BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang - Pengaruh Elit Politik Dalam Proses Pemekaran Daerah (Studi Analisis : Pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi.

  Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah Daerah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 18.

  Sejak kemerdekaan sampai saat ini, distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul, yang selalu bergerak secara sistematis pada dua sisi yaitu pusat dan daerah. Bahwa, pada suatu waktu bobot kekuasaan ada pada pemerintah daerah. Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal. Pertama, karena pengaturan undang-undang tentang pemerintahan, sejak kemerdekaan sampai tahun 2005, Indonesia telah memiliki 8 (delapan) undang-undang tentang Pemerintahan daerah. Jika kita cermati secara analitis terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya suatu undang-undang Pemerintahan Daerah. Kedua, disebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap undang-undang Pemerintahan Daerah yang disebabkan kepentingan penguasa pada 1 masa berlakunya undang-undang Pemerintahan Daerah.

  Pemekaran daerah merupakan sebuah jalan yang terbuka lebar di Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru presiden Soeharto yang sentralistik oleh gerakan reformasi 1998. Proses yang menjadikan perubahan dari sentralistik menjadi desentralisasi dan adanya otonomi daerah yang banyak melahirkan pemekaran daerah di Indonesia, mulai dari Desa, Kecamatan, Kabupaten/ kota hingga Provinsi. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

  Laju desentralisasi di indonesia dalam beberapa tahun terakhir terbilang sangat mengesankan. Wacana-wacana tentang desentralisasi seakan menjadi primadona dalam euforia demokrasi yang semakin mengglobal. Desentralisasi diyakini secara general merupakan ekspresi demokrasi yang mampu mengejawantahkan kepentingan rakyat secara terpadu. Hal itu pulalah yang mendorong mencuatnya konsep kebijakan pemekaran daerah sebagai implementasi dari konsep desentralisasi tersebut. Istilah pemekaran sendiri bukan merujuk pada perluasan teritori sebuah daerah, melainkan merujuk pada pemekaran jumlah daerah otonom, yang dari sisi internal daerah justru luas daerah dan jumlah penduduk mengalami pengurangan, namun jikalau dilihat dalam level nasional jumlah daerah 2 otonom mengalami penambahan Pasca adanya otonomi daerah, setiap daerah pada dasarnya dituntut untuk lebih mandiri dalam mengatur pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan asas desentralisasi dimana setiap daerah diberi hak dan wewenang untuk mengatur jalannya pemerintahan sesuai dengan kondisi yang ada dalam masyarakat.

  Pembangunan pun seharusnya didasarkan pada kebutuhan dasar dari masyarakat itu sendiri sehingga efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah dapat tercapai, dengan demikian kesejahteraan masyarakat bukan sekedar wacana melainkan sesuatu yang konkret yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

  Desentralisasi dan otonomi daerah juga merupakan pendidikan politik dimana dengan adanya pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi politik. Kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, baik dalam rangka memilih atau dipilih akan terbuka lebar asalkan dilakukan secara demokratis, akan memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah bahkan mungkin penumpukan sumber-sumber kekuasaan di tangan segelintir orang. Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional, apalagi secara langsung ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik di daerah.

  Cerita sukses pemekaran cenderung kurang bila dibandingkan dengan realita yang terjadi saat ini. Beberapa contoh permasalahan tersebut, misalnya terjadi peningkatan tindak kekerasan, menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara drastis, menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk, perebutan wilayah dan masalah 3 ibukota pemekaran dan perebutan aset.

  Pemetaan makna Politik pemekaran Daerah diIndonesia pasca orde baru yang dilakukan oleh Syafarudin tahun 2009 menyebutkan, Pemekaran daerah dapat 4 dikategorikan dalam empat kuadran besar, yaitu : Pertama, Pemekaran daerah bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan pusat. Misalkan, pemekaran daerah dipandang sebagai politik integritas, politik nasionalime dll. Kedua, pemekaran daerah bermakna substantif dan pekat pengaruh atau keinginan daerah. Misalkan pemekaran daerah dipandang sebagai politik percepatan pembangunan, mengatasi rentang kendali, mensejahterakan masyarakat dll. Ketiga, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau keinginan daerah, semisal pemekaran daerah dipandang sebagai arena kontestasi elit lokal, politik indentitas lokal, politik etnis, politik uang dll. Kempat, pemekaran daerah bermakna bias/dissubstantif dan pekat pengaruh atau keinginan pusat.

