M01169
1
PEMAAFAN (FORGIVENESS), RASA KEADILAN,
REKONSILIASI, DAN KONFLIK SOSIAL
Aloysius Soesilo
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Psikologi Sosial
“PEMAAFAN: WACANA DAN TINDAKAN”
Di Fakultas Psikologi – Universitas Katolik Soegijapranta
6 Desember 2013
Di Semarang
2
ABSTRAK
Forgiveness is commonly conceptualized as the transformation of the victim’s
motives and attitudes to the offender from negative to positive. This transformation is
indicated by reduced revnge or retributive tendencies, reduced avoidance of the
offender, and increased empathy and prosocial behavior and benevolence toward
the offender. The relation between forgiveness and justice depends on the types of
justice involved, and the goals of justice. This article intends to explore the interface
between forgiveness and justice. Distinction between personal or private forgiveness
and social/public forgiveness is also discussed. This distinction is important when
forgiveness is situated in the conflictual societal context. Forgiveness can be a step
towards the restoration of justice, and it is through restorative justice that it has
benefits in terms of de-escalation of conflict, reconciliation of relationships, and
peace.
Keywords: Forgiveness, justice, restorative justice, reconsiliation, social conflict
3
PEMAAFAN (FORGIVENESS), RASA KEADILAN, REKONSILIASI, DAN
KONFLIK SOSIAL
Aloysius Soesilo
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
PENGANTAR
Bilamana seseorang melakukan tindakan yang merugikan diri kita dan dengan
demikian kita menjadi korban dari pelanggaran ini, kita lazimnya mengalami bahwa
ada ketidakadilan terjadi dan kita menghendaki tindakan untuk memulihkan rasa
keadilan. Tindak pemulihan ini mencakup pengenaan hukuman sebagai balasan.
Rasa puas yang dihasilkan dari terhukumnya pelaku sebenarnya bermuara dari ide
yang disebut keadilan retributif, yang memang merupakan suatu motivasi
fundamental dalam diri manusia. Namun sebenarnya manusia juga mampu
melakukan pemaafan (forgiveness) sesudah suatu ketidakadilan terjadi. Literatur
psikologis mengenai isu ini telah menunjukkan bahwa pemaafan berposisi sentral
dalam pengendalian konflik sosial, di samping menjaga kelangsungan relasi sosial
dan kesehatan mental dan kesejahteraan pada korban.
Bagian pertama dari artikel ini merupakan bahasan mengenai makna
pemaafan. Studi tentang pemaafan membuka pintu bagi pemahaman tentang
fungsionalitas pemaafan, proses-proses apa yang berlangsung dalam interaksi
antar-manusia bila terjadi pemaafan dan prinsip-prinsip psikologis apa yang bekerja
dalam individu-individu yang terlibat. Selanjutnya, bahasan bergerak ke persilangan
antara pemaafan dan keadilan. Pemaafan dibedakan antara yang interpersonal atau
privat dan yang sosial atau publik. Begitu juga konstruk keadilan dilihat dari beberapa
perspektif, dan yang diberi ruang utama bagi pembahasan di artikel ini adalah apa
yang disebut dengan keadilan restoratif (restorative justice). Ketersaling-kaitan
4
antara pemaafan dan keadilan membawa kita pada bahasan terakhir, yakni
rekonsiliasi dalam konteks sosial.
MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS)
Pemaafan (forgiveness) merupakan suatu konstruk multidimensional yang
dibangun oleh kontribusi dari berbagai disiplin, termasuk psikologi, teologi, filosofi,
sosiologi dan antropologi. Dalam psikologi sendiri, berbagai cabangnya (klinis,
perkembangan, sosial, dan kepribadian) juga ikut mengembangkan studi tentang
pemaafan (McCullough, Pargament, & Thorensen, 2000). Oleh karena itu wajar bila
tidak ada definisi tunggal tentang forgiveness. Keragaman pengertian tentang
pemaafan tidak mengenyampingkan konsensus di kalangan para peneliti dan teorisi,
yakni bahwa pemaafan harus dibedakan dari pardoning (yang merupakan istilah
hukum), condoning (mengandung unsur justifikasi bagi pelanggaran), excusing
(pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa diterima dalam perbuatannya),
forgetting (ingatan tentang pelanggaran melemah atau tidak lagi dalam kesadaran),
dan denying (ketidak-sediaan untuk memahami kerugian yang ditanggung oleh
orang lain sebagai akibat perbuatan pelaku) (Lihat Enright & Coyle, 1998).
Enright dan Coyle sendiri mendefinisikan pemaafan sebagai kesediaan untuk
melepaskan hak sendiri untuk menunjukkan kebencian, penghakiman negatif, dan
perilaku tidak peduli terhadap seseorang yang tidak seharusnya merugikan kita, dan
bersamaan dengan ini mengembangkan kualitas belarasa, kedermawanan, dan
bahkan kasih terhadap pelaku kendati dia sebenarnya tidak berhak menerima
kualitas perlakuan ini.
Sedangkan bagi Wade, Worthington dan Meyer (2005), pemaafan yang sejati
dan tepat mencakup kesanggupan untuk memandang transgresor secara realistik
dan inklusif dengan mengakui sisi-sisi baik dan buruk orang tersebut. Perasaanperasaan positf seperti belarasa dan empati dipercaya sebagai kritikal dalam
pemaafan. Selain itu, kemampuan untuk mengampuni mempersyaratkan ego
strength dan sense of self yang cukup kokoh.
5
Sebuah model yang membedakan forgiveness dan unforgiveness
dikemukakan oleh Worhtington dan Wade (1999). Forgiveness merupakan sebuah
proses yang diyakini difasilitasi oleh empati yang membawa pada pilihan untuk
menanggalkan unforgiveness dan mengupayakan rekonsiliasi dengan pelanggar.
Sedangkan unforgiveness dipandang sebagai emosi “dingin” (cold) yang dicirikan
oleh rasa tidak senang (resentment), kepahitan, dan barangkali juga kebencian,
disertaikan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas dendam terhadap
transgresor. Jadi, unforgiveness sebenarnya merupakan kombinasi yang cukup
kompleks dari emosi-emosi negatif yang tertahan/tertunda terhadap seseorang yang
telah melakukan pelanggaran atau transgresi. Bila diungkapkan secara segera,
emosi-emosi negatif ini mengambil rupa sebagai kemarahan, ketakutan, atau
keduanya (Worthington & Scherer, 2004). Worhtington dan kawan kawan
berpendapat bahwa bila seseorang mengampuni, maka emosi-emosi positif yang
berdasar pada kasih (misalnya empati, belarasa, simpati, afeksi, cinta altruistik)
menggantikan emosi-emosi negatif yang sebelumnya dialami dalam kaitannya
dengan transgesor dan perbuatannya.
Worthington (2003) membedakan dua jenis forgiveness , yakni decisional
forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness merupakan
pernyataan yang muncul dari intensi behavioral yang diupayakan oleh individu untuk
berperilaku terhadap transgressor seperti dia berperilaku sebelum transgresi terjadi.
Dengan kata lain, inidividu ini bermaksud untuk membebaskan hutang si
transgressor, yakni balasan/hukuman yang seharusnya dia terima sebagai
konsekuensi dari pelanggarannya. Walaupun individu mampu melakukan tindakan
pengampunan jenis ini, namun secara emosional dia masih merasa sakit, dan secara
kognitif terlibat dalam bersungut-sungut dan gerutuan (ruminasi), ataupun tergerak
(motivasional) untuk menghindar atau melakukan pembalasan. Ruminasi sendiri
telah ditunjukkan dalam riset dan kajian klinis berhubungan dengan rasa marah,
cemas dan depresif. Individu yang melakukan ruminasi akan berpeluang besar
terlibat dalam unforgiveness. Dengan demikian, decisional forgiveness yang lebih
bersifat behavioral, dibedakan dari emotional forgiveness yang berakar pada emosi.
6
Dalam konteks ini, pemaafan dapat dipahami sebagai jukstaposisi emosi positif yang
berkiblat pada orang lain (positive other-oriented) terhadap unforgiveness yang
negatif, yang pada gilirannya akan menetralkan atau menggantikan semua atau
sebagian emosi-emosi negatif dengan emosi-emosi positif.
Kajian psikologis pemaafan menghadirkan ruang bagi kita untuk menyelidiki
bagaimana tindak memaafkan mempunyai fungsi yang dimainkan dalam interaksi
manusia, apa proses-proses yang sesungguhnya terjadi di mana keputusan dan
komunikasi pemaafan mengubah motif, emosi, sikap dan perilaku terhadap
pelanggar atau transgresor. Tilikan-tilikan atas hal-hal ini memberikan terang pada
kita mengenai fungsionalitas dari pemaafan untuk relasi interpersonal dan sosial dan
termasuk alasan-alasan mengapa korban memutuskan untuk mengulurkan
pengampunan.
Pemaafan sebenarnya sebuah konstruk yang komplek yang tidak mudah
didefinisikan. Kesepakatan para ahli adalah bahwa pemaafan tidak diartikan sebagai
mengiyakan kesalahan yang terjadi. Pemaafan tidak diartikan bahwa kita memeriksa
keseriusan pelanggaran atau tanggungjawab pelanggaran dan sesudahnya
memberikan hukuman yang lebih lunak. Pemaafan juga tidak sama dengan
melupakan persoalan. Justru sebaliknya, pemaafan mengandaikan kesadaran akan
kekeliruan tindakan pelanggaran serta akan tanggungjawab pada pihak pelanggar.
