BAB I LANDASAN TEORI A. Stres Kerja A.1. Definisi Stres Kerja - Pengaruh Tuntutan Kerja dan Hubungan Atasan -Bawahan terhadap Stres Kerja

BAB I LANDASAN TEORI A. Stres Kerja A.1. Definisi Stres Kerja Sarafino (1998) stres merupakan kondisi yang dihasilkan ketika

  transaksi antara seseorang dengan lingkungan membuat individu tersebut mempersepsikan suatu kesenjan gan. Kesenjangan yang dimaksud adalah antara tuntutan dari suatu situasi dan sumber daya yang dimiliki seseorang tersebut baik dari segi biologis, psikologis atau sistem sosial.

  Lazarus dan Folkan (1990) mendefinisikan stres sebagai suatu kejadian dimana tuntutan lingkungan (eksternal) dan tuntutan internal (fisiologis, psikologis) melebihi sumber daya adaptif individu. Menurut Robbin (2006) stres adalah “kondisi dinamik yang didalamnya individu menghadapi peluang, kendala atau tuntutan yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting”.

  Menurut Selye (dalam Rice, 1992) stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psiko logis dan perilaku. Ross dan Altmeir (1994) mengatakan stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dan karakteristik pekerja dimana tuntutan dari pekerjaan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh pekerja untuk menghadapinya. Sedangkan menurut Schultz & Schultz (1994) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu gejala psikologis yang dirasa mengganggu individu dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan Bunk et al (1998) mengatakan bahwa stres kerja adalah suatu hasil dari ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan individu dan apa yang disediakan oleh pekerjaannya, atau ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja.

  Kemudian Rice (1999) mendefinisikan stres kerja sebagai stres yang terjadi pada individu meliputi gangguan psikologis, fisiologis, perilaku dan gangguan pada organisasi. Menurut Cartwright dan Cooper (2002), bahwa tuntutan yang ada melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres kerja oleh Riggio (2003) mendefinisikan sebagai interaksi antara seseorang dan situasi lingkungan ata u stressor yang mengancam atau menantang sehingga menimbulkan reaksi pada fisiologis maupun psikologis pekerja.

  Stres dapat dipandang dalam dua cara, yakni sebagai stres positif dan stres negatif/ buruk. Stres positif yaitu suatu kondisi yang dapat memotivasi atau memberikan inspirasi. Sedangkan stres negatif/ buruk yaitu stres yang dapat menyebabkan marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah atau kewalahan. Hans Selye membedakan antara distress (stres yang negatif) dan eustres (stres positif) (Munandar , 2001).

  Berdasarkan definisi stres kerja yang ada diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres kerja adalah kondisi psikologis dan fisiologis yang disebabkan adanya tuntutan baik eksternal maupun internal yang melebihi kemampuan sumber daya adaptif nya.

  A.2. Gejala stres kerja

  Terdapat berbagai gejala yang menandai adanya stres kerja. Beegr dan Newman (dalam Rice, 1999) mengemukakan gejala stres kerja :

  1. Gejala psikologis, yaitu masalah emosi dan kognitif yang muncul dalam kondisi stres kerja.

  Bentuk gejala psikologis sebagai berikut ini :

  • Kecemasan, ketegangan, rasa bingung dan mudah tersingung
  • Perasaan frustasi, rasa marah dan dendam
  • Emosional hypersensitivity
  • Memendam perasaan
  • Komunikasi yang tidak efektif
  • Penarikan diri dan depresi
  • Perasaan terkucilkan dan terasing
  • Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
  • Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual
  • Kurang konsentrasi
  • Kehilangan spontanitas dan kreativitas
  • Menurunnya self esteem dan tidak bersemangat 2. Gejala fisik, yaitu penurunan kesehatan fisik secara be rtahap.

  Bentuk gejala fisik sebagai berikut ini :

  • Peningkatan detak jantung (berdebar -debar), tekanan darah dan potensi terkena penyakit jantung
  • Peningkatan hormon stres
  • Gangguan pencernaan
  • Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
  • Kelelahan fisik
  • Masalah pada pernafasan
  • Gangguan pada kulit
  • Sakit kepala, sakit pingang, sakit pada punggung bagian bawah dan ketegangan otot
  • Gangguan tidur; rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk beresiko tinggi kemungkinan terkena kanker.

