BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPABEANAN - Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Terhadap Kelancaran Lalu Lintas Barang Ekspor Dan Impor (Studi Pada Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai Tipe Madya Pabea

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPABEANAN A. Pengertian, Peranan dan Tujuan Hukum Pabean Mengingat dengan perkembangan aktivitas ekonomi dunia khususnya

  perdagangan barang, maka diperlukan adanya aturan-aturan hukum dibidang kepabeanan dan cukai yang dapat menangani perkembangan perdagangan internasional khususnya pada ekspor dan impor sesuai dengan kemajuan dunia di era global dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional maka disusunlah ketentuan Undang-undang Kepabeanan yang mana isinya sesuai dengan perjanjian pokok mengenai perdagangan dan tarif perdagangan internasional.

  Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, sejak kemerdekaan hingga tahun 1994 Undang-undang kepabeanan nasional belum dapat dibentuk sehingga Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea)

  

Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif)

  Tahun 1910 Nomor 628 masih diberlakukan berdasarkan Pasal II

  Staatsblad

  Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan penambahan untuk menjawab tuntutan pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah yang melatarbelakangi, perubahan dan penambahan tersebut belum dapat memenuhi

   tuntutan dimaksud sehingga perlu dilakukan pembaruan.

  Kalau kita perhatikan ada beberapa alasan yang menjadi titik berat pertimbangan sehingga tidak diberlakukannya lagi peraturan perundang-undangan pabean produk kolonial Belanda. Karena peratuan kolonial dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman kini yang tak sesuai dengan alam kemerdekaan dan globalisasi karena belum mengakomodir peraturan mengenai bea masuk anti

  

dumping , bea masuk imbalan, pengendalian ekspor-impor atas barang hasil

  pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), Audit, Penyidikan dan lain lain kewenangan Bea Cukai dalam mengontrol barang antar pulau dan dipersempitnya pengertian penyelundupan serta tidak lagi membedakan terminologi kewajiban dan persyaratan.

  Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.

  Sebagai negara hukum, Indonesia selalu menghendaki wujud nyata dari sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dan yang bersumberkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bunyinya “Indonesia adalah negara hukum”. Memberikan pemahaman yakni:

  1. Berlakunya asas legalitas atau konstitusional atau asas supremasi hukum;

  2. Menjamin dan melindungi Hak dan Kewajiban Asasi Manusia;

  3. Adanya peradilan dan atau kekuasaan kehakiman yang merdeka yang mampu menjamin tegaknya hukum yang berkeadilan yang apabila terjadi

   suatu perkara sengketa atau pelanggaran hukum dalam masyarakat.

  Bertitik tolak dari pemikiran sebagai negara hukum itulah dan keinginan pemerintah yang menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, maka sesuai perkembangan hukum nasional dibentuklah Undang-Undang No 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Tujuan dibentuknya Undang-Undang Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang ini mampu untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan. Di Indonesia, peredaran barang palsu dan hasil bajakan sudah pada tahap yang serius dan mengkhawatirkan.

  Bea dan Cukai sebagai garda terdepan dalam mencegah terjadinya penyelundupan barang yang masuk dan keluar Indonesia mempunyai tugas yang vital. Oleh karena itu, bea dan cukai mempunyai landasan hukum yang jelas agar dapat melaksanakan tugasnya yaitu Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17

24 Tahun 2006.

  Tujuan dibentuknya Undang-Undang No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, diharapkan mampu untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang ini mampu untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta

   untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan. Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bertugas mengamankan kebijaksanaan pemerintah berkaitan dengan lalulintas barang yang masuk dan keluar daerah pabean dan pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Berkaitan dengan tugas dimaksud, Kepabeanan secara aktif berperan sebagai garda terdepan dalam menanggulangi kemungkinan terjadinya tindak pidana penyelundupan, sekaligus melindungi industri dalam negeri dari persaingan masuknya barang-barang impor sejenis secara ilegal.

  Hukum Pabean merupakan peraturan yang mengatur segala urusan-urusan Kepabeanan, landasan hukum pabean ialah UU No.17 Tahun 2006 atas perubahan UU No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

  Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar, definisi kepabeanan ini tertera pada Pasal 1 UU No.17 tahun 2006 atas perubahan UU No.10 Tahun 1995. Berdasarkan definisi ini kegiatan utama dari aparat pabean adalah pengawasan atas barang masuk (impor) dan barang keluar (ekspor). Pada prinsipnya obyek pengawasan aparat pabean adalah atas barang impor dan ekspor. Barang impor dan ekspor harus diawasi karena diluar manfaat didalamnya terdapat potensi yang dapat mengganggu kondisi berbangsa dan bernegara, baik dari aspek pertahanan keamanan

   (hankamnas), perekonomian, lingkungan hidup, dan aspek-aspek lainnya.

  Pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Ada juga bea keluar untuk ekspor, khususnya untuk barang/komoditi tertentu. Oleh sebab itu kegiatan memasukan ataupun mengeluarkan barang atau produk dari dan ke luar wilayah Indonesia tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus sesuai dengan ketentuan

  Kegiatan melakukan pemungutan dan pengawasan lalu-lintas barang ekspor-impor dan segala tindakannya harus didasarkan pada hukum. Di dalam negara yang berdasarkan hukum, setiap tindakan penguasa negara harus berdasarkan hukum. Oleh sebab itu tindakan penguasa negara untuk memungut pajak harus dilakukan berdasarkan hukum positif. Hal ini tercantum pada Pasal 23 A Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Pasal

  23A UUD 1945 tersebut selain memberikan dasar hukum bagi pemungutan bea oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap rakyatnya sekligus juga

   mengandung dasar falsafah pemungutan bea tersebut.

  Hukum dan semua ketentuan di bidang kepabeanan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban pembayaran bea sebagai kewajiban kenegaraan. Dengan demikian, tujuan hukum kepabeanan tidak berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya, yakn untuk

   mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

  Untuk menjamin kepentingan nasional dari perdagangan luar negeri maka pelaksanaan pergerakan fisik barang dalam rangka kegiatan perdagangan impor dan ekspor itu harus dikendalikan pemerintah melalui suatu sistem yang dikenal sebagai fungsi kepabeanan. Dengan fungsi kepabeanan dimaksudkan, segala urusan kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka pelaksaan tugas pengawasan arus lalu lintas barang yang masuk dan keluar daerah pabean dan tugas pemungutan keuangan negara yang berkaitan dengan pengeluaran barang

   tersebut.

  Dalam sistem kepabeanan Indonesia, fungsi kepabeanan diatur dalam UU Kepabeanan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pokok Pasal 2 ayat (1) UU Kepabeanan yang menentukan bahwa barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean terutang bea masuk dan berdasarkan proposisi ketentuan pokok tersebut, status yuridis barang sejak saat pemasukan ke dalam daerah pabean sampai dengan dipenuhinya kewajiban kepabeanan menjadi objek pengawasan pejabat bea dan cukai.

  Meskipun secara konsepsional fungsi kepabeanan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan nasional dari perdagangan internasional, tetapi dalam pelaksanaannya fungsi kepabeanan masih sering dipandang oleh sementara pengamat ekonomi dan pelaku usaha menghambat kelancaran arus barang, tidak secara berulang pandangan tentang perlunya diberlakukan sistem pemeriksaan prapengapalan barang oleh surveyor di luar negeri sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi kepabeanan sebagaimana pernah diberlakukan pada tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Menunjang Kegiatan

30 Ekonomi.

  Barier yang dipandang negatif tersebut sebenarnya berperan dalam

  menjaga kepentingan nasional karena dengan barier atau batasan-batasan daripada regulasi kepabeanan, pemerintah dapat mengontrol dan memungut kegiatan perdagangan internasional yang berkaitan dengan ekspor impor.

  Selain Undang-undang Kepabeanan, aturan-aturan pelaksana kepabeanan meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan sebagai Menteri daripada Kementerian yang menaungi lembaga kepabeanan yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, juga aturan pelaksana kepabeanan diatur oleh instansi terkait yaitu oleh peraturan yang dikeluarkan oleh menteri daripada kementerian lain ataupun pimpinan lembaga lain setingkat kementerian yang telah memberitahukan kepada Menteri Keuangan, contohnya peraturan-peraturan Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Perikanan dan Kelautan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima Tentara Nasional Indonesia yang berkaitan dengan Kepabeanan.