Pemaafan adalah usaha yang disadari dan disengaja di mana emosi negatif
terhadap pelanggar ditanggalkan oleh pemaaf dan pemaaf menahan diri untuk tidak
menimbulkan kerugian pada pelanggar bahkan kenyataannya pelanggaran
selayaknya mendapatkan hukuman atau balasan. Dengan demikian, pemaafan
nampak sebagai “the surrendering of justice” (Reed & Aquino, 2003, hal. 1281), atau
“the loosening of justice standards in order to permit mercy” (Exline & Baumesiter,
2000, hal. 147). Dari sini lalu menjadi jelas bahwa pemaafan dan keadilan adalah
dua konstruk yang berbeda satu dari yang lain tetapi saling bertautan.
Wenzel dan Okimoto (2010) menegaskan bahwa untuk mengapresiasi
peranan pemaafan dalam interaksi manusia, kita perlu memahami bagaimana tindak
memaafkan dapat pula menolong memulihkan rasa keadilan pada pemaaf (korban).
7
Untuk itu dipersyaratkan (a) konseptualisasi yang lebih luas mengenai keadilan yang
mencakup retributif dan restoratf (tentang hal ini akan dibahas lebih jauh ), dan (b)
analisis mengenai implikasi suatu transgresi bagi korban serta bagaimana tindak
memaafkan memberi perhatian kepada persoalan ini. Dalam bingkai pemikiran
demikian maka nampak bahwa pemaafan bukanlah hadiah sepihak dari korban
kepada pelanggar, melainkan bagian dari proses mutual untuk mempertemukan
suatu kesalahan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Jadi, pemaafan bukanlah
mengorbankan keadilan atau rasa keadilan tetapi lebih sebagai langkah menuju
restorasi keadilan. Selanjutnya buah dari restorasi keadilanan adalah deeskalasi
konflik, rekonsiliasi dan terciptanya perdamaian atau kedamaian.
Relasi antara pemaafan dan rasa keadilan dihipotesiskan oleh Wenzel dan
Okimoto (2010) sebagai berikut:
1. Tindak memaafkan memberikan kontribusi bagi rasa keadilan pada korban.
Hukuman setimpal bagi pelanggar hanyalah salah satu dari ide tentang
keadilan. Ada pandangan lain yang tidak bisa disingkirkan, di mana dalam
pandangan ini hukuman tidak diperlakukan sebagai perlu atau memadai untuk
memulihkan rasa keadilan. Barangkali bagi korban, pernyataan maaf dan
penyesalan oleh pelanggar, sebagai suatu pengakuan akan kesalahan dan
penerimaan tanggungjawab lebih bermakna daripada hukuman. Korban ingin
pelanggar sadar dan paham betapa terluka mereka, dan pelanggar bisa
merasa bersalah serta malu atas perbuatannya. Faktor psikologis semacam
ini yang lebih berdampak menyembuhkan pada korban daripada sekedar
hukuman bagi pelaku.
2. Tindak memaafkan meningkatkan rasa keadilan pada diri korban sebagian
karena (dimediasi oleh) restorasi konsensus nilai dengan pelanggar.
Suatu transgresi dapat terutama dipandang sebagai pelanggaran nilai-nilai
(values) yang dimiliki bersama oleh transgresor/perpetrator dan korban,
8
sebagai sesama anggota suatu masyarakat. Pelanggaran nilai-nilai bisa
mengancam identitas sosial sebagai milik bersama. Maka untuk menghadapi
persoalan-persoalan seperti ini, respons terhadap transgresi adalah
penegakan kembali nilai-nilai. Ditilik dari perspektif ini maka hukuman
sebenarnya mengkomunikasikan kepada kelompok (masyarakat) dan
pelanggar mengenai pentingnya penegakan nilai-nilai tadi. Di samping itu,
nilai-nilai juga bisa dipulihkan melalui pembaharuan konsensus sosial antara
pelanggar dan korban menyangkut nilai-nilai yang telah dilanggar. Dari sudut
pandangan ini, pemaafan mengekspresikan persepsi atau asumsi bahwa
melalui konsensus ini pelanggar mengakui kembali nilai-nilai yang telah
dilanggar oleh perbuatannya. Pada sisi korban, harapan dan rasa percaya
(trust) dibangun karena adanya kesadaran pelanggar mengenai pentingnya
nilai-nilai mereka. Melalui reafirmasi nilai-nilai ini, pemaafan akan memulihkan
kembali rasa keadilan pada diri korban.
3. Tindak memaafkan meningkatkan rasa keadilan pada korban sebagian karena
(dimediasi oleh) pemulihan status/kekuasaan korban.
Suatu transgresi dapat terutama diinterpretasikan sebagai perampasan status
dan kekuasaan (power) korban atau kelompok yang lebih luas secara tidak
sah oleh pelanggar. Perbuatan seperti ini menempatkan pelanggar di atas
hukum dan korban. Korban merasa diinjak, direndahkan dari statusnya, dan
dilemahkan dari kekuatan atau kekuasaannya. Maka respons terhadap
transgresi dalam konteks ini adalah memulihkan relasi status/power. Dalam
kehidupan sehari-hari, hukuman yang diberikan kepada pelanggar sesuai
dengan harapan masyarakat, yakni hukuman itu berefek sama pada
pelanggar: hukuman merendahkan, memalukan dan melemahkan
status/power si pelanggar. Namun, pemaafan (forgiveness) juga
mengindikasikan suatu superioritas moral dan status. Dengan pemaafan,
orang tidak terseret pada kualitas moral yang sama dengan pelanggar dengan
cara sekedar memberikan balasan yang setimpal atau bahkan lebih berat.
9
Pemaafan menempatkan pemaaf (korban) dalam posisi kontrol dan power
(“there is power in forgiveness”).
4. Tindak memaafkan mengurangi dalam diri korban, emosi-emosi permusuhan,
motivasi balas-dendam, dan sikap menghukum, dan ini semua meningkatkan
kesediaan korban untuk melakukan rekonsiliasi dengan pelanggar.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pemaafan menyangkut
perubahan-perubahan dalam emosi, sikap dan perilaku pada korban terhadap
pelanggar. Perubahan-perubahan ini pada umumnya dipandang sebagai
indikator pemaafan.
5. Efek tindakan memaafkan atas sentimen dan perilaku yang lebih positif
terhadap pelanggar dimediasi oleh pemulihan (restorasi) rasa keadilan.
Rasa ketidak-adilan menumbuhkan kemarahan, kebencian, dan permusuhan,
serta kehendak untuk balas-dendam. Persepsi pada seseorang bahwa dirinya
diperlakukan tidak adil mendorong dia untuk menarik diri, mengakhiri
hubungan, atau menghukum. Sebaliknya, pemaafan memungkinkan restorasi
rasa keadilan dalam diri korban. Restorasi ini pada gilirannya mereduksi
permusuhan, motif membalas dan menghukum, serta meningkatkan
kesediaan untuk rekonsialiasi dengan pelanggar.
6. Efek memaafkan atas emosi-emosi negatif dan motivasi balas-dendam
teutama dimediasi oleh perbaikan/pemulihan status/power; efek memaafkan
pada sikap retributif dimediasikan oleh pemulihan status/power serta restorasi
nilai-nilai, dan efek memaafkan pada kesediaan untuk rekonsiliasi terutama
dimediasikan oleh restorasi nilai.
Keprihatinan tentang transgresi merongrong status/power korban dan
keadaan ini dengan mudah menimbulkan kemarahan dan rasa bermusuhan
serta motif untuk membalas (Tripp, Bies, & Aquino, 2007). Rasa terhina dan
direndahkan memicu kebencian, agresi dan balas-dendam. Emosi-emosi
10
negatif semacam ini akan berkurang sejauh ekspresi pemaafan memulihan
citra-diri, harga-diri dan status/power. Transgresi menabrak nilai-nilai bersama
dan validitas serta konsensus sosial menjadi dipertanyakan karena transgresi
mengikis fondasi keberlangsungan relasi dengan pelanggar atau masyarakat
yang lebih luas. Peristiwa ini dengan mudah diikuti oleh perasaan teralienasi
dan retaknya identitas bersama, dan selanjutnya mempersulit komitmen untuk
merawat relasi. Oleh karenanya, sejauh pemaafan mengurangi kondisi-kondisi
semacam ini, pemaafan akan mereduksi sikap retributif dan memperbesar
kesediaan pihak-pihak yang terlibat untuk mempertahankan keberlangsungan
relasi.
Pada awalnya, studi tentang tentang pemaafan lebih menitik-beratkan proses
pemaafan dalam ranah privat atau interpersonal. Dalam ranah ini, pemaafan
merupakan pengalaman subyektif yang berlangsung dalam diri seseorang
(korban)dalam hubungannya dengan seseorang yang lain (pelanggar/
transgresor/perpetrator). Studi tentang pemaafan selanjutnya memberikan
perhatian semakin besar pada ranah publik atau sosiopolitik . Menurut Montiel
(2002), pemaafan sosiopolitis terjadi di antara kelompok manusia ketika satu
kelompok melakukan transgresi pada kelompok yang lain dan kelompok korban
melakukan pemaafan. Jadi pemaafan publik terjadi terutama dalam ranah relasi
antar-kelompok yang mengandung konflik. Montiel melihat bahwa pemaafan
publik semacam ini lebih kompleks daripada pemaafan privat oleh karena
pemaafan publik menuntut sensitivitas terhadap konteks-konteks historis, kultural,
serta politik pada kedua pihak yang terlibat. Sensitivitas kontekstual inilah yang
membuat bahwa tidak ada formula tunggal yang berlaku untuk proses pemaafan.
Elemen-elemen kemajemukan historis, kultural dan sosial-politis berperan besar
dan seringkali diperlukan eksperimentasi dalam proses pemaafan.