  3. Gejala perilaku, yaitu perilaku yang timbul akibat adanya stres kerja.

  Bentuk gejala perilaku sebagai berikut ini :

  • Menunda dan menghindari pekerjaan serta perilaku absen
  • Menurunnya prestasi dan produktivitas kerja
  • Meningkatnya konsumsi minuman keras dan obat -obatan
  • Makan berlebihan sebagai pelarian dari masalah yang berujung kepada obesitas
  • Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan

  • Meningkatnya perilaku mengambil resiko bahaya, seperti dalam hal berkendara dan berjudi atau pun kecenderungan menimbulkan kesalahan dalam bekerja
  • Meningkatnya agresivitas, vandalisme dan kriminialitas
  • Menurunya hubungan dengan keluarga dan teman -teman, serta pekerja menjadi kurang perhatian terhadap rekan kerja dan organisasi
  • Mencoba bunuh diri

  Berdasarkan penjelasan tentang gejala stres kerj a dapat ditarik kesimpulan : bahwa gejala stres kerja terdiri dari tiga bentuk yaitu gejala psikologis, gejala fisik dan gejala perilaku. Dimana tiap gejala menunjukkan bentuk yang berbeda -beda.

  A.3. Dampak stres kerja

  Menurut Ivancevich (2009) stres ker ja pada pegawai dapat berpengaruh positif maupun negatif. Namun efek negatif lebih sering terlihat. Efek negatif itu dapat berupa kebosanan, penurunan motivasi kerja, absen, apatis, insomnia, mudah tersinggung, kesalahan dalam pekerjaan yang meningkat, tid ak dapat mengambil keputusan. Sedangkan jika pegawai mampu mengelola stres secara optimal maka stres tersebut mampu menghasilkan dampak positif berupa: motivasi yang tinggi, energi tinggi, persepsi yang tajam, ketenangan. Sedangkan menurut Luthans (2005), antara lain :

  1. Kesehatan Tubuh manusia pada dasarnya dilengkapi sistem kekebalan untuk mencegah serangan penyakit. Tubuh manusia dalam mencegah dan mengatasi pengaruh penyakit tertentu, dengan cara memproduksi antibodi sehingga orang yang terkena stres mudah pula terkena penyakit.

  2. Psikologis Stres akan menimbulkan kekhawatiran atau keteganagan secara terus menerus. Hal tersebut dapat membuat individu merasa hopeless dan helpless sehingga dapat mengarah kepada perasaan ingin bunuh diri atau kematian pada p enderita stres.

  3. Interaksi Interpersonal Karyawan yang bekerja di suatu perusahaan menunjukan bahwa stres kerja menyebabkan timbulnya ketegangan dan konflik antar pihak karyawan dengan pihak manajemen. Tingginya emosi berpotensi menghambat kerja sama antara individu satu dengan yang lain.

  A.4. Sumber-sumber penyebab stres kerja (stressor)

  Stres dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Luthans (2008) sumber-sumber stres kerja meliputi :

  1. Sumber stres diluar organisasi, terdiri dari : adanya perubahan sosi al dan teknologi, keadaan ekonomi, pindah rumah, perbedaan ras dan kelas dan keadaan masyarakat daerah tempat tinggal.

  2. Sumber stres dari organisasi, yaitu : (a) kebijakan organisasi yang meliputi penilaian kerjayang tidak adil, sistem pengajian yang tidak adil, peraturan yang kaku, prosedur yang tidak jelas, sering berpindah pekerjaan, serta deskripsi pekerjaan yang tidak realistis. (b) struktur yang berkurangnya kesempatan untuk mengembangkan diri, kurangnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, situ asi yang sangat formal, departemen yang tidak memiliki otoritas, konflik atasan terhadap bawahan. (c) kondisi fisik, seperti : kurangnya privasi, cuaca yang tidak baik, kebisingan bahaya radiasi, situasi kerja yang berbahaya, pencahayaan yang kurang.

