BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trauma - Gambaran Penanganan Kasus Trauma Gigi Permanen Oleh Dokter Gigi di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang

  18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma

  Trauma berasal dari kata Yunani yang berarti luka. Pengertian luka adalah cedera yang serius pada tubuh, sering timbul dari kekerasan atau kecelakaan, atau kejadian yang menyebabkan kecacatan. Trauma dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan memerlukan suatu pengambilan keputusan perawatan dengan segera serta melakukan keterampilan perawatan yang akan mempengaruhi prognosa dari gigi tersebut. The American Trauma Society mendefinisikan trauma sebagai suatu cedera yang disebabkan oleh tekanan fisik. Trauma dapat disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tenggelam, tembakan, luka bakar, penusukan atau

  10,11 serangan dari benda tumpul.

2.1.1 Trauma Gigi

  Trauma gigi adalah trauma yang terjadi pada mulut dan gigi, termasuk struktur mulut, seperti lidah, bibir dan pipi, merupakan cedera aksidental yang terjadi pada

  12,13 masa bayi, anak, remaja serta dewasa.

2.2 Epidemiologi dan Prevalensi

  Kasus trauma gigi masih terabaikan, walaupun prevalensi kasus ini cukup tinggi, serta dampaknya yang sangat signifikan terhadap individu dan masyarakat. Disamping itu penurunan yang luar biasa dari prevalensi dan keparahan dari karies gigi pada kalangan anak dibeberapa negara maju, tetapi kasus trauma gigi cenderung meningkat. Melihat kecenderungan itu beberapa negara memberikan perhatian khusus

  2 pada penanganan kasus trauma gigi.

  Distribusi kejadian pada trauma gigi bervariasi diberbagai periode kehidupan. Distribusi ini bervariasi tergantung pada lokasi, tingkat sosial ekonomi, kebiasaan dan kultur serta tergantung dengan metode dan klasifikasi yang digunakan dalam suatu penelitian prevalensi dan insiden. Hal ini berkaitan dengan beragam aktivitas sosial, olah raga dan berbagai aktivitas kebudayan yang menyebabkan terjadinya trauma

  6 gigi, bahkan di Australia terdapat perbedaan yang signifikan antar komunitas.

  Trauma gigi yang paling sering terjadi pada gigi sulung antara usia 2-4 tahun

  14

  serta pada gigi permanen 8-10 tahun. Kecelakaan di dalam dan di sekitar rumah serta sekolah adalah penyebab utama dari trauma gigi dengan kondisi injuri yang berbeda-beda seperti fraktur sederhana sampai kehilangan gigi. Berbagai penelitian telah memastikan bahwa prevalensi trauma gigi, lebih tinggi pada pasien yang memiliki nilai overjet insisivus, overbite, open bite yang besar serta pada pasien kelas

15 II divisi 1.

  Baghdadi et.al, melaporkan prevalensi trauma gigi anak di Baghdad pada usia 6-12 tahun sebesar 7,7%. Al-Sayyab melaporkan trauma gigi anterior di daerah pedesaan Irak pada anak usia 2-13 tahun sebesar 15,3% dan Al-Hayadi melaporkan

  15 prevalensi trauma gigi pada usia 4-15 tahun sebesar 29,6% di wilayah pusat Irak.

  Insidensi trauma gigi pada usia antara 0-19 tahun di Swedia adalah 13,2% per 1000 orang dalam satu tahun. Sebanyak 14% tercatat sebagai complicated Traumatic

  Dental Injury (TDI) pada gigi permanen dengan trauma pada pulpa atau ligamen

  8 periodontal.

  Kejadian trauma berdasarkan jenis kelamin berbeda disetiap negara, namun secara umum ditemukan bahwa anak laki-laki cenderung dua kali lebih besar

  2

  dibandingkan anak perempuan. Penelitian Noori dan Al-Obaidi melaporkan hal yang berbeda bahwa 50,8% trauma gigi terjadi pada anak laki-laki dan 49,2% tejadi pada

  15

  anak perempuan pada usia 6-13 tahun. Jokic melaporkan dari 447 pasien berusia 6- 25 tahun pada periode 2001-2006 terjadi trauma gigi pada anak laki-laki 56,2% dan 43,8% pada anak perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki lebih agresif dalam melakukan aktifitas olahraga dan kebiasaan atau permainan mereka lebih

  14 menantang, berbahaya dan berisiko tinggi.

  Berdasarkan gigi geligi yang terlibat dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa kebanyakan trauma hanya melibatkan satu gigi permanen dan gigi yang paling sering terkena adalah gigi insisivus sentralis maksila namun terdapat kemungkinan

  20 trauma mengenai trauma lebih dari satu gigi. Noori dan Al-Obaidi melaporkan bahwa insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling sering terkena trauma gigi diikuti gigi insisivus sentralis mandibula dan gigi insisivus lateralis maksila. Gigi geligi anterior disebelah kanan pada maksila lebih sering terkena dibandingkan

  15

  dengan gigi disebelah kiri. Ingel et.al, melaporkan bahwa dari 600 anak sekolah pada usia 11-13 tahun di Chenai, insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling sering fraktur 72,2%, insisivus lateralis maksila 12,7%, insisivus sentralis mandibula 7,6%, kaninus maksila 5,1%, insisivus lateralis mandibula 1,3%, kaninus

  16 mandibula 1,3%.

