BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Bab II Tinjauan Pustaka.doc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Matematika Beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli tentang belajar sebagai

  berikut. Menurut Sudjana (1989: 5) belajar adalah suatu proses yang ditandai perubahan pada diri seseorang. Sementara Nasution (Slamento, 2003: 3) menyebutkan belajar adalah suatu proses yang melahirkan atau mengubah sesuatu kegiatan melalui berbagai latihan yang dilakukan oleh seseorang yang belajar.Sedangkan Gagne (Hanafi dan Manan, 1988: 18) menyatakan belajar merupakan proses yang memungkinkan mahluk-mahluk merubah perilakunya cukup cepat dalam cara yang kurang lebih sama, sehingga perubahan yang sama tidak akan terjadi lagi pada setiap situasi baru. Kemudian Dahar (1996: 11) mengemukakan belajar dapat didefenisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Selanjutnya Makmun (2000: 157) mengemukakan di kalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Namun, baik secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan makna bahwa dalam defenisi manapun, konsep belajar itu selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.

  Menurut Ausubel (Dahar, 1996: 110) belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan infromasi itu pada struktur kogitif yang sudah ada. Adapun struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

  Hamalik (2003: 30) menyebutkan beberapa perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang telah mengalami proses belajar yaitu aspek pengetahuan, pengertian atau pemahaman, kebiasaan, ketrampilan, emosional, hubungan sosial, jasmani, etika atau budi pekerti, dan sikap

  Hudoyo (1990: 11) menyatakan bahwa seseorang dikatakan belajar matematika, apabila pada diri orang tersebut terjadi suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu sesuatu konsep menjadi tahu konsep tersebut, dan mampu menggunakannya dalam mempelajari materi lanjut atau dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses belajar matematika bukan hanya pengenalan yang harus dicapai tetapi juga perlu pemahaman terhadap materi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Bloom (1971: 649) yang menyatakan bahwa pemahaman berhubungan dengan konsep-konsep dan generalisasi atau mentransformasi unsur-unsur masalah dari suatu bentuk ke bentuk lain

  Sementara Bruner (Hudoyo, 1990: 48) menyebutkan belajar matematika adalah belajar tentang konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan-hubungan antara konsep dan struktur matematika itu. Sedangkan Sutiarso (2000: 630) menyatakan bahwa belajar matematika itu merupakan suatu proses membangun atau mengkonstruksi pemahaman seseorang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Selanjutnya Sukahar (1992: 1) menyatakan belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar yang berhubungan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut aturan yang logis.

B. Pembelajaran Matematika di Sekolah

  Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan menganalisa dan menarik kesimpulan, pemahaman tentang hubungan antara bagian-bagian matematika, dan memiliki kebiasaan berpikir kritis. Oleh sebab itu, pembelajaran matematika termasuk evaluasi hasil belajar siswa hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematika (mathematical power) siswa, diantaranya meliputi: kemampuan menggali, menyu- sun konjektur, menalar secara logik, berkomukasi secara matematik, dan me- ngaitkan idea matematik dengan kegiatan intelektual lainnya (Sumarmo, 2000: 4).

  Selanjutnya Sumarmo (2000: 7) mengemukakan bahwa untuk mendukung berlangsungnya suasana belajar yang kondusif dan dalam usaha memberdayakan siswa, diperlukan perubahan pandangan dan penekanan proses belajar mengajar matematika. Perubahannya tersebut diantaranya:

  1. Dari pandangan kelas hanya sebagai kumpulan individu kearah kelas sebagai komuniti (masyarakat) belajar.

  2. Dari pandangan guru sebagai pengajar (instructor) kearah guru sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan menejer belajar.

  3. Dari pandangan mengingat prosedur penyelesaian ke arah penalaran matematika.

  4. Dari penekanan menemukan jawaban secara matematik kearah penyusunan konjektur, menemukan dan pemecahan masalah.

  Sementara Usman (1999: 4) berpendapat bahwa proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar matematika pada umumnya adalah merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa, atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif

  Muhammadi (1998: 41) mengatakan bahwa untuk dapat mengajar dengan baik, guru perlu melaksanakan serangkaian kegiatan mengajar yang terdiri dari tahap persiapan atau perencanaan, tahap pelaksanaan atau proses belajar mengajar, dan tahap evaluasi. Ketiga kegiatan tersebut harus dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin termasuk dalam pengajaran matematika, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

C. Pendekatan Discovery

  Suatu kegiatan “discovery atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip (Amin, 1988: 97).