Oleh karena adanya kemajemukan ini maka pemaafan kolektif berjalan seiring
dengan transformasi kultural (Montiel, 2002). Bangunan rasa saling percaya
(trust) dan penerimaan akan perbedaan menjadi kondisi amat penting bagi
11
keadilan sosial (social justice). Bilamana dalam pemaafan privat, hanya korban
yang bisa menyampaikan pemaafan, bagaimana pemaafan direpresentasikan
dalam kelompok? Siapa yang akan bersedia terlibat dalam pemaafan, dan bisa
berbicara atas nama kelompok yang terluka? Siapa yang akan memulai?
Bagaimanakah permohonan maaf terekspresi dalam level kolektif? Pertanyaanpertanyaan ini merupakan contoh isu yang penting untuk diteliti oleh psikologi
sosial, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia.
KEADILAN
Dalam konteks relasi individu dan masyarakatnya, keadilan mendorong orang
untuk meregulasi perilaku mereka sendiri daripada dibatasi atau dikendalikan oleh
orang lain. Keadilan dioperasionalisasikan melalui hukum dan prosedur-prosedur
legal, serta secara kurang formal dalam norma-norma dan nilai-nilai (Clayton &
Opotow, 2003). Rasa keadilan sebagai mandat memberikan motivasi bagi terjadinya
perilaku yang konsisten, tetapi sekaligus juga memungkinkan justifikasi bagi perilaku
sehingga perilaku ini konsisten dengan konsensus kultural atau konsensus bersama
mengenai apa yang adil atau fair.
Di dalam konteks pelanggaran atau kesalahan, keadilan dimengerti dalam
terma retributif, yaitu pelanggar (transgresor/perpetrator) harus dihukum atau dituntut
untuk mengganti rugi atau memberikan kompensasi atas pelanggarannya. Dalam
bingkai pengertian seperti ini, keadilan retributif sebenarnya merupakan sebuah
konstruk beraspek-majemuk (mutifaceted), sejauh itu menjangkau banyak tujuan
yang berbeda-beda. Artinya, ada keragaman pandangan yang dimiliki oleh orang
tentang hukuman apa yang seharusnya diberikan terhadap suatu
transgresi/pelanggaran (Strelan, Feather & McKee, 2011). Dari perpsektif penal atau
retributif, pelanggaran aturan-aturan dan norma-norma masyarakat memerlukan
suatu tanggapan untuk menyeimbangkan kembali neraca keadilan, dan maksud ini
bisa dicapai dengan memberikan hukuman bagi pelanggar. Sangsi harus
12
proporsional dengan kerugian yang ditimbulkan, dan dalam prosesnya, pelanggar
menanggung konsekuensi yang setimpal. Jadi, dalam pandangan ini, tujuan keadilan
adalah retribusi dan hukuman adalah respons moral terhadap transgresi yang telah
diperbuat. Dan keadilan selesai di sini.
Dalam pandangan penal yang lebih relatif (utilitarian), tujuan keadilan bukan
terutama pertimbangan moral bahwa pelanggar menanggung beban yang seimbang
dengan kerugian yang diderita korban, melainkan lebih menekankan suatu
tanggapan instrumental. Jadi tujuan penghukuman adalah untuk memperkecil
peluang terjadinya pelanggar untuk waktu yang akan datang. Dengan kata lain,
penghukuman dimaksudkan untuk mengontol perilaku untuk tidak terulang lagi.
Dalam kepustakaan kriminologi dan psikologi sosial, tiga tujuan utama dari hukuman
dalam kerangka berpikir utilitarian adalah: penangkal (deterrence), baik bagi perilaku
pelanggar di masa kemudian, dan orang lain pada umumnya, proteksi masyarakat
(misalnya dengan mengurung pelanggar dalam penjara), dan rehabilitasi pelanggar
(Strelan, Feather, & McKee, 2011).
Dalam perkembangan teori tentang keadilan selanjutnya telah muncul sebuah
perspektif yang disebut dengan keadilan restoratif. Kepentingan keadilan restoratif
berbeda dari dua pandangan di atas. Dia tidak bermaksud untuk menghukum atau
melindungi tetapi memperbaiki. Khususnya, keadilan restoratif berkepentingan
dengan pemulihan relasi, apakah secara harafiah atau simbolik, antara korban,
pelanggar dan komunitas dengan terlibat dalam suatu dialog mengenai transgresi,
dan mengambil keputusan bersama tentang bagaimana transgresi akan
diselesaikan. Keadilan restoratif bukan menjadikan hukuman sebagai tujuan itu
sendiri, namun pemulihan relasi sebagaimana baru disebutkan tetap dapat
dipandang sebagai tujuan rasa keadilan. Bahkan Doak (2011) menyatakan keadilan
restoratif merupakan therapeutic jurisprudence, di mana pendekatan ini bisa dipakai
untuk mengidentifikasikan dan mengoreksi efek-efek terapeutik dan non-terapeutik
dalam aturan-aturan dan prosedur legal dengan menyediakan peluang bagi
pengacara dan pembuat kebijakan untuk memberi perhatian pada aspek dan peran
perasaan di dalam sistem keadilan. Dengan meletakkan hukum dalam bingkai terapi,
13
model ini bisa dipakai untuk mengkaji efek-efek yang merugikan dalam metodemetode pengetrapan hukum kriminal dan efek-efek yang menguntungkan dalam
pendekatan yang lebih inklusif di dalam pengertian keadilan restoratif.
Sebagai dampak dari suatu transgresi, wajar dan lazim bagi korban untuk
mengalami apa yang disebut oleh Fincham (2009) sebagai “moral injury”, yakni
keyakinan korban mengenai apa yang benar dan salah telah dicederai. Pengalaman
ini membawa pada dorongan kuat untuk menegakkan keadilan sebagai
penyeimbang. Exline, Worthington, Hill, dan McCullough (2003) mendesripsikan
transgresi sebagai suatu injustice gap yang menciptakan diskrepasi antara dampak
yang terjadi dan dampak yang diinginkan. Maka semakin berat dan intensional
transgresi yang terjadi, semakin besar persepsi mengenai injustice gap ini, dan
membuat pemaafan lebih sulit. Maka dapat diasumsikan di sini bahwa keadilan dan
pemaafan mengakhiri (closure) keprihatinan bagi korban dengan mempersempit
injustice gap.
Fincham (2009) menegaskan bahwa bila seseorang memaafkan, hal ini
hendaknya tidak diartikan bahwa dia menanggalkan haknya untuk meproteksi dirinya
dari kejadian merugikan serupa di masa kemudian. Jadi pemaafan bukan tindakan
penyangkalan atau kebodohan, oleh karena bila itu sekedar kebodohan atau
penyangkalan, maka pemaafan tidak mempunyai nilai adaptif. Sebaliknya, pemaafan
menyingkirkan rintangan untuk berrelasi, walaupun faktor-faktor lain seperti
kemungkinan kerugian lebih lanjut, reaksi pelanggar terhadap pemaafan oleh
korban, menentukan apakah suatu relasi akan berkembang sesudahnya dan apa
bentuk spesifik dari relasi yang akan diambil.
Telah disinggung di atas bahwa motivasi retributif untuk keadilan berhenti
pada pengenaan hukuman. Secara konseptual, motivasi retributif berbeda dari
pemaafan. Fungsi penangkal dan proteksi masyarakat juga bisa dibedakan dari
pemaafan (Streland, Feather, & McKee, 2011). Keduanya memang bersangkutan
dengan penghukuman untuk kepentingan korban dan msyarakat, namun
kepentingan pelanggar sendiri tidak mendapatkan ruang yang setara. Tujuan
rehabilitasi lebih mendekati motivasi restoratif, dan dengan begitu tidak bertolak
14
belakang dengan pemaafan. Rehabilitasi menjalankan fungsi perlindungan bagi
korban dan masyarakat melalui pencegahan atau penyempitan kemungkian bagi
perbuatan pelanggaran untuk dilakukan kembali. Rehabilitasi juga merupakan suatu
tanggapan yang lebih inklusif terhadap kesalahan dalam artian bahwa dia
mengandung usaha aktif untuk memperbaiki keadaan dan perilaku pelanggar. Dari
sudut ini maka keadilan restoratif juga memiliki prinsip-prinsip yang beroperasi dalam
pemaafan. Streland dkk., menyatakan berdasarkan fakta empirik bahwa orang yang
berpandangan bahwa tujuan keadilan seharusnya juga menjalankan fungsi inklusif,
yakini rehabilitasi pelanggar dan restorasi relasi, cenderung mendukung pemaafan
sebagai respons terhadap transgresi.
REKONSILIASI
Memang pemaafan memiliki potensi untuk pemulihan (restorasi) relasi.
Namun Fincham (2009) membedakan potensi ini dengan rekonsiliasi. Bagi Fincham,
rekonsiliasi melibatkan restorasi rasa-percaya (trust) yang telah dilanggar dan
mempersyaratkan kehendak baik (goodwill) dari kedua pihak. Seiring dengan
pandangan di atas, Tripp, Bies dan Aquino (2007) mendefinisikan rekonsiliasi
sebagai upaya oleh korban untuk mengulurkan tindak kehendak baik kepada
pelanggar dengan harapan untuk memulihkan hubungan. Jadi, rekonsiliasi memang
mengandaikan pemaafan, sedangkan pemaafan tidak selalu diikuti dengan
rekonsiliasi.
Pemaafan secara tipikal mengikuti pengakuan bersalah dan penyesalan oleh
pelanggar yang diungkapkan untuk korban di dalam bentuk permintaan maaf
(pemaafan bilateral). Tetapi, pemaafan bisa juga terjadi lepas dari sikap pelanggar,
tanpa adanya permintaan maaf (unilateral). Proses-proses pemulihan status/power
dan reafirmasi konsensus berlaku pada pemaafan unilateral dan bilateral (Wenzel &
Okimoto, 2010). Permintaan maaf oleh pelanggar bisa diekspektasikan membawa
pada sikap memaafkan yang lebih besar pada pihak korban terhadap pelanggar.