  Hal di atas merupakan hal yang wajar mengingat gigi insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling protrusif, sehingga gigi tersebut mudah terkena berbagai objek, gigi yang pertama kali terbentur ketika jatuh dan gigi insisivus permanen maksila merupakan gigi yang pertama kali erupsi pada usia 6-7 tahun, dan gigi tersebut telah ada sejak anak mulai bermain atau melakukan aktifitas di sekolah. Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin pada Sekolah Dasar di

15 Kota Sulaimani, Irak

  Jenis kelamin Kelompok usia Laki-Laki, n (%) Perempuan, n (%) Total, n (%)

6-7 641 (16) 684 (17) 1325 (33)

8-9 630 (15.7) 623 (15.5) 1253 (31.2)

  

10-11 594 (14.8) 555 (13.8) 1149 (28.6)

12-13 175 (4.4) 113 (2.8) 288 (7.2)

Total 2040 (50.8) 1975 (49.2) 4015 (100)

  Tabel 2. Distribusi trauma gigi berdasarkan jenis dan regio gigi pada Sekolah Dasar

15 Kota Sulaimani, Irak

  

Kanan (%) Kiri (%)

Total Posisi Insisivus Insisivus Insisivus Insisivus Kaninus

  Kaninus (%)

Lateralis Sentralis Sentralis Lateralis

  314 Maksila 1 (0.3) 3 (0.9) 165 (49.1) 131 (39) 11 (3.3) 3 (0.9) (93.5)

Mandibula 1 (0.3) 3 (0.9) 6 (1.8) 11 (3.3) 1 (0.3) 0 (0) 93 (38.3)

  179 336 Total 157 (46.7)

  (53.3) (100) Tabel 3. Distribusi trauma gigi berdasarkan jenis dan regio gigi di kota Maduravoyal,

16 Chennai India

  Kanan (%) Posisi Insisivus Insisivus Kaninus Lateralis Sentralis Maksila 5,1 12,7 72,2 Mandibula 1,3 1,3 7,6

2.3 Etiologi

  Trauma gigi disebabkan karena adanya benturan yang dapat menimbulkan energi mekanis yang cukup memproduksi suatu injuri. Setiap objek, yang bergerak atau tidak bergerak, bernyawa atau tidak bernyawa dalam pergerakannya memiliki energi yang tergantung pada masa dan kecepatan. Peningkatan pada masa atau kecepatan akan meningkatkan energi, oleh sebab itu sangat relevan untuk mengerti bahwa pergerakan dan keadaan dapat membangkitkan energi mekanis dan bisa menimbulkan trauma. Kekerasan, olahraga dan kecelakaan lalu lintas, dan jatuh merupakan penyebab dari trauma gigi. Penyebab trauma ini mengarahkan bahwa

  2 faktor lingkungan dan faktor tingkah laku merupakan penyebab dari trauma gigi.

2.3.1 Faktor Lingkungan

  Penyebab utama trauma gigi dari lingkungan adalah hilang atau berkurangnya lahan bermain. Data di Inggris menunjukkan bahwa prevalensi trauma gigi lebih tinggi pada daerah yang mempunyai lahan bermain sedikit dengan daerah yang memiliki lahan bermain lebih luas, contoh prevalensi trauma gigi di Newham sebesar 43,8% dan 34,4% di Bury dan Salford sedangkan jika dibandingkan dengan prevalensi trauma gigi keseluruhan di Inggris hanya berkisar 17%-15%. Sebagai tambahan, area bermain anak yang terbatas pada daerah yang kurang lahan bermain lebih cenderung terkena trauma dibandingkan dengan anak yang memilki lahan

  2

  bermain yang cukup. Daerah padat penduduk merupakan salah satu faktor terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena arena bermain yang mereka miliki kurang aman.

  22 Begitu juga dengan fasilitas olahraga, jalan yang sempit, dan daerah perumahan yang tidak nyaman. Lingkungan ini memfasilitasi terjadinya benturan yang dapat

  2 menyebabkan trauma.

  FAKTOR FAKTOR MANUSIA LINGKUNGAN

  VEKTOR (ENERGI MEKANIS)

TRAUMA CEDERA GIGI

  2 Gambar 1. Bagan terjadinya trauma

2.3.2 Faktor Perilaku Perilaku juga memilki peran yang sangat penting untuk terjadinya trauma gigi.

  Anak yang terlalu aktif lebih cenderung mempunyai risiko yang tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak aktif. Lallo cited in Glendor melaporkan bahwa anak yang hiperaktif secara signifikan jauh lebih banyak mengalami trauma gigi dari pada anak

  2 yang non-hiperaktif.