  Sementara Suryosubroto (2002: 191) mengemukakan bahwa salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: 1. Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif.

  2. Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tak mudah dilupakan anak.

  3. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain.

  4. Dengan menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri.

  5. Dengan metode ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

  Riedesel (1967: 10) menyatakan bahwa belajar discovery menekankan kepada pencarian hubungan antara bentuk atau pola dan untuk memahami struktur matematika. Jika siswa tidak dapat menyelesaikan persoalan maka guru membantunya. Belajar discovery ini penting di dalam matematika karena pada mulanya matematika timbul dari hasil pemikiran, idea-idea atau gagasan-gagasan yang kemudian dikembangkan menjadi konsep, aturan-aturan struktur matematika. Ruseffendi (1991: 260) menyatakan bahwa matematika itu timbul dari pemikiran manusia, yang berhubungan dengan idea-idea, proses dan penalaran.

  Bicknell-Holmes & Hoffman (Castronova, 2006: 2) mengambarkan tiga sifat utama pembelajaran discovery yakni : (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk membuat, mengintegrasikan, dan menggeneralisasi pengetahuan. (2) aktifitas-aktifitas berdasar ketertarikan dimana siswa menentukan tahapan dan frekwensi, dan (3) aktifitas-aktifitas yang mendorong integrasi pengetahuan baru kedalam dasar pengetahuan siswa yang telah ada. Pembelajaran discovery dapat difasilitasi melalui beragam strategi, atau arsitektur, didalam kelas.

  Richard Scuhman (Suryosubrato, 2002: 199) mengemukakan langkah- langkah yang disarankan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode

  discovery yaitu : 1. Identifikasi kebutuhan siswa.

  2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.

  3. Seleksi bahan, problema/tugas-tugas.

  4. Membantu memperjelas.

  • Tugas/problema yang dipelajari.
  • Peranan masing-masing siswa.

  5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.

  6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas- tugas siswa.

  7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan.

  8. Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.

  9. Meminpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.

  10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa.

  11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan.

  12. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya Bruner (Dahar, 1996: 103) mengemukakan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar discovery menunjukkan beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat, atau lebih mudah diingat. Sementara Castronova (2006: 4) mengemukakan ada empat fokus utama keuntungan pembelajaran discovery dibandingkan dengan pembelajaran biasa, yaitu : (1) motivasi. (2) daya ingat. (3) prestasi dan (4) pemindahan/ tranfer pengetahuan. Keuntungan signifikan dari pembelajaran discovery adalah kapasitasnya untuk memotivasi siswa. Pembelajaran Discovery memungkinkan siswa untuk mencari informasi yang memuaskan rasa ingin tahu mereka. Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi keinginan-keinginan mereka dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih melibatkan. Siswa lebih termotivasi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan metode biasa.

  Ruseffendi (1991: 329) menyatakan bahwa belajar melalui penemuan itu penting sebab: (1) pada hakekatnya ilmu-ilmu itu diperoleh melalui penemuan. (2) matematika adalah bahasa yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan memanipulasi dan pengalaman benda-benda kongrit. (3) generalisasi itu penting, melalui penemuan generalisasi yang diperoleh akan mantap. (4) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. (5) setiap anak adalah mahluk kreatif. (6) menemukan sesuatu oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya sendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat menumbuhkan sikap positif terhadap manusia.

  Belajar discovery sesuai dengan mencari pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Bruner dalam Dahar, 1996: 103).

  Beberapa kebaikan-kebaikan dalam penggunaan metode ini, sebagaimana dikemukakan oleh Suryosubroto (2002: 200) antara lain:

  1. Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu.

  2. Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian, retensi, dan transfer.

  3. Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.

  4. Metode ini memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri.

  5. Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus.

  6. Metode ini dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses penemuan.Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan.

  7. Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan kepada mereka dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang ”jawaban” nya belum diketahui sebelumnya.

  8. Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

D. Pengertian Analogi

  Analogi adalah membandingkan dua hal yang berlainan berdasarkan keserupaannya. Selain mencari keserupaan di antara dua hal yang berlainan, analogi juga menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Dengan demikian analogi digunakan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.