Berkurangnya rasa bermusuhan dan kehendak balas-dendam sebagai konsekuensi
15
dari permintaan maaf dan pemberian maaf akan membuka ruang lebih besar untuk
rekonsiliasi dan pemulihan (healing).
Exline dkk., (2003) mereviu tiga studi yang meneliti respons-respons dari
partisipan yang diminta untuk mengambil peran sebagai korban perampokan sehari
sesudah perampokan itu terjadi. Partisipan studi ini diminta untuk membayangkan
bahwa mereka menerima ganti rugi, permohonan maaf, keduanya, atau tidak
keduanya. Temuan studi ini menunjukkan bahwa korban yang menerima rasa
keadilan melalui permohonan maaf dan ganti rugi melaporkan bahwa ini
mempengaruhi diri dan reaksi fisiologis mereka. Menerima permohonan maaf bagi
mereka memperkecil motivasi untuk menghindar dan membalas, di samping
mereduksi rasa marah dan rasa takut. Mereka mempunyai kemauan yang lebih
besar untuk memaafkan. Secara fisiologis, partisipan menunjukkan detak jantung
dan tensi otot wajah lebih rendah. Dari temuan ini disimpulkan bahwa permohonan
maaf oleh pelanggar dan ganti rugi bagi korban menghasilkan pola dampak yang
serupa, dan kombinasi keduanya memperbesar dampak bagi korban. Permohonan
maaf yang dipersepsikan sebagai tulus membawa pada pemaafan dan rekonsiliasi.
Lalu bagaimana hubungan antar unsur-unsur tersebut? Tripp, Bies dan
Aquino (2007) menyimpulkannya dalam relasi yang sirkular sebagai berikut. Bila
orang atau masyarakat menginginkan perdamaian atau kedamaian, maka anggotaanggotanya harus akur (rekonsiliasi) satu dengan lainnya. Untuk mencapai
rekonsiliasi ini, terlebih dahulu harus ada pemaafan (forgiveness). Walau rekonsiliasi
tanpa pemaafan mungkin saja terjadi, namun hasilnya atau kualitasnya bukanlah
perdamaian yang ideal sebagaimana diharapkan oleh kebanyakan orang. Dan untuk
mendorong pemaafan, amat menolong kalau rasa keadilan terlebih dahulu
ditegakkan. Rasa keadilan menggerakan proses ini dan terhadap keadilan inilah
setiap orang harus menaruh perhatian untuk menjaga perdamaian.
Dalam relasi interpersonal atau ranah privat, sering tidk terlampau sulit
mengidenitfikasikan siapa transgresor dan siapa korban. Namun tidak demikian
halnya dalam konflik-konflik sosial yang berskala besar. Kedua pihak saling terlibat
dalam tindak kekerasan, keduanya menjadi agresor dan korban. Dalam proses
16
selanjutnya bilamana rekonsiliasi diupayakan, masing-masing pihak akan mengklaim
sebagai korban dan bukan agresor. Dalam banyak kasus konflik sosial-politik skala
besar dan berlarut-larut, pembentukan suatu institusi yang melibatkan kedua pihak
antagonis serta pihak luar seringkali diperlukan. Misalnya, banyak negara
membentuk sebuah komisi yang disebut Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi
(misalnya, Afrika Selatan, Chile, Guatemala, dan El Salvador. Bagaimana
Indonesia?). Dalam konflik sosial, pengaruh individu-individu seperti ketua adat,
pemimpin keagamaan, tokoh politik mempunyai ppotensi dan peran yang perlu
dimanfaatkan untuk proses rekonsiliasi.
Setiap korban peperangan, ataupun bentuk kekerasan lainnya, keluarga
korban, tahanan politik, dan mereka yang kehilangan hak-haknya akan berupaya
untuk mencari keadilan. Korban lebih menempatkan rasa keadilan pada posisi yang
lebih tinggi daripada balas-dendam. Rasa keadilan inilah, dan bukan balas-dendam,
yang menawarkan penyembuhan luka batin dan psikologis.
Menurut Montiel (2002), rekonsiliasi merupakan upaya besar yang menaungi
dan mengintegrasikan beragam elemen sosial – pemaafan, pernyataan/permohonan
maaf, dan keadilan - pasca konflik. Melalui rekonsiliasi, relasi antar-kelompok
dibangun kembali (restorasi) dalam suatu tata-bangun yang bisa diterima oleh kedua
pihak. Relasi sebelum konflik akan berbeda dari relasi pasca konflik, jadi idealnya
restorai relasi hendaknya merefleksikan transformasi sosial-kultural sebagai
efek/dampak positif dari berakhirnya antagonisme/konflik. Ada tiga hal ayng
disarankan oleh Montiel: pertama, penerimaan oleh semua pihak mengenai interpresi
historis bersama menyangkut konflik yang telah terjadi; kedua, tumbuhnya
masyarakat madani (civil society) majemuk yang kuat yang secara formal mengakui
perlunya membenahi kesalahan-kesalahan di masa silam/yang telah terjadi, dan
ketiga, kelompok yang telah meninggalkan rumahnya bisa kembali dengan aman ke
daerah asalnya.
17
KESIMPULAN
Pemaafan memunculkan isu yang penting bagi korban, pelanggar dan
masyarakat yang lebih luas. Kendati fakor-faktor situasional dapat memungkinkan
atau mempersulit terjadinya pemaafan, pada akhirnya keputusan akhir untuk
memaafkan atau tidak terletak di tangan korban. Pemaafan memang seringkali sulit,
khususnya jika kerugian yang ditanggung dirasakan amat besar oleh korban dan
pelanggar sendiri tidak menunjukkan penyesalan. Namun bila ditilik bagaimana
pemaafan dimungkinkan oleh korban, motivasi-motivasi yang melandasi keputusan
memaafkan menjadi penting. Dengan memilih untuk memaafkan, individu bisa
mengesampingkan perasaan-perasaan yang secara potensial destruktif, seperti
kepahitan, kemarahan, kebencian serta permusuhan.
Kita juga bisa menilik bagaimana pemaafan dapat berpengaruh atas
pelanggar. Menyadari kesusahan dan penderitaan si korban, timbulnya rasa
menyesal dan bersalah serta rasa malu akibat perbuatannya, bisa membuat
pelanggar bertindak lebih baik. Pemaafan juga bisa disoroti dari perspektif
masyarakat. Korban dan pelanggar tidak selalu individu, melainkan juga terjadi
secara kolektif.
Kajian mengenai pemaafan dan persilangan antara pemaafan dan rasa
keadilan serta rekonsiliasi dalam konflik sosial merupakan topik yang menarik bagi
psikologi sosial. Banyak pertanyaan empirik mengenai isu-isu ini yang relevan bagi
disiplin psikologi sosial bila pemaafan dikaitkan dengan berbagai konflik sosial-politis,
dengan pendekatan interpersonal dan antar-kelompok.
18
DAFTAR PUSTAKA
Clayton, S., & Opotow, S. (2003). Justice and identity: Changing perspectives
on what is fair. Personality and Social Psychology Review, 7, 298-310.
Doak, J. (2011). Honing the stone: Refining restorative justice as a vehicle for
emotional redress. Contemporary Justice Review, 14, 439-456.
Enright, R.D. & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of forgiveness
within psychological interventions. Dalam Worthington (Ed.), Dimensions of
forgiveness (hal. 139-161). Radnor, PA: Templeton Foundation Press.
Exline, J.J., & Baumeister, R.F. (2000). Expressing forgiveness and repentance:
Benefits and barriers. Didalam McCulough, Pargament, & Thorensen (Eds.),
Forgiveness: Theory, research, and parctice (hal. 133-155). New York:
Guilford.
Exline, J.J., Worthington, E.L., Hill, P., & McCullough, M.E. (2003). Forgiveness and
justice: A rersearch agenda for social and personality psychology. Personality
and Social Psychology Review, 7, 337-348.
Fincham, F.D. (2009). Forgiveness: Integral to close relationships and inimical to
justice? Virginia Journal of Social Policy & Law, 16, 358-384.
Inazu, J.D. (2009). No future without (personal) forgiveness: Reexamining the role of
forgiveness in transitional justice. Human Rights Review, 10, 309-326.
McCullough, M.E., Pargament, K.I., & Thorensen, C.E. (2000). The psychology of
forgiveness: History, conceptual issues, and overview. Dalam McCullough,
Pargament, & Thorensen (Eds.), Forgiveness: Theory, research, and practice
(hal. 1-14). New York: Guilford Press.
Montiel, C.J. (2002). Sociopolitical forgiveness. Peace Review, 14, 271-277.
Strelan, P., Feather, N.T., McKee, I. (2011). Retributive and inclusive justice goals
and forgiveness: The influence of motivational values. Social Justice
Research, 24, 126-142.
19
Tripp, T.M., Bies, R.J., & Aquino, K. (2007). A vigilante model of justice: Revenge,
reconciliation, forgiveness, and avoidance. Social Justice Research, 20, 1,
10-34.
Wade, N.G., Worthington, E.L., & Meyer, J.E. (2005). But do they work? A metaanalysis of interventions to promote forgiveness.Dalam Worthington (Ed.),
Handbook of forgiveness (hal. 423-440). New York: Brunner-Routledge.
Wenzel, M., & Okimoto, T.G. (2010). How acts of forgiveness restore a sense of
justice: Addressing status/power and value concerns raised by transgressions.
European Journal of Social Psychology, 40, 401-417.
Wenzel, M., & Okimoto, T.G. (2012). The varying meaning of forgiveness:
Relationship closeness moderates how forgiveness affects feeling of justice.
