pokok atau Pidana Tambahan (Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW)….……….. 39 C. Faktor Penghambat Dalam Penerapan Putusan Pidana Rehabilitasi

(Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW)………. 48

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 54

B. Saran ………. 56


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Andrisman, Tri. 2007. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, CV Sinar Sakti. Bandar Lampung.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dewantara, Nanda Agung. 1987. Masalah kebebasan hakim dalam menangani suatu perkara pidana. Aksara Persada-Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta Kanter E.Y dan S.R. Sianturi. 2002. Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta.

Masyhuri dan M. Zainudin. 2008.Metodologi penelitian pendekatan praktis dan aplikatif. PT. Refika aditama. Bandung.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika. Jakarta

Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta Mohd. Din, 2009. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Dari Aceh

Untuk Indonesia, Unpad Press, Bandung,

Muladi. 2008, Lembaga Pidana Bersyarat. P.T Alumni. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(8)

Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2. PT. Pradnya Panemita. Jakarta.

Projodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta.

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1982. Pengantar Penelitian Hukum.UI. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Rajawali. Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press. Jakarta. Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung. Sudarto, 1982. Pemidanaan Pidana dan Tindakan, BPHN, Jakarta.

Wiranata, I Gede AB. 2011. Materi Kuliah Metode Penelitian Hukum. FH Unila.

Bandar Lampung.

Undang-Undang

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor. 4 tahun 2010 Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Internet

<http://www.4skripsi.com/metodologi-penelitian/teknik-pengambilan-sampel penelitian.html#axzz2ABLbDv8S> “Teknik Analisis Data

dalam Penelitian “diakses 10 oktober 2012.

<http://www.id.wikipedia.org/ wiki.co.id> “kategori : Metode Penelitian” diakses 10 oktober 2012.


(9)

<Muhammad Mustofa,Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi,

http://www.prakarsa rakyat.org/artikel/artikel.php?aid=32186,>diakses pada tanggal 22 April 2012.


(10)

Judul Skripsi : PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA ( Studi Kasus

Putusan No : 130 / Pid.B / 2011 / PN.LW )

Nama Mahasiswa : ZEPY TANTALO

No. Pokok Mahasiswa : 0912011393 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H, M.H. NIP. 19631217 198803 2 003

Tri Andrisman S.H, M.H. NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(11)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(12)

i

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada Allah S.W.T

Papa tercinta dan Mama tersayang yang tak pernah berhenti berdoa dan selalu mencurahkan perhatian serta kasih sayangnya padaku dan tak pernah letih berkorban dan

berusaha untuk keberhasilanku

Kakak dan adiku tersayang (Deddy dan Husain) yang selalu memberikan semangat, doa dan dukungannya dalam setiap

langkah-langkahku

Semua pihak yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini


(13)

ii

SANWACANA

Dengan mengucapkan alhamdulillahirrobbilalamiin, atas nama dan hidayah yang dilimpahkan Allah S.W.T kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Penerapan Putusan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika (Studi Kasus Putusan No : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan serta pengetahuan penulis. Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini bukanlah jerih payah sendiri, akan tetapi bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampug yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan studi di Fakultas Hukum.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani,S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus Pembahas 1 (satu) yang


(14)

iii

telah banyak memberikan saran, masukan, arahan dan bantuan serta nasihat kepada penulis untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku pembimbing satu yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bantuan saran, masukan, dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan memberikan wawasan yang luas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku pembimbing dua yang memberikan saran, arahan dan bimbingan serta nasihat kepada penulis dengan penuh kesabaran dan memberikan wawasan yang luas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku pembahas dua yang telah memberikan saran dan kritiknya dalam perbaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Eddy Rifai’i, S.H., M.Hum., selaku responden, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pendapatnya dalam menyelesaikan permasalahan dalam skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Ibu Sri, terimakasih atas bantuannya selama penulisan skripsi ini.

9. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan.

10. Bapak Maryono, S.H., selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.


(15)

iv

11. Bapak Fakhrudin, S.H., M.H., selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Liwa yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.

12. Bapak Riyo Syaputra, S.H., selaku Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Liwa yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.

13. Buat Papa Daeng Fauzi, S.H., dan Mama Susilowati, terima kasih atas doa yang tak henti-hentinya disetiap waktu yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

14. Kakak dan Adikku, Deddy Faisal, S.H., M.H dan M. Ihkwan Husain terima kasih untuk doa, dukungan dan perhatiannya selama ini yang telah banyak mengorbankan seluruhnya baik materi, waktu, tenaga, pikiran serta doanya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

15. Seluruh paman dan bibi beserta sepupu yang terus memberikan semangat dorongan motifasi dan dukungan serta saran-saran yang membangun dari awal hingga akhir masa studi perkuliahan.

16. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Inggit Putri Ayu, Hernadi Sutanto, Yohanes Aritonang, Yuni Rahayu, Beni Kurniawan, Anand Faiza Berlian, Ari reza Pratama, M. Abrar Haq B, Sofyan Yasir Alfarizi, Rio Riansyah, Irawan Syaputra, Raditya Satwika, Zulkadri Anand, Rifki Apriansayah, M. Andri Mirmaska, dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bias disebutkan satu persatu.

17. Semua pihak yang tak bisa di sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.


(16)

v

18. Terutama sekali kepada Allah S.W.T yang telah meridhai langkah penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro pada tanggal 12 September 1991, merupakan putra kedua, anak kedua dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Daeng Fauzi, S.H. dan Ibu Susilowati.