  Di seluruh dunia, aktivitas fisik, tingkat kekerasan dan kecelakaan lalulintas tercatat sebagian besar sebagai penyebab trauma gigi. Penggunaan gigi dengan tidak sesuai seperti menggigit benda-benda keras dan aktifitas kasar lainnya dapat

  2 menyebabkan terjadinya trauma gigi, tetapi dalam tingkat yang kecil.

2.3.3 Faktor Tidak Disengaja

  a) Jatuh dan Benturan

  Jatuh, benturan dan tertimpa oleh suatu benda merupakan penyebab utama dari trauma gigi. Rumah dan lingkungan adalah tempat yang sering terjadinya trauma dan

  2,4,18

  penting untuk mengetahui penyebab jatuh dan benturan yang yang terjadi. Yi Gong melaporkan bahwa 39,6% pasien gawat darurat trauma gigi yang berobat ke

  18 rumah sakit gigi dan mulut di kota Beijing disebabkan oleh jatuh.

  b) Aktifitas Olah Raga

  Penyebab utama yang terjadi pada kasus trauma gigi di waktu luang pada usia remaja adalah olahraga. Federation Dentaire International (FDI) telah mengkelompokkan olahraga kedalam dua kategori yang berisiko untuk terjadinya trauma gigi: olahraga dengan risiko tertinggi yaitu American football, Hockey, ice

  

hockey, lacrosse , beladiri, rugby, dan skating; dan olahraga dengan risiko yang

  sedang seperti bola basket, renang, squash, senam, parachutting dan polo air. Olah raga kontak seperti ice hockey, soccer, baseball, American football, baseball, rugby, gulat dan hanball telah dikonfirmasi merupakan olahraga yang dapat menyebabkan

  2 trauma.

  c) Kecelakaan Lalulintas

  Kecelakaan lalulintas seperti pejalan kaki, sepeda dan mobil dapat menyebabkan trauma gigi. Cedera wajah dan gigi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor lebih sering terkena pada remaja dan pada kursi penumpang yang di depan lebih rentan terkena cedera. Trauma dalam kelompok ini lebih mendominasi dari berbagai trauma gigi, trauma yang mengenai struktur tulang pendukung, jaringan lunak seperti bibir bawah dan dagu. Penelitian kecelakaan lalulintas di jalan dari Nigeria menunjukkan bahwa penumpang yang duduk di kursi belakang lebih sering terkena trauma pada rahang atas. Pemberlakuan batas kecepatan, pemakaian sabuk pengaman, air bags, dan mobil dengan memiliki bangku khusus untuk anak akan angka trauma. Trauma yang disebabkan oleh sepeda telah dilaporkan. Trauma ini

  24 biasanya cukup berat dan mengenai jaringan keras dan jaringan lunak, dampak dari

  2 vektor kecepatan.

  d) Penggunaan Gigi Tidak Sesuai Fungsi

  Ada beberapa penelitian yang memasukkan hal ini ke dalam kategori etiologi dikarenakan masih banyak orang menggunakan gigi ini tidak sesuai fungsinya. Nicolau et al, melaporkan bahwa 6% trauma gigi disebabkan karena penggunaan gigi yang tidak sesuai fungsi. Umumnya penggunaan gigi tidak sesuai fungsi telah banyak dijelaskan diberbagai literatur, seperti menggigit pulpen, membuka penjepit rambut, membuka bungkusan makanan ringan, memotong atau menahan objek dan membuka

  2 tutup botol.

  e) Penyakit dan Berkebutuhan Khusus

  Penyakit yang menyerang merupakan kasus yang langka sebagai penyebab trauma gigi, umumnya penyakit yang diderita adalah epilepsi, cerebral palsy, anemia dan sakit kepala. Sebuah penelitian dari 437 pasien pada sebuah lembaga melaporkan 52% mengalami trauma gigi. Sepertiga dari kasus kejadian trauma gigi berulang pada sebagian pasien berhubungan langsung dengan pasien yang terkena epilepsi. Pada penelitian lainnya pada pasien epilepsi melaporkan selama setahun pasien yang

  2 menderita epilepsi mengalami trauma gigi sebesar 10%.

2.3.4 Faktor Disengaja

a) Kekerasan Fisik

  Kekerasan fisik merupakan penyebab yang sangat tragis dari trauma mulut pada anak. Dilaporkan bahwa kekerasan fisik terjadi sekitar 0,6% anak dan 10% diantaranya merupakan trauma yang melibatkan gigi. Pada tahun 1972 di New York dilaporkan terjadi sekitar 5200 kasus kekerasan pada anak. 20 tahun kemudian di Amerika dilaporkan sekitar 2.694.000 anak mengalami kekerasan fisik oleh orang tua atau wali mereka. Diperkirakan sekitar 4000-6000 anak di Amerika Serikat meninggal akibat penganiayaan. Sekitar 75% anak yang mengalami kekerasan fisik yang sebagian besar yang mengunjungi rumah sakit terkena cedera kepala, wajah, mulut atau leher. Hasil pemeriksaan yang didapat sangat fatal, seperti adanya perdarahan intrakranial. Dokter gigi telah melihat 16-29% kasus kekerasan, tetapi