European Journal of Social Psychology, 42, 420-431.
Worthington, E.L. (2003). Forgiving dan reconciling: Bridges to wholeness and hope.
Downers Grove, IL: InterVarsity Press.
Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The psychology of unforgiveness and
forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical
Psychology, 18, 385-418.
Worthington, E.L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused
coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience:
Theory, review, and hypotheses. Psychology and Health, 19, 385-405.
PEMAAFAN (FORGIVENESS), RASA KEADILAN,
REKONSILIASI, DAN KONFLIK SOSIAL
Aloysius Soesilo
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Psikologi Sosial
“PEMAAFAN: WACANA DAN TINDAKAN”
Di Fakultas Psikologi – Universitas Katolik Soegijapranta
6 Desember 2013
Di Semarang
2
ABSTRAK
Forgiveness is commonly conceptualized as the transformation of the victim’s
motives and attitudes to the offender from negative to positive. This transformation is
indicated by reduced revnge or retributive tendencies, reduced avoidance of the
offender, and increased empathy and prosocial behavior and benevolence toward
the offender. The relation between forgiveness and justice depends on the types of
justice involved, and the goals of justice. This article intends to explore the interface
between forgiveness and justice. Distinction between personal or private forgiveness
and social/public forgiveness is also discussed. This distinction is important when
forgiveness is situated in the conflictual societal context. Forgiveness can be a step
towards the restoration of justice, and it is through restorative justice that it has
benefits in terms of de-escalation of conflict, reconciliation of relationships, and
peace.
Keywords: Forgiveness, justice, restorative justice, reconsiliation, social conflict
3
PEMAAFAN (FORGIVENESS), RASA KEADILAN, REKONSILIASI, DAN
KONFLIK SOSIAL
Aloysius Soesilo
Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
PENGANTAR
Bilamana seseorang melakukan tindakan yang merugikan diri kita dan dengan
demikian kita menjadi korban dari pelanggaran ini, kita lazimnya mengalami bahwa
ada ketidakadilan terjadi dan kita menghendaki tindakan untuk memulihkan rasa
keadilan. Tindak pemulihan ini mencakup pengenaan hukuman sebagai balasan.
Rasa puas yang dihasilkan dari terhukumnya pelaku sebenarnya bermuara dari ide
yang disebut keadilan retributif, yang memang merupakan suatu motivasi
fundamental dalam diri manusia. Namun sebenarnya manusia juga mampu
melakukan pemaafan (forgiveness) sesudah suatu ketidakadilan terjadi. Literatur
psikologis mengenai isu ini telah menunjukkan bahwa pemaafan berposisi sentral
dalam pengendalian konflik sosial, di samping menjaga kelangsungan relasi sosial
dan kesehatan mental dan kesejahteraan pada korban.
Bagian pertama dari artikel ini merupakan bahasan mengenai makna
pemaafan. Studi tentang pemaafan membuka pintu bagi pemahaman tentang
fungsionalitas pemaafan, proses-proses apa yang berlangsung dalam interaksi
antar-manusia bila terjadi pemaafan dan prinsip-prinsip psikologis apa yang bekerja
dalam individu-individu yang terlibat. Selanjutnya, bahasan bergerak ke persilangan
antara pemaafan dan keadilan. Pemaafan dibedakan antara yang interpersonal atau
privat dan yang sosial atau publik. Begitu juga konstruk keadilan dilihat dari beberapa
perspektif, dan yang diberi ruang utama bagi pembahasan di artikel ini adalah apa
yang disebut dengan keadilan restoratif (restorative justice). Ketersaling-kaitan
4
antara pemaafan dan keadilan membawa kita pada bahasan terakhir, yakni
rekonsiliasi dalam konteks sosial.
MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS)
Pemaafan (forgiveness) merupakan suatu konstruk multidimensional yang
dibangun oleh kontribusi dari berbagai disiplin, termasuk psikologi, teologi, filosofi,
sosiologi dan antropologi. Dalam psikologi sendiri, berbagai cabangnya (klinis,
perkembangan, sosial, dan kepribadian) juga ikut mengembangkan studi tentang
pemaafan (McCullough, Pargament, & Thorensen, 2000). Oleh karena itu wajar bila
tidak ada definisi tunggal tentang forgiveness. Keragaman pengertian tentang
pemaafan tidak mengenyampingkan konsensus di kalangan para peneliti dan teorisi,
yakni bahwa pemaafan harus dibedakan dari pardoning (yang merupakan istilah
hukum), condoning (mengandung unsur justifikasi bagi pelanggaran), excusing
(pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa diterima dalam perbuatannya),
forgetting (ingatan tentang pelanggaran melemah atau tidak lagi dalam kesadaran),
dan denying (ketidak-sediaan untuk memahami kerugian yang ditanggung oleh
orang lain sebagai akibat perbuatan pelaku) (Lihat Enright & Coyle, 1998).
Enright dan Coyle sendiri mendefinisikan pemaafan sebagai kesediaan untuk
melepaskan hak sendiri untuk menunjukkan kebencian, penghakiman negatif, dan
perilaku tidak peduli terhadap seseorang yang tidak seharusnya merugikan kita, dan
bersamaan dengan ini mengembangkan kualitas belarasa, kedermawanan, dan
bahkan kasih terhadap pelaku kendati dia sebenarnya tidak berhak menerima
kualitas perlakuan ini.
Sedangkan bagi Wade, Worthington dan Meyer (2005), pemaafan yang sejati
dan tepat mencakup kesanggupan untuk memandang transgresor secara realistik
dan inklusif dengan mengakui sisi-sisi baik dan buruk orang tersebut. Perasaanperasaan positf seperti belarasa dan empati dipercaya sebagai kritikal dalam
pemaafan. Selain itu, kemampuan untuk mengampuni mempersyaratkan ego
strength dan sense of self yang cukup kokoh.
5
Sebuah model yang membedakan forgiveness dan unforgiveness
dikemukakan oleh Worhtington dan Wade (1999). Forgiveness merupakan sebuah
proses yang diyakini difasilitasi oleh empati yang membawa pada pilihan untuk
menanggalkan unforgiveness dan mengupayakan rekonsiliasi dengan pelanggar.
Sedangkan unforgiveness dipandang sebagai emosi “dingin” (cold) yang dicirikan
oleh rasa tidak senang (resentment), kepahitan, dan barangkali juga kebencian,
disertaikan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas dendam terhadap
transgresor. Jadi, unforgiveness sebenarnya merupakan kombinasi yang cukup
kompleks dari emosi-emosi negatif yang tertahan/tertunda terhadap seseorang yang
telah melakukan pelanggaran atau transgresi. Bila diungkapkan secara segera,
emosi-emosi negatif ini mengambil rupa sebagai kemarahan, ketakutan, atau
keduanya (Worthington & Scherer, 2004). Worhtington dan kawan kawan
berpendapat bahwa bila seseorang mengampuni, maka emosi-emosi positif yang
berdasar pada kasih (misalnya empati, belarasa, simpati, afeksi, cinta altruistik)
menggantikan emosi-emosi negatif yang sebelumnya dialami dalam kaitannya
dengan transgesor dan perbuatannya.
Worthington (2003) membedakan dua jenis forgiveness , yakni decisional
forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness merupakan
pernyataan yang muncul dari intensi behavioral yang diupayakan oleh individu untuk
berperilaku terhadap transgressor seperti dia berperilaku sebelum transgresi terjadi.
Dengan kata lain, inidividu ini bermaksud untuk membebaskan hutang si
transgressor, yakni balasan/hukuman yang seharusnya dia terima sebagai
konsekuensi dari pelanggarannya. Walaupun individu mampu melakukan tindakan
pengampunan jenis ini, namun secara emosional dia masih merasa sakit, dan secara
kognitif terlibat dalam bersungut-sungut dan gerutuan (ruminasi), ataupun tergerak
(motivasional) untuk menghindar atau melakukan pembalasan. Ruminasi sendiri
telah ditunjukkan dalam riset dan kajian klinis berhubungan dengan rasa marah,
cemas dan depresif. Individu yang melakukan ruminasi akan berpeluang besar
terlibat dalam unforgiveness. Dengan demikian, decisional forgiveness yang lebih
bersifat behavioral, dibedakan dari emotional forgiveness yang berakar pada emosi.
6
Dalam konteks ini, pemaafan dapat dipahami sebagai jukstaposisi emosi positif yang
berkiblat pada orang lain (positive other-oriented) terhadap unforgiveness yang
negatif, yang pada gilirannya akan menetralkan atau menggantikan semua atau
sebagian emosi-emosi negatif dengan emosi-emosi positif.
Kajian psikologis pemaafan menghadirkan ruang bagi kita untuk menyelidiki
bagaimana tindak memaafkan mempunyai fungsi yang dimainkan dalam interaksi
manusia, apa proses-proses yang sesungguhnya terjadi di mana keputusan dan
komunikasi pemaafan mengubah motif, emosi, sikap dan perilaku terhadap
pelanggar atau transgresor. Tilikan-tilikan atas hal-hal ini memberikan terang pada
kita mengenai fungsionalitas dari pemaafan untuk relasi interpersonal dan sosial dan
termasuk alasan-alasan mengapa korban memutuskan untuk mengulurkan
pengampunan.
Pemaafan sebenarnya sebuah konstruk yang komplek yang tidak mudah
didefinisikan. Kesepakatan para ahli adalah bahwa pemaafan tidak diartikan sebagai
mengiyakan kesalahan yang terjadi. Pemaafan tidak diartikan bahwa kita memeriksa
keseriusan pelanggaran atau tanggungjawab pelanggaran dan sesudahnya
memberikan hukuman yang lebih lunak. Pemaafan juga tidak sama dengan
melupakan persoalan. Justru sebaliknya, pemaafan mengandaikan kesadaran akan
kekeliruan tindakan pelanggaran serta akan tanggungjawab pada pihak pelanggar.
