Fenomena Lembaga Keuangan Mikro dalam Pe

FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN
Rachmat Hendayana dan Sjahrul Bustaman
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor

Abstract
In the early of 2007, an empirical study investigating the performance of Micro Finance Institution (MFI) in
rural economic development perspective has been conducted in Java and off Java. The study applied PRA
approach using group interview and individual in-depth interview techniques, involving the MFI board and
customers. Using qualitative descriptive type of analysis, the study revealed the following: (a) The MFI has an
advantage as one of the government policy instruments for income improvement through the implementation of
accommodative scheme by understanding the farmer’s characteristics, that is Non Bank Non Cooperative (NBNC),
(b) Critical factors in the development of MFI are focused on MFI human resource, institution legality, perception
and appreciation of MFI customers/farmers and seed capital, (c) The development of MFI perspective should
depend on the capability of MFI to maximize its strength and opportunity and minimize its weaknesses and avoid
threats, (d) To optimize MFI as a government policy instrument, participative approach is needed and should be
supported by MFI human resource by enhancing the capability of its management. The strategic approach to
establish MFI initiative is based on the people needs considering the existence of critical factors. For the current
MFI, the good strategies for its development is to optimize the “perceived value”.
Key words: MFI, critical factors, participative, perceived value and seed capital.

Abstrak
Suatu pengkajian empiris tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang bertujuan untuk mengetahui
kinerja LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi perdesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa pada awal
tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman perdesaan secara partisipatif menggunakan metode group interview
dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna LKM. Dengan menggunakan pendekatan
analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut:
(a) LKM masih berpeluang untuk dijadikan instrumen kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan
produktivitas pertanian menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dengan menerapkan Skim yang
akomodatif terhadap karakteristik masyarakat tani yakni pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K), (b) Faktor kritis
dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek sumberdaya manusia pengelola LKM, legalitas
kelembagaan, persepsi dan apresiasi petani/nasabah, dan dukungan seed capital. (c) Perspektif pengembangan
LKM akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan
unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. (d) Untuk dapat mengoptimalkan LKM sebagai intrumen
kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan pendekatan secara partisipatif, diikuti penyiapan SDM
pengelola LKM yang kapabel, memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan
menekan ancaman dalam pengembangan LKM. Langkah strategis untuk memprakarsai pembentukan LKM selain
harus didasarkan pada aspek kebutuhan masyarakat dan berbasis kelompok yang terseleksi juga harus
mempertimbangkan adanya faktor kritis pengembangan LKM. Bagi wilayah yang sudah ada LKM tetapi akses
petani masih rendah, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan “perceived value”.
Kata kunci : LKM, faktor kritis, partisipatif, perceived value, seed capital


PENDAHULUAN
Tumbuh dan berkembangnya LKM di
Indonesia tidak terlepas dari dinamika pembangunan ekonomi serta pengaruh faktor luar.
Salah satu pendorong yang mengilhami perkembangan LKM di Indonesia, adalah keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal de-

ngan Grameen Bank (GB). Model GB banyak
di lihat orang sebagai suatu model pendekatan
yang sukses dalam pengentasan kemiskinan
dan peningkatan peran perempuan, sehingga
banyak pihak yang mereplikasi metode GB
tersebut (Anonim, 2007).
Replikasi pola GB di Indonesia terjadi
tahun 1989 di Nanggung Jawa Barat, diprakarsai Puslitbang Sosek Pertanian Badan
Litbang Pertanian. Pengelolaan selanjutnya

29

dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Usaha
Mandiri (YPKUM). Replikasi berikutnya dilakukan di beberapa daerah lain seperti Tangerang, di wilayah pasang surut Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan

tempat lain yang belum teridentifikasi.
Bagi Indonesia, persoalan keuangan
mikro bukan hal baru. Pengelolaan Lembaga
Keuangan Mikro sudah berkembang sejak
lama dan telah menjadi topik pembicaraan para
pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti
antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat
(2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002),
Syukur (2002) dan lain-lain dalam momentum
penanggulangan kemiskinan. Menurut Wijono
(2005), LKM sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan,
atas prakarsa pemerintah, swasta maupun
kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam
bentuknya yang formal, non formal, sampai
informal dengan karakteristiknya masing-masing. Meskipun karakteristik LKM beragam,
namun fungsinya sama sebagai intermediasi
dalam aktivitas suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM sebagai
suatu alat pembangunan yang efektif untuk
mengentaskan kemiskinan karena layanan

keuangan melalui LKM memungkinkan orang
kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah
untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat
yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan (Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo
(2002) dan Syukur (2006) gaung peranan kredit
mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri
guna mengurangi kemiskinan ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit
Summit di Washington DC, 1997.
Permasalahannya adalah walaupun di
lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh
dan berkembang LKM, namun kesenjangan
antara permintaan dan penawaran layanan
LKM masih tetap ada, faktanya di sektor
pertanian pemenuhan kebutuhan permodalan
bagi petani masih selalu menjadi persoalan
(Retnadi, 2003). Kondisi tersebut mengundang
persoalan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
kinerja LKM dalam menjalankan fungsinya
sebagai lembaga pelayanan jasa keuangan