  Peranan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai aparatur negara yang berada di gerbang masuk perbatasan negara dan juga sebagai instansi penegak hukum pabean dirumuskan dalam Fungsi Implementasi DJBC yaitu : b. Industrial Assintance adalahmemberi dukungan kepada industri dalam negerisehingga memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar internasional.

  c. Revenue Collector adalah mengoptimalkan penerimaan negara melalui penerimaan bea masuk dan cukai yang mana fungsi yang dimaksud ialah pelaksanaan pemungutan bea oleh aparatpabean atas barang impor yaitu bea masuk dan bea atas barang ekspor yaitu bea keluar. Kedua fungsi ini sangat penting di Indonesia mengingat negara masih sangat membutuhkan penerimaan negara dari berbagai sektor terutama dari sektor non migas. Kontribusi aparat pabean dalam mengoptimalkan fungsi penerimaan berperan besar dalam upaya negara mencapai cita-cita bangsa.

  d. Community Protector adalah melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menggangu kesehatan dan keamanan serta moralitas.

   Salah satu peranan Bea Cukai yang termasuk kedalam Community

Protector adalah melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang

berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara.

  Tugas titipan dari instansi terkait ini sering dikenal dengan Larangan Pembatasan atau disingkat Lartas.

  Lartas dimaksud diatur secara khusus dalam Bab X pasal 53 UU No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan . Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir bisa dibatalkan ekspornya, atau diekspor kembali (re-ekspor), atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai. Kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Tujuan utama dari pengelolaan peraturan dan larangan guna perlindungan, pertahanan, keamanan dan ketertiban masyarakat adalah menjamin terlaksananya keamanan di dalam masyarakat. Setiap kegiatan ekspor dan impor komoditi yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan dan ketertiban masyarkat, dimanapun pasti akan menimbulkan dampak. Dampak yang ditimbulkan dapat positif maupun negatif.

  Senjata api, amunisi dan mesiu dalam arti positif merupakan alat untuk membela diri, mempertahankan kedaulatan negara, penegakkan hukum, tetapi dalam arti negatif penggunaan senjata api, amunisi dan mesiu secara ilegal, akan mengganggu ketertiban umum, meningkatkan tindak kriminalitas dan merupakan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Bahan-bahan berbahaya memang sangat berbahaya sekali baik pada kesehatan maupun pada lingkungan hidup, oleh karena itu pemasukan bahan- bahan berbahaya ke Indonesia harus diawasi. Tata niaga bahan berbahaya ini sudah diatur oleh Kementerian Perindusitrian dan Perdagangan (Kemenperindag), sedangkan Bea dan Cukai hanya mengawasi dengan tetap menjaga kelancaran arus barang, jasa, ataupun kelancaran dokumen.

  Sama seperti senjata api, amunisi dan mesiu, bahan-bahan kimia yang berbahaya benar-benar sangat berbahaya jika tidak diawasi penggunaannya.

  Penggunaan barang-barang berbahaya yang tidak sesuai dengan kegunaannya semata-mata tanpa memperdulikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan pada umumnya.

  Selain senjata api dan sejenisnya, bahan-bahan kima yang berbahaya, barang-barang lain yang terkena larangan dan pembatasan ialah petasan (happy

  

crackers ) film, kaset video, barang cetak (buku, brosur, pamflet dan poster yang

  dapat membahayakan ideologi pancasila dan melanggar kesusilaan), narkotika dan psikotropika, obat-obatan, alat kesehatan, baju bekas, makanan dan minuman beralkohol, plumas, bahan tambang, flora dan fauna, kayu dan rotan yang belum diolah dan bahkan juga pembawaan keluar ataupun masuk daerah pabean.

  Barang ekspor yang statusnya Larangan atau Pembatasan (LARTAS) ditetapkan oleh Instansi Teknis Terkait, yakni kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang berada tingkat pusat, yang menetapkan peraturan LARTAS atas impor atau ekspor dan menyampaikan peraturan tersebut kepada Menteri Keuangan.

  Instansi Terkait yang menetapkan peraturan LARTAS atas impor atau ekspor dan telah menyampaikan peraturan tersebut kepada Menteri Keuangan, sampai periode Agustus 2013 adalah sebagai berikut : a.

  Kementerian Perdagangan; b. Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil

  Perikanan, Kementrian Perikanan dan Kelautan; c. Badan Karantina Pertanian (Karantina Hewan dan Tumbuhan); d. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan); e.

  Kementerian Kesehatan; f. DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai); g.

  BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir); h. Bank Indonesia; i. Kementerian Kehutanan; j. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi; k. q.

  Kementerian Budaya dan Pariwisata; r. Kementerian Kelautan dan Perikanan; s.

  Mabes TNI; t. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara-Kementerian

32 Perhubungan

  Ketentuan tentang LARTAS berlaku untuk semua jenis importasi, termasuk itu impor umum, impor barang kiriman melalui PJT (Pos) dan juga melalui terminal kedatangan penumpang.