Pemaafan adalah usaha yang disadari dan disengaja di mana emosi negatif
terhadap pelanggar ditanggalkan oleh pemaaf dan pemaaf menahan diri untuk tidak
menimbulkan kerugian pada pelanggar bahkan kenyataannya pelanggaran
selayaknya mendapatkan hukuman atau balasan. Dengan demikian, pemaafan
nampak sebagai “the surrendering of justice” (Reed & Aquino, 2003, hal. 1281), atau
“the loosening of justice standards in order to permit mercy” (Exline & Baumesiter,
2000, hal. 147). Dari sini lalu menjadi jelas bahwa pemaafan dan keadilan adalah
dua konstruk yang berbeda satu dari yang lain tetapi saling bertautan.
Wenzel dan Okimoto (2010) menegaskan bahwa untuk mengapresiasi
peranan pemaafan dalam interaksi manusia, kita perlu memahami bagaimana tindak
memaafkan dapat pula menolong memulihkan rasa keadilan pada pemaaf (korban).
7
Untuk itu dipersyaratkan (a) konseptualisasi yang lebih luas mengenai keadilan yang
mencakup retributif dan restoratf (tentang hal ini akan dibahas lebih jauh ), dan (b)
analisis mengenai implikasi suatu transgresi bagi korban serta bagaimana tindak
memaafkan memberi perhatian kepada persoalan ini. Dalam bingkai pemikiran
demikian maka nampak bahwa pemaafan bukanlah hadiah sepihak dari korban
kepada pelanggar, melainkan bagian dari proses mutual untuk mempertemukan
suatu kesalahan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Jadi, pemaafan bukanlah
mengorbankan keadilan atau rasa keadilan tetapi lebih sebagai langkah menuju
restorasi keadilan. Selanjutnya buah dari restorasi keadilanan adalah deeskalasi
konflik, rekonsiliasi dan terciptanya perdamaian atau kedamaian.
Relasi antara pemaafan dan rasa keadilan dihipotesiskan oleh Wenzel dan
Okimoto (2010) sebagai berikut:
1. Tindak memaafkan memberikan kontribusi bagi rasa keadilan pada korban.
Hukuman setimpal bagi pelanggar hanyalah salah satu dari ide tentang
keadilan. Ada pandangan lain yang tidak bisa disingkirkan, di mana dalam
pandangan ini hukuman tidak diperlakukan sebagai perlu atau memadai untuk
memulihkan rasa keadilan. Barangkali bagi korban, pernyataan maaf dan
penyesalan oleh pelanggar, sebagai suatu pengakuan akan kesalahan dan
penerimaan tanggungjawab lebih bermakna daripada hukuman. Korban ingin
pelanggar sadar dan paham betapa terluka mereka, dan pelanggar bisa
merasa bersalah serta malu atas perbuatannya. Faktor psikologis semacam
ini yang lebih berdampak menyembuhkan pada korban daripada sekedar
hukuman bagi pelaku.
2. Tindak memaafkan meningkatkan rasa keadilan pada diri korban sebagian
karena (dimediasi oleh) restorasi konsensus nilai dengan pelanggar.
Suatu transgresi dapat terutama dipandang sebagai pelanggaran nilai-nilai
(values) yang dimiliki bersama oleh transgresor/perpetrator dan korban,
8
sebagai sesama anggota suatu masyarakat. Pelanggaran nilai-nilai bisa
mengancam identitas sosial sebagai milik bersama. Maka untuk menghadapi
persoalan-persoalan seperti ini, respons terhadap transgresi adalah
penegakan kembali nilai-nilai. Ditilik dari perspektif ini maka hukuman
sebenarnya mengkomunikasikan kepada kelompok (masyarakat) dan
pelanggar mengenai pentingnya penegakan nilai-nilai tadi. Di samping itu,
nilai-nilai juga bisa dipulihkan melalui pembaharuan konsensus sosial antara
pelanggar dan korban menyangkut nilai-nilai yang telah dilanggar. Dari sudut
pandangan ini, pemaafan mengekspresikan persepsi atau asumsi bahwa
melalui konsensus ini pelanggar mengakui kembali nilai-nilai yang telah
dilanggar oleh perbuatannya. Pada sisi korban, harapan dan rasa percaya
(trust) dibangun karena adanya kesadaran pelanggar mengenai pentingnya
nilai-nilai mereka. Melalui reafirmasi nilai-nilai ini, pemaafan akan memulihkan
kembali rasa keadilan pada diri korban.
3. Tindak memaafkan meningkatkan rasa keadilan pada korban sebagian karena
(dimediasi oleh) pemulihan status/kekuasaan korban.
Suatu transgresi dapat terutama diinterpretasikan sebagai perampasan status
dan kekuasaan (power) korban atau kelompok yang lebih luas secara tidak
sah oleh pelanggar. Perbuatan seperti ini menempatkan pelanggar di atas
hukum dan korban. Korban merasa diinjak, direndahkan dari statusnya, dan
dilemahkan dari kekuatan atau kekuasaannya. Maka respons terhadap
transgresi dalam konteks ini adalah memulihkan relasi status/power. Dalam
kehidupan sehari-hari, hukuman yang diberikan kepada pelanggar sesuai
dengan harapan masyarakat, yakni hukuman itu berefek sama pada
pelanggar: hukuman merendahkan, memalukan dan melemahkan
status/power si pelanggar. Namun, pemaafan (forgiveness) juga
mengindikasikan suatu superioritas moral dan status. Dengan pemaafan,
orang tidak terseret pada kualitas moral yang sama dengan pelanggar dengan
cara sekedar memberikan balasan yang setimpal atau bahkan lebih berat.
9
Pemaafan menempatkan pemaaf (korban) dalam posisi kontrol dan power
(“there is power in forgiveness”).
4. Tindak memaafkan mengurangi dalam diri korban, emosi-emosi permusuhan,
motivasi balas-dendam, dan sikap menghukum, dan ini semua meningkatkan
kesediaan korban untuk melakukan rekonsiliasi dengan pelanggar.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pemaafan menyangkut
perubahan-perubahan dalam emosi, sikap dan perilaku pada korban terhadap
pelanggar. Perubahan-perubahan ini pada umumnya dipandang sebagai
indikator pemaafan.
5. Efek tindakan memaafkan atas sentimen dan perilaku yang lebih positif
terhadap pelanggar dimediasi oleh pemulihan (restorasi) rasa keadilan.
Rasa ketidak-adilan menumbuhkan kemarahan, kebencian, dan permusuhan,
serta kehendak untuk balas-dendam. Persepsi pada seseorang bahwa dirinya
diperlakukan tidak adil mendorong dia untuk menarik diri, mengakhiri
hubungan, atau menghukum. Sebaliknya, pemaafan memungkinkan restorasi
rasa keadilan dalam diri korban. Restorasi ini pada gilirannya mereduksi
permusuhan, motif membalas dan menghukum, serta meningkatkan
kesediaan untuk rekonsialiasi dengan pelanggar.
6. Efek memaafkan atas emosi-emosi negatif dan motivasi balas-dendam
teutama dimediasi oleh perbaikan/pemulihan status/power; efek memaafkan
pada sikap retributif dimediasikan oleh pemulihan status/power serta restorasi
nilai-nilai, dan efek memaafkan pada kesediaan untuk rekonsiliasi terutama
dimediasikan oleh restorasi nilai.
Keprihatinan tentang transgresi merongrong status/power korban dan
keadaan ini dengan mudah menimbulkan kemarahan dan rasa bermusuhan
serta motif untuk membalas (Tripp, Bies, & Aquino, 2007). Rasa terhina dan
direndahkan memicu kebencian, agresi dan balas-dendam. Emosi-emosi
10
negatif semacam ini akan berkurang sejauh ekspresi pemaafan memulihan
citra-diri, harga-diri dan status/power. Transgresi menabrak nilai-nilai bersama
dan validitas serta konsensus sosial menjadi dipertanyakan karena transgresi
mengikis fondasi keberlangsungan relasi dengan pelanggar atau masyarakat
yang lebih luas. Peristiwa ini dengan mudah diikuti oleh perasaan teralienasi
dan retaknya identitas bersama, dan selanjutnya mempersulit komitmen untuk
merawat relasi. Oleh karenanya, sejauh pemaafan mengurangi kondisi-kondisi
semacam ini, pemaafan akan mereduksi sikap retributif dan memperbesar
kesediaan pihak-pihak yang terlibat untuk mempertahankan keberlangsungan
relasi.
Pada awalnya, studi tentang tentang pemaafan lebih menitik-beratkan proses
pemaafan dalam ranah privat atau interpersonal. Dalam ranah ini, pemaafan
merupakan pengalaman subyektif yang berlangsung dalam diri seseorang
(korban)dalam hubungannya dengan seseorang yang lain (pelanggar/
transgresor/perpetrator). Studi tentang pemaafan selanjutnya memberikan
perhatian semakin besar pada ranah publik atau sosiopolitik . Menurut Montiel
(2002), pemaafan sosiopolitis terjadi di antara kelompok manusia ketika satu
kelompok melakukan transgresi pada kelompok yang lain dan kelompok korban
melakukan pemaafan. Jadi pemaafan publik terjadi terutama dalam ranah relasi
antar-kelompok yang mengandung konflik. Montiel melihat bahwa pemaafan
publik semacam ini lebih kompleks daripada pemaafan privat oleh karena
pemaafan publik menuntut sensitivitas terhadap konteks-konteks historis, kultural,
serta politik pada kedua pihak yang terlibat. Sensitivitas kontekstual inilah yang
membuat bahwa tidak ada formula tunggal yang berlaku untuk proses pemaafan.