  Menurut Mundiri (2000: 137), ada dua macam analogi, yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif atau analogi penjelas. Analogi induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipil yang berbeda pada dua fenomena, selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa apa yang terdapat pada fenomena pertama terdapat pula pada fenomena kedua. Sebagai contoh, terdapat kesamaan antara bumi dengan planet-planet seperti Venus, Saturnus, dan Mars, dimana planet-planet tersebut mengelilingi matahari, menyerap sinar matahari, berputar pada porosnya, menjadi subjek dari hukum gravitasi yang kesemuanya itu sama sebagaimana bumi. Atas dasar keserupaan itulah maka tidak salah berbagai jenis mahluk hidup sebagaimana bumi.

  Sedangkan analogi deklaratif atau analogi penjelas merupakan metode untuk menjelaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal. Sebagai contoh, untuk menjelaskan struktur ilmu yang masih samar bagi orang yang mendengarnya dapat dijelaskan malalui sesuatu yang sudah dikenalnya, yaitu dengan menganalogikan bahwa “ilmu pengetahuan itu di bangun oleh fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu”, walaupun tidak semua kumpulan fakta itu ilmu sebagaimana tidak semua kumpulan batu itu rumah.

  Berbeda dengan generalisasi yang konklusinya berupa proposi universal, konklusi analogi tidak selalu berupa proposisi universal, tetapi tergantung dari subjek-subjek yang dibandingkan dalam analogi. Dan subjek itu dapat bersifat individual, partikuler atau universal. Walau demikian, sebagai penalaran di sini pun konklusinya lebih luas daripada premis-premisnya. Sama halnya seperti generalisasi, untuk penalaran analogi ditentukan oleh fakta-fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai premis. Fakta-fakta tersebut merupakan faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.

  Suherman (2001: 134) menjelaskan bahwa matematika di sekolah berperan untuk: (1) untuk mempersiapkan anak didik agar mampu menghadapi perubahan-perubahan keadaan di dalam kehidupan di dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis dan rasional, kritis dan cermat, objektif, efektif, dan diperhitungkan secara analitis sintetis, (2) untuk mempersiapkan anak didik agar menggunakan matematika secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam mengahadapi ilmu pengetahuan lain.

  Sesuai dengan perannya, maka matematika bertujuan agar siswa memahami pengertian matematika, memiliki ketrampilan untuk menerapkan pengertian tersebut baik dalam matematika itu sendiri, mata pelajaran lainnya maupun dalam kehidupan nyata sehari-hari, serta dapat mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran analogi.

  Koneksi (connection) diasumsikan sebagai penggambaran kerja dalam ilmu kognisi adalah gambaran jaringan kerja mental yang dikonstruksi pembelajar. Keterhubungan yang dibangun dapat didasarkan pada kesamaan dan perbedaan atau didasarkan pada inclusion.

  

E. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan discovery yang

menekankan Aspek Analogi

  Dalam kamus Bahasa Indonesia, analogi diartikan sebagai persamaan atau Persesuaian antara dua benda atau hal yang berbeda. Menurut Kane (Indrawati, 1997: 16) analogi merupakan tipe khusus perbandingan, subjek kedua dikenalkan untuk menunjukkan kemiripan yang dapat menjelaskan topik lama. Dalam pembelajaran menurut Shapiro (Indrawati, 1997: 19) analogi dapat memuat informasi baru lebih konkrit dan lebih mudah untuk membayangkan.

  Lawson (Pasaribu, 2001: 9) mengemukakan bahwa analogi adalah persamaan atau keserupaan antara dua benda atau kemiripan yang meliputi kesamaan, penyesuaian serta persamaan. Keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain:

  1. Dapat memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa.

  2. Pengaitan tersebut akan membantu pengintegrasian struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses pengungkapan kembali pengetahuan baru.

  3. Dapat dimanfaatkan dalam menanggulangi salah konsep (missconseption) Keterbatasan dari pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi adalah sulitnya mencari sesuatu yang telah dikenal siswa, yang benar-benar mirip dengan konsep matematikanya. Pemilihan analogi yang tidak benar-benar mirip tidak akan membuat siswa mengerti, tetapi justru membuat mereka menjadi bingung. Namun hal tersebut masih dapat diatasi dengan cara mencari kembali analogi yang lebih tepat.

  

Penerapan Pendekatan Discovery menekankan aspek Anlogi dalam

Pembelajaran Matematika

  Dalam pembelajaran matematika, penerapan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi dapat dilakukan dengan cara mengaitkan satu konsep dengan konsep lain dengan melihat atau mencari sifat keserupaannya. Berikut contoh analogi matematika.