Jenjang pendidikan dimulai pada SD Negeri 01 Kota Metro yang diselesaikan pada tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama di SMP negeri 4 Kota Metro pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas di selesaikan di SMA Negeri 1 Kota Metro pada tahun 2009 dan pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Lokal (UML)

Selama menempuh masa studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan lembaga kemahasiswaan internal kampus diantaranya pernah menjadi anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Hukum periode 2011-2012. Pada tahun 2012 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Mesuji.


(18)

Motto

Melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, dan Pekerjaan yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peredaran narkotika di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya sudah menjadi suatu permasalahan pokok yang harus ditindak lanjuti oleh setiap Negara. Permasalahan narkotika ini dianggap sebagai suatu tindakan melawan hukum di seluruh Negara yang ada di dunia ini. Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa dan bernegara membawa keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang hukum acara pidana terkait dengan proses peradilan dalam hal penjatuhan sanksi pidana oleh hakim. Penjatuhan putusan oleh hakim tidak terlepas dari sesuatu yang diyakini dan terbukti dalam sidang pengadilan.

Segala peraturan mengenai hukum pidana berakhir pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang, baik itu harta bendanya maupun jiwanya. Sebagaimana yang terjadi di negara lain, maka di Indonesia terdapat suatu pendapat mengenai adanya ketidak puasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara dalam kenyataan terbukti sangat


(20)

2

merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana. Berhubungan dengan pendapat ini maka harus dilakukan pencarian alternatif lain dalam sistem pemidanaan yang ada di Indonesia yang antara lain adalah dengan cara pendayagunaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana yang dianggap tidak jahat.

Rehabilitasi merupakan alternatif dari sanksi pidana perampasan kemerdekaan, norma-norma hukum pidana yang menyangkut pemidanaan tidak hanya dilihat sebagaimana yang dirumuskan, tetapi akan ditinjau secara luas bekerjanya di dalam masyarakat dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sanksi rehabilitasi dijadikan sarana penanggulangan kejahatan yang akan ditentukan oleh kemampuan sanksi pidana tersebut untuk memenuhi tujuan pemidanaan yang integratif. Tujuan pemidanaan yang bersifat integratif adalah sebagai berikut :1

1. Perlindungan masyarakat

2. Memelihara solidaritas masyarakat 3. Pencegahan (umum dan khusus) 4. Pengimbalan / pengimbangan

Pemidanaan harus diberikan secara tepat sesuai dengan keadaan pribadi pelanggar hukum, sanksi rehabilitasi dapat dipakai sebagai alternatif dalam pemberian pidana pelanggar hukum. Mengenai pemberian sanksi rehabilitasi dalam kasus seorang pelaku pengguna narkotika, seorang hakim harus jeli untuk melihat delik yang dilakukan oleh terdakwa.


(21)

3

Kasus penggunaan narkotika khususnya di Indonesia KUHP tidak menjelaskan secara rinci mengenai tindak pidana bagi pengguna narkotika melainkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, didalam undang undang tersebut yakni pasal 103 ayat (1) huruf (a),dan (b) menyatakan bahwa

“Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti

bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.”2

Dengan kata lain hakim dapat memutuskan seorang terdakwa tidak hanya dapat memberikan sanksi pidana penjara atau pidana denda saja tetapi juga dapat memberi sebuah putusan pidana rehabilitasi terhadap seorang yang terbukti melakukan tindak pidana pengguna narkotika.

Kemudian dalam hal ini pidana rehabilitasi akan menimbulkan masalah kepada beberapa pihak yang secara langsung atau pun tidak langsung yang terlibat dalam sebuah permasalah yang sama.

Mengenai pidana rehabilitasi terhadap pelaku pengguna narkotika sebagaimana telah di terangkan bahwa delik yang dilakukan seorang terdakwa pelaku penggguna narkotika dalam sebuah persidangan di pengadilan haruslah jelas agar fakta yang diungkap dalam persidangan juga menjadi jelas, dari hal itulah maka hakim sangatlah berperan penting dalam hubungan pengambilan sebuah keputusan dalam persidangan. Bertitik tolak pada hubungan formal ini haruslah tidak dilupakan bahwa seorang terdakwa adalah seorang manusia dan dilihat dari

2


(22)

4

segi kemanusiaan, sewajarnya lah seorang pelaku pengguna narkotika mendapatkan sebuah putusan rehabilitasi, yang bertujuan untuk melindungi, memperbaiki dan agar dia mendapatkan perawatan dari sebuah tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Karena sudah jelas bagi mereka pengguna narkotika, efek dari kecanduan akan narkotika tersebut akan timbul apabila mereka tidak ditangani oleh pihak yang ahli dibidang tersebut. Mengenai penjatuhan sanksi pidana rehabilitasi bagi seorang pengguna narkotika apabila pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pidana rehabilitasi dilaksanakan sebagaimana mestinya akan dapat bermanfaat bagi terpidana maupun orang lain.

Penjatuhan sanksi pidana rehabilitasi bukan hanya untuk melindungi masyarakat, tetapi harus pula membina si pelanggar hukum. Dalam hal ini hakim dapat dituntut untuk dapat mengambil keputusan secara tepat dan memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat maupun terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan pidana harus mempertimbangkan antara lain hal-hal yang meliputi kepribadian terdakwa, umur terdakwa dan sopan santun terdakwa dalam pemeriksaan tersebut.