Elemen-elemen kemajemukan historis, kultural dan sosial-politis berperan besar
dan seringkali diperlukan eksperimentasi dalam proses pemaafan.
Oleh karena adanya kemajemukan ini maka pemaafan kolektif berjalan seiring
dengan transformasi kultural (Montiel, 2002). Bangunan rasa saling percaya
(trust) dan penerimaan akan perbedaan menjadi kondisi amat penting bagi
11
keadilan sosial (social justice). Bilamana dalam pemaafan privat, hanya korban
yang bisa menyampaikan pemaafan, bagaimana pemaafan direpresentasikan
dalam kelompok? Siapa yang akan bersedia terlibat dalam pemaafan, dan bisa
berbicara atas nama kelompok yang terluka? Siapa yang akan memulai?
Bagaimanakah permohonan maaf terekspresi dalam level kolektif? Pertanyaanpertanyaan ini merupakan contoh isu yang penting untuk diteliti oleh psikologi
sosial, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia.
KEADILAN
Dalam konteks relasi individu dan masyarakatnya, keadilan mendorong orang
untuk meregulasi perilaku mereka sendiri daripada dibatasi atau dikendalikan oleh
orang lain. Keadilan dioperasionalisasikan melalui hukum dan prosedur-prosedur
legal, serta secara kurang formal dalam norma-norma dan nilai-nilai (Clayton &
Opotow, 2003). Rasa keadilan sebagai mandat memberikan motivasi bagi terjadinya
perilaku yang konsisten, tetapi sekaligus juga memungkinkan justifikasi bagi perilaku
sehingga perilaku ini konsisten dengan konsensus kultural atau konsensus bersama
mengenai apa yang adil atau fair.
Di dalam konteks pelanggaran atau kesalahan, keadilan dimengerti dalam
terma retributif, yaitu pelanggar (transgresor/perpetrator) harus dihukum atau dituntut
untuk mengganti rugi atau memberikan kompensasi atas pelanggarannya. Dalam
bingkai pengertian seperti ini, keadilan retributif sebenarnya merupakan sebuah
konstruk beraspek-majemuk (mutifaceted), sejauh itu menjangkau banyak tujuan
yang berbeda-beda. Artinya, ada keragaman pandangan yang dimiliki oleh orang
tentang hukuman apa yang seharusnya diberikan terhadap suatu
transgresi/pelanggaran (Strelan, Feather & McKee, 2011). Dari perpsektif penal atau
retributif, pelanggaran aturan-aturan dan norma-norma masyarakat memerlukan
suatu tanggapan untuk menyeimbangkan kembali neraca keadilan, dan maksud ini
bisa dicapai dengan memberikan hukuman bagi pelanggar. Sangsi harus
12
proporsional dengan kerugian yang ditimbulkan, dan dalam prosesnya, pelanggar
menanggung konsekuensi yang setimpal. Jadi, dalam pandangan ini, tujuan keadilan
adalah retribusi dan hukuman adalah respons moral terhadap transgresi yang telah
diperbuat. Dan keadilan selesai di sini.
Dalam pandangan penal yang lebih relatif (utilitarian), tujuan keadilan bukan
terutama pertimbangan moral bahwa pelanggar menanggung beban yang seimbang
dengan kerugian yang diderita korban, melainkan lebih menekankan suatu
tanggapan instrumental. Jadi tujuan penghukuman adalah untuk memperkecil
peluang terjadinya pelanggar untuk waktu yang akan datang. Dengan kata lain,
penghukuman dimaksudkan untuk mengontol perilaku untuk tidak terulang lagi.
Dalam kepustakaan kriminologi dan psikologi sosial, tiga tujuan utama dari hukuman
dalam kerangka berpikir utilitarian adalah: penangkal (deterrence), baik bagi perilaku
pelanggar di masa kemudian, dan orang lain pada umumnya, proteksi masyarakat
(misalnya dengan mengurung pelanggar dalam penjara), dan rehabilitasi pelanggar
(Strelan, Feather, & McKee, 2011).
Dalam perkembangan teori tentang keadilan selanjutnya telah muncul sebuah
perspektif yang disebut dengan keadilan restoratif. Kepentingan keadilan restoratif
berbeda dari dua pandangan di atas. Dia tidak bermaksud untuk menghukum atau
melindungi tetapi memperbaiki. Khususnya, keadilan restoratif berkepentingan
dengan pemulihan relasi, apakah secara harafiah atau simbolik, antara korban,
pelanggar dan komunitas dengan terlibat dalam suatu dialog mengenai transgresi,
dan mengambil keputusan bersama tentang bagaimana transgresi akan
diselesaikan. Keadilan restoratif bukan menjadikan hukuman sebagai tujuan itu
sendiri, namun pemulihan relasi sebagaimana baru disebutkan tetap dapat
dipandang sebagai tujuan rasa keadilan. Bahkan Doak (2011) menyatakan keadilan
restoratif merupakan therapeutic jurisprudence, di mana pendekatan ini bisa dipakai
untuk mengidentifikasikan dan mengoreksi efek-efek terapeutik dan non-terapeutik
dalam aturan-aturan dan prosedur legal dengan menyediakan peluang bagi
pengacara dan pembuat kebijakan untuk memberi perhatian pada aspek dan peran
perasaan di dalam sistem keadilan. Dengan meletakkan hukum dalam bingkai terapi,
13
model ini bisa dipakai untuk mengkaji efek-efek yang merugikan dalam metodemetode pengetrapan hukum kriminal dan efek-efek yang menguntungkan dalam
pendekatan yang lebih inklusif di dalam pengertian keadilan restoratif.
Sebagai dampak dari suatu transgresi, wajar dan lazim bagi korban untuk
mengalami apa yang disebut oleh Fincham (2009) sebagai “moral injury”, yakni
keyakinan korban mengenai apa yang benar dan salah telah dicederai. Pengalaman
ini membawa pada dorongan kuat untuk menegakkan keadilan sebagai
penyeimbang. Exline, Worthington, Hill, dan McCullough (2003) mendesripsikan
transgresi sebagai suatu injustice gap yang menciptakan diskrepasi antara dampak
yang terjadi dan dampak yang diinginkan. Maka semakin berat dan intensional
transgresi yang terjadi, semakin besar persepsi mengenai injustice gap ini, dan
membuat pemaafan lebih sulit. Maka dapat diasumsikan di sini bahwa keadilan dan
pemaafan mengakhiri (closure) keprihatinan bagi korban dengan mempersempit
injustice gap.
Fincham (2009) menegaskan bahwa bila seseorang memaafkan, hal ini
hendaknya tidak diartikan bahwa dia menanggalkan haknya untuk meproteksi dirinya
dari kejadian merugikan serupa di masa kemudian. Jadi pemaafan bukan tindakan
penyangkalan atau kebodohan, oleh karena bila itu sekedar kebodohan atau
penyangkalan, maka pemaafan tidak mempunyai nilai adaptif. Sebaliknya, pemaafan
menyingkirkan rintangan untuk berrelasi, walaupun faktor-faktor lain seperti
kemungkinan kerugian lebih lanjut, reaksi pelanggar terhadap pemaafan oleh
korban, menentukan apakah suatu relasi akan berkembang sesudahnya dan apa
bentuk spesifik dari relasi yang akan diambil.
Telah disinggung di atas bahwa motivasi retributif untuk keadilan berhenti
pada pengenaan hukuman. Secara konseptual, motivasi retributif berbeda dari
pemaafan. Fungsi penangkal dan proteksi masyarakat juga bisa dibedakan dari
pemaafan (Streland, Feather, & McKee, 2011). Keduanya memang bersangkutan
dengan penghukuman untuk kepentingan korban dan msyarakat, namun
kepentingan pelanggar sendiri tidak mendapatkan ruang yang setara. Tujuan
rehabilitasi lebih mendekati motivasi restoratif, dan dengan begitu tidak bertolak
14
belakang dengan pemaafan. Rehabilitasi menjalankan fungsi perlindungan bagi
korban dan masyarakat melalui pencegahan atau penyempitan kemungkian bagi
perbuatan pelanggaran untuk dilakukan kembali. Rehabilitasi juga merupakan suatu
tanggapan yang lebih inklusif terhadap kesalahan dalam artian bahwa dia
mengandung usaha aktif untuk memperbaiki keadaan dan perilaku pelanggar. Dari
sudut ini maka keadilan restoratif juga memiliki prinsip-prinsip yang beroperasi dalam
pemaafan. Streland dkk., menyatakan berdasarkan fakta empirik bahwa orang yang
berpandangan bahwa tujuan keadilan seharusnya juga menjalankan fungsi inklusif,
yakini rehabilitasi pelanggar dan restorasi relasi, cenderung mendukung pemaafan
sebagai respons terhadap transgresi.
REKONSILIASI
Memang pemaafan memiliki potensi untuk pemulihan (restorasi) relasi.
Namun Fincham (2009) membedakan potensi ini dengan rekonsiliasi. Bagi Fincham,
rekonsiliasi melibatkan restorasi rasa-percaya (trust) yang telah dilanggar dan
mempersyaratkan kehendak baik (goodwill) dari kedua pihak. Seiring dengan
pandangan di atas, Tripp, Bies dan Aquino (2007) mendefinisikan rekonsiliasi
sebagai upaya oleh korban untuk mengulurkan tindak kehendak baik kepada
pelanggar dengan harapan untuk memulihkan hubungan. Jadi, rekonsiliasi memang
mengandaikan pemaafan, sedangkan pemaafan tidak selalu diikuti dengan
rekonsiliasi.