  Analogi Matematika Model 1

  Hubungan antara hubungan antara Serupa

  2

  5

  8

  5

  4

  5  

  7xy – 2xy + 5xy dengan dengan 10xy dengan:

  6

  15

  6

  b.

  10 a.

  6

  5

  d. Dari soal di atas, kita dapat melakukan pembelajaran dengan pendekatan

  6 c.

  discovery yang menekankan aspek analogi dengan melakukan dialog, yakni :

  Guru (G) : Coba kamu perhatikan pernyataan dibagian kiri, dinamakan apakah operasi tersebut ? Siswa (S) : Operasi penjumlahan dan pengurangan suku sejenis. G : Nah, sekarang periksa, apakah hasilnya benar dan mengapa ? S : Benar Pak, karena 7xy – 2xy + 5xy = (7 – 2 + 5)xy = 10xy G : Bagus ! sekarang bagaimana dengan operasi yang dibagian kanan, dinamakan apakah operasi tersebut? S : Operasi penjumlahan dan pengurangan bentuk akar. G : Bagus ! sekarang coba kamu selesaikan soal tersebut, apa pilihan jawabannya dan mengapa hasilnya seperti itu ?

  2

  5

  8

  5

  4

  5

  5

  6

  5  

  S : Jawannya C Pak, karena = (2 + 8 – 4) = G : Bagus ! menurut kamu dimanakah kesamaan (analogi) dari kedua pernyatan tersebut ? S : Penjumlahan dan pengurangan bentuk akar memiliki cara yang sama dengan penjumlahan dan pengurangan suku sejenis.

  G : Bagus ! jadi hubungan antara pernyataan di sebelah kiri dengan pernyataan disebelah kanan adalah konsep penyelesaiannya sama, bahwa yang dapat dioperasikan adalah yang memiliki variabel yang sama, dan yang dioperasikan hanyalah konstantanya saja.

  Dari contoh soal analogi model 1 yang peneliti ajukan tersebut, analogi yang akan dicari adalah analogi konsep penjumlahan dan pengurangannya, bahwa operasi penjumlahan dan pengurangan pada bentuk akar mempunyai konsep penyelesaian yang sama dengan penjumlahan dan pengurangan suku-suku sejenis.

  Analogi Matematika Model 2 a

  ; b

  Merasionalkan penyebut >0

  

6

Contoh soal: Sederhanakan pecahan dengan merasionalkan penyebutnya

  

10

  6

  6

  10 6 

  10

  60 Penyelesaian : = = = = 

  10

  10

  10

  10

  10

  4

  15

  2

  15

  15 Serupa   

  10

  10

  5

  dengan Penyederhanaan dari pecahan bersusun

  1

  2

  1

  2

  

12

  3

  8

  11      

  4

  3

  4

  3 

  

12

  72

  72

  6

6 Pembelajarannya dapat dilakukan sebagai berikut :

  Guru (G) : Perhatikan pernyataan dibagian atas, apa yang kita lakukan ? Siswa (S) : Mengalikan pecahan tersebut dengan bilangan pecahan yang sama dengan penyebutnya.

  G : Bagus, kemudian bagaimana selanjutnya ? S : Sesudah itu dilakukan perkalian secara biasa, dan hasilnya disederhanakan dalam bentuk yang paling sederhana G : Bagus, kalau kita bandingkan dengan proses penyelesaian pernyataan yang dibagian bawah bagaimana ? Apa yang menjadi pengalinya ? S : Pecahan tersebut dikalikan dengan bilangan pecahan yang merupakan KPK dari bilangan 4, 3, dan 6 yaitu 12.

  G : Bagus, kemudian bagaimana selanjutnya ? S : Sama seperti diatas, lakukan perkalian secara biasa dan hasilnya disederhanakan.

  Dari contoh soal no 2 yang peneliti ajukan tersebut, analogi yang akan sama dengan menyederhanakan pecahan bersusun dalam konsep penyelesaiannya yakni dengan terlebih dahulu mengalikan dengan pecahan tertentu.

F. Pemahaman Matematik

  Pemahaman sebagai terjemahan dari istilah understanding diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi bahan yang dipelajari. Menurut Michener (Sumarmo, 1987: 24), untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: 1) objek itu sendiri; 2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; 3) relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; 4) relasi dual dengan objek lainnya yang sejenis; dan 5) relasi dengan objek dalam teori lainnya.