30

bagi masyarakat tani?; (2) Apa saja faktorfaktor yang mempengaruhi pengelolaan LKM,
(3) Bagaimanakah perspektif pembentukan dan
pengembangan LKM dalam perspektif pembangunan perdesaan dan (4) Bagaimanakah
langkah strategis yang harus ditempuh dalam
pembentukan dan pengembangan LKM sehingga dicapai tingkat efektifitas dan efisiensi
yang tinggi.
Makalah secara umum bertujuan untuk
membahas fenomena LKM dan perspektifnya
dalam pembangunan ekonomi perdesaan. Secara spesifik bertujuan: (1) mengungkap keberadaan LKM dalam menjalankan fungsinya
sebagai lembaga pelayanan jasa keuangan
bagi masyarakat tani?; (2) mengungkap faktorfaktor yang diduga mempengaruhi pengelolaan
LKM; (3) mengungkap fenomena keberadaan
LKM dalam perspektif pembangunan perdesaan; dan (4) menyusun langkah strategis dalam
pembentukan dan pengembangan LKM yang
efektif dan efisien.
Hasil pembahasan akan berguna selain
untuk melengkapi wacana LKM yang sudah
ada, juga menjadi bahan masukan dalam

penyusunan kebijakan terkait pembangunan
ekonomi perdesaan ke depan.
METODOLOGI
Lokasi Kegiatan
Pengkajian dilakukan terhadap empat
belas LKM contoh yang dipilih secara sengaja
dari empat provinsi yaitu DI Yogyakarta, Jatim,
NTB dan Sulsel.
Tabel 1. LKM Contoh di Lokasi Pengkajian, 2007
Lokasi
DI. Yogyakarta

Jawa Timur

Nusa Tenggara
Barat

Sulawesi Selatan

Nama LKM contoh

1. BUKP Kec. Tempel
2. Kelompok Tani Duri Kencana
3. Koperasi Susu Warga Mulya
4. UPPKP Kab. Gunung Kidul
5. Kelompok Tani Argo Mulyo,
Cangkringan, Sleman
6. Kelompok Tani Pasrujambu
7. KUD Tani Makmur
8. BMT Jamiah
9. Koperasi Tani Wiresinge
10. KSU Karya Terpadu
11. Kelompok Tani Karya Harum
12. BRI Unit Bajo
13. Koperasi Pertanian
Sukamakmur
14. LKM Amanah

Responden
Responden adalah nasabah, calon
nasabah dan pengurus LKM. Besar ukuran

contoh dari nasabah dan calon nasabah 80
orang, dipilih secara acak sederhana di empat
lokasi pengkajian. Sedangkan besar ukuran
contoh dari pengurus LKM ditentukan secara
insidental sesuai kondisi LKM contoh.
Jenis dan Sumber Data
Data primer dikumpulkan dari nasabah
dan calon nasabah meliputi karakteristik
individu, jenis usaha dan persepsinya terhadap
LKM sedangkan dari pengurus LKM terkait
dengan profil ke organisasian yaitu pengkategorian LKM, historis pembentukan, dimensi
organisasi LKM, pengembangan skema perkreditan, dan unsur-unsur keberlanjutannya.
Pengumpulan data dilakukan melalui kombinasi
pendekatan wawancara individual (survey)
menggunakan kuesioner, telaah mendalam
dan diskusi kelompok.
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber kepustakaan dan pelaporan yang
terkait dengan pengembangan pelayanan jasa
keuangan mikro, meliputi kondisi sosial ekonomi wilayah kajian dan review skim kredit
LKM.