  Elit politik lokal yang memaknai struktur yang ada pada zaman Orde Baru sebagai pemberdaya yang memberi peluang dan kemudahan baginya, maka 3 perubahan sistem politik yang menghadirkan struktur baru dimaknainya sebagai

  

Tri Tarnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2009) hlm. 16 pembatas atau pengekang. Elit politik lokal ini akan tetap pada posisi memegang kekuasaan kalau mereka mampu menyesuaikan dengan struktur yang baru; dan untuk keperluan itu mereka dituntut mampu merumuskan strategi menyiasati struktur. Dalam rangka menyiasati struktur, upaya untuk melakukan perubahan struktur dapat dilakukan oleh elit politik lokal sebagai pelaku melalui upaya tindakan yang oleh 5 Giddens disebut sebagai de-rutinasi.

  Dasar pertimbangan pembentukan daerah adalah berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain. Diharapkan daerah otonom baru dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya setempat menurut prakarsa sendiri.

  Berdasarkan pertimbangan tersebut maka ditetapkanlah syarat-syarat dan kriteria yang dirumuskan dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 meliputi (i) kemampuan ekonomi; (ii) potensi daerah; (iii) sosial budaya; (iv) sosial politik; (v) jumlah penduduk; (vi) luas daerah dan (vii) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Usulan pemekaran daerah hendaknya merupakan aspirasi masyarakat daerah itu sendiri yang ingin membentuk daerah otonom sendiri dengan alasan peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan tetapi usulan ini sering kali ditunggangi oleh kepentingan elit politik yang ingin mendapatkan status kekuasaan atas pembentukan daerah otonom baru tersebut.

  Wacana pemekaran daerah di Sumatera Utara memang sangat marak pasca gencarnya otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Ada 4 daerah yang telah menyatakan sikap untuk mekar dari Sumatera Utara, yaitu Provinsi Tapanuli (Protap), Provinsi Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Timur, dan Provinsi Sumatera Tenggara.

  Dalam proses perjalanannya telah banyak dinamika politik yang terjadi dalam pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Sumatera Utara.

  Masih lekat dalam ingatan kita, ketua DPRD Sumut, Azis Angkat, yang harus kehilangan nyawa dalam pembahasan pemekaran daerah Provinsi Tapanuli. Relatif semakin transparannya peran elit dalam proses pemekaran daerah. Dengan menafikan aspirasi masyarakat atas tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli, namun fakta ditahannya sejumlah tokoh yang diduga sebagai otak dari tindakan kerusuhan tersebut, cukup jelas mengindikasikan bahwa roh pembentukan Provinsi Tapanuli telah didominasi oleh kepentingan elit. Lebih menarik lagi, hasil pemeriksaan sementara dari pihak kepolisian, menunjukkan bahwa diantara enam tokoh yang sedang diperiksa tersebut, terdapat mantan anggota DPRD Provinsi Sumut. Bila ditarik kebelakang, kompetisi kepentingan antar elit pada kasus pemekaran Provinsi Tapanuli, juga terkait dengan Pemilu 2004 dan Pilgub Sumut, yakni dijadikannya isu 6 pemekaran Protap pada Pemilu Legislatif 2004. Dapat kita lihat tingginya etnisitas dan identitas budaya serta pengaruh dari elit-elit politik di daerah Sumatera Utara.