  Selanjutnya Skemp (Sumarmo, 1987: 24) membedakan dua jenis pemahaman konsep yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional.

  Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pengerjaan atau algoritma. Sebaliknya pada pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih bermakna.

  Pemahaman merupakan salah satu aspek dalam Taksonomi Bloom pada ranah kognitif. Bloom (Ruseffendi, 1991: 221) membagi pemahaman atas tiga macam yaitu: pengubahan (translation), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Dalam matematika misalnya seseorang telah mampu mengubah (translation) kedalam simbol-simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation) suatu kesamaan dan mampu memperkirakan (ekstrapolasi) suatu kecenderungan dalam diagram.

  Polya (Sumarmo, 1987: 23) mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu hukum, yaitu pemahaman mekanikal, pemahaman induktuf, pemahaman rasional, dan pemahaman intuitif. Seseorang dikatakan memiliki pemahaman mekanikal suatu hukum, jika ia dapat mengingat dan menerapkan hukum itu secara benar. Kemudian seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman induktif suatu hukum, jika ia telah mencobakan hukum itu berlaku dalam kasus sederhana dan yakin bahwa hukum itu berlaku dalam kasus serupa. Selanjutnya seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman rasional suatu hukum, bila ia dapat membuktikannya, dan seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman intuitif, jika ia telah yakin akan kebenaran hukum itu tanpa ragu-ragu.

G. Belajar Matematika dengan Pemahaman

  Untuk dapat merasakan manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang belajar matematika harus mencapai pemahaman yang mendalam dan bermakna akan matematika. Salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan bermakna adalah memahami matematika yang dipelajarinya. Untuk memperoleh pemahaman dalam belajar matematika, materi yang dipelajari harus disesuaikan dengan jenjang atau tingkat kemampuan berpikir siswa. pemahaman yang diperoleh ketika belajar matematika dapat menumbuhkan kemampuan berpikir matematik. Berpikir matematik inilah yang diperlukan untuk meraih manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari sekaligus untuk meningkatkan kemampuan pemahaman berikutnya. Seorang guru yang mengajarkan matematika dapat merangsang siswanya untuk mencapai pemahaman dalam belajar melalui pendekatan pembelajaran yang tepat.

  Pendekatan mengajar yang dapat ditempuh seorang guru matematika, misalnya di SMA, yaitu dengan penekanan pada aspek analogi ketika mengajarkan topik tertentu dapat memberikan indikasi yang dapat diamati seorang guru terhadap pemahaman yang telah dicapai siswa. Salah satu indikatornya adalah tumbuhnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam mengkomunikasikan konsep yang dipahami ataupun gagasan-gagasan matematik sebagai hasil proses berpikirnya.

  Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata pemahaman mengandung arti kesanggupan intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan (Poerwadarminta, 1976). Dalam belajar matematika, adanya kesanggupan intelegensi siswa untuk menangkap makna konsep-konsep tertentu dalam materi pembelajaran menunjukkan akan adanya pemahaman yang kelak dicapai siswa tersebut. Bagi siswa yang belajar matematika dengan pemahaman diharapkan tumbuhnya kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah dipahaminya dengan baik dan benar pada setiap menghadapi permasalahan dalam belajar matematika. Pada dasarnya siswa yang belajar dengan pemahaman, mula- mula akan melakukan pengamatan secara keseluruhan terhadap objek yang dipelajari. Kemudian siswa menganalisis hal-hal yang menarik pada apa yang diamati, dan selanjutnya disintesis kembali. Terbentuknya pemahaman dalam kegiatan belajar terjadi melalui proses yang dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang dilakukan. Hal-hal yang diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh guru. Misalnya penjumlahan 2 + 4 dapat diselesaikan oleh siswa karena mengamati kegiatan penggabungan dua buah kelereng hijau dengan empat kelereng merah. Hasil pengamatan yang dilakukan secara berulang-ulang merupakan awal terbentuknya pengetahuan siswa tentang konsep operasi penjumlahan.

  2. Menggabungkan informasi yang baru dengan skema pengetahuan yang telah ada. Sebagai contoh, siswa yang belajar penjumlahan dan pengurangan bilangan-bilangan desimal akan mudah mencapai pemahaman apabila sebelumnya telah memiliki pengetahuan tentang operasi penjumlahan bilangan bulat dan penjumlahan bersusun.

  3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk.

