TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

  TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

  Gadung (Dioscerea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau

  dioscoreaceae ) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun

  kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda), Iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis), sikapa (Makasar), (Anonim, 2014).

  Taksonomi

  Taksonomi umbi gadung sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Dioscoreales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea Spesies : Dioscore hispida Dennts (Anonim, 2014).

  Gambar 2. Umbi Gadung Hutan (Sibuea, 2002) Gadung dapat menjadi sumber pangan alternatif selain sebagai sumber pangan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain-lain. Gadung memang tidak sulit untuk didapatkan, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan. Selama masa pertumbuhan gadung ini tidak memerlukan perawatan khusus atau penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkonsumsinya melakukan pengolahan terhadap umbi gadung ini pada saat musim kemarau panjang tiba. Ketika kemarau datang masyarakat pergi mencari umbi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan (Ode, 2007).

  Morfologi

  Gadung merupakan perdu memanjat yang tingginya dapat mencapai 5- 10m. Batangnya bulat, berbentuk galah, berbulu, berduri yang tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi rambut akar yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda, daging umbinya berwarna putih atau kuning. Umbinya muncul dekat permukaan tanah. Dapat dibedakan dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk terdiri dari 3 helai daun, warna hijau, panjang 20-25 cm, lebar 1-12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar (Ndaru, 2012).

  Untuk membedakan antar spesies dalam gadung dapat dibedakan berdasarkan arah lilitan batang, bentuk batang, ada atau tidaknya duri pada batang, bentuk dan jumlah helaian daun, ada tidaknya buah di atas (Anonim, 2014). Ada beberapa varietasnya, diantaranya yang berumbi putih (yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk- lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning antara lain gadung kuning,

  gadung kunyit atau gadung padi. Gadung kuning umumnya lebih besar umbinya

  bila dibandingkan gadung putih. Jumlah umbi dalam satu kelompok dapat mencapai 30 umbi (Anonim, 2014).

  Komposisi Kimia Umbi Gadung

  Umbi Gadung adalah jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat dan merupakan komoditi yang mempunyai prospek yang sangat baik. Kandungan gizi gadung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Gadung

  Parameter Komposisi

  Kadar Air (%) 61,5 Pati (%) 30,9 Serat (%) 1,3 Abu (%) 1,1 Serat kasar (%) 0,93 Total Gula (%) 2,45 Sianida (ppm) 362

  Sumber : (Sibuea, 2002)

  Umbi hutan nama lain dari gadung atau (Dioscorea hispida Dennst) dapat menjadi sumber bahan pangan alternatif selain sebagai sumber bahan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain- lain. Menurut pengakuan beberapa masyarakat yang pernah mengkosumsi umbi hutan ini apabila diolah secara benar maka akan didapatkan makanan olahan yang enak dan bergizi, (Sibuea, 2002).

  Beberapa jenis nutrisi yang ditemukan didalam gadung ini ternyata juga merupakan kandungan utama bahan pangan yang dijadikan masyarakat Indonesia sebagai pokok selama ini, yaitu padi (Oryza sativa Linn) dan jagung (Zea mays Linn). Disamping kandungan nutrisi tersebut, ternyata ubi hutan juga mengandung zat yang bersifat toksik atau anti nutrisi, yakni glikosida sianogenik, alkaloid dioscorin dan senyawa pahit yang terdiri dari saponin dan sapogenin (Webster et al., 1984).

  HCN dalam Gadung

  Glikosida sianogenik yang dikandung umbi hutan (Dioscorea hispida Dennst) dapat bersifat toksik karena dapat terhidrolisis sehingga terbentuk asam sianida (HCN). Kandungan HCN dalam bahan makanan akan mengalami pengurangan bahkan penghilangan apabila bahan makanan tersebut mendapat perlakuan penghancuran atau pengirisan. Racun yang terdapat didalam umbi gadung antara lain dioskorin, diosgenin, serta asam sianida (HCN). Senyawa- senyawa ini memiliki efek hemolisis apabila masuk ke dalam tubuh manusia.

  Senyawa ini juga memiliki efek paralisis pada susunan saraf sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan (Pambayun, 2008). Penghilangan racun-racun pada umbi gadung yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum adalah dengan menggunakan cara tradisional yaitu perendaman irisan umbi gadung dalam air mengalir (Nok dan Ikediobi, 1990).