  2 hanya 6-14% yang dokter gigi yang melaporkan kasus tersebut.

b) Tindakan Iatrogenik Kedokteran Gigi

  Insiden yang terjadi dari kasus perianesthetic trauma gigi bervariasi dari 0,04% hingga 12% dan anestesi dianggap merupakan kasus yang paling sering diklaim di Inggris dan sepertiga yang diklaim dari semua kasus yang ada. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di Prancis melaporkan bahwa terjadi 9,5 kasus dari 100 kali anestesi dalam satu tahun. Sedangkan penelitian yang lain melaporkan kasus yang terjadi pertahunnya sekitar 1:150 hingga 1:1000 kasus. Umumnya gigi yang terkena adalah insisivus maksila merupakan yang sering terkena, khususnya gigi 21. Skeie dan Schwartz melaporkan spektrum gigi yang trauma akibat perianesthetic yang terjadi adalah 47%, disposisi atau mobility 41% dan gigi yang avulsi 10%. Givol

  

et al melaporkan bahwa 72% pasien yang berusia antara 50-70% umumnya

mengalami trauma pada insisivus maksila (87%) dan insisivus mandibula (12,5%).

  2 Sebagian besar faktor risiko trauma yang terjadi karena dentin yang tipis.

2.4 Klasifikasi Trauma Gigi

  Terdapat beberapa klasifikasi trauma gigi, diantaranya adalah klasifikasi

  18 Andreasen, WHO, Garcia-Godoy, serta klasifikasi Ellis Davey. Klasifikasi yang

  dipakai dalam penelitian ini adalah klasifikasi Andreasen yang diadopsi oleh WHO, yang membagi klasifikasi berdasarkan trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan pulpa, kerusakan pada jaringan periodontal, kerusakan jaringan tulang pendukung,

  1 serta kerusakan pada gingiva dan mukosa mulut.

2.4.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi

  1) Crown infraction adalah fraktur pada mahkota yang hanya mengalami keretakan saja, tanpa adanya kehilangan dari struktur lain dari gigi. Garis infraksi

  26 terlihat jelas, terutama dengan transiluminasi, biasa terlihat garis yang jelas pada

  19-23 mahkota gigi dan gambar radiografi.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 2. Crown Infraction: (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi 22 (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  2) Uncomplicated crown fracture (enamel fracture) adalah fraktur yang hanya

  19-23 mengenai daerah lapisan enamel saja.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 3. Uncomplicated crown fracture (enamel farcture) (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal 22 (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  3) Uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) adalah fraktur yang mengenai enamel dan dentin tetapi tidak mengenai pulpa dan disertai dengan adanya kehilangan pada bagian dari gigi baik pada enamel atau dentin, maupun

  19-23 kehilangan dari keduanya.

  4

  5

  1

  2

  3 Gambar 4. Uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) (1) Tampak depan (2)

  Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar 22 radiografi.

  4) Complicated crown fracture adalah fraktur pada enamel dan dentin serta telah mengenai pulpa dan ada ditemukannya kehilangan struktur gigi dengan pulpa

  19-23 terpapar.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 5. Complicated crown fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan 22 animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  5) Uncomplicated crown-root fracture adalah fraktur yang mengenai atau yang melibatkan enamel, dentin, sementum tanpa adanya mengenai pulpa disertai dengan adanya kehilangan dari struktur gigi tanpa disertai dengan terlihatnya pulpa. Fraktur

  19-23 meluas hingga daerah gingiva cekat.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 6. Uncomplicated crown-root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak 22 depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  28 6)

  Complicated crown-root fracture adalah fraktur yang mengenai enamel,

  19-23 dentin, sementum, hingga mencapai pulpa.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 7. Complicated crown-root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan 22 animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  7) Root fracture adalah fraktur yang mengenai enamel, dentin, sementum dan

  19-23 pulpa.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 8. Root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi 22 (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

2.4.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  1) Concussion adalah cedera pada gigi atau struktur di sekitar gigi tanpa adanya

  19-23 mobilitas dan perpindahan gigi, tetapi memiliki rasa sakit ketika diperkusi.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 9. Concussion (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak 22 lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  2) Subluxation (loosening) adalah cedera pada periodonsium tanpa adanya

  19-23 disposisi pada gigi tetapi disertai dengan sedikit mobiliti.

  1

  2

  3

  4

  5 Gambar 10. Subluxation (loosening) (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan 22 animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  3) Intrusive luxation adalah perpindahan bagian apikal gigi ke dalam tulang alveolar. Gigi terdorong ke dalam soket, menekan ligamen periodontal dan akibat dari fraktur tersebut hancurnya soket alveolar. Di bawah ini adalah gambar dari intrusive

  luxation . Cedera ini merupakan cedera yang paling serius diantara yang disposisi 19-23 apikal lainnya.

  4

  5

  1

  2

  3 Gambar 11. Intrusive luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi 22 (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  4) Extrusive luxation adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya disposisi pada gigi secara aksial dari soketnya dan terjadinya avulsi secara parsial. Biasanya pada

  19-23 daerah ligamen periodontal pecah.