  Mengorganisasikan tersebut berarti hubungan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang telah terbentuk ditata kembali dan akan membentuk hubungan-hubungan baru. Hubungan-hubungan lama dimodifikasikan atau tidak dimunculkan. Seperti pada contoh di atas siswa akan memodifikasi prinsip penjumlahan bilangan bulat untuk digunakan pada penjumlahan bilangan-bilangan desimal.

  4. Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang ide/gagasan/representasi matematik yang dimiliki semakin bermanfaat dalam memberikan penalaran (reasoning) dalam memecahkan masalah/situasi yang dijumpai ketika belajar.

  Proses-proses tersebut di atas sejalan dengan apa yang telah dikembangkan oleh Piaget (Ruseffendi, 1991: 133) mengenai proses seorang anak belajar melalui pengalamannya.

H. Berpikir Kritis

1. Pengertian Berpikir Kritis

  Berpikir merupakan aktivitas yang tidak bisa lepas dari seluruh kegiatan manusia. Berpikir dimulai sejak manusia dapat mempersepsi hal-hal yang ada dilingkungannya dan terus berlanjut sepanjang hayatnya. Bagi manusia berpikir merupakan hal yang sangat penting. Senada dengan hal di atas Dahar (1996) mengemukakan bahwa berpikir merupakan ciri manusia (homo sapien) dari semenjak lahir sampai akhir hidupnya. Seluruh kegiatan manusia seperti: berkomunikasi dengan sesuatu dan lingkungan, menarik kesimpulan apa yang dilihat, dirasa, dan didengar, tidak terpisah dari berpikir.

  Menurut Poerwadarminta (1976), berpikir sebagai penggunaan akal budi manusia untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sedangkan Lupito (1996) menyatakan berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan, merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan. Dari kedua pendapat tersebut, tampak bahwa kata berpikir mengacu pada kegiatan akal yang disadari dan terarah.

  Selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai pada suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poedjiadi (1999: 46) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan ditujukan untuk mencapai kebenaran.

  Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya umtuk memanusiakan manusia. Sedangkan ciri manusia, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah berpikir. Ini berarti, pendidikan di sekolah sangat berperan dalam mengem- bangkan kemampuan berpikir siswa. Hal ini senada dengan pendapat Moesa (Dewi, 2001: 9) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat mengembangkan kemampuan intelektual siswa secara pesat. Pengembangan kemampuan berpikir ini sangat bermanfaat bagi siswa. Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang.

  Salah satu kemampuan berpikir yang dikembangkan disekolah adalah kemampuan berpikir kritis. Kata kritis berasal dari bahasa Yunani yaitu kritikos sedangkan kriterion bermakna standar atau ukuran baku. Sehingga secara etimologis kritis bermakna pertimbangan yang didasarkan pada suatu standar. Bila dikaitkan dengan kata berpikir, maka kata berpikir kritis secara etimologi, bermakna berpikir yang ditujukan untuk memberi pertimbangan dengan menggunakan standar tertentu.

  Terdapat beberapa defenisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli. Huitt (1998: 4) mengemukakan bahwa Critical thinking is disciplined mental

  

activity of making judgments that can guide the development of beliefs and taking

actions. Sedangkan Norris (Fowler, 1996: 1) medefenisikan berpikir kritis sebagai

  pengambilan keputusan secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan. Kedua defenisi tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil. Proses pengam- bilan keputusan tersebut, menurut Moore dan Parker (Fowler, 1996: 1) dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

  Menurut Halpern (1994), berpikir kritis merupakan penggunaan strategi kognitif. Oleh karena itu, beberapa defenisi berpikir kritis menyebutkan aspek kognitif yang digunakan dalam berpikir kritis. Salah satunya adalah defenisi yang dikemukakan oleh Paul dan Scriven (1996: 1) bahwa critical thinking is the

  

intelectually disciplined process of actively and skilfully conseptualizing,

applying, analyzing, sinthesizing, and/or evaluating information gathered from or

generated by observasion, experience, reflection, reasoning, or communication,

as guide to belief and action. Dari defenisi ini tampak bahwa berpikir kritis

  melibatkan aspek-aspek kognitif seperti aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  Berpikir kritis, menurut Ennis (2000), adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan. Rasional berarti memiliki keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan. Sedangkan reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun, dan hati-hati atas segala alternatif sebelum mengambil keputusan.