  Keracunan karena HCN pernah dilaporkan terjadi dia Mauritius tahun 1844 setelah mengkosumsi jenis kacangan yang disebut Phaseolus lunatus, sedangkan keracunan karena mengkosumsi singkong ketela pohon dilaporkan terjadi di Nigeria tahun 1965 dan di India tahun 1973. Juga pernah dilaporkan keracunan karena mengkosumsi bambu muda (rebung), almond pahit, biji peach, apricot dan chezzy. Di Indonesia, laporan tentang keracunan setelah mengkosumsi umbi hutan terjadi di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara timur, november 2006, dan di Bengkulu tahun 2002.

  Senyawa racun dalam gadung berupa senyawa glukosida sianogenik. Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam sianida apabila terhidrolisis oleh enzim atau berada pada pH asam. Pada sistem pencernaan yang bersuasana asam senyawa ini akan melepaskan HCN yang bisa meracuni tubuh. Oleh karena itu detoksifikasi harus difokuskan pada pengurangan senyawa kompleks tersebut.

  Menurut Damardjati dkk (1991), pengelompokan kadar sianida adalah < 50 ppm tidak beracun, 50-80 ppm agak beracun, 80-100 ppm beracun dan > 100 ppm sangat beracun.

  Prinsip dasar metode detoksifikasi sianida pada umbi gadung adalah menghambat terjadinya reaksi antara subtrat linamarin dan metal linamarin dengan enzim linamarase. Perendaman irisan umbi dalam larutan 8 persen selama tiga hari mampu mengurangi racun sianida dengan residu yang terbentuk relatif rendah yaitu 7,32 ppm. Pemanasan irisan umbi gadung setebal 2 mm dalam air mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida bila dibandingkan dengan metode perendaman dalam garam, yakni 4,12 ppm. Penurunan kadar sianida dalam umbi gadung itu terjadi karena pemanasan dalam air mendidih selama 30 menit bisa mengakibatkan enzim linamarase dan glukosidase tidak aktif dan pembentukan asam sianida pun menjadi terputus (Pambayun, 2000).

  Pati

  Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks, tidak larut dalam air dingin, berwujud bubuk, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda.

  Pati (starch) alami memiliki keterbatasan dalam kegunaannya untuk aplikasi komersial. Sifat alami pati antara lain diantaranya tidak larut dalam air dingin dan tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Hay, 2002). Wurzburg (1989) telah memberikan pengetahuan yang mendalam tentang sifat fisika dari pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi. Modifikasi pati memberikan perubahan dari sifat fisika dan sifat kimia. Perubahan ini mempunyai sasaran utama untuk aplikasi produk makanan lebih spesifik yang dapat memperbaiki sifat fungsional produk terhadap viskositas, stabilitas, integritas, tekstur dan pengemulsi sebagaimana keterbatasan dalam bentuk alaminya.

  Dalam referensi lain, pati adalah salah satu yang paling banyak dan luas terdapat dialam, sebagai karbohidrat cadangan pangan pada tanaman. Sebagian besar pati di simpan dalam akar, umbi, akar, biji buah dan umbi lapis. Cadangan tersebut berada dalam bentuk granula lebih besar disebut dengan pati cadangan.

  Pati merupakan salah satu hidrokoloid yang di gunakan oleh industri pangan sebagai pengental ataupun pembentukan gel hidrokoloid lainnya meliputi samping itu banyak pati digunakan untuk pengikat lemak dan pembantu pembentukan emulsi (Hawab, 2004). Perbedaan amilosa dengan amilopektin yaitu amilosa memberikan sifat keras, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket.

  Amilosa memberikan warna ungu pekat amilopektin tidak bereaksi. Secara struktur amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan. bahan penyusunan yang granula-granula berukuran gum, pektin, gelatin, selulosa agar, dan lainnya.

  Pati merupakan cadangan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia seluruh dunia.

  Komposisi amilosa dan amilopektin pada setiap jenis berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkan mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati disamping menyebabkan terbentuknya gel juga dapat melunakkan dan memecahkan sel, sehingga mempermudah pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bantuk pati akan terhidrolisa sebagian besar menghasilkan glukosa (Afrianti, 2004).

  Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta lurus atau bercabangkah rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dinamakan amilosa dan fraksi tidak terlarut dinamakan amilopektin. Amilosa menpunyai struktur lurus dangan cabang ikatan α- (1,4) D-glukosa sebanyak 4,5 5 dari berat total (Winarno, 2004).

  Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat jelas pada serealia contohnya pada beras, semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektin semakin lekat nasi tersebut. Amilosa adalah molekul berantai linier yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dari sejumlah 500-5000 unit glukosa. Amilosa bertindak sebagai pengisi amorf dalam granula, dalam perdagangan dikenal dua macam pati, yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi. Pati yang tidak dimodifikasi atau pati biasa adalah semua jenis pati yang dihasilkan di pabrik pengolahan dasar, misalnya tepung tapioka, (Abu Bakar, 1986). Kandungan pati di dalam bahan cukup penting, sehingga semakin tinggi kandungan pati semakin dikehendaki konsumen. Kandungan pati didalam bahan bakunya akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan lama penyimpanan setelah panen. Oleh karena itu pada pembuatan tepung umbi dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka umbi hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan (Antarlina dan Utomo, 1999).

  Berbagai proses kimia yang dapat diterapkan pada modifikasi pati antaranya oksidasi, hidrolisa, cross linking atau cross bonding serta subsitusi (Fleche, 1985). Maltodekstrin merupakan salah satu produk dari hasil hidrolisa pati dengan menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa,oligosakarida, dan dekstrin, (Deman, 1993).

  Hidrolisis Pati Secara Enzimatis

  Reaksi hidrolisa berlangsung lambat, untuk dapat mempercepat digunakalah katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi tetapi dia tidak ikut bereaksi pada prosesnya secara keseluruhan. Pada hidrolisa pati katalisator yang digunakan adalah enzim. Enzim adalah zat organik yang dihasilkan oleh sel hidup baik tanawan, hewan maupun mikroorganisme (Sherman, 1962).

  Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia organik. Molekul awal yang dihasilkan disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain disebut produk. Jenis produk yang dihasilkan bergantung pada suatu kondisi zat, yang disebut promoter. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, artinya setiap enzim hanya akan bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim

  α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor (Februadi, 2011). Hidrolisis dengan enzim dapat menghasilkan beberapa produk hidrolisat pati dengan sifat-sifat tertentu yang didasarkan pada nilai DE (Ekuivalen dekstrosa). Beberapa jenis enzim yang sering digunakan dalam menghidrolisis pati yaitu

  α-amilase, β-amilase, pullunase dan amiloglukosidase yang memilki karakteristik yang berbeda-beda.

  Faktor

  • – faktor yang berpengaruh pada hidrolisis pati menjadi glukosa :

    Suhu

  Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim.

  Sebaliknya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semain aktif enzim tersebut. Bila suhu naik terus laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalisis enzim (Winarno, 1984). Reaksi paling cepat terjadi pada suhu optimum, oleh karena penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim akan naik namun aktitivitas menurun, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim akan naik namun kestabilan menurun.

  Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu 55ºC-60ºC (Rabyt dan White, 1987).

  Waktu

  Semakin lama waktu reaksi, maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin besar. Lamanya waktu reaksi juga dipengaruhi atau bergantung oleh banyaknya substrat yang di hidrolisa dan jumlah enzim yang ditambahkan.

  pH

  Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Derajat keasaman optimal yang ditunjukan oleh enzim tertentu tidak selalu konstan. Masih ada berbagai faktor lain yang memberikan pengaruh atas aktivitas enzim tersebut.

  Kadar Suspensi Pati

  Pada penggunaan kadar rendah, keseimbangan akan bergeser kekanan dengan baik. Pada kadar suspensi tinggi mengakibatkan kekentalan campuran semakin meningkat, sehingga jumlah kandungan partikel pati tidak larut semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan proses hidrolisa tidak dapat berjalan dengan baik atau sempurna. Semakin tinggi kadar suspensi pati yang dihidrolisa, maka waktu proses yang diperlukan untuk menghidrolisa pati tersebut akan semakin lama. Jumlah enzim yang dibutuhkan juga semakin banyak.

  Jumlah Penambahan Enzim

  Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan menghasilkan kadar glukosa yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga semakin mempercepat reaksi hidrolisa, untuk enzim α- amilase digunakan perbandingan 2kg enzim untuk setiap ton pati, sedangkan untuk enzim glukoamilase digunakan sebanyak 0,5-1,1 L untuk setiap ton pati.