  30

  1

  2

  3

  5

  4 Gambar 12. Extrusive luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi

  (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi

  5) Lateral luxation adalah disposisi pada gigi selain dari arah aksial. Ligamen

  19- periodontal robek dan memar dan patahnya tulang pendukung dari tulang alveolar.

  23

  2

  1

  3

  5

  4 Gambar 13. Lateral luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi 22 (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.

  6) Exarticulation (complete luksasi/avulsion) adalah kondisi dimana keadaan gigi keluar dari soketnya. Secara klinis soket ditemukan kosong atau diisi dengan

  19-23 koagulum.

  4

  1

  2

  3

  5 Gambar 14. Avulsion (1) Tampak depan, (2) Tampak oklusal, (3) Tampak depan animasi, (4) Tampak 22 lateral animasi, (5) Gambar radiografi.

  2.4.3 Kerusakan pada Gingiva dan Mukosa Mulut

  1) Laserasi adalah luka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut seperti robeknya jaringan

  2 epitel dan jaringan subepitel.

  2) Kontusio adalah luka memar disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan meyebabkan terjadi perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai robek daerah

  2 submukosa.

  3) Abrasi adalah luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena adanya gesekan atau goresan pada suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah

  2 atau lecet.

  1

  

2

  3 Gambar 15. Kerusakan pada gingiva dan mukosa 2 (1) Laserasi, (2) Kontusi, (3) Abrasi.

  2.4.4 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung

  1) Comminution of the maxillary and mandibular alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi yang terjadi pada soket alveolar. Hal ini dapat dilihat pada

  2 kasus intrusi dan luksasi lateral.

  2) Fraktur soket alveolar maksila dan mandibula adalah fraktur tulang alveolar pada maksila dan mandibula yang melibatkan dinding soket labial atau

  2 lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

  3) Fraktur prosesus alveolaris maksila dan mandibula adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris pada maksila dan mandibula dengan atau tanpa

  2 melibatkan soket alveolar gigi.

  32 4)

  Fraktur korpus maksila dan mandibula adalah fraktur pada korpus maksila dan mandibula yang melibatkan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan

  2 soket alveolar gigi.

  2

  4

  3

  1

  5

  6 Gambar 16. Kerusakan pada jaringan tulang pendukung (1) Comminution of alveolar socket, (2)

  Fractures of facial or lingual alveolar socket wall , (3) dan (4) fraktur proses alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi, (5) dan (6) fraktur korpus maksila atau 2 mandibula dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

2.5 Pemeriksaan

  Trauma gigi merupakan keadaan yang harus ditangani dengan baik untuk mengembalikan fungsi gigi yang terkena trauma. Prognosis yang baik pada trauma

  23 gigi tidak hanya bergantung pada jenis trauma tetapi juga pada terapi yang tepat.

  Terapi yang benar tergantung pada diagnosa yang tepat. Diagnosa yang tepat dapat diperoleh dengan berbagai pemeriksaan yang kompleks, seperti pemeriksaan klinis, riwayat trauma pasien dan radiologi gigi. Informasi yang diperoleh dari berbagai seluruh pemeriksaan akan membantu dokter gigi dalam menentukan diagnosa trauma

  24 dan menentukan prioritas perawatan yang dilakukan.

2.5.1 Pemeriksaan Klinis

  Pemeriksaan klinis yang memadai tergantung pada pemeriksaan dari seluruh daerah yang terkena trauma dan penggunaan pemeriksaan khusus trauma. Prosedur

  24

  diagnostik dapat disimpulkan seperti berikut : 1.

  Pencatatan luka ekstra oral dan pengambilan anamnese 2. Pencatatan cedera pada mukosa dan gusi

  3. Pemeriksaan pada mahkota gigi untuk melihat adanya dan besarnya keretakan, pemaparan pulpa serta perubahan warna.

  4. Pencatatan perpindahan gigi (seperti, intrusi, ekstrusi, perpindahan lateral atau avulsi)

  5. Gangguan pada oklusi 6.

  Mobiliti yang abnormal pada gigi atau adanya fragmen pada tulang alveolar 7. Melakukan palpasi untuk mengetahui keadaan tulang alveolar 8. Melakukan perkusi untuk mengetahui keterlibatan jaringan pendukung gigi 9. Melakukan tes termal untuk mengetahui vitalitas gigi.

2.5.2 Pemeriksaan Riwayat Pasien

  Informasi yang dibutuhkan seperti kapan, dimana, dan bagaimana trauma gigi terjadi dapat diperoleh dari pasien atau pendamping pasien. Waktu kapan terjadinya trauma gigi sangat penting diketahui karena informasi ini akan mempengaruhi jenis perawatan yang akan dilakukan serta prognosis dari kasus trauma tersebut. Tentukan bagian rongga mulut yang terlibat dan perluasan trauma gigi. Jika pasien atau pendamping melaporkan adanya fragmen gigi yang hilang, dapat ditanyakan apakah

  25 ada fragmen gigi atau gigi avulsi tersebut juga dibawa ke klinik.