Analisis Data
Secara garis besar analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam
dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif
LKM dalam pembangunan ekonomi perdesaan,
dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan
(strengthen), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity ) dan ancaman (threat ) atau
disingkat SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
Historis Pembentukan LKM
Secara historis, LKM di lokasi pengkajian ada yang sudah berdiri semenjak tahun
1971 tetapi ada juga yang berdiri baru setahun
lalu (2006). Menurut latar belakang pendiriannya secara global dibedakan oleh dua kondisi

yakni berdiri atas inisiatif warga dan inisiatif
pihak luar. Inisiatif warga selain didasarkan
pada kebutuhan untuk mendukung kegiatan
usaha ekonominya, juga adanya keperluan
untuk fasilitasi penerimaan bantuan pihak luar.
Sedangkan inisiatif dari pihak luar muncul

karena berbagai alasan, diantaranya sebagai
pengembangan usaha, dan keperluan mensukseskan program pembangunan yang belum
tentu dibutuhkan warga setempat.
Berdasarkan pengelompokkan kategori
LKM versi Bank Indonesia, dari 14 LKM contoh
teridentifikasi sekitar 50 persen termasuk dalam kategori Bukan Bank Bukan Koperasi
(B3K), sisanya tergolong dalam kategori LKM
Koperasi dan LKM Bank (Tabel 2).
Pengelompokkan LKM tersebut terutama dilihat dari kelengkapan administrasi LKM
antara lain SK pembentukan LKM. Jika tidak
didukung SK pembentukan, indikatornya dapat
dilihat dari laporan kegiatan LKM. Kriteria itu
lebih didasarkan pada keterkaitan dengan
pembinaan operasional kelembagaannya. Dalam hal ini LKM Bank pembinaan operasionalnya berada di bawah Bank Indonesia, sedangkan LKM bukan Bank berada di luar
pembinaan Bank Indonesia.
Dimensi Organisasi LKM
LKM sebagai sebuah organisasi memiliki dua dimensi utama yakni dimensi struktural
dan kontekstual. Menurut Sobirin, (2007) dimensi struktural ditunjukkan oleh formalitas
organisasi, spesialisasi dalam pencapaian sasaran, standarisasi kerja, hirarhi organisasi,
kompleksitas organisasi, sentralisasi pengambilan keputusan, dukungan profesionalime pengurus dan rasio personil pendukung struktur

organisasinya. Sedangkan dimensi kontekstual,
dilihat dari ukuran atau besarnya organisasi,
teknologi yang digunakan, lingkungan organisasi dan tujuan dan strategi organisasi. (Tabel
3).
LKM yang memiliki dimensi struktural
tinggi, sudah memiliki dukungan fasilitas fisik
sebagai sarana kegiatan yang memadai, sedangkan LKM yang dimensi strukturalnya
sedang dan rendah umumnya belum didukung
fasilitas fisik, sehingga keberadaannya tidak
segera dapat dikenali orang luar. Kelompok
LKM ini baru didukung struktur organisasi secara normatif.

31

Tabel 2. Historis Pembentukan dan Kategori LKM
Nama LKM

Tahun
Berdiri

BRI Unit Bajo
Kop. Pertanian Sukamakmur

2005
1999

LKM Amanah
Kel.Tani Pasrujambe
KUD Tani Makmur
BMT Jami’ah
Koperasi Tani Wiresinge
KSU Karya Terpadu

2005
2006
1971
2002
1999
1998

Kel.Tani Karya Harum
BUKP Kec. Tempel
UPPKP
Kel.Tani Cangkringan
Kel. Tani Duri Kencana
Kop. Susu Warga Mulya

1994
1987
2006
2004
2003
1998

Latar Belakang
Pembentukan
SK Dir. BRI Cab. Palopo
Dinas Perindagkop Kab.Luwu No.
145/BH/KDK.209/VII/1999.
Respon terhadap BLT
Inisiatif BPTP, mendukung Prima Tani
Aspirasi Petani Kopi
Aspirasi Tokoh Masy.Islam setempat
Aspirasi Anggota Kelompok Tani
Pengembangan P4K (Proyek Pembinaan
Petani Kecil)
Gagasan Masyarakat Setempat
Inisiatif Pemda DIY
Inisiatif Pemda Gunung Kidul
Inisiatif Dinas Pertanian Sleman
Inisiatif Petani Salak
Inisiatif Peternak

Kategori LKM
Bank
Koperasi
B3K
B3K
Koperasi
Koperasi
Koperasi
Koperasi
B3K
B3K
B3K
B3K
B3K
Koperasi

Tabel 3. Dimensi Organisasi LKM
Nama LKM
BRI Unit Bajo
Kop. Pertanian Sukamakmur
LKM Amanah
Kel. Tani Pasrujambe
KUD Tani Makmur
BMT Jami’ah
Koperasi Tani Wiresinge
KSU Karya Terpadu
Kel. Tani Karya Harum
BUKP Kec. Tempel
UPPKP
Kel. Tani Cangkringan
Kel. Tani Duri Kencana
Kop. Susu Warga Mulya