  Dari uraian terhadap misi kepabeanan yang hendak dicapai melalui peranan dan tujuan hukum pabean terhadap perdagangan luar negeri yang dikemukakan diatas maka dapat diketahui bahwa hukum pabean dibentuk dalam rangka memenuhi kepentingan publik yang meliputi tidak hanya terbatas pada kepentingan ekonomi semata-mata tetapi juga mencakup aspek kepentingan kehidupan bangsa yang terdiri dari IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan).

  

B.Hukum Pabean sebagai Bagian dari Hukum Fiskal dan Aturan Hukum

yang Terkait Dengan Hukum Pabean

  Pabean yang dalam bahasa Inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi yang dapat kita temukan dan hafal baik dalam kamus bahasa Indonesia ataupun Undang-Undang kepabeanan seperti yang telah dikemukakan pada pengertian diatas. Untuk dapat memahami kata pabean maka diperlukan pemahaman terhadap kegiatan ekspor dan impor. sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang impor. Sedang untuk ekspor pemerintah memungut beberapa komoditas ekspor namun ada kalanya pemerintah tidak memungut bea pada komoditas tertentu demi mendukung eksistensi industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.

  Hukum positif di bidang kepabeanan telah dtuangkan ke dalam produk perundang-undangan berupa undang-undang kepabeanan. Hukum Pabean juga merupakan bagian daripada hukum fiskal karena tugasnya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan keuangan negara, karena tugas dan fungsi DJBC yang sebagaimana dikemukakan diatas bahwa penerimaan terbesar negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.

  Di dalam penjelasan Undang‐Undang No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan disebutkan dalammewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, aparatur kepabeanan dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin baik, efektif, dan

   efisien, sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.

  Undang-undang kepabeanan sebagai bagian hukum fiskal. Orientasi pengaturan undang-undang kepabeanan tersebut, disamping mengatur norma- berkaitan dengan fiskal, sekaligus mengatur hal-hal diluar fiskal. Untuk kepentingan keterpaduan, dua orientasi tersebut, diatur dalam sebuah sistem yang

   disebut sistem hukum di bidang kepabeanan.

  Ketentuan hukum dibidang kepabeanan meliputi himpunan norma yang dituangkan dalam undang-undang yang mengatur pengawasan lalu-lintas barang ekspor dan impor dan pungutan bea. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sangat terkait dengan ketentuan hukum lain diluar ketentuan hukum di bidang kepabeanan antara lain hukum keuangan negara, hukum perpajakan, hukum perdagangan internasional, perjanjian internasional, serta rekomendasi-

   rekomendasi dari organisasi-organisasi internasional.

  Berikut ini adalah aturan-aturan hukum yang terkait dengan Hukum Pabean :

  1. Hukum Keuangan Negara Hukum keuangan negara merupakan sekumpulan norma yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan negara yang hendak mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang dicantumkan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, sehingga menimbulkan hak dan

   kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

  Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan hukum serta sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan pemerintahan berdasarkan konstitusi sehingga pengelolaan keuangan negara harus berpedoman dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, yang artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara harus juga berdasarkan hukum yang berlaku.

  Hukum keuangan negara positif dalam bentuk undang-undang secara prinsip berisi norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara yang meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

  Hukum pabean ataupun hukum pajak lainnya menjadi terkait dengan hukum keuangan, karena di dalam hukum keuangan tercantum prinsip yang berisi norma-norma pengelolaan keuangan negara yang di dalamnya juga berisi pengelolaan fiskal. Secara eksplisit tercantum dalam butir-butir pasal Undang-Undang Keuangan Negara yaitu UU No. 17 Tahun 2002 yang diantaranya ialah:

  a. Pada Pasal 2 huruf a disebutkan, keuangan negara meliputi “hak negara untuk memungut pajak...” b. Pada Pasal 6 ayat 1 disebutkan, Presiden selaku Kepala

  Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

  c. Pada Pasal 6 ayat 2 disebutkan, kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

  d. Pada Pasal 8 huruf e disebutkan, dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas “melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-undang”.

  e. Pada Pasal 11 ayat 3 disebutkan, pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah. Dalam

  Dengan demikian, pungutan bea baik itu bea masuk dan bea keluar serta cukai dan pungutan pajak lainnya sangat terkait dengan norma-norma yang diatur dalam hukum positif keuangan negara.