  Perlu ditanyakan beberapa tanda-tanda adanya trauma pada kepala. Trauma pada kepala merupakan hal yang paling umum mengakibatkan kematian. 25%-50% dari seluruh kecelakaan pada anak sampai usia 14 tahun meliputi cedera pada kepala. Tanda-tanda cedera pada kepala yang harus dipertanyakan meliputi: hilang kesadaran sewaktu terjadinya trauma, perdarahan pada kepala atau telinga, adanya disorientasi, sakit kepala yang berkepanjangan, kehilangan penglihatan atau pupil yang dilatasi, kejang, kesulitan berbicara. Semua informasi yang diperoleh dari pencatatan ini

  25 dimasukkan kedalam rekam medik khusus trauma seperti di bawah ini.

  34

  REKAM MEDIK PADA TRAUMA GIGI AKUT Nama Pasien : …………………………………………………………… Tanggal Lahir : …………………………………………………………… Tanggal pemeriksaan : …………………………………………………………… Waktu pemeriksaan : …………………………………………………………… Yang Merujuk : …………………………………………………………… Diagnosa : ……………………………………………………………

  Apakah ada rasa nyeri pada gigi terhadap udara dingin ? Ya Tidak Jika ya, gigi yang mana ? ………………………………………………………………………… Apakah ada rasa sakit pada saat oklusi ? Ya Tidak Pemeriksaan riwayat umum: apakah terdapat penyakit sistemik Ya Tidak

  Jika Ya, jelaskan………………………………………………............................................. Apakah ada alergi ? Ya Tidak Jika Ya, jelaskan…………………………………………………………………………… Pernahkah anda melakukan suntik anti tetanus ? Ya Tidak Jika ya, kapan ?……………………………………………………………………………..

  Apakah sebelumnya saudara pernah mengalami trauma gigi ? Ya Tidak Jika ya, Kapan ?……………………………………………………………………………………..

  Gigi mana yang terkena trauma ? Perawatan yang diberikan dan siapa tenaga medisnya ? ……………………………….

  Trauma pada saat ini : ………………………………………………………………. Tanggal : …………………….. Waktu : …………………. Lokasi kejadian : ……………………………………………………………….. Proses kejadian : ……………………………………………………………….. Apakah kamu pernah sakit kepala atau merasakan sakit pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pernah mual atau merasakan mual pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pernah muntah atau muntah pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pingsan pada saat kecelakaan ? Jika ya, berapa lama ?

  Ya Tidak Dapatkah kamu mengingat apa yang terjadi, sebelum, pada saat atau setelah kecelakaan ?

  Ya Tidak Jika Ya, apa saja yang kamu ingat : ………………………………………………………….. Jika ya, gigi yang mana ? ………………………………………………………………………… Apakah pernah melakukan perawatan pada di tempat yang lain ? Ya Tidak Setelah avulsi, berikut informasi yang dibutuhkan : Di mana gigi di temukan (tanah, aspal, lantai, dan lain-lain) ? …………………………………... Apakah gigi kotor ? Ya / Tidak Bagaimana anda menyimpan gigi tersebut ? ……………………………………………………... Bagaimana anda membersihkan gigi tersebut sebelum dipasangkan kembali ? …………………. Kapan gigi tersebeut di pasangkan kembali ? …………………………………………………….. Apakah diberikan antitoxoid tetanus ? …………………………………………………………… Apakah diberikan antibiotik ? …………………………………………………………………….. Jenis antibiotik ? ………………………………………………………………………………….. Dosis ? …………………………………………………………………………………………….

  Pemeriksaan objektif – yang ditemukan pada pemeriksaan ekstraoral Apakah kondisi umum pasien terganggu ? Ya Tidak Jika Ya :

  Nadi

  • Tekanan darah
  • Reflex pupil
  • Kondisi serebral
  • Temuan objektif pada bagian luar kepala dan leher ? Ya Tidak Jika Ya, jenis dan lokasinya ? ………………………………………………………………… Temuan objektif pada bagian dalam kepala dan leher ? Ya Tidak Jika Ya, jenis dan lokasinya ?
  • 2 Gambar 17. Rekam medik khusus trauma

    2.5.3 Pemeriksan Fisik Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk memeriksa keseluruhan tubuh.

      Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan ekstra oral dan intra oral yaitu pemeriksaan

      36 luka pada ekstra oral dan palpasi pada tulang wajah, luka pada mukosa dan gingiva, palpasi pada tulang alveolar, disposisi gigi, oklusi yang abnormal, keadaan gigi yang

      25

      terkena trauma, mobiliti dan vitalitas dari gigi. Pembersihan pada luka atau debris harus dilakukan secara hati-hati. Tes vitalitas dilakukan dengan menggunakan es,

      

    thermal test , heated gutta-percha, ethyl chlorida. Penilaian pada beberapa syaraf

      kranial yang termasuk pada trauma wajah yaitu: persarafan olfaktorius, optikus,

      24 trigeminal, okulomotorius, facialis, hypoglous dan lainnya.