  3. Sumber stres kelompok, seperti kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik interpersonal dan konflik kelompok

  4. Sumber stres individual, seperti konflik dan ketidakjelasan peran, perubahan, dan kehidupan dan karir. hubungan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi dan tingkat hidup organisasi.

  Stressor kerja bisa datang dari tempat kerja, sumber stres di tempat kerja menurut Rice (1992), yaitu :

  1. Kondisi kerja Adalah beban kerja yang berlebihan dapat be rsifat kuantitas dan kualitas. Secara kuantitatif, beban kerja dapat muncul ketika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh pekerja. Secara kualitatif, beban muncul ketika pekerjaan terlalu kompleks dan keterampilan yang dimilik i oleh pekerja tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, work underload dimana suatu kondisi pekerjaan dinilai tidak menantang dan tidak menarik minat perhatian pekerja.selaian itu, kondisi lingkungan kerja yang tidak mendukung, misalnya tempat kerja yang bising adalah salah satu contoh keadaan yang dapat memicu stres kerja, selain itu pengunaan teknologi yang terbatas juga dapat memicu timbulnya stres kerja (Ross & Altmaier, 1994).

  2. Ambiguitas peran Rice (1998) mengatakan ambiguitas peran ketika individu tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh perusahaan dan dirinya. Selain itu ambiguitas peran dapat dialami ketika terdapat ketidakjelasan tujuan dari suatu pekerjaan atau batas -batas yang dimiliki oleh pekerja.

  3. Hubungan interpersonal Hubungan interpersonal ditempat kerja merupakan suatu bagian penting dari kepuasan kerja. Hubungan interpersonal dapat membantu individu dalam menghadapi stres (Rice, 1998). Terdapat tiga jenis hubungan interpersonal di tempat kerja (Ross & Altmaier, 1994), yaitu : a. Hubungan dengan rekan kerja

  Hubungan yang buruk dengan rekan kerja dapat memunculkan perasaan terancam pada individu. Hubungan yang buruk mempengaruhi tingkat kepercayaan, saling mendukung dan keinginan untuk saling mendengarkan atau bersifat empati.

  Dikatakan juga bahwa hubungan yang baik dengan rekan kerja dapat membantu individu dalam melakukan coping stres kerja.

  b. Hubungan dengan atasan Selain hubungan dengan rekan kerja, hubungan individu dengan atasan juga memiliki pengaruh dalam stres kerja. sikap atasan yang melibatkan individu dalam mengambil keputusan dan atasan yang memberikan kesempatan untuk berkomunikasi dua arah dapat mengurangi stres kerja.

  c. Hubungan dengan pelanggan atau klien Kesulitan dalam berkomunikasi dengan klien atau pelanggan biasanya dialami oleh orang yang pekerjaannya melibatkan pemberian jasa kepada klien, misalnya praktisi kesehatan dan pekerja sosial.

  4. Pengembangan karir Pada umumnya, pekerja memiliki suatu harapan dari pekerjaannya, seperti dapat mempelajari berbagai hal baru, me ngalami kemajuan yang tetap, serta harapan akan pendapatan yang meningkat (Rice, 1999). Namun, terkadang hal tersebut tidak dapat tercapai oleh sebagian pekerja, sehingga dapat menyebabkan stres kerja. Rice juga menambahkan, ketika harapan seseorang tidak dapat dicapai, terkadang orang tersebut kehilangan kepercayaan dirinya. Dengan demikian, pengembangan karir dapat meningkatkan kinerja dan motivasi, sebaliknya jika tidak mendapat umpan balik, potensi dialaminya stres kerja lebih tinggi bagi karyawan (Ross & Almaiter, 1994).