  Menurut Angeli (1997), defenisi yang dikemukakan oleh Ennis memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis merupakan proses pemecahan masalah dalam suatu konteks interaksi dengan dunia dan orang lain. Kedua, berpikir kritis merupakan proses penalaran berdasarkan informasi dan kesimpulan yang telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Dan ketiga, berpikir krtis berakhir pada suatu keputusan mengenai apa yang diyakini dan dikerjakan.

  Dari beberapa defenisi yang telah disampaikan, tampak bahwa berpikir kritis menggunakan strategi kognitif dan menghasilkan keputusan sebagai dasar pengambilan tindakan atau keyakinan. Menurut penulis, defenisi yang dikemukakan oleh Ennis menyatakan kedua hal tersebut dengan jelas dan ringkas.

  Oleh karena itu, penulis menggunakan defenisi yang dikemukakan oleh Ennis sebagai defenisi berpikir kritis dalam penelitian ini.

2. Komponen Berpikir Kritis

  Ennis dan Norris (Nitko, 1996: 194) menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua komponen, yakni komponen kemampuan penguasaan pengetahuan dan komponen disposisi. Komponen kemampuan penguasaan pengetahuan dalam berpikir kritis sering disebut sebagai komponen ketrampilan kognitif. Sedangkan komponen disposisinya disebut sebagai komponen disposisi berpikir kritis. Penjelasan mengenai komponen ketrampilan kognitif dan komponen disposisi berpikir kritis tersebut dijelaskan sebagai berikut. a. Ketrampilan Kognitif Istilah ketrampilan dalam ketrampilan kognitif mengacu pada kemampuan khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau latihan untuk melakukan tugas tertentu secara baik. Istilah ketrampilan ini mengacu pada sesuatu yang ada dalam individu. Istilah ini juga menekankan pada kinerja aktual dalam pelaksanaan tugas serta kualitas kinerjanya. Dengan demikian, istilah ketrampilan dipahami sebagai kemampuan yang ada dalam diri (innerability) dan sebagai suatu operasi yang dapat diidentifikasi.

  Ennis dan Norris (Nitko, 1996: 197) membagi ketrampilan kognitif berpikir kritis kedalam lima bagian. Kelima bagian itu adalah klarifikasi elementer (elementary clarification), dukungan dasar (basic support), penarikan kesimpulan

  

(inference), klarifikasi lanjut (advanced clarification) serta strategi dan taktik

(strategies and tactics). Masing-masing bagian itu memiliki sub bagian lagi.

  Berikut ini ketrampilan kognitif yang disebutkan secara lengkap oleh Ennis dan Norris (Nikto, 1996: 197) a.1. Klarifikasi elementer i. Memfokuskan pertanyaan. ii. Menganalisis argumen. iii. Bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan atau tantangan. a.2. Dukungan dasar i. Mempertimbangkan kredibilitas sumber. ii. Melakukan dan mempertimbangkan observasi. a.3.. Penarikan kesimpulan i. Melakukan dan mempertimbangkan deduksi. ii. Melakukan dan mempertimbangkan induksi. iii. Memberi nilai. a.4. Klarifikasi lanjut i. Mendefenisikan istilah dan mempertimbangkan defenisi. ii. Mengidentifikasi asumsi. a.5. Strategi dan taktik i. Menentukan suatu tindakan. ii. Berinteraksi dengan orang lain.

  Disamping rumusan ketrampilan kognitif yang dikemukakan oleh Ennis dan Norris, masih ada rumusan ketrampilan kognitif yang dikemukakan oleh para ahli. Namun, rumusan yang disampaikan oleh para ahli berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan fokus perhatian yang dianutnya. Walaupun demikian, para ahli memiliki konsensus mengenai ketrampilan kognitif dalam berfikir kritis (Facione, 1990). Dalam konsensusnya, para ahli menyebutkan enam ketrampilan kognitif yang ada dalam berpikir kritis. Keenam ketrampilan kognitif ini dianggap sebagai pusat atau inti dari berpikir kritis. Keenam ketrampilan kognitif yang dimaksud adalah interpretasi, analisis, evaluasi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan pengaturan diri.

  Komponen berpikir kritis pada penelitian ini mengacu pada pendapat Ennis dan Norris yang dibatasi pada kemampuan memberikan jawaban yang benar dengan penjelasan yang tepat dalam mengenal asumsi, melakukan inferensi, menganalisis argumen, melakukan dan mempertimbangkan induksi terhadap soal atau pernyataan matematika yang diberikan.

  b. Disposisi Berpikir Kritis Disposisi sering dianggap sebagai suatu sikap (Giancarlo, Facione, 1995) atau motivasi (Thisman dan Andrade, 1999). Disposisi adalah kecenderungan atau memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi yang menghadirkan stimulus untuk berpikir kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpikir kritis. Contohnya: memberikan sikap yang positip jika diberikan persoalan yang berhubungan dengan matematika.