  2. Hukum Perdagangan Internasional Dalam tulisan Rafiqul Islam pada buku International Trade Law,

  Hukum Perdagangan Internasional dan Keuangan didefinisikan sebagai suatu kesimpulan aturan, prinsip, norma dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan (reglatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan internasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap prilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.

  Sebagai negara berkembang Indonesia memerlukan kepastian hukum yang lebih besar dibanding negara-negara maju guna menjamin perdagangan internasional yang terbuka dan adil.

  Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang di antaranya menjadi peserta organisasi internasional seperti WTO,

37 APEC, AFTA dan lain-lain.

  Sebagai negara yang berdaulat, termasuk berdaulat di bidang hukum, negara memiliki beberapa prinsip yang mandiri. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, negara nasional pada prinsipnya memiliki sistem hukum yang mandiri, meski tidak dipungkiri dalam kemandirian tersebut sudah tercantum standar hukum yang bersifat internasional yang dianut negara-

  

negara dan bangsa yang beradab.

  Konsekuensi penting dari keanggotaan suatu organisasi dunia seperti WTO yang diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994 mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam

   memberlakukan peraturan ekonomi.

  Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan internasional serta harmonisasi hukum tersebut adalah mencari keseragaman atau titik temu prinsip-prinsip fundamental dari berbagai

   sistem hukum.

  Dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan pabean yang efisien dan efektif dengan tetap melaksanakan kepatuhan ketentuan perundang-undangan, organisasi pabean merekomendasikan dilaksakannya harmonisasi dan penyederhanaan prosedur dan praktik pabean. Harmonisasi dan penyerderhanaan prosedur dan praktik pabean tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pabean, namun juga membantu transparansi praktik-praktik kepabeanan, yang

   memberikan kelancaran arus barang dan penumpang.

  Perkembangan hukum dan ekonomi dunia juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional yang bergerak ke arah penghapusan pembatasan-pembatasan kuantitatif atas ekspor dan impor, kecuali terdapat alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atau alasan-alasan khusus. Selain itu, pasal 24 GATT (General Tariffs and Trade) juga mencantumkan klausul yang menyatakan bahwa semua negara harus menghindari tindakan yang merugikan kepentingan negara berkembang. Selain itu, juga pada perjanjian-perjanjian yang menyangkut perdagangan internasional juga dikenal dengan adanya prinsip yang diakui bahwa dalam hal-hal yang secara material tidak menyangkut pajak, atau masalah- masalah neraca pembayaran, formalitas bea dan cukai harus disederhanakan, dan pembatasan-pembatasan administrasi atau hambatan perdagangan atas barang harus diperkecil.

  Pada perdagangan yang menyangkut impor, dikenal dua jenis katup yakni katup tarif atau tariff barrier dan katup nontarif atau Non-

  tariff barrier . Untuk katup nontarif dituangkan dalam ketentuan kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan non-perdagangan, misalnya: moral bangsa, kebudayaan serta keamanan nasional.

  Kebijaksanaan umum di bidang ekspor mengatur ketentuan barang yang diatur, barang ekspor yang diawasi dan barang ekspor yang dilarang.

  Sasaran kebijaksanaan umum di bidang ekspor ini adalah untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor nonmigas dan bertambah luasnya pasar tujuan ekspor.

  Ketentuan-ketentuan pada Organisasi Perdagangan Dunia/World

  Trade Organization (WTO) memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi

  oleh setiap negara peserta WTO dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional sehingga dalam kapasitasnya sebagai negara peserta/anggota, dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang impor dan ekspor tetap mengacu pada ketentuan tersebut. Namun demikian, meskipun terdapat rambu-rambu tersebut, WTO juga masih memberikan peluang-peluang yang sifatnya terbatas, yang masih dapat dimanfaatkan

   oleh setiap negara untuk kepentingan nasional masing-masing.

  3. Ketentuan Umum Perpajakan Menurut Mohammad Zain, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama dalam pembiayaan public investmen.

  Ditinjau dari jenisnya pajak dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu menurut sifat, menurut sasaran/objek dan menurut lembaga pemungut. Berikut adalah uraian pajak dari jenisnya: a. Menurut sifat.

  Jenis pajak berdasarkan pembagian ini dibedakan atas dua, yaitu:

  1. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misal pajak pertambahan nilai.

  b. Menurut sasaran/objek.Jenis pajak berdasar pembagian ini dibedakan atas dua, yaitu:

  1. Pajak subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misal pajak penghasilan.

  2. Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan dengan melihat objek pajak untuk mengetahui subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misal pajak pertambahan nilai.

  c. Menurut lembaga pemungut. Jenis pajak berdasar pembagian ini dibedakan atas dua, yaitu:

  1. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dalam hal ini dikelola oleh Dirjen Pajak (pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak penjualan atas barang mewah) dan Dirjen Bea dan Cukai, (misal bea masuk, bea keluar dan cukai).