  5. Struktur organisasi Keluhan pekerja tentang adanya struktur organisasi yang kaku, politik yang berlaku ditempat kerja, atau pengawasan yang kurang memadai dari manajemen sehingga dapat menimbulkan stres kerja (Rice, 1999). Rice juga me ngatakan bahwa kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta kurangnnya dukungan atasan bagi kreativitas pekerja dapat menimbulkan stres kerja. Ross dan Altmaier (1994) mengatakan bahwa posisi atau tingkat yang diemban seseorang dalam organisasi juga berperan dalam proses timbulnya stres kerja. dalam hal ini, karyawan yang memiliki posisi rendah dalam hirarki organisasi, lebih tinggi kemungkinannya untuk mengalami stres kerja.

  Berdasarkan penjelasan tentang sumber -sumber stres kerja (stressor) dapat ditarik kesimpulan : bahwa stres berasal dari luar organisasi, dalam organisasi serta stres kelompok dan stres individual. Sedangkan untuk stres kerja bersumber dari tuntutan pekerjaan, ambiguitas peran, hubungan interpersona l, pengembangan karir dan struktur organisasi. penelitian ini berfokus pada tuntutan kerja dan hubungan antara atasan dan bawahan.

  A.5. Hubungan U terbalik antara Stres dan Kinerja Pekerjaan

  Bahwa stres pada tingkat rendah sampai sedang dapat merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk bereaksi. Pada saat itulah individu sering melakukan tugasnya dengan lebih baik, lebih intensif, lebih cepat. Tetapi terlalu banyak stres menempatkan tuntutan yang tidak dapat dicapai atau kendala pada seseorang, yang mengakibatkan kinerja menjadi cepat. Pola U-terbalik juga menggambarkan reaksi terhadap stres sepanjang waktu, terhadap perubahan intensitas stres. Artinya, stres pada tingkat sedang mempunyai pengaruh yang negatif pada kinerja jangka panjang karena intensitas yang berkelanjutan itu melemahkan sumber daya energi individu. Misalnya seorang eksekutif penjualan mungkin saja mampu menyemangati diri sendiri untuk mencapai target. Tetapi pada tingkat sedang dari stres yang dialami terus menerus selama waktu yang panjang dapat menurunkan kinerja karyawan tersebut.

B. Tuntutan Pekerjaan B.1. Definisi Tuntutan Pekerjaan

  Menurut Demerouti et al (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti & Schaufeli, 2007), tuntutan kerja merupakan aspek -aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai atau mempertahankannya.

  Sementara Robbins (2006) mengungkapkan bahwa job demand merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang d an dapat memberi tekanan pada orang jika tuntutan tugas kecepatannya dirasakan berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Pada dasarnya seseorang akan merasa tidak terbeban dengan tugasnya apabila memperoleh kenyamanan dan dapat bersinergi deng an lingkungan. Job

  

demand akan dibentuk oleh karakter tugas yang bersangkutan misalnya :

tingkat kesulitan, kondisi kerja, persyaratan kerja, tingkat keterampilan.

  

Job demand didefinisikan sebagai tuntutan pekerjaan yang menjadi

  pemicu terjadinya kelelahan secara psikologis (psychological stressor), misalnya seperti : bekerja secara non stop dalam jam kerja yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan adanya konflik emosional pada tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan (Love, Irani, Standing, 2007).

  Penelitian sebelumnya oleh Gana, Lourel, Abdellaui dan Chevaleyre (2008) mengungkapkan bahwa job demand adalah elemen- elemen fisikal, sosial dan organisasional dalam aktivitas pekerjaan yang mempengaruhi kesehatan psikologis dari karyawan.

  Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan definisi tuntutan pekerjaan adalah merupakan tuntutan pekerjaan seseorang yang dapat berupa fisik, sosial maupun organisasi yang mana dapa t memberi tekanan / kelelahan psikologis kepada orang yang bersangkutan bila dirasakan terlalu berlebihan.

  B.2. Dimensi Tuntutan Pekerjaan

  Berikut ini merupakan dimensi -dimensi Tuntutan Pekerjaan menurut Demerouti et al, terdiri dari :

1. Work overload

  atau kelebihan beban kerja oleh French & Caplan

  Work overload

  dalam John B. Arden (2006) dibedakan dalam quantitative overload dan

  

qualitative overload . Kuantitatif overload adalah “having too much to

do”, sedangkan yang bersifat kualitatif overload disebut sebagai “too

difficult” jadi karyawan merasa terlalu banyak pekerjaan yang harus

  dikerjakan, terlalu beragam hal yang harus dilakukan, atau tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan, maka keadaan ini disebut kelebihan beban kerja kuantitatif atau quantitative

  

overload . Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work

  overload adalah jumlah atau beban pekerjaan yang harus dilakukan

  karyawan dalam waktu yang singkat ataupun pekerjaan yang komplek melebihi kemampuannya.