Dari sisi dimensi kontekstual, jangkauan layanan LKM di lokasi pengkajian berkisar
pada satu desa (8 unit), satu kecamatan (3
unit) dan selebihnya sebanyak 3 unit jangkauannya mencapai satu kabupaten.
Skim Perkreditan LKM
Skim perkreditan adalah unsur paling
substansial dalam pengelolaan LKM karena
dapat menjadi faktor determinan atau penentu

32

Struktural
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Sedang
Sedang

Dimensi LKM
Kontekstual
Satu Kabupaten
Satu Desa
Satu Desa
Satu desa
Tiga Kecamatan
Satu Kecamatan
Satu Desa
Satu Kabupaten
Satu Dusun
Satu Kecamatan
Satu Kabupaten
Satu Desa
Satu Desa
Satu desa

keberlanjutan dan perkembangan LKM. Skim
perkreditan merupakan bagian dari pasar kredit
yang penerapannya berhubungan dengan segmentasi pasar kredit.
Berkenaan dengan skim perkreditan
LKM, hasil observasi di lapangan mengidentifikasi ada 6 pola skim yang dijalankan
oleh 14 LKM contoh, yakni skim pola bank
konvensional, pola koperasi, Grameen Bank,
pola bergulir, PUKK, dan pola UPPKP. Ke
enam pola skim itu dapat disederhanakan ke

dalam tiga kelompok skim, yakni (a) Skim Pola
Bank, (b) Skim Pola Koperasi, dan (c) Skim
Pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K). Masing-masing skim tersebut memiliki karakteristik
yang spesifik, terutama menyangkut sasaran
nasabah, persyaratan peminjaman, prosedur
peminjaman, mekanisme pengembalian, jangka waktu pinjaman, penentuan besarnya jasa/
bunga/partisipasi dll.
Ditinjau dari sasaran nasabah, masingmasing LKM melayani segmen nasabah tertentu. Hasil observasi di lapangan terungkap 10
unit LKM dari 14 LKM contoh memiliki saranan
sepenuhnya untuk mendukung kegiatan pertanian, dan selebihnya yang 4 unit LKM lainnya
yakni BRI Unit di Sulsel, KSU Karya Terpadu di
NTB, BMT Jamiah di Jatim dan BUKP di DIY
sasarannya tidak sepenuhnya petani akan
tetapi juga mencakup kegiatan ekonomi di luar
pertanian.
Persyaratan peminjaman juga bervariasi, namun secara garis besar dapat dikelompokkan pada tiga pola yakni pola bank konvensional, pola koperasi, pola bukan bank
bukan koperasi. Perbedaan dari ketiga pola
terletak pada penjaminan, keharusan berkelompok, keharusan memiliki rekening di bank,
keharusan membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), keharusan untuk menabung dan keharusan menyatakan ikrar secara lisan.
Mekanisme pengembalian pinjaman
keragamannya terletak pada tatacaranya yang
dapat dilakukan langsung oleh individu peminjam kepada LKM, dan melalui kelompok
tani. Sementara itu keragaman skim lainnya
terungkap pula dari besarnya bunga. Dalam hal
ini kecuali yang diberlakukan LKM Bank, dan
BMT, besarnya bunga tidak memiliki angka
yang standar. Masing-masing menetapkan besaran bunga sesuai kesepakatan diantara pengurus LKM dengan nasabah. Keragamannya
terjadi antara 0,5 - 3 persen per bulan atau 6 36 persen per tahun.
Dari sisi lamanya jangka waktu pinjaman keragaman yang terjadi lebih dipengaruhi
oleh besarnya pinjaman. Keragaman yang
terjadi antara 12 bulan hingga 36 bulan. Sementara itu untuk besarnya pinjaman, keragaman yang terjadi sangat signifikant. Pada
LKM Bank, besarnya pinjaman tergantung
pada kemampuan penjaminan. Pada LKM pola
Koperasi tergantung pada nilai besarnya kon-