  Sumatera Tenggara yang merupakan bentukan dari 5 Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kota Padangsidimpuan yang nantinya akan menjadi ibukota Provinsi Sumatera Tenggara. Pemekaran daerah yang dikuatkan oleh adanya semangat identitas dari mayoritas suku Mandailing dan Angkola menjadi semangat kebersamaan bagi masyarakat untuk mensukseskan pemekaran daerah Provinsi Sumatera Tenggara. Hal ini juga diperkuat dan didukung oleh elit-elit lokal di daerah kabupaten/kota penggagas pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara.

  Sumatera Tenggara memiliki kekayaan alam yang berlimpah, akan tetapi belum seiring dan sejalan dengan pengembangan daerah-daerah di wilayahnya.

  Pertambangan emas di sepanjang Taman Nasional Batang Gadis, energi panas bumi yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan, hasil hutan dan perkebunan yang berlimpah, dan juga kekuatan adat istiadat yang diikat dalam sebuah stuktur sosial dalihan na

  

tolu, menjadikan Sumatera Tenggara sebagai wilayah yang potensial sebagai daearah

  otonomi baru. Kota Padangsidimpuan sebagai Ibukota dari Sumatera Tenggara sangat strategis dalam menjangkau dan penghubung daerah-daerah yang terdapat di wilayah Sumatera Tenggara. Hal ini lah yang menjadi alasan dari pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara.

  Adanya dukungan yang kuat dari elit politik Tabagsel di daerah dan di pusat menjadi kekuatan tersendiri dalam mempercepat pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara. Kepala daerah di 5 kabupaten/kota yang sudah menyatakan sikap untuk sepenuhnya mendukung kesuksesan dari pemekaran Sumatera Tenggara. Di pihak Legislatif juga telah menyatakan siap untuk mensukseskan keinginan dari masyarakat Tabagsel dalam membentuk DOB Sumatera Tenggara, ditunjukkan dengan telah Sumatera Tenggara. Selain itu, dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat juga memberi harapan besar dalam percepatan pemekaran daerah Sumatera Tenggara, seperti yang telah dilakukan oleh Masyarakat Perantauan Tabagsel yang berdomisili di pusat Ibukota Negara. Perasaan sebagai putra daerah menjadi alasan untuk dukungan pengabdian terhadap tano hatubuan (tanah kelahiran). Selanjutnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi induk, juga telah memberikan dukungan terhadap pembentukan Provinsi Sumatera Tenggara.

  Namun dalam proses yang telah dilakukan, masih ada kendala yang harus ditempuh oleh seluruh masyarakat dan juga elit politik Tabagsel. Pro dan kontra menjadi sebuah keharusan dalam pilihan di sistem demokrasi, dan inilah yang harus dihadapi bersama, terkhusus kepada elit politik. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Elit Politik dalam Proses Pemekaran Daerah (Studi Kasus: Pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara).

1.2 Rumusan Masalah

  Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk

  • – diteliti. Rumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya,atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang
lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada 7 identifikasi masalah dan pembatasan masalah.

  Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan di latar belakang, peneliti ingin meneliti serta membahas bagaimana elit politik lokal dan masyarakat berperan dalam proses pemekaran daerah Provinsi Sumatera Tenggara sebagai Daerah Otonom Baru. Dengan harapan mampu memberikan dampak kemajuan untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah Sumatera Tenggara. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini :

  Bagaimana pengaruh dan kekuatan elit politik lokal Sumatera Tenggara dalam proses mewujudkan Daerah Otonomi Baru Provinsi Sumatera Tenggara?

1.3 Batasan Masalah

  Dalam membuat penelitian, peneliti memerlukan batasan terhadap hal-hal apa saja dari masalah yang akan diteliti dan dibahas agar masalah yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Peran elit politik lokal dalam proses pemekaran provinsi Sumatera Tenggara.

  2. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam mendukung pemekaran provinsi Sumatera Tenggara.

  3. Dampak dari otonomi daerah dan desentralisasi pada daerah otonom baru.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian. 8 Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran elit politik dalam proses pemekaran daerah dan melihat sejauh mana kebutuhan masyarakat akan adanya pemekaran provinsi Sumatera Tenggara.