  2. Pajak daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda, misal pajak daerah dan retribusi yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) ataupun yang

   dipungut Pemerintah Kabupaten/Kota.

  Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan pemungutan pajak berdasar hukum pajak formal yang diatur dalam UU No.6 tahun 1983 tentang ketentuan-ketentuan umum perpajakan dan tatacara perpajakan, sebagaiaman telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu dengan UU No.9 tahun 1994, UU No.16 tahun 2000 dan UU No.28 tahun 2007. Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak dan kewajiban bea masuk/bea keluar dan cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saling berkaitan erat. Pemahaman ini dapat kita aktivitas memasukkan atau mengeluarkan barang atau transaksi keuangan dari atau ke luar negeri yang tidak bersifat individual. Kedua, ketentuan perundang-undangan yang ada selalu menjadi landasan pijak bagi dilaksanakannya pungutan pajak atau pabaean dan cukai.

  Sistem self assesment di bidang perpajakan yang selama ini dianut masih tetap dipertahankan untuk diterapkan. Demikian juga landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan, sebagai bagian yang menguatkan perubahan ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan, sebagai bagian yang menguatkan perubahan ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ciri dan corak perubahan ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ciri dan corak perpajakan tersebut terkait penyempurnaan sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana dan berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat wajib pajak sehingga masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan lebih baik.

  Setelah diberlakukannya produk hukum nasional berupa Undang- undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang diikuti dengan diperbaharuinya kebijakan dan administrasi kepabeanan yang lain. Institusi kepabeanan Republik Indonesia, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah berupaya semua orang tidak jujur” (Customs controls have therefore been devised

  on the basic hypothesis that all people are dishonest ) sebagaimana

  disebutkan dalam deklarasi Colombus. Hipotesis tersebut diganti menjadi pengawasan bea cukai berhipotesis bahwa semua orang dianggap jujur (husnuzzhan) sampai dapat dibuktikan lain. Perubahan hipotesis ini dituangkan dalam pergeseran prinsip yang semula menerapkan prinsip

  

official assesment namun telah bergeser menjadi prinsip self assesment.

  Didalam sistem self assesment, importir diminta memberitahukan jumlah jenis dan kualitas barangnya. Importir juga diminta untuk memberitahukan tarif, pembebanan dan nilai pabean yang di impornya.

  Pasal 16 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai berwenang mentapkan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak

   tanggal pemberitahuan pabean.

  Begitu pula pada penerapan sistem self assesment pada penumpang pesawat udara, penumpang kapal laut dan penumpang angkutan darat dari luar negeri menuju wilayah pabean Indonesia, implementasi asas

  selfassesment yang dimaksud ialah pemberian lembar pemberitahuan Customs Declaration atas barang penumpang yang tiba bersama

  penumpang yang wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai dengan menggunakan Customs Declaration (CD) yang wajib diisi dengan lengkap dan benar. Formulir CD yang dibagikan oleh Awak Sarana Pengangkut (Maskapai Penerbangan/Pelayaran). Pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan, pada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

5. Hubungan Luar Negeri

  Hubungan luar negeri atau hubungan internasional bangsa aktif yang makin mampu menunjang kepentingan nasional serta makin mampu mendukung terwujudnya tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Prinsip politik luar negeri bebas aktif ini mencerminkan jiwa, tekad dan semangat

   kemandirian bangsa Indonesia.

  Dengan demikian, dalam melakukan hubungan luar negeri, Indonesia menempatkan dirinya secara wajar dan dalam posisi bersahabat dengan semua bangsa. Indonesia menghormati perbedaan yang terkandung dalam eksistensi setiap bangsa dan negara, dan menempatkan kemerdekaan sebagai nilai tertinggi dalam tata hubungan internasional, di samping perdamaian dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia menghormati setiap forum yang diciptakan oleh negara-negara di dunia untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara damai yang muncul dalam masyarakat internasional.

  Globalisasi ekonomi dan perkembangan teknologi mengakibatkan hubungan ekonomi internasional dan ekonomi nasional makin tidak dapat dipisahkan karena adanya saling ketergantungan . Hal ini juga menimbulkan tantangan bagi Indonesia untuk melakukan terobosan pasar internasional agar makin mampu menghadapi arus globalisasi dan regionalisasi perekonomian dunia sehingga dapat menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional.