tribusi simpanan wajib dan simpanan pokok,
sedangkan pada LKM pola B3K ditentukan
sepihak oleh pihak pengelola. Pada pola B3K
ini kemampuan memberikan pinjaman tergantung pada seed capital yang dikelolanya. Pada
LKM pola B3K yang sudah mampu membangun linkage program dengan sumber permodalan misalnya dengan BUMN, PNM, dan
sumber lain memiliki kemampuan lebih besar
dibandingkan dengan LKM yang tidak memiliki
hubungan dengan sumber modal lainnya.
Jika ditinjau dari jenis pasar kreditnya
terbagi pada pasar kredit formal (program dan
non program) dan pasar kredit non formal. Dari
14 LKM contoh, terdapat satu LKM yang
menjalankan skimnya berdasarkan pada pola
pasar kredit formal yang non program yaitu
LKM di Sulsel. LKM yang menjalankan pasar
kredit formal dengan status program dijalankan
oleh UPPKP, PUKK, dan Kelompok tani di
Sleman. Selebihnya bersifat pasar kredit non
formal.
Dari kondisi skim LKM di lokasi pengkajian, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa jaminan keberlanjutan dari sisi viabilitas finansial melalui penerapan skim hanya
terlihat pada LKM pola Bank dan pola koperasi.
Sementara untuk pola B3K diperlukan upaya
ekstra untuk mendukung keberlanjutannya,
utamanya berhubungan dengan seed capital.
Faktor Kritis Pengelolaan LKM
Faktor kritis pengelolaan LKM pada
intinya terletak pada unsur-unsur sumberdaya
manusia, landasan hukum operasional LKM
dan Seed capital.
Dukungan Sumberdaya Manusia Pengelola
LKM
Pengelolaan LKM perlu ditangani secara profesional karena menyangkut spesialisasi
pengelolaan keuangan yang rumit. Bagi LKM
Bank, unsur SDM pengelola sudah memiliki
kualifikasi standar. Tetapi pada LKM Koperasi
dan B3K hampir sebagian besar belum memiliki ketentuan standar yang baku. Kepengurusan LKM lebih banyak didasarkan pada kewibawaan figur individu. Kondisi demikian sangat
riskan ketika harus menghadapi kompetisi
sehubungan dengan terjadinya perkembangan
ekonomi ke depan.

33

Landasan Hukum Operasional LKM
Kegiatan pengelolaan dana masyarakat melalui LKM harus mendapatkan jaminan
hukum dan secara nasional undang-undang
tentang LKM sedang diupayakan. Ketiadaan
payung hukum tersebut membatasi ruang gerak usaha pengembangan LKM karena terbatas oleh ketentuan dalam UU no 10/1998 Tentang Perbankan.
Legalisasi yang dijadikan landasan gerak LKM oleh 14 unit LKM contoh beragam sesuai dengan pola yang dikembangkan. Dalam
hal ini untuk LKM Bank, dasar hukumnya mengacu ada UU No 10/1998; LKM Koperasi
mengacu UU No 12 tentang Perkoperasian
yang implementasinya difasilitasi melalui Kantor Koperasi di masing-masing wilayah kerja
LKM dalam Bentuk Badan Hukum (BH). Semua
LKM Koperasi yang menjadi contoh dalam
pengkajian sudah memiliki nomor BH Koperasi.
Bagi LKM dengan pola B3K, legalisasinya
tergantung pada institusi yang memprakarsai
tumbuhnya LKM tersebut. Legalisasinya ada
yang berupa SK Bupati, SK BPTP dan lainnya.
Namun ada tiga LKM contoh yang belum jelas
legalisasinya yakni LKM Amanah di Sulsel, Kelompok Tani Karya Harum di NTB dan Kelompok Tani Cangkringan di DIY.
Dalam konteks LKM pertanian yang
ruang lingkup kegiatannya terbatas pada
dukungan permodalan usahatani, tampaknya
ketiadaan payung hukum LKM tersebut tidak
harus menjadi kendala. LKM Pertanian dapat
diprakarsai pembentukan dan pengembangannya sejauh berada dalam koridor kegiatan
usahatani dan dikelola oleh pengurus kelompok tani.
Persepsi dan Apresiasi Petani/Nasabah
Melalui pendekatan analisis dominasi
terhadap unsur-unsur skim kredit (10 unsur)
yang diajukan kepada nasabah, ada 8 unsur
yang dipertimbangkan. Unsur-unsur tersebut
ditampilkan secara berurutan sebagai berkut:
(1) Prosedur pengajuan pinjaman kredit, (2)
Peryaratan pengajuan pinjaman yang ditetapkan LKM, (3) Besarnya volume pinjaman yang
dapat diajukan dan disetujui, (4) Besarnya
tingkat bunga per tahun, (5) Kecepatan waktu
pencairan pinjaman sejak pengajuan proposal/
permohonan, (6) Kesesuaian waktu pembayaran kembali pinjaman dengan panen, (7)