  2. Emotional load

  Beban kerja yang tinggi dan bekerja yang tidak mengenal waktu akan memicu timbulnya stres. Beban emosional biasanya berawal dari konflik dengan orang lain. Karyawan yang bekerja selalu berinteraksi dengan orang lain dapat memicu konflik. Ma ka, pekerjaan yang banyak berinteraksi dengan orang lain akan membutuhkan beban emosional yang lebih besar (Van Veldhoven, 2002). Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa emotional load adalah jumlah / beban yang dialami karyawan ketika berada pada si tuasi kerja yang tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan reaksi negatif seperti marah dan tersinggung.

  3. Cognitive Load

  pertama kali dikemukakan oleh Sweller (1998),

  Cognitive load

  merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja ( working

  memory ) dalam proses penyelesaikan masalah ( problem solving),

  berpikir dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi, memori, bahasa dan lain sebagainya). Pengertian yang lebih umum dari definisi teknis tersebut disampaikan oleh Adcock (2000) sebagai jumlah sumber daya mental yang diperlukan untuk memproses informasi ( amount of

  mental resources necessary for information processing ). Menurut

  Barraouilet et al (2007), performansi individu akan menurun seiring peningkatan beban memori konkuren dan peningkatan apapun dar i kesulitan proses akan menyebabkan informasi hilang dari memori jangka pendek (Anderson et al, 1996; Case et al, 1982; Conway & Engle, 1994; Daneman & Carpenter, 1980; Just & Carpenter, 1992). Berdasarkan uraian di atas, cognitive load adalah jumlah kerja / beban yang dialami karyawan yang berupa kerja otak dalam memproses informasi yang membutuhkan daya konsentrasi, memori dan atensi.

  Berdasarkan penjelasan yang ada diatas tentang dimensi job demand, dapat ditarik kesimpulan : bahwa bentuk dari tuntutan pekerjaan terdiri dari tiga dimensi yaitu beban kerja ( work load), beban emosi (emotional load), beban kognitif (cognitive load).

C. Hubungan Antara Atasan Dengan Bawahan C.1. Definisi Hubungan antara atasan dengan bawahan

  Leader Member Exchange theory menjelaskan bagaimana

  pemimpin membangun suatu hubungan timbal balik secara terus menerus dengan masing-masing bawahan. Graen & Cashman (1975 dalam Yulk 2006) menyatakan bahwa hubungan pertukaran yang terjadi antara atasan dan bawahan dibentuk atas dasar kema mpuan, kompetensi dan ketergantungan bawahan terhadap atasan langsungnya.

  LMX berawal teori vertical dyad linkage (VDL) yang berfokus pada hubungan dan proses pengembangan antara atasan dan bawahannya

  (Dansereau, Graem & Haga, dalam Wu 2009). Dyad merupakan dua bagian yang berinteraksi sehingga merupakan suatu kesatuan. Dyad tersebut terdiri atas member (karyawan, supervisor) yang bertugas untuk melapor langsung pada leader (atasan, supervisor) (Dansereau, Graen & Haga; Graen & Chasman; Liden & Graen, dal am Mendez, 1999).

  Graen dkk, mulai menganjurkan untuk melihat pentingnya kualitas hubungan timbal balik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dimana kemudian hubungan timbal balik ini selanjutnya dikenal dengan

  leader Member Exchange (LMX) (Graen, Novak & Sommerkamp, 1982 dalam Wu 2009).