  Ditingkat internasional masalah nilai pabean lambat laun menjadi isu yang sangat penting didalam arus perdagangan antar negara . Dengan digunakan sebagai sarana anti dumping. Sebelum adanya kesepakatan internasional tentang nilai pabean, pengaturan nilai pabean antar negara sangat berbeda-beda. Masing-masing negara mengatur sendiri sesuai kondisi dan selera masing-masing. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan karena dapat menimbulkan ketegangan hubungan antar Negara terutama didalam perdagangan bilateral atau multilateral. Itulah sebabnya Organisasi Perdagangan Dunia/WTO kemudian memandang perlu adanya pengaturan- pengaturan yang seragam dibidang nilai pabean bagi semua anggotanya.

  Dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 TentangPengesahan

  

Agreement Estabilishing The World Trade Organization (Persetujuan

  Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia telah meratifikasi perjanjian pembentukan badan dunia WTO. Salah satu persetujuan yang terlampir pada perjanjian tersebut adalah Agreement on Implementation of

  

Article VII of the GATT 1994 . Persetujuan ini sering disebut sebagai

  GATT atau WTO Valuation Agreement. Sebagai anggota WTO, Indonesia wajib menyesuaikan semua perundang-undangannya dengan ketentuan WTO.

  Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah memuat semua ketentuan tentang nilai pabean sesuai dengan ketentuan- ketentuan WTO Valuation Agreement dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April tahun 2005.

6. Perjanjian Internasional

  Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan pada penjelasan umum menyebutkan bahwa: Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, undang-undang kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktik kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian undang-undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut.

  Pengertian Perjanjian Internasional sendiri dijelaskan oleh Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional yaitu: Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik..

  Perjanjian Internasional merupakan setiap perjanjian dibidang hukum publik yang mana diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain.

  Pemerintah Republik Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri dan pertimbangan kepentingan nasional dapat melakukan dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi

  Keterlibatan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sangat memerlukan koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan.

  Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam antara lain treaty, convention, agreement, memorandum of

  

understanding, protocol, character, declaration, final act, arrangement,

exchange of notes, agreed minutes, summarry records, process verbal,

modus vivendy dan letter of intent .

  Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak.

  Beberapa perjanjian internasional dan kerja sama yang terkait dengan kegiatan kepabeanan antara lain sebagai berikut:

  

A. Conventions on Simplification and Harmonization of Customs

Procedures

  Konvensi tersebut lebih dikenal dengan Konvensi Kyoto karena diadakan di kota Kyoto, Jepang. Merupakan salah satu upaya harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan. Latar belakang perumusan Konvensi Kyoto dilandasi atas kesadaran umum bahwa perbedaan prosedur pabean masing-masing negara dapat menghambat kelancaran arus barang perdagangan internasional yang melintas batas masing-masing negara. Hasil rumusan konvensi Kyoto tersebut dikenal sebagai suatu instrumen internasional yang berisikan ketentuan-ketentuan dasar prosedur pabean.

  Beberapa isi ketentuan perundang-undangan kepabeanan nasional pada konvensi Kyoto, yang mana konvensi tersebut telah direvisi dengan

  

International Convention on the Simplification and Harmonization of

Customs Procedures (as amended) (Revised Kyoto Convention 1999).

  Latar belakang penyempurnaan Konvensi Kyoto dilakukan oleh

  

Customs Reformand Modernization Forum yang diadakan pada akhir 1997

  di Brussel, Belgia. Kesepakatan penyempurnaan tersebut didasari pemahaman perlunya pelaksanaan modernisasi prosedur pabean abad XXI yang diarahkan untuk meningkatkan pemberian kemudahan pada perdagangan tanpa mengabaikan aspek pengawasan.

  

B. Nairobi Convention (International Convention on Mutual

Administrative for the Prevebtion Investigation and Repression of Customs Offences)

  Salah satu tugas utama customs administrations adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat. WCO (World Customs

  

Organization/Organisasi Kepabeanan Dunia ) menjembatani maksud dan

  tujuan dimaksud dengan cara menggalang negara anggota untuk meningkatkan kerja sama internasional guna memerangi pelanggaran kepabeanan. Untuk efektivitas kerja sama internasional tersebut, WCO melaksanakan tiga strategi, yakni mempertajam fungsi informasi dan koordinasi, serta melakukan kerja sama dengan organisasi internasional terkait dalam bidang penegakkan hukum.