  Disposisi merupakan bagian dari berpikir kritis. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Cabrera (1992: 59) bahwa critical thinking is an evaluative

  

activity wich reaches a conclusion, i.e., a reasoned judgement is made about

information. In addition, the practicioner or learner must posess the disposition

to make such a judgement. Karenanya, pemikir kritis yang baik berusaha untuk

melengkapi diri dengan disposisi berpikir kritis, tidak hanya ketrampilan kognitif.

  Sementara Perkins, Jay dan Tishman (1993) mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang menyertakan komponen kemampuan di dalamnya. Mereka menyebut konsepnya sebagai disposisi tigaan (triadic disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan berpikir kritis ini adalah kepekaan (sensitivitas), kecendrungan (inklinasi), dan kemampuan. Kepekaan adalah ketajaman perhatian seseorang pada kesempatan untuk berpikir kritis. Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis. Sedangkan unsur kemampuan adalah ketrampilan- ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan berpikir kritis.

  Perkins dkk (1993) menyebutkan bahwa pada kenyataannya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan kepekaan saja. Unsur kemampuan hanya menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki disposisi berpikir kritis harus pula memiliki kemampuan (ketrampilan kognitif).

  Selanjutnya Ennis (Husen dan Postlethwaite, 1988: 313) merinci perumusan yang lebih jelas mengenai disposisi berpikir kritis yaitu:

  1. Menggunakan pertimbangan yang baik dan benar.

  2. Berpikir terbuka, meliputi: a. memperhatikan sudut pandang orang lain dengan serius.

  b. berpikir dengan menggunakan pengandaian.

  c. tidak memberikan pertimbangan ketika bukti dan alasan tidak cukup.

  d. Mengambil posisi dan merubah posisi ketika bukti dan alasan tidak cukup mendukung.

  3. Memperhatikan seluruh situasi.

  4. Berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar.

  5. Mencoba hal-hal yang diperbolehkan seteliti mungkin.

  6. Menampilkan suatu cara yang sesuai dengan bagian-bagian keseluruhan yang kompleks.

  7. Memperhatikan alternatif-alternatif yang lain.

  8. Mencari alasan-alasan.

  9. Mencari kejelasan baik dalam pernyataan isu maupun pernyataan yang mendukung alasan-alasan.

  10. Mengingat hal-hal yang mendasar.

I. Berpikir Kritis dalam Matematika

  Cara berpikir kritis berbeda dalam disiplin ilmu yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dasar atau epistemik yang digunakan dalam setiap disiplin ilmu tidak sama. Agar dapat melaksanakan berpikir kritis dalam disiplin ilmu tertentu, menurut Poedjiadi (1999), kita harus terlebih dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi disiplin ilmu tersebut.

  Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan, hal itu dimulai dari unsur- unsur yang tidak terdefenisikan kemudian ke unsur yang didefenisikan, ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50). Sementara Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari.

  Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefenisikan, berkembang ke unsur-unsur yang didefenisikan, terus ke aksioma atau postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan terorganisir dengan baik.

  Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada pembuktian secara deduktif.

  Sementara Devlin (2000) menyatakan salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh orang yang ingin menguasai matematika adalah penalaran.

  Penalaran merupakan proses berpikir untuk menarik kesimpulan dengan memperhatikan hal-hal yang berkaitan secara logis. Agar kesimpulan yang dihasilkan benar maka penalaran harus dilakukan dengan cara tertentu. Ketrampilan lainnya yang penting dalam matematika adalah pembuktian. Dalam matematika, pembuktian berarti pengujian suatu teori dengan menunjukkan bahwa sesuatu itu benar dengan mengikuti konsep-konsep yang lainnya secara rasional atau logika.

  Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin lainnya, maka defenisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat komponen berpikir kritis, defenisi tersebut harus memuat karakteristik (terminologi, konsep- konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu defenisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002) yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif. Selanjutnya Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah:

  1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang individu tidak dapat secara langsung mengenali konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah. Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika, 2. dan strategi kognitif. Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.

3. Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, 4.

  rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan studi lebih lanjut.