  Dienesh & Liden (dalam Wu 2009) menyatakan bahwa leader

  member exchange (LMX) adalah kualitas dari suatu pertukaran yang ada

  dalam hubungan antara atasan dan bawahan dimana atasan memiliki kualitas hubungan atasan bawa han yang berbeda dengan masing -masing bawahannya. Yukl (2009) menambahkan bahwa implikasi dari LMX adalah tercapainya efektivitas dan kemajuan organisasi. Graen dan Scandura (dalam Truckenbort, 2000) menyatakan bahwa dalam LMX atasan memperlakukan bawahan secara berbeda tergantung level dan kontingennya apakah mereka merupakan bagian dari in group (dengan kualitas LMX tinggi) atau out-group (dengan kualitas LMX rendah).

  Dasar dari ide tersebut adalah bahwa atasan tidak lagi membentuk suatu hubungan yang seragam dengan semua bawahannya melainkan mengembangkan hubungan yang berbeda dengan tiap -tiap bawahan sebagai dua pihak yang terlibat dalam suatu pembentukan peran yang sama (Graen & Uhl-Bien, dalam Wu 2009).

  Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpul kan definisi

  

Leader Member Exchange adalah kualitas hubungan timbal balik yang

  terjadi antara atasan dan bawahan dengan tujuan yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi, dimana atasan memiliki kualitas hubungan yang berbeda dengan masing -masing bawahannya.

  C.2. Dimensi Leader Member Exchange (LMX)

  Dimensi Leader Member Exchange (LMX) menurut Dienesch & Liden, yang sudah disempurnakan oleh Liden & Maslyn (1998), terdiri atas 4 dimensi antara lain :

  1. Kontribusi Merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama (eksplisit atau implisit). Hal penting dalam mengevaluasi kegiatan yang berorientasi pada tugas adalah sejauh mana anggota bawahan bertanggung jawab dan menyel esaikan tugas-tugas yang melebihi uraian kerja, begitu juga dengan pimpinan menyediakan sumber daya dan kesempatan untuk melakukan tugas.

  2. Affect (afeksi) Merupakan rasa kasih sayang antara pemimpin dan bawahannya yang berdasarkan pada daya tarik individu dan bukan pada pekerjaan atau nilai profesionalnya. Bentuk kasih sayang yang dimaksud disini adalah hubungan antar sahabat yang saling menguntungkan.

  3. Loyalitas Merupakan kecenderungan untuk mendukung penuh tujuan dan sifat individu lainnya dalam hubungan t imbal balik antara atasan -bawahan, termasuk di dalamnya kesetiaan terhadap seseorang secara konsisten dari satu situasi ke situasi lainnya. Loyalitas dianggap penting karena membantu untuk menentukan apakah anggota dapat diberikan tanggung jawab terhadap tugas-tugas (Liden & Graen, 1980). Sebagai contoh anggota in-group memiliki tingkat loyalitas yang lebih tinggi dibandingkan out-group, sehingga dalam memberikan tanggung jawab diperlukan pertimbangan dan penilaian subyektif.

  4. Profesional respect (respek profesional) Merupakan persepsi terhadap reputasi dari pihak lain baik di dalam maupun di luar organisasi karena kemampuan dan pencapaian mereka dalam penguasaan pekerjaan. Reputasi ini dapat diperoleh dari riwayat dan pengalaman kerja seseorang, pendapat -pendapat orang lain baik di dalam dan di luar organisasi, serta prestasi atau penghargaan profesional yang pernah di raih. Dengan demikian, seseorang dapat memiliki respek profesional meski ia tidak pernah bertemu sebelumnya.

  Berdasarkan penjelasan tentang dimensi-dimensi LMX dapat ditarik kesimpulan : bahwa menurut Liden & Maslyn LMX memiliki empat dimensi yaitu kontribusi, afeksi, loyalitas dan respek profesional. Dimana dimensi LMX ini menjelaskan bentuk hubungan antara atasan dengan bawahan yang terjadi di tempat kerja.

  D. Pengaruh tuntutan kerja dan hubungan atasan -bawahan terhadap stres kerja

  D. 1. Pengaruh tuntutan pekerjaan terhadap stres kerja

  Stres kerja dipandang sebagai perasaan subyektif individu yang dimana tuntutan kerja melebihi kapasitas indivi du (Edward, 1992).