  1.5 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat penelitian yang dimaksud penulis sebagai berikut : a.

  Secara akademis, diharapkan mampu memberikan sebuah kontribusi ilmiah terhadap kajian otonomi daerah, desentralisasi, dan pemekaran daerah.

  b.

  Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat kebutuhan akan adanya pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara yang mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dan mengetahui peran elit politik lokal dalam proses pemekaran.

  c.

  Secara pribadi, bermanfaat untuk peneliti dalam mengembangkan kemampuan membuat karya ilmiah serta dapat berguna sebagai bentuk kontibusi terhadap tanah kelahiran.

1.6 Kerangka Teori

  Bagian ini merupakan unsur yang paling penting di dalam penelitian, karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan teori

  • –teori yang relevan dengan penelitiannya. Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian effendi dalam buku Metode Penelitian Survei mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
  • 9 hubungan antar konsep.

      Oleh karena itu, dalam penelitian ini, untuk menggambarkan masalah penelitian yang menjadi objek di dalam penelitian, peneliti menggunakan teori, yaitu

    1.6.1 Teori Elit Politik Lokal

      Adapun elit politik lokal yang dimaksud adalah mereka yang menduduki posisi jabatan politik di ranah lokal. Perjalanan sejarah mencatat bahwa posisi mereka sebagai elit politik lokal mengalami ‘pasang naik’ dan ‘pasang surut’ paralel dengan perubahan yang terjadi. Mereka yang pada rentang waktu tertentu mengalami pembatasan dari struktur yang ada, berubah nasibnya menjadi mengalami pemberdayaan pada kurun waktu yang lain. Demikian pula ada di antara mereka yang semula mengalami pemberdayaan berubah menjadi mengalami pembatasan dari struktur.

      Realitas pentas politik Indonesia menunjukkan, tatkala rezim otoritarian Orde Baru berkuasa, ada sekelompok elit politik lokal yang mengalami pembatasan dari struktur yang ada dan ada pula sejumlah elit politik lokal lainnya yang mengalami pemberdayaan. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru menghasilkan kehadiran sistem politik yang bercorak demokrasi memungkinkan terjadinya perubahan pemaknaan struktur yang ada; elit politik lokal yang semula memaknai struktur sebagai pembatasan berubah menjadi pemberdayaan, dan mereka yang tadinya 10 memaknai sebagai pemberdayaan berubah menjadi pembatasan.

      Beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut proses sosial politik masyarakat lokal adalah, pertama, pelopor-pelopor demokrasi bisa muncul dari segenap unsur publik (masyarakat sipil) sehingga elit politik jika telah cukup tersediannya media-media sipil dalam rangka melakukan praktek yang bersifat partisipatori kepada masyarakat sipil , prinsip ini kemudian berkaitan erat dengan aspek normative (moral politik) maupun positifnya (mekanisme Check and balance).

      

    Kedua, proses sosial politik berkaitan erat dengan kualitas sumberdaya manusia lokal.

      Indikatornya kapasitas pendidikan dan kualitas teknis dari para elit politik dan pimpinan organisasi kemasyarakatan pada tingkat lokal. Ketiga, tertatanya aktivitas penunjang pencerdasan politik guna menuju paradigma politik yang rasional dan objektif. Proses ini sebenarnya mengharuskan para elit politik untuk mampu mengembangkan secara konstruktif, bagaimana paradigma rasional objektif dikedepankan daripada fanatisme kharismatik kepada kumunitasnya, Keempat, menyangkut tentang kebutuhan akan integritas elit politik dengan daya kontrol sosial politik publik yang secara optimal berfungsi. Integritas elit politik ini senantiasa terkontrol oleh publik seiring dengan kapasitas dan hasil kerja (prestasi) yang mampu 11 mereka berikan .