    2.5.4 Pemeriksaan Radiografi Setiap gigi yang terkena trauma harus dilakukan pemeriksaan radiografi.

      Pemeriksaan ini memiliki dua tujuan yaitu melihat pembentukan dan perkembangan akar gigi serta melihat seberapa dekat trauma tersebut mengenai gigi dan jaringan periodontal. Pemeriksaan radiografi dibutuhkan untuk melihat perkembangan akar gigi fraktur akar, mengetahui subluksasi dan luksasi ektrusi dan intrusi gigi serta fraktur tulang alveolar. Pengambilan radiografi dari sudut yang berbeda terkadang dibutuhkan juga untuk pemeriksaaan yang akurat dan tergantung pada jenis fraktur

      23-25 dan dislokasi gigi dan fraktur akar.

      Metode yang ideal adalah penggunaan tiga gambaran radiografi periapikal dengan angulasi yang berbeda dan satu foto oklusal. Foto panoramik diindikasikan pada kasus fraktur rahang atau adanya masalah pada TMJ. Khusus pada kasus LeFort 1,2,3 disarankan menggunakan conventional computed tomograph (CT) scanning. Sekarang teknik Micro CT scanning telah diperkenalkan yang mempunyai resolusi yang optimal serta tingkat radiasi yang lebih rendah. Mendiagnosa secara tiga dimensi, dan sangat Micro CT scanning dapat digunakan. penting dan sangat

      23-25 dianjurkan.

    2.6 Perawatan

      Perawatan yang dilakukan pada kasus trauma adalah perawatan yang sesuai

      

    guidelines dari Andreasen. Perawatan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu perawatan pada gigi sulung dan perawatan pada gigi permanen. Perawatan pada gigi permanen meliputi perawatan pada kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa serta struktur

      23,25 jaringan pendukung.

      Perawatan pada kasus enamel infraction, dilakukan perawatan dengan menggunakan resin komposit untuk mencegah terjadinya perubahan warna, jika tidak ada tidak perlu perawatan. Tujuan perawatannya untuk menjaga integritas dari struktur enamel dan vitalitas pulpa. Progonosis kasus ini tidak dijumpai adanya

      18, 20-22 komplikasi.

      Perawatan yang dilakukan pada kasus complicated crown fracture adalah untuk

      9 menjaga vitalitas pulpa dan mengembalikan estetika dan fungsi normal dari gigi.

      Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi

      18, 20-22 parsial.

      Perawatan pada kasus uncomplicated crown fracture (enamel fracture) adalah jika masih terdapatnya fragmen gigi, maka fragmen tersebut dilekatkan kembali pada gigi tersebut. Lakukan penghalusan atau merestorasi kembali dengan resin komposit

      18, 20-22 tergantung pada lokasi dan luasnya fraktur.

      Perawatan pada kasus uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) adalah untuk mempertahankan vitalitas pulpa dan mengembalikan estetika serta mengembalikan fungsi secara normal. Jika bibir, lidah dan gingival terluka, harus dilakukan pemeriksaan pada fragmen gigi. Ketika menemukan laserasi pada pada

      9

      jaringan lunak, maka perlu dilakukan pemeriksaan radiografi. Jika fragmen gigi masih ada, maka dapat dilekatkan kembali pada gigi yang fraktur tersebut dan pengkonturan atau merestorasi dengan resin komposit dapat dilakukan tergantung

      18, 20-22 pada luas dan lokasi dari fraktur.

      Pada kasus concussion tidak memerlukan perawatan yang spesifik tetapi hanya melakukan perawatan pada proses penyembuhan pada ligamen periodontal dan

      18, 20-22 menjaga vitalitas pulpa serta memantau kondisi pulpa selama satu tahun.

      Perawatan pada kasus subluxation (loosening) tergantung pada derajat kegoyangannya, jika terdapat kegoyangan gigi hanya derajat satu maka tidak membutuhkan perawatan yang khusus, tetapi bila kegoyangan gigi lebih dari satu

      38 dereajat maka untuk mendapatkan kenyamanan pada gigi pasien, dilakukan

      18, 20-22 perawatan selama dua minggu dengan menggunakan splinting yang fleksibel.

      Perawatan pada kasus intrusive luxation dapat dilakukan perawatan mereposisi gigi secara pasif (mengembalikan posisi gigi pada posisi sebelum kejadian), pengembalian posisi secara aktif (reposisi dengan menggunakan daya tarik), atau pembedahan dan kemudian menstabilkan posisi gigi dengan menggunakan splinting selama 4 minggu pada posisi anatomi fisiologisnya untuk mengoptimalkan proses penyembuhan pada ligamen periodontal dan suplai neurovascular serta tetap menjaga integritas fungsi gigi dan pada gigi permanen yang berpotensi erupsi kembali hanya dilakukan observasi intrusi lebih dari 3 mm, dengan tujuan agar terjadi erupsi secara spontan. Pada gigi permanen tujuannya adalah mereposisikan gigi dengan perawatan ortodontik dan diawali dengan perawatan endodontik dalam tiga minggu setelah

      18, 20-22 trauma.