  Karyawan yang mengalami stres kerja menunjukkan sikap nervous dan merasakan kekhawatiran secara kronis, mudah menjadi marah, agresif , tidak relaks atau pun tidak menunjukkan sikap yang tidak kooperatif dimana semua itu merupakan gejala -gejala stes yang dapat dilihat.

  Sejumlah penelitian menghubungkan stres kerja dengan masalah kesehatan lain seperti gangguan jantung, burnout dan insomnia. Stres juga memiliki efek yang penting pada kinerja perusahaan, khususnya kreativitas, produktivitas, inovasi dan komitmen.

  Setiap orang dalam kehidupan sehari -hari akan diwarnai dengan stres kerja baik yang bersifat positif maupun negatif pada dirinya.

  Banyak faktor yang dapat menghasilkan stres dan berdasarkan literatur studi setiap individu bereaksi berbeda terhadap faktor-faktor stres ini.

  Dengan kata lain, gejala atau penyakit yang terkait dengan stres kerja dapat bervariasi pada individu.

  Menurut Cary L Cooper (1999) salah satu sumber stres kerja adalah beban kerja yang berlebihan, kondisi ini dib edakan secara kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian Jehangir, dkk (2011) yang melakukan penelitian terhadap perawat mengatakan bahwa kelebihan beban kerja pada perawat merupakan penyebab utama stres kerja. Beban kerja yang berlebihan dan kurangnya kendali atau kewenangan terhadap pekerjaan merupakan salah satu bentuk dimensi dari job demand (tuntutan pekerjaan).

  Tuntutan pekerjaan mengacu pada aspek fisik atau mental yang berkelanjutan (Demerouti, Bakker, Nachreiner & Shaufeli, 2001). Be ntuk nyata tuntutan pekerjaan diperusahaan antara lain : tuntutan emosional (Tufte et al, 2008), pemecahan masalah yang sederhana namun harus segera diselesaikan (Peter, 2007), serta beban kerja dan Kecepatan Kerja (Nielsen et al, 2009).

  Menurut Karasek (1979) pekerjaan dapat menjadi sumber tantangan (eustress) bila disertai dengan sumber daya yang tepat seperti kontrol pekerjaan, wujud bentuk kontrol pekerjaan adalah diberikan kesempatan untuk mengatur jadwal istirahat kerja (Peter, 2000).

  Karyawan tidak terlepas dari tuntutan pekerjaan yang membuat mereka untuk memenuhinya. Tuntutan pekerjaan dapat berubah menjadi stres kerja dimana saat karyawan dihadapkan pada peningkatan kompleksitas tugas, peningkatan jumlah tugas, ataupun perubahan jenis tugas yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Untuk mengatasi tuntutan pekerjaan individu memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif (Loon, 2008).

  Berdasarkan hasil penelitian Demerouti dkk (2009) terhadap perawat mengatakan seiring dengan waktu tuntutan pekerjaan dapat meningkatkan kelelahan emosi. Dengan kata lain beban kerja yang tinggi seiring waktu dapat menimbulkan stres kerja. Beban kognitif yang dikemukakan oleh Sweller (1998), merujuk pada konsep tentang beban pada memori kerja (working memory) dalam proses penyelesaikan masalah (problem solving), berpikir dan pendayagunaan pikiran lain (termasuk persepsi, memori, bahasa dan lain sebagainya). Selain itu, pekerjaan yang selalu berinteraksi dengan berbagai pihak dalam organisasi dapat memicu konflik sehingga akan membutuhkan beban emosional yang lebih besar (Van Veldhoven, 2002).

  D.2. Pengaruh kualitas hubungan atasan – bawahan terhadap stres kerja

  Bentuk lain dari sumber penyebab stres kerja adalah kepe mimpinan organisasi. Kepemimpinan yang kaku memperlihatkan bentuk hubungan yang hanya sebatas rekan kerja. Menurut Kahn dkk, hubungan yang unik antara pimpinan dan karyawan mempengaruhi persepsi dan harapan karyawan di tempat kerja. Dengan hubungan LMX pos itif, pemimpin dapat memberikan pekerjaan yang menantang, sebaliknya hubungan LMX negatif cenderung mengarah pada tuntutan pekerjaan yang harus dipenuhi. Dengan kata lain pemimpin memainkan peran penting dalam stres kerja.