      Kata elit selalu menarik perhatian, justru karena ia sering diartikan sebagai “orang-orang yang menentukan”. Pendekatan elit dalam studi ilmu sosial memeang tidak kebal dari kritik namun sangat membantu menjelaskan fenomena struktur sosial, khususnya struktur kekuasaan seperti bentuk piramida. Para elit adalah mereka yang berada dalam puncak piramida itu, mereka yang punya pengaruh dan menentukan. Bottomore yang menemukan konsep keseimbangan sosial, yang apabila direfleksikan dengan dinamika politik, sebagai bagian dari dinamika sosial lebih luas.

      Elit akan sangat terkait dengan upaya menuju tercapainya kondisi keseimbangan 12 politik (political equilibrium).

      Sofian Effendi secara sederhana memberi batasan tentang elit lokal adalah kelompok kecil yang biasanya oleh masyarakat tergolong disegani, dihormati, kaya, dan berkuasa. Kelompok elit yang kerapkali dinyatakan sebagai kelompok minoritas superior, yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendalikan aktivitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan terutama keputusan-keputusan yang berdampak kuat dan berimbas luas terhadap tatanan kehidupan. Mereka tidak hanya ditempatkan sebagai pemberi legitimasi tetapi lebih daripada itu adalah panutan sikap dan cermin tindakan 13 11 serta senantiasa diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama.

      

    Arif Nasution,M., Badaruddin, Heri Kusmanto, 2005, Nasionalisme dan Isu-isu Lokal, Medan : USU Press. Hal.

    12

    74 Bottomore,T.B.2006. Elit dan Masyarakat, Jakarta : Akbar Tandjung Institute. Hal.6.

      Dalam mendukung analisis di penelitian ini, ada baiknya menyajikan beberapa pendapat ahli tentang teori elit, sebagai berikut:  Suzzane Keller

      Elite menurut Suzzana Keller, berasal dari kata elligere, yang berarti memilih, dalam perkataan biasa kata itu berarti bagian yang menjadi pilihan atau bunga suatu bangsa, budaya, kelompok usia dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi. Dalam arti umum elit menunjuk pada sekelompok orang dalam masyarakat yang menempati kedudukan-kedudukan tertinggi. Dengan kata lain, elit adalah kelompok warga masyarakat yang memiliki kelebihan daripada warga masyarakat lainnya sehingga menempati kekuasaan sosial di atas warga masyarakat 14 lainnya.

      Perbedaan yang tidak mungkin terelakkan di antara anggota masyarakatyang satu dengan yang lainnya dapat dinyatakan sebagai titik awal bagi munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai keunggulan.Anggota masyarakat yang mempunyai keunggulan tersebut pada gilirannya akan tergabung dalam suatu kelompok yang dikenal dengan sebutan kelompok elit.

      Keunggulan yang melekat pada dirinya akan menggiring mereka tergabung dalam kelompok elite yang mempunyai perbedaan dengan anggota masyarakat kebanyakan lainnya yang tidak memiliki keunggulan. Sebutan elite atau terminologi elite, sebagaimana diungkapkan oleh Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Suzanne Keller dan pemikir yang tergolong dalam elite teoritis, memang menunjukkan pada kelompok atau golongan yang ada di suatu masyarakat. yang memiliki keunggulan atau superioritas apabila dibandingkan dengan kelompok atau golongan lainnya.

       Vilfredo pareto Pareto percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang, terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai 15 elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat. Mereka terdiri dari para pengacara, mekanik, bajingan atau para gundik. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan masyarakat yang berbeda itu umumnya datang dari kelas yang sama; yaitu orang-orang yang kaya, pandai, dan mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari 2 kelas:

      1. Lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite).

      2. Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.

      Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting.Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tak dapat. ditahan dari individu-individu dan elit-elit kelas atas hingga kelas bawah, dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang melahirkan, suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur-unsur yang melorotkan kelas-kelas yang memegang kekuasaan, yang pada pihak lain justru malah meningkatkan unsur-unsur kualitas superior pada kelompok-kelompok yang lain. Hal tersebut menyebabkan semakin tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat. Akibatnya keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu. Kiranya inilah yang menjadi perhatian utama Pareto.