34

Sikap petugas dalam melayani nasabah dan
(8) Besarnya agunan yang harus disediakan
ketika mengajukan pinjaman.
Hasil analisis tersebut menguatkan hipotesa umum bahwa keengganan masyarakat
berpartisipasi terhadap lembaga keuangan
bukan karena besarnya tingkat bunga, akan
tetapi pada kerumitan prosedur. Terhadap aspek bunga mayoritas menempatkanya dalam
pertimbangan yang ke empat setelah prosedur,
persyaratan dan volume pinjaman. Sementara
itu terhadap agunan, mayoritas nasabah hampir tidak mempertimbangkan atau menjadi
pertimbangan akhir. Hal ini sejalan dengan
kebijakan skim perkreditan LKM yang tidak
memprioritaskan adanya penjaminan (kecuali
pada LKM Bank). Solusi penjaminan bagi
nasabah LKM adalah garansi kelompok tani. Di
UPPKP, dipersyaratkan kepada kelompok yang
akan mengajukan kredit untuk terlebih dahulu
mendapat registrasi di Dinas Pertanian
Meskipun masyarakat tani tidak menunjukkan persepsi negatif terhadap skim LKM,
namun nasabah tetap mengajukan aspirasinya
terhadap LKM. Secara umum karakteristik yang
diinginkan oleh masyarakat tani calon pengguna itu adalah LKM yang memiliki skim
perkreditan akomodatif terhadap karakteristik
usahatani dan pengelolaannya dilakukan kelompok tani.
Dukungan Permodalan LKM (Seed capital)
Seed capital yang dimaksud adalah
modal usaha untuk mendukung kegiatan LKM.
Sebagai sumber modal awal bisa memanfaatkan berbagai sumber dana, antara lain dana
CSR (Capital Sosial Responsibility) yang ada di
tiap perusahaan swasta melalui pembentukan
jalinan program (linkage programe), dana penguatan modal kelompok, dana bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial.
Capital yang berasal dari sumber-sumber di atas biasanya tidak ada pembebanan
bunga, terlebih yang berasal dari Departemen
Teknis (misalnya Departemen Pertanian) yang
merupakan penguatan modal bagi kelompok
tani. Kalaupun ada namanya adalah partisipasi
bukan bunga. Besar tingkat partisipasi tersebut
kisarannya antara 3 – 6 persen per tahun.

Perspektif LKM dalam Pembangunan
Ekonomi Perdesaan
Keberhasilan pengelolaan LKM banyak
dipengaruhi berbagai faktor meliputi kekuatan
dan kelemahan internal serta peluang dan
ancaman eksternal. Berkenaan dengan adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengelolaan LKM tersebut, perspektif pengembangannya akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang ada serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. Melalui analisis SWOT diperoleh gambaran dari
kondisi LKM di lokasi pengkajian sebagai berikut:
o

o

o

o

o

o

Kekuatan LKM:
Akses masyarakat tani untuk mendapatkan
pinjaman dana bagi modal tambahan sangat
tinggi, karena persyaratannya relatif tidak
berat dan tanpa agunan. Prosedur pengajuan
pinjaman relatif sederhana, sehingga memudahkan calon nasabah untuk mengakses
pinjaman ke LKM.
Bunga pinjaman relatif rendah dibandingkan
bunga bank konvensional. Variasi bunga
yang dibebankan berkisar antara 3 - 12 persen per tahun. Sedangkan bunga pasar
kisarannya mulai 36 - 48 persen per tahun.
Lokasi LKM umumnya dekat dengan lokasi
usatani, sehingga terhindar dari biaya transportasi. Kalaupun lokasinya jauh, biasanya
petugas LKM yang datang ke tempat tinggal
calon nasabah untuk memproses pinjaman.
Tidak ada beban agunan yang dipersyaratkan untuk mengajukan pinjaman, sehingga
dapat menjangkau semua lapisan masyarakat tani yang tidak memiliki agunan.
Kelemahan:
Pengelolaan LKM umumnya masih konvensional karena rekrutiment pengelola LKM tidak didasarkan pada kualifikasi kapabilitas
yang standar. Bahkan di beberapa tempat
lebih mengandalkan aspek ketokohan/figur
individu.
Pagu kredit yang dapat diberikan LKM relatif
lebih kecil dibandingkan dengan pagu kredit
dari lembaga perbankan formal, sehingga
tambahan modal yang diajukan sering tidak
terpenuhi seluruhnya. Kecilnya kemampuan
memberikan pinjaman disebabkan karena
umumnya LKM menghadapi kendala permodalan (seed capital)