Penggunaan sanksi pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana yang tidak bersifat jahat, akan menunjang pelaksanaan hukum pidana yang berprikemanusiaan dan dapat mengurangi penerapan pidana perampasan kemerdekaan. Sanksi pidana rehabilitasi tidak berguna bagi yang benar-benar bersifat jahat. Tidak hanya standar pelaksanaan pidana rehabilitasi di Indonesia merupakan hambatan utama terhadap suatu pendayagunaan sanksi pidana rehabilitasi.


(23)

5

Pidana rehabilitasi juga memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri bukan didalam Lembaga Permasyarakatan, melainkan di dalam lingkungan masyarakat, sehingga dapat menjalani kehidupan yang normal. Selain itu juga mencegah adanya predikat jahat pada dirinya bila ia harus masuk penjara.

Pidana rehabilitasi merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan pelaksanaannya dilakukan di luar penjara. Menjatuhkan pidana rehabilitasi bukan berarti membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan dalam masyarakat dalam suatu penjara atau lembaga pemasyarakatan, akan tetapi secara formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana hanya saja dengan pertimbangan tertentu pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata terpidana telah melanggar.

Hakim dalam hal menjatuhkan pidana rehabilitasi haruslah didasari pada pemeriksaan dan pertimbangan yang cermat dan teliti. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana rehabilitasi, kecuali dalam pemeriksaan hakim mendapat sebuah keyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang tepat selama terpidana berada diluar penjara atau selama terpidana masih harus memenuhi syarat khusus yang ditetapkan oleh putusan pengadilan.

Tentunya dalam penetapan putusan yang diambil atau ditetapkan oleh majelis hakim tidak jauh dari apa yang telah didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa terlebih lagi bila putusan tersebut diputus diluar dari surat dakwaan atau tuntutan yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sesuai dengan Fungsi surat dakwaan itu sendiri yaitu dalam sidang pengadilan merupakan


(24)

6

landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan 3

Jika hakim berpendapat lain mengenai suatu perkara mengenai kebenaran materil maka hakim harusnya memutus perkara tersebut dengan putusan bebas dari segala tuntutan. Namun dalam pengambilan putusan dengan Nomor : 130/Pid.B/2011/PN.LW tentang pelaku pengguna narkotika, maka isi dari putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa dijatuhi pidana Rehabilitasi pada Panti Rehabilitasi Parmadi Putra Yayasan Sinar Jati Lampung, sedangkan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut umum adalah penjatuhan pidana penjara selama 6 tahun dan denda 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) sesuai dengan ketentuan pada Pasal 114 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat hal tersebut sebagai bahan penyusunan skripsi yang akan diberi judul tentang: “ Penerapan Putusan Rehabilitasi terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika (Studi Kasus Putusan Nomor : 130/Pid.B/2011/PN.LW) “

3

M. Yahya Harahap, 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. hlm:378


(25)

7

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah :

a. Apakah putusan rehabilitasi pada kasus tindak pidana pengguna narkotika termasuk ke dalam pidana pokok atau pidana tambahan (Studi kasus Putusan No : 130/ Pid.B/2011/PN.LW) ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan pidana rehabilitasi (Studi kasus Putusan No : 130/ Pid.B/2011/PN.LW)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah ilmu hukum pidana yang mencakup baik itu ditinjau dari hukum formil maupun hukum materiil yang dibatasi pada tingkat peradilan tindak pidana pengguna narkotika. Lokasi penelitian ini dilakukan pada pengadilan Negeri Liwa pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui Apakah putusan rehabilitasi pada kasus tindak pidana pengguna narkotika termasuk kedalam pidana pokok atau pidana tambahan.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan putusan pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika.


(26)

8

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Dengan dilaksanakan penulisan ini, diharapkan akan dapat mengembangkan ilmu penulisan hukum khususnya hukum acara pidana serta dapat menambah informasi tentang bentuk pemidanaan alternatif dari pidana pencabutan perampasan kemerdekaan dan pelaksanaan pidana khususnya pidana rehabilitasi bagi pelaku pengguna narkotika.

b. Manfaat Praktis

Memperoleh data guna dianalisis agar dapat digunakan penulis dalam menjawab masalah yang penulis kemukakan serta memberikan wawasan bagi ilmu hukum dan aparat penegak hukum dalam pendayagunaan pidana rehabilitasi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah sebuah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap suatu permasalahan sosial yang ada pada masyarakat yang dianggap relevan oleh peneliti.

Membahas permasalahan dalam skripsi ini, pada tahap persidangan seorang hakim dalam hal menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa haruslah berdasarkan pertimbangan dan melihat fakta-fakta yang ada dalam mengungkap perkara kriminal. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek saat ini dituntut adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan


(27)

9

masyarakat. Untuk itu figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan- putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.4Dalam menemukan hukumnya seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum.5

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dengan demikian, pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan pidana harus sesuai dengan rasa keadilan.