      Pada bagian lain ia juga mengemukakan tentang berbagai jenis pergantian antara elit, yaitu pergantian:

      1. Antara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri.

      2. Antara elit dengan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada dan individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam suatu kearah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.

      Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan runtuhnya elit yang memerintah, yang merusak keseimbangan sosial, dan mendorong pergantian elit. Pareto memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elit yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep "residu". Konsep tersebut didasarkan pada perbedaan yang digambarkannya terjadi di rasional") dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya. Tindakan yang logis adalah tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang dapat diusahakan serta mengandung maksud pemilikan yang pada akhirnya dapat dijangkau. Tindakan non-Iogis adalah tindakan-tindakan yang tidak diarahkan pada suatu tujuan, atau diarahkan pada usaha-usaha yang tidak dapat dilakukan, atau didukung oleh alat-alat yang tidak memadai guna melaksanakan usaha tersebut.

      Konsep Residu sebenarnya adalah kualitas-kualitas yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang, dan sementara dia menyusun suatu daftar "residu" dia mengikatkan kepentingan utamanya pada residu "Kombinasi" dan residu "Keuletan bersama" dengan bantuan elit yang memerintah yang berusaha melestarikan kekuasaannya. Residu "kombinasi" dapat diartikan sebagai kelicikan dan residu "keuletan bersama" berarti kekerasan, menurut pengertian yang sederhana. Pareto juga telah menggambarkan ke dua elit tersebut sebagai para "spekulator" dan para "rentenir". Terdapat dua tipe elit yaitu mereka yang memerintah dengan kelicikan dan yang memerintah dengan cara paksa. Dalam usahanya untuk mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan mereka, elit-elit ini melakukan "penyerapan" 16 atau menggunakan isu-isu yang mereka ciptakan untuk mengelabui massa.

    1.6.2 Desentalisasi, Otonomi daerah, dan Pemekaran daerah.

    1.6.2.1 Desentralisasi

      Desentralisasi adalah menunjukkan kepada proses pendelegasian daripada tanggungjawab terhadap sebagian dari administrasi negara kepada badan-badan (korporasi-korporasi) otonom bukan kepada jabatan dan tidak hanya mengenai kewenangan dari suatu urusan tertentu (Prajudi Atmosudirdjo S.H)

      Perbandingan pengertian desentralisasi: 1. Amrah Muslim S.H

      Desentralisasi adalah pembagian kekuasaan pada badan-badan dan golongan dalam masyarakat untuk mengurusi rumahtangganya sendiri.

    2. S.L.S. Danoeredjo S.H.

      Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dalam otonomi dari organ-organ lebih tinggi (Pemerintah Pusat) kepada organ-organ otonom (Kepala Daerah Swatantra/Istimewa Tingkat I/II serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerahnya). Jadi Desentralisasi adalah penyerahan urusan Pemerintah Pusat atau Daerah Tingkat atas kepada Daerah yang menjadi urusan rumah tangganya. 17 Desentralisasi dalam pandangan Ruiter dalam Hoogerwerf dapat diartikan sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan serta struktur wewenang yang dimiliki termasuk didalamnya prinsip- prinsip pembagian wewenang.

      Prinsip-prinsip pembagian wewenang meliputi: 1) unitarisme dan federal- isme, 2) sentralisasi dan desentralisasi (dalam arti sempit), dan 3) konsentrasi dan dekonsentrasi. Unitarisme dan federalisme berlaku pada negara-negara federal, di mana pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara bagian mendasarkan pelaksanaan wewenangnya atas konstitusi-konstitusi tersendiri yang bersama-sama menjamin suatu pembagian wewenang antara negara federal dan negara bagian.