  Aktivator dan Inhibitor

  Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis.

  Komponen kimia yang membentuk aktivitas enzim disebut juga kofaktor.

  2+, 2+ 2+

  Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn Fe , Ca atau dapat pula sebagai molekul organik komplek yang disebut koenzim. Pada umumnya ikatan senyawa organik dengan protein enzim itu lemah apabila iktannya kuat. Selain aktivator juga dipengaruhi oleh inhibitor, inhibitor adalah senyawa atau ion yang dapat menghambat aktivitas enzim pada saat enzim bekerja pada substrat (Lehninger, 1982).

Enzim α-amilase dan Sifat-Sifatnya

  Hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi dalam dua tahap, pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak.

  Degradasi ini terjadi sangat cepat diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhirnya (Muchtadi dkk., 1992). Sebagian besar enzim bekerja khas yaitu artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, en zim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.

  Cara kerja α-amilase pada molekul amilosa akan menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan α-1,6. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimersisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai yang lurus (Winarno,1995).

  Gambar 3. α-amilase yang memotong rantai pati pada ikatan α-1,4 (Purba dan Elida, 2009).

  Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung Secara Enzimatis Proses hidrolisa pati secara enzimatis dilakukan melalui tahap liquifikasi.

  Tahap liquifikasi adalah proses pencairan gel pati menggunakan enzi m α-amilase.

  Liquifikasi merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi atau gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan-serangan hidrolitik, yang kedua yaitu dekstrinasi, sehingga dapat mencegah terjadinya retrogradasi untuk tahap selanjutnya (Muchtadi et al., 1992).

  Maltodekstrin

  Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri makanan sebagai pengisi, dan dalam industri farmasi sebagai pengisi tablet, (Anwar, 2002). Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin, memiliki DE dari 2-30. Beberapa DE yang rendah telah dipatenkan terbukti dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin 2-5 mempunyai sifat fungsional membentuk gel dalam air panas pada konsentarsi diatas 15%.

  Maltodekstrin dengan DE rendah sangat cocok sebagai bahan pengganti lemak (Ingglet dan Grismore, 1991).

  Maltodekstrin sebagai komponen bahan dalam industri pangan telah banyak digunakan karena terbukti lebih aman dan terdaftar pada GRAS (Generaly Recognized As Safe). Dalam aplikasinya maltodekstrin dapat memberikan kekerasan dan tekstur dalam produk pangan, maltodekstrin yang mengandung sakarida tinggi 95% dan Dextrose Equivalent rendah mempunyai sifat gel yang dapat lumer dan bersifat thermoreversible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai pengganti lemak dalam produk pangan (Roper, 1996). Pada Tabel. 2 dapat dilihat jenis dekstrin dan penggunaannya berdasarkan nilai DE. Tabel 2. Jenis Dextrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE

  Nama Hasil Hidrolisis Pati Nilai DE Aplikasi Penggunaannya

  Maltodekstrin 2-5 Pengganti lemak susu didalam makanan dan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan es 5 krim. 9-12 Bahan tambahan margarine.

  Cheesecake filling. Thin Boiling >20 Kembang gula, pastellis dan jeli Oligosakarida >50 Pemanis

  Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995).

  Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi, et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).

  Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

  Triyono (2007) telah melakukan penelitian “Peningkatan Fungsional Pati dari Ubi Jalar dengan Enzim α-Amilase Sebagai Bahan Subsitusi Pengolahan

Pangan”, diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi enzim sebesar 0,5% dan pH kondisi 6 dengan nilai DE sebesar 5-6 dan nilai kelarutan sebesar 98%

  Chafid et al (2010) membuktikan bahwa nilai DE terendah dari maltodekstrin tepung sagu didapat pada kondisi konsentrasi enzim 0,09% selama 60 menit sebesar 4,69% dan DE tertinggi diperoleh pada konsentrasi enzim 0,09% selama 120 menit sebesar 10,23%.

