JAS Vol 6 No 3 Lembaga Keuangan Mikro dalam Wacana dan Fakta

Aspek Pemberdayaan Perempuan
Dibalik Lembaga Kredit Mikro
M. Firdaus dan Titik Hartini1
Pendahuluan
Banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bisa eksis sebagai sumber
NHXDQJDQ ³DOWHUQDWLI´ GL GHVD-desa belakangan ini. Alasan ini biasanya hampir sama ditemui dari beberapa
lembaga non-bank atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan tersebut. LKM
alternatif, biasanya muncul akibat dari ketidakmampuan lembaga formal seperti bank melayani nasabah yang
PHPSXQ\DL VSHVLILNDVL WHUWHQWX 6DODK VDWX FRQWRKQ\D DGDODK NHEXWXKDQ SLQMDPDQ ³lekas saji´ EDJL SHWDQL GL
pedesaan untuk membeli bibit saat waktu tanam tiba, saat pemberian pupuk, serta saat panen; prosedur
peminjaman ke bank yang berbelit seperti terjadi pada Perempuan Usaha Kecil-mikro (PUK) yang harus
menyertakan izin suami bila mengajukan peminjaman kredit ke bank. Padahal PUK biasanya berperan besar
GDODP XVDKD 0HQXUXW GDWD %36 \DQJ WHUWXDQJ GDODP ³Indikator Sosial Wanita Indonesia 1997´ GLVHbutkan
EDKZDSHQGXGXNSHUHPSXDQ\DQJEHNHUMDGLGHVD\DQJWHUPDVXNGDODPSHNHUMDDQ³XWDPD´VHEDQ\DN
dan laki-laki yang bekerja berjumlah 61,43%2.
Dalam konteks itu, bank akan menyerah mengurusi nasabah-QDVDEDK³XQLN´VHSHUWLLWXNDUHQDVHFDUDHNRQRPL
biayanya tinggi dan memerlukan banyak tenaga lapang yang harus menagih terus-menerus kepada nasabah
yang jumlDKQ\D SXOXKDQ EDKNDQ ULEXDQ $NLEDWQ\D QDVDEDK ³XQLN´ WHUVHEXW DNDQ PHQFDUL VXPEHU NHXDQJDQ
yang cepat dan tidak berbelik-belit. Para nasabah tidak mempersoalkan tingginya tingkat suku bunga asal
pinjamannya lekas dikucurkan dan gampang didapat. Peranan ini biasanya ditempati para tengkulak. Untuk
menanggulangi posisi tengkulak yang memberi bunga sangat tinggi, LKM kemudian menjadi sumber keuangan

DOWHUQDWLI/.0EHUIXQJVLVHEDJDLOHPEDJDSHQDPSXQJGDQSHQ\DOXUNDSLWDOVHEDJDL³akselator´SHPEDQJXQDQ
pada ODSLVDQ GHVD VHUWD VHEDJDL ³center of excellence, learning, and Practice´ XQWXN ODSLVDQ GHVD \DQJ
menyangkut dua hal pokok yaitu, kewirausahaan dan manajemen3.

.UHGLW0LNUR .0 ´SLQWXµ3HPEHUGD\DDQ

1
2

3

M. Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK dan Titik Hartini, Direktur Eksekutif Nasional ASPPUK.
/LKDW³Indikator Sosial Wanita Indonesia´\DQJGLNHOXDUNDQROHK%36'DODPFDWDWDQQ\DGLVHEXWkan bahwa perempuan di
GHVDVHEDQ\DNEHNHUMDGLVHNWRU\DQJGLNDWHJRULNDQSHNHUMDDQ³primer´ XWDPD GDULWLJDODSDQJDQSHNHUMDDQ\DQJDGDGL
pedesaan (dua lainnya sekunder dan tersier). Sedangkan laki-laki yang bekerja di desa untuk pekerjaan yang VLIDWQ\D ³primer´
sebanyak 61,43%.
3URI'U*XQDZDQ6XPRGLQLQJUDW0HF³Lembaga Keuangan Mikro dan Pembangungan Pedesaan´NRPSas, Selasa 20 Februari
2001.

KM yang dikelola Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) juga mengambil peran seperti

disebutkan di atas. ASPPUK, dulunya YASPPUK, adalah lembaga jaringan beranggotakan 53 LSM yang
tersebar di 22 propinsi di Indonesia. LKM, dikenal ASPPUK sebagai Program KM, yang dijalankan ASPPUK
secara jaringan baru berjalan dari tahun 1998. Namun, secara internal di masing-masing LSM anggotanya,
program kredit mikro ini sudah berjalan bertahun-tahun. LKM ini dibangun untuk memenuhi misi bersama
anggota jaringan, yaitu pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha kecil. Dalam pandangan
ASPPUK, untuk memberdayakan PUK diperlukan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan praktis dan
strategis mereka4. Konkritnya, ASPPUK melakukan kegiatan revolving fund (RF) melalui Kelompok Perempuan
usaha Kecil (KPUK). Pinjaman tersebut dapat digunakan untuk usaha dan pemenuhan kebutuhan perempuan
lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif.
Pilihan sasaran terhadap PUK dilandasi pemikiran bahwa pertama, penduduk Indonesia sebagian besar tinggal
di pedesaan dan sebanyak 50,23% adalah perempuan. Secara kultural perempuan memegang peranan penting,
baik di keluarga maupun di masyarakat. Perempuan banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti warungan,
kerajinan, perdagangan dll. Mayoritas dari mereka mempunyai usaha dengan skala yang sangat kecil. Sebagai
anggota keluarga, perempuan menjadi pengatur keuangan keluarga, pendidik anak, sekaligus pencari nafkah
bersama-sama suaminya. Gambaran di atas diugkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS tahun
1997 yang memperlihatkan bahwa di sektor lapangan pekerjaan utama (primer), di pedesaan, keterlibatan
perempuan tidak kalah besarnya dengan laki-laki5. Jumlahnya mungkin lebih besar bila dikaitkan dengan kondisi
krisis yang menempa Indonesia.
Kedua, dari hasil identifikasi sementara ASPPUK terhadap dampingan LSM anggota yang tersebar di 22
propinsi, terungkap bahwa kendala paling utama dihadapi oleh usaha kecil-mikro adalah permodalan. Hasil

survey usaha kecil (industri skala kecil dan industri rumah tangga) Januari 1992, menunjukkan bahwa secara
terinci kendala usaha kecil-mikro adalah: modal (35,1%), pemasaran (25,9%), persaingan (16,1%), keahlian
dalam tehnik produksi (3,4%), dan keahlian pengelolaan (3,4%). Data survey tersebut belum mencakup kendala
khas perempuan yang berkaitan dengan perannya dihadapan laki-laki (persoalan gender). Secara spesifik,
kendala-kendala yang dihadapi PUK, di antaranya adalah: 1) lokasi kelompok yang sangat jauh dari lembaga
formal; 2) kegiatan usaha yang masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan juga sangat kecil dan
tidak akan dilayani lembaga formal karena tidak efesien; 3) administrasi keuangan di KPUK masih belum dikelola
dengan baik, sehingga tidak memenuhi standar pembukuan yang disyaratkan lembaga keuangan formal; dan 5)
keterbatasan pemilikan asset yang bisa dijadikan jaminan kredit di lembaga formal.
Program KM yang sudah berjalan empat tahun ini awalnya mempunyai dua tujuan utama. Pertama, menguatkan
LSM anggota dalam rangka memfasilitasi kredit mikro pada KPUK yang didampingi yang memerlukan modal di
4
5

/LKDW³Manual Kredit Mikro´\DQJGLWXOLVROHK