      Wewenang-wewenang tersebut tidak saling membawahi, akan tetapi sejajar dengan pembatasan-pembatasan satu sama lain. Sentralisasi dan desentralisasi digunakan pada bersangkutan dengan hubungan-hubungan di negara kesatuan atau dalam suatu negara bagian dari suatu federasi. Negara demikian lebih terdesentralisasi apabila lebih banyak wewenang dan tugas di bidang pelaksanaan kebijakan diserahkan atau ditugaskan kepada badan-badan umum yang tidak langsung berada di bawah pemerintahan pusat. Sedangkan konsentrasi dan dekonsentrasi merupakan kecenderungan untuk menyebarkan fungsi-fungsi pemerintahan pada jenjang tertentu secara meluas kepada organisasi pemerintahan.

      Lebih lanjut Ruiter menjelaskan bahwa desentralisasi menurut pendapat umum terbagi dalam dua bentuk yaitu: 1) Desentralisasi teritorial dan 2) fungsional.

      Desentralisasi teritorial seperti di Nederland, propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja yang terdesentralisasi secara territorial. Propinsi-propinsi dan kota praja-kota praja merupakan kesatuan-kesatuan dengan identitas publik sendiri. Untuk itu,

      Sedangkan desentralisasi fungsional bentuknya antara lain badan-badan urusan pengairan, badan kerja sama kota praja termasuk yang disebut pregewesten.

      Ada dua jenis desentralisasi, yakni desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi territorial adalah penyerahan kekuasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan batas pengaturan tersebut adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis 18 fungsi itu sendiri, misalnya soal pertanahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

      Tujuan desentralisasi lebih bersifat etis daripada sekedar politis mendelegasikan dan membagi-bagi kekuasaan politik. Pertama, desentralisasi dimaksudkan untuk lebih memperlancar dan memaksimalkan pelayanan publik demi menjamin kepentingan masyarakat secara lebih baik. Hal ini biasa dicapai karena pengambilan kebijakan telah didekatkan pada rakyat, yaitu di daerah. Dengan pelayanan publik semakin didelegasikan kepada instansi yang lebih rendah dan lebih dekat dengan rakyat, kepentingan rakyat lebih dilayanai secara cepat, murah dan efektif Kedua, Menjamin demokrasi, memungkinkan partisipasi publik dalam setiap pengambilan putusan dan kebijakan politk, memungkinkan control serta pertanggungjawaban publik melalui hirarki kekuasaan yang ada, peluang menampung aspirasi dan kehendak rakyat menjadi semakin luas. Aspirasi lebih mudah dan cepat disampaikan karena kebijakan publik berada di daerah bersama rakyat yang

      .

      berkepentingan langsung. Keliga. Kebi jakan publik pun biasa lebih baik karena benar-benar mengakomodasi aspirasi dan kepentingan rakyat setempat. Keempat, Otonomi daerah bertujuan untuk lebih membuka peluang bagi jaminan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Dengan desentralisasi, peluang ekonomi dan akses ekonomi di buka dan memungkinkan setiap daerah dan kelompok sosial untuk berperan aktif dalam mengembangkan ekonomi. Kelima, Desentralisasi membawa dampak positif berupa pemangkasan rentang birokrasi dan mengurangi 19 korupsi.

    1.6.2.2 Otonomi daerah

      Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

      Hal tersebut menunjukkan bahwa makna dasar dari otonomi adalah adanya suatu kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan-kebijakan sendiri yang ditujukan bagi perlaksanaan roda pemerintahan daerahnya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.Pratikno menyatakan bahwa kewenangan-kewenangan tersebut mengacu pada kewenangan pembuat keputusan didaerah dalam menentukan tipe dan tingkat pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, dan bagaimana 20 pelayanan ini diberikan dan dibiayai.

      Kewenangan yang diberikan bersifat nyata, luas dan bertanggung jawab sehingga memberi peluang bagi daerah agar dapat mengatur dan melaksanakan kewenangan daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan, kondisi dan potensi masyarakat disetiap daerah. Keberadaan Otonomi Daerah diharapkan terjadi penguatan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas demokrasi atau dengan kata lainbahwa UU Pemerintahan Daerah bervisi demokrasi.

    1.6.2.3 Pemekaran daerah

      Pemekaran daerah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran daerah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimeka namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau 20 lebih daerah otonom.