Salah satu dari putusan perkara pidana di dalam pengadilan merupakan salah satu dari lima kemungkinan antara lain :

a. Putusan bebas (vrijspraak), apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.6

b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada

4

Nanda Agung Dewantara. Masalah kebebasan hakim dalam menangani suatu perkara pidana. Aksara Persada-Indonesia. 1987. hlm.25

5

Ibid, hlm. 25 6


(28)

10

terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.7

c. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.8

d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum yaitu apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2b). Pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berdasarkan atas permintaan terdakwa atau Penasehat Hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya.9

e. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima yaitu apabila surat dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru.10

Selanjutnya untuk membahas permasalahan dalam penulisan penelitian ini tentunya putusan pidana rehabilitasi ini termasuk dalam putusan pidana untuk itu perlulah kita ketahui tentang Teori pemidanaan rehabilitasi menurut Muhammad Mustofa, teori ini lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau memperbaiki pelaku. Teori ini dilatarbelakangi oleh pandangan positivis dalam kriminologi, maka penyebab kejahatan lebih dikarenakan adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial baik dalam pandangan psikiatri atau psikologi. Teori rehabilitasi dalam pembinaan narapidana yang masih banyak diterapkan dewasa

7

Lihat Pasal 191, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 8

Lihat Pasal 193 Ayat (1), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 9

Lihat Pasal 143 ayat 2 huruf b, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 10


(29)

11

ini berawal dari pemikiran klasik (abad 17-18) dalam hukum pidana yang dilandasi oleh pemikiran rasionalisme dan humanitarianisme harus ditujukan menghasilkan dampak jera dan bukan pembalasan dendam. Ciri dari penerapan teori rehabilitasi adalah adanya usaha untuk membatasi penerapan hukuman penjara dengan pemberian hukuman percobaan, mempercepat masa penghukuman dengan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan amnesti, serta penghapusan hukuman mati. Sudah banyak di beberapa Negara yang menerapkan teori rehabilitasi, seperti Australia, Brunei, Kanada, Malaysia, dan ternyata sangat intensif dalam program rehabilitasi yang bertujuan untuk reintegrasi narapidana ke masyarakat.11

Tentunya dalam pengambilan putusan seorang hakim tidak serta merta membuat putusan, seperti apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP yaitu:

Pasal 183 KUHAP

“ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya “12

11Muhammad Mustofa,Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi, http://www.prakarsa

rakyat.org/artikel/artikel.php?aid=32186, diakses pada tanggal 7 november 2012.

12


(30)

12

Alat bukti yang sah dalam persiadangan yang bias dijadikan dasar dalam penetapan putusan hakim telah ditetapkan dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan sebagai berikut :

“Alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi, keeterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.”13

Kemudian dalam perkembangannnya ada beberapa teori tentang pemidanaan yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam pengambilan putusannya, teori tersebut adalah:14

1. Teori absolut atau teori pembalasan

Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut.

2. Teori relatif atau teori tujuan

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:

13

Lihat Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP) 14

Tri Andrisman. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, CV Sinar Sakti. 2007. Hlm.24-30.


(31)

13

a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum).

b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).

Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan.

3. Teori gabungan

Dasar hukum dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap


(32)

14

penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.

Penjatuhan putusan pemidanaan dalam penerapannya terdapat putusan pidana rehabilitasi. Seperti apa yang telah dijelaskan dalam teori rehabilitasi diatas pidana rehabilitasi ini bertujuan untuk melindungi, membantu, serta membimbing terpidana untuk menjadi lebih baik lagi dalam kehidupannya yang akan datang dengan syarat-syarat tertentu yang telah telah ditetapkan oleh majelis hakim dalam persidangan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.

Pemberian pidana rehabilitasi kepada pelaku pengguna narkotika yang telah melanggar ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika sebagai pelaku tindak pidana pemakai / pengguna narkotika. Dalam pengambilan keputusan pidana rehabilitasi pula seorang hakim harus mempertimbangkan / memperhatikan hal-hal antara lain:

1. Apakah terdakwa melakukan tindakan yang kooperatif dalam persidangan,

2. Kepribadian terdakwa,

3. Umur terdakwa,

4. dan sopan santun terdakwa dalam persidangan.

Semakin tingginya angka tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini maka fungsi hukum pidana memiliki peranan yang sangatlah penting. Seperti yang diketahui bahwa fungsi hukum pidana adalah untuk menimbulkan efek jera atau tidak mengulangi kembali tindak pidana yang yang telah dilakukannya. Menurut penulis tujuan yang seperti ini tidak akan menimbulkan kesadaran hukum bagi para pengguna narkotika melainkan hanya akan merusak fisik dan mental


(33)

15

terhadap pelaku pengguna narkoba. Hukum pidana yang bersifat siksaan fisik terhadap terpidana juga memiliki fungsi subsider yang artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Penjatuhan putusan rehabilitasi dalam penerapannya belum ada kepastian apakah rehabilitasi tersebut masuk kedalam putusan pidana pokok atau tambahan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 10 KUHP yakni :

a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Kurungan 4. Denda b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan hak-hak tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Dengan demikian maka dengan adanya penerapan pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika ini dapat terciptanya suatu pola fikir, tingkah laku, serta kepribadian yang baik dalam upaya penanggulangan terhadap pengguna narkotika tanpa harus melukai fisik dari terpidana tersebut.

Teori yang digunakan dalam membahas faktor penghambat dalam penerapan pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah teori yang


(34)

16

dikemukakan oleh soerjono soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu :15

1. Faktor hukumnya sendiri

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.

2. Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

3. Faktor sarana dan fasilitas

Penegak hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

4. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut teetentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

15

Soerjono Soekanto,.Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.Rajawali. 1983,hlm.34 - 40.