o Nasabah dari sektor pertanian, waktu pembayarannya disesuaikan dengan waktu panen, sehingga dari sisi keuangan berpengaruh pada “turn over” pengelolaan keuangan
LKM.
o Karena tidak dipersyaratkan adanya agunan,
sebagai gantinya LKM mensyaratkan calon
nasabah masuk anggota kelompok. Artinya
bagi calon nasabah yang di luar anggota
tidak memiliki peluang memperoleh layanan
LKM.
Peluang Pengembangan:
o Jumlah masyarakat tani di perdesaan yang
membutuhkan tambahan modal usaha relatif
banyak, dan mereka tidak akses ke lembaga
keuangan formal (perbankan konvensional)
sehingga pilihan mereka berpeluang mengarah ke LKM
o Tingkat pengembalian dari nasabah petani
relatif lebih lancar. NPL (Non Performing
Loan) masih di bawah angka toleransi
Ancaman:
o Dasar hukum pengelolaan LKM beragam,
dan terkadang tidak mengacu pada UU No
10/1998 tentang Perbankan
o Ragam LKM di lingkungan masyarakat di
perkotaan maupun perdesaan relatif banyak,
sehingga dalam pemasaranya sangat ketat.
Langkah Strategis Inisiasi LKM
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di lokasi
usahatani yang potensial, disarankan untuk
dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
(1) Melakukan Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan, (2) Melakukan pendekatan kelompok/gabungan kelompok, (3) Seleksi calon
pembentukan LKM, (4) Sosialisasi LKM, (5)
Pembentukan Organisasi LKM, (6) Fasilitasi
dan Penguatan Modal, (7) Pelatihan bagi
pengurus, (8) Operasionalisasi/memasarkan
LKM, (9) Pendampingan dan Pembinaan, (10)
Monitoring dan evaluasi, dan (11) Mengoptimalkan perceived value.
Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan. Pada dasarnya LKM hanya layak
ditumbuhkembangkan pada lokasi produksi
yang potensial dan masyarakatnya membutuhkan bantuan permodalan, sementara di daerah

35

itu belum ada satupun lembaga jasa pelayanan
modal bagi masyarakat tani. Tahapan ini diperlukan untuk mengetahui kondisi tersebut

kan pembinaan usaha kepada nasabah agar
usahanya memberikan nilai tambah yang
tinggi.

Melakukan Pendekatan Kelompok/Gabungan Kelompok. Makna pendekatan kelompok dalam konteks LKM adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan
(collateral). Oleh karena itu pendekatan kelompok menjadi krusial untuk mendukung keberlanjutan LKM.

Operasionalisasi / Memasarkan LKM.
Setelah tahapan 1–7 dianggap selesai kegiatan
LKM dapat mulai beroperasi dengan cara
”memasarkannya” kepada anggota. Tugas memasarkan LKM dalam prakteknya dapat disinerjikan dengan kegiatan pendampingan dan
pembinaan kegiatan, sehingga selain tercapai
prinsip efisien juga efektifitasnya terpenuhi.

Seleksi Kelompok Calon Penyelenggara LKM. Dalam kenyataan di lapangan
banyak dijumpai kelompok, maka langkah yang
diperlukan adalah melakukan seleksi untuk
memilih kelompok yang layak sebagai calon
penyeleng-gara LKM.
Sosialisasi Kegiatan LKM. Sosialisasi
kegiatan LKM ditujukan kepada pengurus dan
anggota kelompok guna memberikan pengetahuan tentang seluk beluk LKM. Dalam sosialisasi disampaikan informasi yang lengkap, jelas
dan transparan tentang LKM memenuhi prinsip-prinsip 4 W 1 H (what, why, where, when,
who, How).
Pembentukan Organisasi LKM. Pembentukan organisasi LKM diawali dengan rekruitmen pengurus inti yang terdiri dari manajer,
asisten administrasi dan teknik operasional.
Kemudian rekruitmen staf pendukung dilakukan
melalui kualifikasi tertentu. Pemilihan pengurus
dilakukan secara partisipatif dan demokratis.
Fasilitasi dan Penguatan Modal LKM.
Untuk mendukung langkah awal operasional
LKM diperlukan dukungan fasilitasi organisasi
yang normatif bagi sebuah organisasi, utamanya modal awal. Sebagai sumber modal awal
bisa memanfaatkan berbagai sumber dana,
antara lain dana CSR (Capital Sosial responsibility) yang ada di tiap perusahaan swasta
melalui pembentukan jalinan program (linkage
programe), dana penguatan modal kelompok,
dana bantuan langsung tunai (BLT), dana
bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang
tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial.
Pelatihan bagi Pengurus LKM. Pengurus LKM harus mampu melakukan pengelolaan
dana dengan cara yang standar. Untuk itu
kegiatan pelatihan bagi pengurus menjadi hal
yang sangat krusial. Melakukan pelatihan bagi
pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas
pengurus dalam mengelola LKM, dan melaku-