      Pratikno, Perumusan Pola Hubungan Pusat Daerah dalam Rangka Realisasi Otonomi Daerah. Laporan

      Terdapat beberapa alasan kenapa pemekaran daerah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan pelayanan publik, yaitu:

      Pertama, keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih luas (hermanislamet, 2005). melalui proses perencanaan pembangunan daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik sesuai kebutuhan lokal akan lebih tersedia.

      Kedua, mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal. dengan dikembangkannya daerah baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.

      Ketiga, penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. kenyataan politik seperti ini juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha, karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.

      Pemekaran daerah yang merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat; 2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; 3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; 4. percepatan pengelolaan potensi daerah; 21 5. peningkatan keamanan dan ketertiban .

    1.7 Metodologi Penelitian

      1.7.1 Metode Penelitian

      Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode ini dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keaadaan sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada 22 saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

      1.7.2 Jenis Penelitian

      Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan- kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan

      

    diakses pada 14 Desember 2014 pukul menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual, 23 dan kategoris dari data itu sendiri.

      Selain itu, penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui pertanyaan maupun kuisioner. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keaadaan ataupunprosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara, ataupun observasi.

      1.7.3 Lokasi Penelitian

      Adapun lokasi penelitian ini adalah di 3 daerah Kabupaten/Kota gabungan pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara yaitu Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal.

      1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

      Dalam suatu penelitian kualitatif terdapat tiga macam teknik dalam 24 mengumpulkan data, yaitu :

    1. Wawancara secara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh merupakan kutipan tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuan dari responden.

      2. Observasi langsung/terlibat, proses pengumpulan data dengan turun langsung ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang tengah dialami subjek penelitian.

    23 Bruce A. Chodwick. 199

      1. “Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk),”Metode Penelitian Ilmu-ilmu

    3. Penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan), pencarian datadan buku-buku, jurnal, surat kabar, catatan organisasi dan lainnya.

    1.7.5 Teknik Analisa Data

      Sesuai dengan metode penelitian, dalam menganalisa data, data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefeniskan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang diamati.

      Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

      a. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data primer atau sumber 25 pertama dilapangan . Dilaksanakan dengan metode wawancara mendalam (indepth-

      

    intervie w) yang dipandu dengan oleh pedoman wawancara. Dengan mengajukan

      pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

      b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber 26 sekunder . Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul 25 penelitian.

      

    Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya:

    Airlangga University Press. hal. 128

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Studi Deskriptif Fungsi Komunikasi Non Verbal Emoticon dalam Instant Messaging di kalangan Mahasiswa

0 0 7

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

0 0 9

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

1 1 6

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENJAGA PELESTARIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat) Skripsi

0 1 8

PENDAHULUAN Latar Belakang - Nilai Budaya dalam Leksikon Erpangir Ku Lau Tradisi Suku Karo (Kajian Antropolinguistik)

0 0 13

ANALISIS GAYA BAHASA IKLAN ELEKTRONIK PRODUK KOSMETIK Fadlun Al fitri fadlun.alfitriyahoo.co.id Abstract - Analisis Gaya Bahasa Iklan Elektronik Produk Kosmetik

0 0 9

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 - Persepsi Mahasiswa FISIP USU Terhadap Video Parodi Vicky Prasetyo dan Zaskia Ghotic Karya Eka Gustiwana di Youtube

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Persepsi Mahasiswa FISIP USU Terhadap Video Parodi Vicky Prasetyo dan Zaskia Ghotic Karya Eka Gustiwana di Youtube

0 0 7

Analisis ―Hasan Rohani – Figur Multitalenta Menjadi Presiden Iran‖: Pendekatan Wacana Kritis

0 0 18

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATENKOTA PENGGAGAS PROVINSI SUMATERA TENGGARA 2.1. Kota Padangsidimpuan - Pengaruh Elit Politik Dalam Proses Pemekaran Daerah (Studi Analisis : Pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara)

0 1 32