(35)

17

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik/buruk.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.16

Adapun pengertian dasar dan guna mengetahui maksud yang terkandung dalam penulisan judul skripsi ini, perlulah disimak pengertian beberapa istilah-istilah sebagai berikut :

a. Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekan sesuatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.

b. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.17

16

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press. 1984, hlm. 124 17


(36)

18

c. Pidana atau istilah hukuman adalah, istilah yang dipakai silih berganti sebagai kata yang mempunyai makna yang sama atau sinonim. Kedua arti istilah itu adalah sanksi yang mengakibatkan nestapa, penderitaan, ataupun sengsara. Hukum pidana mengancam bagi para pelanggar hukum dengan penderitaan yang khusus dan menjatuhkan penderitaan (pidana) kepada siapa yang melanggarnya.18

d. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.19

e. Menurut pasal 1 butir 14 jo. butir 15 KUHAP Terdakwa adalah Seorang tersangka (seseorang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana) yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan

f. Tindak Pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu.20

18

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 2. PT. Pradnya Panemita. 1997, hlm. 57

19

Pasal 1 butir(23), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

20

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. 2004, hlm.54


(37)

19

g. Pelaku tindak pidana menurut KUHP pelaku dirumuskan dalam pasal 55 Ayat (1) : “dipidana sebagai tinadak pidana : mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”21

h. Pengguna Narkotika atau pencandu narkotika adalah, orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.22

E. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terbagi menjadi lima bab yang setiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan BAB Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka yang memuat tentang Pengertian hukum pidana, pengertian putusan, dasar hukum pidana Rehabilitasi, pengertian rehabilitasi, dan mengenai Pelaku Tindak Pidana narkotika.

21

Lihat Pasal 55 Ayat (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 22


(38)

20

III. METODE PELNELITIAN

Metode Penelitian pada bab ini penulis menjabarkan pendekatan masalah, sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengelolaan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab Hasil penelitian dan pembahasan ini berisi tentang pembahasan tentang apakah putusaan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika masuk kedalam putusan pidana pokok atau pidana tambahan. Serta mengungkap faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan pidana rehabilitasi.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan ini dalam bab ini dimuat dan diuraikan tentang kesimpulan dan saran dari penulis.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Hukum Pidana

Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika ini perlulah diketahui apa sebenarnya pengertian dari hukum pidana itu sendiri. Pengertian tentang hukum pidana menurut Prof. Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :1

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tesebut.

1


(40)

22

Menurut pengertian diatas kita dapat mengerti dengan jelas bahwa hukum pidana adalah suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang disertai dengan sanksi apa bila sesorang melanggar aturan tersebut.

Hukum pidana di Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa seseorang dapat dikenakan sanksi apabila perbuatan yang dilakukannya telah diatur dalam suatu perundang-undangan sebelum perbuatan yang dianggap melawan hukum tersebut dilakukan itu semua dikarenkan karena hukum mengenal adanya asas Legalitas. Hal ini juga dipertegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi :2

“ Tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”

B.Pengertian Putusan

Putusan pengadilan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana menyatakan bahwa :

“Pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.”3

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang yang telah

2

Lihat Pasal 1 Ayat (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3


(41)

23

mengaturnya. Tentunya hakim juga harus mencari kebenaran materiil terhadap apa yang telah di dakwakan oleh jaksa penuntu umum terhadap si terdakwa. Dalam pasal 183 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya“

C.Dasar Hukum Pidana Rehabilitasi

Di Indonesia sendiri untuk ketentuan tentang pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna Nakotika telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berupa ketentuan pasal 54 sampai pasal 59.

Dalam pasal 54 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

“Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Pasal 55 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

1. Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh


(42)

24

Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 56 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

1. Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.

2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 57 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

“Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.”

Pasal 58 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

“Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.”

Pasal 59 UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika menentukan :

1. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.


(43)

25

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Penjatuhan putusan pidana rehabilitasi oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika didasari pada ketentuan Pasal 103 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yang menyatakan :

1. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

2. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sesuai dengan ketentuan tersebur diatas maka dalam hal pelaksanaan putusan rehabilitasi hakim dapat menitipkan tedakwa / atau pelaku tindak pidana kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pimpinan rumah penampungan seperti panti rehabilitasi pengguna narkotika ataupun rumah sakit tertentu.


(44)

26

D.Rehabilitasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia rehabilitasi dapat diartikan sebagai pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula) atau perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat.4

Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana mendefinisikan rehabilitasi sebagai hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.5

Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika menyataan bahwa rehabilitasi dibagi mejadi dua yaitu :6

1. Rehabilitasi Medis

Rehabilitasi medis merupakan ilmu pengetahuan dibidang kedokteran yang mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak keadaan sakit, nyeri, cacat dan/atau halangan serta meningkatan kemampuan pasien mencapai integrasi sosial. Yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan keadaan sakit, nyeri, atau cacat semaksimal

4

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) 5

Lihat Pasal 1 Angka (23), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 6


(45)

27

mungkin dan untuk melatih pasien dengan gejala-gejala yang ada maupun yang tersisa agar dapat pulih atau mendekati seperti keadaan semula, sehingga pasien tersebut dapat bekerja kembali sesuai dengan kemampuan yang ada. menurut Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 butir 16 rehabilitasi Medis adalah :7

“suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan

pecandu dari ketergantungan Narkotika.”

2. Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi sosial merupakan suatu kegiatan untuk pemulihan kembali keadaan individu yang mengalamai permasalahan sosial kembali seperti semula. Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang ditujukan untuk mengintegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi dengan masyarakat apabila memiliki kemampuan fisik, mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 butir 17 rehabilitasi sosial adalah :8

“suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.”

7

Lihat Pasal 1 butir (16), Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009. Tentang Narkotika. 8


(46)

28

Dari pengertian rehabilitasi menurut undang-undang diatas kita dapat dengan jelas mengerti bahwa sebenarnya rehabilitasi itu adalah untuk orang yang dianggap melakukan tindak pidana yang tidak jahat yang bertujuan untuk memulihkan keadaan seseorang baik itu rasa sakit, nyeri, cacat, tingkah laku, nama baik yang dilakukan semaksimal mungkin yang menyangkut terhadap individu seseorang terhadap keadaan dan lingkungan yang bersangkutan.

E.Pelaku Tindah Pidana Pengguna Narkotika

Bicara tentang pelaku tindak pidana narkoba tentunya itu menjurus pada seorang pencadu narkoba atau pengguna narkoba yang mengkonsumsi narkotika secara terus menerus dan tanpa takaran secara berlebihan. Pelaku tindak pidana narkoba adalah seorang yang dengan sengaja menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum hal ini telah dikemukakan pula dalam pasal 1 Ayat (13) dan (15)Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika menyebutkan :9

Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 35 tahun2009 yaitu :

“Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik

maupun psikis”

Pasal 1 Ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 tahun2009 yaitu :

“Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.”

9Ibid


(47)

29

Adapun mengenai ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana pengguna Narkoba diatur dalam ketentuan pada BAB XV (Ketentuan Pidana), pasal 116 Ayat (1) dan (2), Pasal 121 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 126 Ayat (1) dan (2) yaitu:

Pasal 116 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Pasal 116 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

Pasal 121 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

Pasal 121 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3


(48)

30

Pasal 126 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika

Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 126 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian

Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

Dalam hal penjatuhan putusan mengenai ketentuan pemidanaan yang telah diuraikan diatas hakim juga dapat memutuskan pidana lain yakni pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkoba hal ini didasari pada Pasal 127 Ayat (1),(2), dan (3) yaitu :

Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,


(49)

31

Pasal 127 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 :

“Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”

Definisi yang terdapat Pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebenarnya bagi para pencandu narkotika dan Korban penyalahgunaan narkotika bisa atau dapat dijatuhi hukuman pidana rehabilitasi, baik itu rehabilitasi secara medis maupun rehabilitasi sosial.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari kaidah hukum, yaitu dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, asas-asas, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian prilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan penerapan pidana bersyarat rehabilitasi dalam tindak pidana pelaku pengguna narkotika.

B.Sumber dan Jenis Data

Ada pun data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau bersumber dari kegiatan penelitian langsung di lapangan, yang diperoleh melalui kegiatan wawancara dengan informan yang mengetahui tentang masalah dalam penelitian ini.


(51)

33

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang merupakan bahan baku dari penelitian yuridis normatif, menurut Soerjono Soekanto Di dalam penelitian hukum, Data Sekunder mencakup yang terdiri dari bahan huku primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1

a. Bahan hukum primer antara lain kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan Hukum sekunder meliputi, himpunan buku Petunjuk Pelaksanaan, Buku Petunjuk Lapangan.

c. Bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Kamus, Buku Literatur, website dan hasil Penelitian.

C.Penentuan Populasi dan Sampel

Dalam metode penelitian kata populasi, digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi masalah sasaran penelitian. Oleh karenanya, populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai,

1


(52)

34

peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapa menjadi sumber data penelitian.2

Penelitian ini yang menjadi populasi adalah aparat penega hukum yaitu Hakim dari Pengadilan Negeri Liwa, Pihak Kejaksaan dan Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penentuan pengambilan sample dalam penelitian ini digunakan metode “Purposive Sampling” adalah teknik penarikan sample yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai.

Adapun yang menjadi responden dalam peneitian ini adalah :

1. Hakim pengadilan Negeri Liwa : 2 orang

2. Jaksa Penuntut Umum di Kejari Negeri Liwa : 1 orang 3. Akademisi bagian hukum pidana, Fakultas Hukum, UNILA : 1 orang

4 orang D.Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Cara yang dipergunakan dalam pengumpulan data diperlukan prosedur sebagai berikut :3

2 Masyhuri dan M. Zainudin.Metodologi penelitian pendekatan praktis dan aplikatif

. PT. Refika aditama.2008, hlm 13

3


(53)

35

a. Studi kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan dengan membaca, mengutip bahan-bahan litelatur, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan dilakukan bertujuan untuk memperoleh data primer. Studi Lapangan dilakukan dengan cara Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara Lisan yang jawabanya dijawab secara lisan pula yang dilakukan langsung didepan tatap muka antara si pencari data dan sumber data.

2. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh penulis baik itu dari studi kepustakaan maupun dari studi lapangan maka dilakukan teknik pengolahan data sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah suatu kegiatan memeriksa, mengoreksi data yang telah didapat untuk menentukan perlu atau tidaknya data tersebut. Dan data yang dipilih harus merupakan data yang benar-benar memberikan sebuah jawaban yang tepat terhadap permasalahan.

b. Sistematisasi

Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan proses editing data.