      Perawatan extrusive luxation yaitu melakukan reposisi pada gigi yang terlibat secepat mungkin kemudian menstabilkan gigi pada posisi anatomi yang benar untuk mengoptimalkan proses penyembuhan pada daerah ligamen periodontal dan suplai neurovascular untuk menjaga integritas estetik dan fungsional. Reposisi tersebut dilakukan dengan cara memberikan tekanan pada daerah apikal dengan pelan namun pasti secara bertahap dengan menghilangkan gumpalan darah yang terbentuk di

      18, 20-22 antara apeks akar dan dasar soket. Splin dilakukan selama dua minggu.

      Perawatan yang dilakukan pada kasus lateral luxation adalah melakukan reposisi sesegera mungkin dan menstabilkan gigi pada posisi fisiologis anatominya agar proses penyembuhan pada ligamen dapat dilakukan secara optimal dan menjaga suplai neurovascular integritas estetik dan fungsional. Reposisi dilakukan dengan menggunakan tekanan digital ringan. Gigi yang yang mengalami disposisi mungkin perlu dilakukan ekstruksi untuk membebaskan gigi dari kunci apikal pada pelat tulang kortikal. Splinting dilakukan selama dua sampai empat minggu kemudian dilakukan perawatan saluran akar sesuai dengan kondisi pertumbuhan dan

      18, 20-22 perkembangan akar gigi yang terkena trauma. Perawatan yang diberikan pada pasien dengan kasus exarticulation (completed

      

    luksasi/avulsion) pada gigi permanen sebaiknya gigi yang avulsi segera dimasukkan

      kembali kedalam soket dan gigi tersebut diposisikan pada lokasi anatomi yang benar agar penyembuhan pada ligamen periodontal dapat optimal, kemudian dilakukan perawatan saluran akar sesuai kondisi pertumbuhan dan perkembangan akar gigi yang

      18, 20-22 terkena trauma.

      Fraktur tulang pendukung sering melibatkan tulang alveolar gigi yang trauma atau pada tulang alveolar gigi tetangga. Fraktur ini sering menyebabkan gangguan oklusal. Perawatan yang dilakukan adalah mereposisi segmen tulang alveolar dan dilakukan splin pada gigi tetangga yang terdekat selama 2-4 minggu. Informasikan kepada orang tua, agar anak melaksanakan program diet lunak selama 10-14 hari dan menyikat gigi dengan bulu sikat yang lembut setelah selesai makan. Pengontrolan dilakukan setelah 1 minggu, setelah 3-4 minggu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi disertai dengan pembukaan splinting. Pemeriksaan klinis dan radiografi dilakukan kembali setelah 6-8 minggu, kemudian tetap dilakukan control

      18, 20-22 berkala.

      40

      2.7 Kerangka Teori

      2.8 Kerangka Konsep

      Trauma Gigi Permanen Berdasarkan Klasifikasi Andreason yang di Adopsi oleh WHO

      Perawatan Trauma Gigi Permanen oleh Dokter Gigi

      Perawatan Emerjensi Klasifikasi Andreasen- WHO Trauma Gigi

      Gigi Permanen Gigi Sulung Faktor Predisposisi

      Faktor Etiologi Anak Pencegahan

      Perawatan Lanjutan Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi Kerusakan pada

      Jaringan Periodontal

      Kerusakan pada Jaringan Tulang

      Kerusakan pada Gingiva di Mukosa

Dokumen yang terkait

Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal pada Penyortir Tembakau di Gudang Sortasi Tembakau Kebun Klumpang SUTK PTPN II Tahun 2015

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ergonomi 2.1.1 Defenisi Ergonomi - Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal pada Penyortir Tembakau di Gudang Sortasi Tembakau Kebun Klumpang SUTK PTPN II Tahun 2015

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal pada Penyortir Tembakau di Gudang Sortasi Tembakau Kebun Klumpang SUTK PTPN II Tahun 2015

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan Remaja Putri tentang Anemia - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Anemia dengan Pola Makan untuk Pencegahan Anemia di SMA Swasta Bina Bersaudara Medan Tahun 2014

0 2 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Anemia dengan Pola Makan untuk Pencegahan Anemia di SMA Swasta Bina Bersaudara Medan Tahun 2014

2 39 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Sirih - Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Serta Analisis Komponen Minyak Atsiri Daun Sirih Hutan (Piper crocatum Ruiz & Pav) Yang Segar Dan Simplisia Secara Gas Chromatography-Mass Spectrometry

0 0 15

BAB II LATAR BELAKANG KEBUDAYAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI AJIBATA DAN TOMOK - Musik Di Kapal Penumpang Ajibata Tomok: Analisis Repertoar, Konteks dan Fungsi Sosial

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Musik Di Kapal Penumpang Ajibata Tomok: Analisis Repertoar, Konteks dan Fungsi Sosial

0 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja 2.1.1 Struktur Baja - Analisis Sifat Mekanis pada Plat Baja ST37 Terhadap Variasi Sudut Kampuh V Tunggal Pengelasan Tig

0 0 32

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Konservasi - Kajian Konservasi Bangunan Bersejarah di Medan (Studi Kasus: Istana Maimun)

0 0 19