  Anita et al (2009) telah melakukan penelitian berupa “Pembuatan

  Maltodekstrin Dengan Proses Hidrolisa Pati Singkong Men ggunakan Enzim α- Amilase” didapatkan bahwa harga DE dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya waktu dekstrinasi dan pH proses. Semakin lama waktu dekstrinasi maka semakin besar pula harga DE. Perlakuan terbaik didapatkan pada kondisi pH 6 dengan waktu 120 menit nilai DE 19,56 sedangkan pada pH 7 dengan waktu 60 menit didapatkan DE sebesar 11,79. Syarat mutu Maltodekstrin secara umum disajikan pada Tabel 3.

  Tabel 3. Syarat Mutu Dekstrin SNI 01 2593 1992

  Komponen Persyaratan

  Warna Putih sampai Kekuningan

  Warna dengan Lugol Ungu Kecoklatan Kehalusan Mesh 80 % b/b Min 90 mesh Lolos Air % b/b

  Maks 11 Abu % b/b

  Maks 0,5 Serat Kasar % b/b Maks 0,6 Bagian yang Larut Dalam Air Min 97 % Kekentalan

  3-4 Derajat Asam

  Max 5 ml NaOH Cemaran Logam

  • Maks 30 mg/kg

  Maks 2 mg/kg Timbal

  • Maks 40 mg/kg

  Tembaga

  • Maks 40 mg.kg

  Seng

  • Arsen

  Timah

  1 mg/kg Cemaran Mikroba

  2 Maks 10

  Kapang/Ragi

  • Total Aerobik Plate Count -

  Bakteri Coliform

  • Salmonella -

  Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).

  Proses Pembuatan Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Umbi Gadung

   Umbi gadung di kupas lalu dibersihkan  Kemudian diiris tipis-tipis  Irisan umbi gadung direndam pada air yang mengalir selama 3 hari berturut- turut untuk selanjutnya dikeringkan selama 3 hari sehingga umbi gadung kering.

   Kemudian irisan umbi gadung dihaluskan dan ditambah air dengan Bubur Umbi

   Disaring dengan kain saring untuk

   Gadung

  memisahkan ampasnya lalu diendapkan.  Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan penambahan air 1:2 (b/v)  Diaduk, dan kembali diendapkan.

  Pencucian diulangi ±10 kali  Setelah itu dilanjutkan dengan pengeringan dengan oven pada suhu 55˚C

  Analisis : Kadar HCN

  Pati Gadung Kadar Air Kadar Abu Kadar Pati Kadar Amilosa dan Amilopektin Gula Reduksi

  Proses Pembuatan Maltodekstrin

  2

  = 120 menit Analisis: Kadar gula pereduksi Dekstrosa ekuivalen Rendemen Daya larut air Daya serap air Viskositas

  3

  = 90 menit W

  2

  W

  1 = 60 menit

  Waktu : W

  20 ppm Suspensi dilikuifikasi, dengan memanaskan pada suhu 85°C

  Ditambahkan enzim α- amilase 0,5% dan CaCL

  Suspensi Pati

  3 = 7 Suspensi pati sesuai perlakuan pH

  P

  2 = 6

  = 5 P

  1

  Suspensi pati kemudian diatur pHnya dengan cara menambahkan NaOH 1%. pH proses : P

  Ditimbang sebanyak 30 gr,kemudian ditambahkan air sebanyak 100 ml

  Pati Gadung

  Maltodekstrin

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Saham 2.1.1.1 Pengertian Saham - Pengaruh Analisis Kinerja Keuangan Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (2009-2013).

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Laba - Analisa Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Automotif Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 27

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebutuhan nutrisi pada anak remaja putri - Hubungan Citra Tubuh Dengan Perilaku Makan Pada Remaja Putri

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SUAKA POLITIK A. Pengertian Suaka dan Politik - Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)

0 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Selulosa Asetat dari Kulit Buah Kakao Kapasitas 1.000 Ton/Tahun

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Penilaian Usia Kehamilan - Penilaian Usia Kehamilan Bayi yang Dilahirkan Secara Seksio Sesarea Menggunakan Skor Ballard di Rumah Sakit Muhammadiyah Medan Periode Tahun 2013 sampai April 2014

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Laporan Keuangan - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Bakar Diesel - Uji Performansi Mesin Diesel Berbahan Bakar Lpg Dengan Modifikasi Sistem Pembakaran Dan Menggunakan Konverter Kit Sederhana

0 0 27

Karakteristik Maltodekstrin Hasil Hidrolisis Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst) Secara Enzimatis

0 2 6