  Disamping itu berdasarkan hasil penelitian Lagace et al dkk (1993) ; Culbertson (2011) mengatakan hubungan antara atasan dan bawahan yang berkualitas tinggi dapat memberikan dukungan emosional, meningkatkan komuniksi dan dapat memberikan peran yang jelas untuk bawahan mereka, mempengaruh i persepsi karyawan dan dapat menurunkan stres kerja. Dengan kata lain LMX dapat menurunkan tingkat stres melalui interaksi sosial yang baik. hubungan organisasi yang berdasarkan hubungan pribadi juga dapat memperkuat hubungan bisnis/ organisasi.

  Penelitian lain yang dilakukan oleh Sherman (2002) juga menyatakan bahwa kualitas hubungan atasan -bawahan yang baik akan membawa dampak pada menurunkan stres kerja bawahan. Penurunan tingkat stres kerja ini adalah efek dari terbentuknya hubungan atasan - bawahan yang positif, karena dalam hubungan atasa -bawahan yang positif atasan akan melepaskan sanksi dan pengaruh yang sifaknya memaksa bawahan sehingga bawahan menjadi lebih percaya pada atasan dan termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik.

E. Hipotesis

  Berdasarkan konsep dan kerangka teori tersebut yang ada diatas maka hipotesis penelitian ini adalah: H Mayor :

  Ada pengaruh yang positif antara tuntutan pekerjaan dengan stres

   kerja. Semakin tinggi tuntutan kerja maka semakin tinggi pula stres kerja dan begitu pula sebaliknya. Ada pengaruh yang negatif antara hubungan atasan -bawahan dengan

   stres kerja. Semakin negatif atau rendah hubungan atasan -bawahan maka semakin tinggi pula tingkat stres kerja karyawan begitu pula sebaliknya.

  Hi minor : Ada pengaruh yang positif antara dimensi tuntutan kerja

   (workload, emotional load dan cognitive load) dengan stres kerja Ada pengaruh yang negatif antara dimensi hubungan atasan -

   bawahan (kontribusi, afeksi, loyalitas, profesional respek) terhadap stres kerja

Dokumen yang terkait

METODE PENELITIAN - Inventarisasi Anggrek Terestial di Hutan Pendidikan Bagian Timur Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Lembaga Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Lembaga Keuangan - Analisis Kinerja Keuangan dan Kinerja Sosial Bank Syariah Devisa dan Bank Syariah Non Devisa di Indonesia

0 0 25

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kinerja Keuangan dan Kinerja Sosial Bank Syariah Devisa dan Bank Syariah Non Devisa di Indonesia

0 0 12

Analisis Kinerja Keuangan dan Kinerja Sosial Bank Syariah Devisa dan Bank Syariah Non Devisa di Indonesia

0 1 11

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Perusahaan - Peranan Total Quality Management Terhadap Kinerja Manajemen Pada PT PP London Sumatera Indonesia Tbk Medan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja 2.1.1 Pendahuluan - Analisa Tekuk Lateral pada Balok Crane Baja I dengan Perhitungan Manual dan Abaqus

0 1 44

Analisa Tekuk Lateral pada Balok Crane Baja I dengan Perhitungan Manual dan Abaqus

0 4 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pendahuluan - Kajian Kekuatan dan Stabilitas Struktur Bangunan Menara Tungku Pembakaran Batu Bara dengan Memperhitungkan Pengaruh Gempa, Angin dan Temperatur Tinggi

0 0 30

Kajian Kekuatan dan Stabilitas Struktur Bangunan Menara Tungku Pembakaran Batu Bara dengan Memperhitungkan Pengaruh Gempa, Angin dan Temperatur Tinggi

0 0 15

Pengaruh Tuntutan Kerja dan Hubungan Atasan -Bawahan terhadap Stres Kerja

0 0 105