36

Pendampingan dan Pembinaan. Guna
menjamin terlaksananya LKM sesuai dengan
harapan, diperlukan pendampingan yang intensif. Pendampingan tidak saja dilakukan kepada
SDM pengelola LKM akan tetapi juga kepada
nasabah. Pendampingan kepada pengelola
LKM dimaksudkan agar kemampuannya mengelola dana LKM memenuhi standar akuntasi
sedangkan pendampingan terhadap nasabah
ditujukan agar nasabah mampu memanfaatkan
dana pinjamannya secara efisien dan efektif.
Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan Monev dilakukan untuk mengetahui perkembangan LKM dan permasalahan yang merupakan
hambatan serta upaya pemecahannya, sehingga upaya penumbuhan dan pengembangan
LKM berjalan sesuai dengan rencana.
Mengoptimalkan Perceived Value.
Upaya melakukan optimalisasi perceived value
ditujukan pada kondisi dimana sudah ada LKM
tetapi akses petani terhadap LKM terkendala.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran
bahwa indikator keberhasilan LKM harus dilihat
dari dua sudut pandang yakni sudut pandang
petani sebagai pengguna jasa keuangan dan
sudut pandang LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan.
Dari sudut pandang petani (expected
value) LKM diharapkan untuk meningkatkan
keuntungan usahataninya, sedangkan dari sudut pandang LKM (value proposition) semua
yang ditawarkan oleh LKM (penyedia jasa
keuangan) dapat memenuhi kebutuhan petani
dalam upaya meningkatkan keuntungan
usahataninya. Jadi tolak ukurnya adalah sudut
pandang LKM terhadap petani atau bagaimana
LKM mempersepsi petani. Kedua sudut pandang yang berbeda ini pada akhirnya harus
dipertemukan dalam perceived value yaitu
persepsi petani terhadap penawaran nilai yang
benar-benar bisa dirasakan manfaatnya. Filo-

sofi perceived value ini dapat secara jelas digambarkan dengan menggunakan teori himpunan sebagai berikut:

Nasa
bah

Expected
Value

LKM

Perceived
Value

Value
Propositon

Perceived value digambarkan sebagai
irisan dua lingkaran yang masing-masing merepresentasikan kondisi kebutuhan nasabah
dan keragaan LKM. Dalam tataran praktis,
upaya mengoptimalkan perceived value dapat
ditempuh melalui intensifikasi kegiatan pendampingan dan pembinaan terhadap LKM dan
masyarakat tani calon nasabah. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi
berhasil dan berkembangnya LKM. Melakukan
pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan
kelompok dalam melakukan pelayanan jasa
keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana. Melakukan pendampingan dan
asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam
melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana.

merintah dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. SKIM LKM
yang berpeluang diakomodasi masyarakat tani
adalah pola Bukan Bank Bukan Koperasi
(B3K). Faktor kritis dalam pengembangan LKM
sektor pertanian terletak pada aspek sumberdaya manusia pengelola LKM, legalitas kelembagaan, persepsi dan apresiasi petani/nasabah, dan dukungan seed capital. Perspektif
pengembangan LKM akan sangat tergantung
pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur
kelemahan dan menekan ancaman yang
muncul.
Saran-saran
Untuk dapat mengoptimalkan LKM sebagai intrumen kebijakan pemerintah prakarsa
penumbuhan dan pengembangan LKM perlu
dilakukan secara partisipatif, mengakomodatif
karakteristik masyarakat tani serta diikuti dengan penyiapan SDM pengelola LKM yang
kapabel. Langkah strategis untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM
selain harus didasarkan pada kondisi wilayah
setempat juga mempertimbangkan adanya
faktor kritis pengembangan LKM. Bagi wilayah
yang sudah ada LKM tetapi akses petani masih
rendah, langkah strategis yang perlu dilakukan
adalah mengoptimalkan “perceived value”

Sementara itu pembinaan dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan daya
guna dan hasilguna penumbuhan dan pengembangan LKM, disamping meningkatkan motivasi dan kemampuan pelaksanaan dilapangan
serta kapasitas manajemen pengelola LKM.
Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan
(sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.

Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan
Mikro. http://www.profi.or.id/ind/.

KESIMPULAN DAN SARAN

Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga
Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13
Agustus 2003

Kesimpulan
LKM masih berpeluang untuk dapat
dijadikan salah satu instrumen kebijakan pe-

DAFTAR PUSTAKA

Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan
Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8.
www.ekonomirakyat.org.

Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan
Sistem Bank Perkreditan Rakyat
Terhadap Kinerja Lembaga Perdesaan.

37

Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi
Rakyat. www.ekonomirakyat.org
Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga
Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Artikel Th II
No 1. Jurnal Ekonomi Pertanian. www.
ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan
Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit
Rumah Tangga Miskin. Disertasi.
Program Pasca Sarjana. IPB.
Syukur,

38

M., 2006. Membangun Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang

Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman
Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1
Nomor 1. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian.
Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga
Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu
Pilar Sistem Keuangan Nasional:
Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www.
fiskal. depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo1.pdf.