(54)

36

c. Klasifikasi

Klasifikasi yaitu penggolongn data menurut sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, yang memudahkan untuk menganalisis data.4

E.Analisis Data

Setelah memperoleh data, metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah berbentuk kualitatif yaitu data yang telah didapat oleh peneliti sealnjutnya data diuraikan secara teratur, berurutan, logis, tidak tumpang tindih antara satu dengan yang lain, dan efektif sehingga memperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan penelitian. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu cara berpikir dari hal yang bersifat khusus untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum.

4 Ibid.


(55)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang telah diperoleh dalam penelitian, maka sebagai penutup dari pembahasan dan permasalahan dalam skripsi yang berjudul peini, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Putusan rehabilitasi pada kasus tindak pidana pengguna narkotika dalam penerapanya (Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW) adalah suatu putusan yang tidak termasuk dalam putusan pidana pokok ataupun pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP putusan rehabilitasi ini dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pemidanaan. Karena rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku pengguna narkotika adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Sedangkan menurut hasil penelitian yang telah dilakukan penulis terhadap putusan pidana rehabilitasi diharuskan


(56)

55

untuk masuk kedalam panti rehabilitasi atau tempat lain yang ditunjuk oleh majelis hakim untuk mengadakan suatu pengobatan rehabilitasi yang disertai dengengan perampasan hak-hak tertentu atas kemerdekaan yang dimilikinya. Dengan di tempatkan dalam suatu rumah atau tempat rehabilitasi tentunya itu akan membatasi dan akan mengurangi kegiatan sosialisasi/pergaulan yang dimiliki terpidana terhadap masyarakat, berdasarkan penelitian didapatkan pula bahwa terpidana yang telah dijatuhi putusan rehabilitasi memiliki kewajiban untuk melapor kepada penegak hukum sebagai pelaksanaan dari putusan itu sendiri. Menurut penulis putusan rehabilitasi ini merupakan gabungan antara adanya suatu tindakan upaya perbaikan terhadap seseorang (treatment) yang disertai adanya pidana karena adanya perampasan kemerdekaan terhadap terpidana dan keharusan adanya wajib lapor kepada penegak hukum.

2. Faktor penghambat dalam penerapan putusan pidana rehabilitasi (Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW) adalah sebagai berikut :

a. Faktor Hukum, tidak adanya suatu kepastian lamanya waktu yang diberikan terhadap putusan rehabilitasi pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membuat putusan rehabilitasi antara satu dan yang lain berbeda-beda sesuai ketentuan hakim saja. Serta tidak ada ketentuan pelaksanaan rehabilitasi yang telah dijatuhkan terhadap terdakwa.

b. Faktor Penegak Hukum, kurangnya pemahaman/penguasaan materi terhadap pemberian rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika agar tujuan dari rehabilitasi itu dapat berjalan sesuai tujuan utamanya serta tidak menutup kemungkinan adanya negosiasi antara penegak hukum dan terdakwa untuk mendapatkan putusan rehabilitasi agar terhindar dari jerat hukuman


(57)

56

penjara terhadap terdakwa, sehingga terjadi penyalahgunaan putusan rehabilitasi, sehingga putusan rehabilitasi ini tidak sesuai dengan tujuan semula yang diharapkan

c. Faktor Sarana dan Fasilitas, kurangnya tenaga ahli yang menempati disuatu daerah untuk menangani pongobatan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Tidak hanya masalah tenaga ahli yang kurang memadai, fasilitas-fasilitas dari tempat rehabilitasi yang kurang memadai juga dapat menghambat untuk dilakukannya proses rehabilitasi secara maksimal.

d. Faktor Masyarakat, masih adanya ketidak puasan masyarakat terhadap putusan rehabilitasi kepada pelaku tindak pidana pengguna narkotika, masyarakat berpendapat putusan rehabilitasi ini merupakan suatu upaya untuk menghindari pidana penjara saja. Masyarakat berpendapat ketika rehabilitasi selesai dijalani maka tidak menutup kemungkinan bagi mereka pelaku tindak pidana narkotika akan mengulangi kejahatanya tersebut atau dengan katalain tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh suatu kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Penerapan putusan rehabilitasi ini selanjutnya seharusnya ditetapkan sebagai suatu tindakan pemidanan bukan termasuk dalam pidana pokok ataupun pidana tambahan terhadap semua pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Karena pengguna narkotika bukan merupakan pelaku kejahatan melainkan seorang korban yang dianggap tidak jahat, penetapan ini dialakukan agar pelaku


(58)

57

pengguna tidak mendapat tekanan batin (mental) karena dianggap sebagai pelaku kejahatan. Serta rehabilitasi ini merupakan suatu kegiatan perbaikan terhadap seseorang pecandu narkotika agar orang tersebut menjadi lebih baik dan hilang dari ketergantungan narkotika tersebut serta tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang berasal dari faktor penegak hukum serta faktor sarana dan prasarana dapat diatasi dengan baik, baik oleh pemerintah ataupun aparaturnya sendiri agar dalam proses pelaksananaan putusan rehabilitasi ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan semula yang diharapkan.


(1)

a. Studi kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan dengan membaca, mengutip bahan-bahan litelatur, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan dilakukan bertujuan untuk memperoleh data primer. Studi Lapangan dilakukan dengan cara Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara Lisan yang jawabanya dijawab secara lisan pula yang dilakukan langsung didepan tatap muka antara si pencari data dan sumber data.

2. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh penulis baik itu dari studi kepustakaan maupun dari studi lapangan maka dilakukan teknik pengolahan data sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah suatu kegiatan memeriksa, mengoreksi data yang telah didapat untuk menentukan perlu atau tidaknya data tersebut. Dan data yang dipilih harus merupakan data yang benar-benar memberikan sebuah jawaban yang tepat terhadap permasalahan.

b. Sistematisasi

Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan proses editing data.


(2)

36

c. Klasifikasi

Klasifikasi yaitu penggolongn data menurut sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, yang memudahkan untuk menganalisis data.4

E.Analisis Data

Setelah memperoleh data, metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah berbentuk kualitatif yaitu data yang telah didapat oleh peneliti sealnjutnya data diuraikan secara teratur, berurutan, logis, tidak tumpang tindih antara satu dengan yang lain, dan efektif sehingga memperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan penelitian. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu cara berpikir dari hal yang bersifat khusus untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum.

4 Ibid.


(3)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang telah diperoleh dalam penelitian, maka sebagai penutup dari pembahasan dan permasalahan dalam skripsi yang berjudul peini, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Putusan rehabilitasi pada kasus tindak pidana pengguna narkotika dalam penerapanya (Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW) adalah suatu putusan yang tidak termasuk dalam putusan pidana pokok ataupun pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP putusan rehabilitasi ini dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pemidanaan. Karena rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku pengguna narkotika adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Sedangkan menurut hasil penelitian yang telah dilakukan penulis terhadap putusan pidana rehabilitasi diharuskan


(4)

55

untuk masuk kedalam panti rehabilitasi atau tempat lain yang ditunjuk oleh majelis hakim untuk mengadakan suatu pengobatan rehabilitasi yang disertai dengengan perampasan hak-hak tertentu atas kemerdekaan yang dimilikinya. Dengan di tempatkan dalam suatu rumah atau tempat rehabilitasi tentunya itu akan membatasi dan akan mengurangi kegiatan sosialisasi/pergaulan yang dimiliki terpidana terhadap masyarakat, berdasarkan penelitian didapatkan pula bahwa terpidana yang telah dijatuhi putusan rehabilitasi memiliki kewajiban untuk melapor kepada penegak hukum sebagai pelaksanaan dari putusan itu sendiri. Menurut penulis putusan rehabilitasi ini merupakan gabungan antara adanya suatu tindakan upaya perbaikan terhadap seseorang (treatment) yang disertai adanya pidana karena adanya perampasan kemerdekaan terhadap terpidana dan keharusan adanya wajib lapor kepada penegak hukum.

2. Faktor penghambat dalam penerapan putusan pidana rehabilitasi (Studi Kasus Putusan No: 130/Pid.B/2011/PN.LW) adalah sebagai berikut :

a. Faktor Hukum, tidak adanya suatu kepastian lamanya waktu yang diberikan terhadap putusan rehabilitasi pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membuat putusan rehabilitasi antara satu dan yang lain berbeda-beda sesuai ketentuan hakim saja. Serta tidak ada ketentuan pelaksanaan rehabilitasi yang telah dijatuhkan terhadap terdakwa.

b. Faktor Penegak Hukum, kurangnya pemahaman/penguasaan materi terhadap pemberian rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana pengguna narkotika agar tujuan dari rehabilitasi itu dapat berjalan sesuai tujuan utamanya serta tidak menutup kemungkinan adanya negosiasi antara penegak hukum dan terdakwa untuk mendapatkan putusan rehabilitasi agar terhindar dari jerat hukuman


(5)

penjara terhadap terdakwa, sehingga terjadi penyalahgunaan putusan rehabilitasi, sehingga putusan rehabilitasi ini tidak sesuai dengan tujuan semula yang diharapkan

c. Faktor Sarana dan Fasilitas, kurangnya tenaga ahli yang menempati disuatu daerah untuk menangani pongobatan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Tidak hanya masalah tenaga ahli yang kurang memadai, fasilitas-fasilitas dari tempat rehabilitasi yang kurang memadai juga dapat menghambat untuk dilakukannya proses rehabilitasi secara maksimal.

d. Faktor Masyarakat, masih adanya ketidak puasan masyarakat terhadap putusan rehabilitasi kepada pelaku tindak pidana pengguna narkotika, masyarakat berpendapat putusan rehabilitasi ini merupakan suatu upaya untuk menghindari pidana penjara saja. Masyarakat berpendapat ketika rehabilitasi selesai dijalani maka tidak menutup kemungkinan bagi mereka pelaku tindak pidana narkotika akan mengulangi kejahatanya tersebut atau dengan katalain tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh suatu kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Penerapan putusan rehabilitasi ini selanjutnya seharusnya ditetapkan sebagai suatu tindakan pemidanan bukan termasuk dalam pidana pokok ataupun pidana tambahan terhadap semua pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Karena pengguna narkotika bukan merupakan pelaku kejahatan melainkan seorang korban yang dianggap tidak jahat, penetapan ini dialakukan agar pelaku


(6)

57

pengguna tidak mendapat tekanan batin (mental) karena dianggap sebagai pelaku kejahatan. Serta rehabilitasi ini merupakan suatu kegiatan perbaikan terhadap seseorang pecandu narkotika agar orang tersebut menjadi lebih baik dan hilang dari ketergantungan narkotika tersebut serta tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan putusan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang berasal dari faktor penegak hukum serta faktor sarana dan prasarana dapat diatasi dengan baik, baik oleh pemerintah ataupun aparaturnya sendiri agar dalam proses pelaksananaan putusan rehabilitasi ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan semula yang diharapkan.