C. International Convention on the Harmonized Commodity

  Sistem yang diluncurkan pada tanggal 14 Juni 1983 ini merupakan sistem pengklasifikasian barang yang dapat diterima secara internasional dan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar didalam pelaksanaan perdagangan internasional.

  Harmonized system ini terdiri lebih dari 5000 kelompok barang

  yang di identifikasi dengan kode 6 digit dan dipergunakan secara internasional untuk kepentingan perdagangan internasional serta berguna untuk kepentingan lainnya seperti menentukan asal barang, negosiasi perundingan perdagangan, tarif angkutan dan lain-lain, selain untuk kepentingan utama yakni untuk pengumpulan data statistik perdagangan. Multifungsi yang dimiliki telah menyebabkan sistem tersebut sebagai salah satu dasar yang sangat penting didalam hukum perdagangan internasional.

D. Framework of Standart to secure and Faciliate Global Trade

  (Kerangka Standar (Aturan-aturan) untuk Pengamanan dan Fasilitasi Perdagangan Dunia)

  Prinsip-prinsip kerangka standar (aturan-aturan) untuk pengamanan dan fasilitasi perdagangan dunia merupakan suatu strategi untuk mengamankan arus barang secara internasional tanpa menghambatnya. Prinsip ini direkomendasikan untuk diadopsi sebagai langkah minimal yang harus dilaksanakan bagi anggota WCO.

  Tujuan Framework of Standart to Scure and Facilitate Global

  Trade dapat dirinci antara lain: a. d.

  Memperkuat kerjasama antara administrasi-administrasi pabean untuk meningkatkan kapabilitasnya mendeteksi barang beresiko tinggi;

  e. Memperkuat kerjasama antara pabean dengan dunia usaha; f.

  Mendorong pergerakan barang yang tanpa hambatan melalui mata rantai perdagangan internasional yang aman.

  Manfaat implementasi framework untuk pemerintah nasional, administrasi pabean, dan dunia usaha, yaitu: a.

  Memungkinkan pabean memfasilitasi perdagangan yang sah dan meningkatkan kinerja pabean sehingga pada gilirannya meningkatkan; penerimaan negara, pelaksanaan ketentuan perundang-undangan secara benar dan mendorong investasi luar negeri secara langsung; b. Mendorong kerja sama pabean dengan instansi terkait lainnya sehingga pemerintah dapat memastikan manajemen dan pengawasan perbatasan yang terintegrasi; c. Bagi dunia usaha bermanfaat untuk menciptakan kondisi perdagangan internasional yang aman, fasilitas dan dukungan terhadap perdagangan internasional dan prosesmpabean yang lebih cepat sehingga menghemat waktu dan biaya serta aturan pabean

   internasional yang seragam dan predictable.

  E. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) GATT merupakan perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan internasional, didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh, Maroko pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu:

  1. Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.

  2. Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.

  3. Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan

   suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.

  Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggotaGATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995. Lahirnya membawa dua hal perubahan mendasar, yaitu :

  1. WTO mengambilalih peran GATT dan menjadikannya sebagai salah satu lampiran aturan WTO.

  2. Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang

   baru dalam perjanjian WTO. Misalnya GATS, TRIMS, TRIPS.

  Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta juga untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang seha. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:

  1. Meningkatkan taraf hidup umat manusia; 2. meningkatkan kesempatan kerja; 3. meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan 4. meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.

  Fungsi GATT ialah pertama, suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara- negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan; Kedua, sebagai suatu forum atau wadah perundingan perdagangan dan diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu; Ketiga, GATT mengupayakan agaraturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan

  Garis-garis Besar Ketentuan GATT yakni GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasal-pasal dibagi ke dalam 4 bagian:

  1. Bagian Pertama : Pasal 1, Pasal Utama menetapkan prinsip utama GATT, MFN Treatment pada anggota. Pasal 2 Penurunan Tarif yang disepakati berdasarkan GATT.

  2. Bagian Kedua : Memuat 30 Pasal (Ps III-Ps XXII).

  3. Bagian Ketiga : Berisi 11 Pasal.

  4. Bagian Keempat : Terdiri dari empat pasal yang ditambahkan pada tahun 1965. Bagian ini berisi kebutuhan-kebutuhan khusus

   daripada negara-negara sedang berkembang.

  Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of

  General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) 1994, Article 22

  menyebutkan bahwa perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation

  Agreement . Dalam Article 4 konvensi tersebut diatur bahwa metode