Pemaafan secara tipikal mengikuti pengakuan bersalah dan penyesalan oleh
pelanggar yang diungkapkan untuk korban di dalam bentuk permintaan maaf
(pemaafan bilateral). Tetapi, pemaafan bisa juga terjadi lepas dari sikap pelanggar,
tanpa adanya permintaan maaf (unilateral). Proses-proses pemulihan status/power
dan reafirmasi konsensus berlaku pada pemaafan unilateral dan bilateral (Wenzel &
Okimoto, 2010). Permintaan maaf oleh pelanggar bisa diekspektasikan membawa
pada sikap memaafkan yang lebih besar pada pihak korban terhadap pelanggar.
Berkurangnya rasa bermusuhan dan kehendak balas-dendam sebagai konsekuensi
15
dari permintaan maaf dan pemberian maaf akan membuka ruang lebih besar untuk
rekonsiliasi dan pemulihan (healing).
Exline dkk., (2003) mereviu tiga studi yang meneliti respons-respons dari
partisipan yang diminta untuk mengambil peran sebagai korban perampokan sehari
sesudah perampokan itu terjadi. Partisipan studi ini diminta untuk membayangkan
bahwa mereka menerima ganti rugi, permohonan maaf, keduanya, atau tidak
keduanya. Temuan studi ini menunjukkan bahwa korban yang menerima rasa
keadilan melalui permohonan maaf dan ganti rugi melaporkan bahwa ini
mempengaruhi diri dan reaksi fisiologis mereka. Menerima permohonan maaf bagi
mereka memperkecil motivasi untuk menghindar dan membalas, di samping
mereduksi rasa marah dan rasa takut. Mereka mempunyai kemauan yang lebih
besar untuk memaafkan. Secara fisiologis, partisipan menunjukkan detak jantung
dan tensi otot wajah lebih rendah. Dari temuan ini disimpulkan bahwa permohonan
maaf oleh pelanggar dan ganti rugi bagi korban menghasilkan pola dampak yang
serupa, dan kombinasi keduanya memperbesar dampak bagi korban. Permohonan
maaf yang dipersepsikan sebagai tulus membawa pada pemaafan dan rekonsiliasi.
Lalu bagaimana hubungan antar unsur-unsur tersebut? Tripp, Bies dan
Aquino (2007) menyimpulkannya dalam relasi yang sirkular sebagai berikut. Bila
orang atau masyarakat menginginkan perdamaian atau kedamaian, maka anggotaanggotanya harus akur (rekonsiliasi) satu dengan lainnya. Untuk mencapai
rekonsiliasi ini, terlebih dahulu harus ada pemaafan (forgiveness). Walau rekonsiliasi
tanpa pemaafan mungkin saja terjadi, namun hasilnya atau kualitasnya bukanlah
perdamaian yang ideal sebagaimana diharapkan oleh kebanyakan orang. Dan untuk
mendorong pemaafan, amat menolong kalau rasa keadilan terlebih dahulu
ditegakkan. Rasa keadilan menggerakan proses ini dan terhadap keadilan inilah
setiap orang harus menaruh perhatian untuk menjaga perdamaian.
Dalam relasi interpersonal atau ranah privat, sering tidk terlampau sulit
mengidenitfikasikan siapa transgresor dan siapa korban. Namun tidak demikian
halnya dalam konflik-konflik sosial yang berskala besar. Kedua pihak saling terlibat
dalam tindak kekerasan, keduanya menjadi agresor dan korban. Dalam proses
16
selanjutnya bilamana rekonsiliasi diupayakan, masing-masing pihak akan mengklaim
sebagai korban dan bukan agresor. Dalam banyak kasus konflik sosial-politik skala
besar dan berlarut-larut, pembentukan suatu institusi yang melibatkan kedua pihak
antagonis serta pihak luar seringkali diperlukan. Misalnya, banyak negara
membentuk sebuah komisi yang disebut Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi
(misalnya, Afrika Selatan, Chile, Guatemala, dan El Salvador. Bagaimana
Indonesia?). Dalam konflik sosial, pengaruh individu-individu seperti ketua adat,
pemimpin keagamaan, tokoh politik mempunyai ppotensi dan peran yang perlu
dimanfaatkan untuk proses rekonsiliasi.
Setiap korban peperangan, ataupun bentuk kekerasan lainnya, keluarga
korban, tahanan politik, dan mereka yang kehilangan hak-haknya akan berupaya
untuk mencari keadilan. Korban lebih menempatkan rasa keadilan pada posisi yang
lebih tinggi daripada balas-dendam. Rasa keadilan inilah, dan bukan balas-dendam,
yang menawarkan penyembuhan luka batin dan psikologis.
Menurut Montiel (2002), rekonsiliasi merupakan upaya besar yang menaungi
dan mengintegrasikan beragam elemen sosial – pemaafan, pernyataan/permohonan
maaf, dan keadilan - pasca konflik. Melalui rekonsiliasi, relasi antar-kelompok
dibangun kembali (restorasi) dalam suatu tata-bangun yang bisa diterima oleh kedua
pihak. Relasi sebelum konflik akan berbeda dari relasi pasca konflik, jadi idealnya
restorai relasi hendaknya merefleksikan transformasi sosial-kultural sebagai
efek/dampak positif dari berakhirnya antagonisme/konflik. Ada tiga hal ayng
disarankan oleh Montiel: pertama, penerimaan oleh semua pihak mengenai interpresi
historis bersama menyangkut konflik yang telah terjadi; kedua, tumbuhnya
masyarakat madani (civil society) majemuk yang kuat yang secara formal mengakui
perlunya membenahi kesalahan-kesalahan di masa silam/yang telah terjadi, dan
ketiga, kelompok yang telah meninggalkan rumahnya bisa kembali dengan aman ke
daerah asalnya.
17
KESIMPULAN
Pemaafan memunculkan isu yang penting bagi korban, pelanggar dan
masyarakat yang lebih luas. Kendati fakor-faktor situasional dapat memungkinkan
atau mempersulit terjadinya pemaafan, pada akhirnya keputusan akhir untuk
memaafkan atau tidak terletak di tangan korban. Pemaafan memang seringkali sulit,
khususnya jika kerugian yang ditanggung dirasakan amat besar oleh korban dan
pelanggar sendiri tidak menunjukkan penyesalan. Namun bila ditilik bagaimana
pemaafan dimungkinkan oleh korban, motivasi-motivasi yang melandasi keputusan
memaafkan menjadi penting. Dengan memilih untuk memaafkan, individu bisa
mengesampingkan perasaan-perasaan yang secara potensial destruktif, seperti
kepahitan, kemarahan, kebencian serta permusuhan.
Kita juga bisa menilik bagaimana pemaafan dapat berpengaruh atas
pelanggar. Menyadari kesusahan dan penderitaan si korban, timbulnya rasa
menyesal dan bersalah serta rasa malu akibat perbuatannya, bisa membuat
pelanggar bertindak lebih baik. Pemaafan juga bisa disoroti dari perspektif
masyarakat. Korban dan pelanggar tidak selalu individu, melainkan juga terjadi
secara kolektif.
Kajian mengenai pemaafan dan persilangan antara pemaafan dan rasa
keadilan serta rekonsiliasi dalam konflik sosial merupakan topik yang menarik bagi
psikologi sosial. Banyak pertanyaan empirik mengenai isu-isu ini yang relevan bagi
disiplin psikologi sosial bila pemaafan dikaitkan dengan berbagai konflik sosial-politis,
dengan pendekatan interpersonal dan antar-kelompok.
18
DAFTAR PUSTAKA
Clayton, S., & Opotow, S. (2003). Justice and identity: Changing perspectives
on what is fair. Personality and Social Psychology Review, 7, 298-310.
Doak, J. (2011). Honing the stone: Refining restorative justice as a vehicle for
emotional redress. Contemporary Justice Review, 14, 439-456.
Enright, R.D. & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of forgiveness
within psychological interventions. Dalam Worthington (Ed.), Dimensions of
forgiveness (hal. 139-161). Radnor, PA: Templeton Foundation Press.
Exline, J.J., & Baumeister, R.F. (2000). Expressing forgiveness and repentance:
Benefits and barriers. Didalam McCulough, Pargament, & Thorensen (Eds.),
Forgiveness: Theory, research, and parctice (hal. 133-155). New York:
Guilford.
Exline, J.J., Worthington, E.L., Hill, P., & McCullough, M.E. (2003). Forgiveness and
justice: A rersearch agenda for social and personality psychology. Personality
and Social Psychology Review, 7, 337-348.
Fincham, F.D. (2009). Forgiveness: Integral to close relationships and inimical to
justice? Virginia Journal of Social Policy & Law, 16, 358-384.
Inazu, J.D. (2009). No future without (personal) forgiveness: Reexamining the role of
forgiveness in transitional justice. Human Rights Review, 10, 309-326.
McCullough, M.E., Pargament, K.I., & Thorensen, C.E. (2000). The psychology of
forgiveness: History, conceptual issues, and overview. Dalam McCullough,
Pargament, & Thorensen (Eds.), Forgiveness: Theory, research, and practice
(hal. 1-14). New York: Guilford Press.
Montiel, C.J. (2002). Sociopolitical forgiveness. Peace Review, 14, 271-277.
Strelan, P., Feather, N.T., McKee, I. (2011). Retributive and inclusive justice goals
and forgiveness: The influence of motivational values. Social Justice
Research, 24, 126-142.
19
Tripp, T.M., Bies, R.J., & Aquino, K. (2007). A vigilante model of justice: Revenge,
reconciliation, forgiveness, and avoidance. Social Justice Research, 20, 1,
10-34.
Wade, N.G., Worthington, E.L., & Meyer, J.E. (2005). But do they work? A metaanalysis of interventions to promote forgiveness.Dalam Worthington (Ed.),
Handbook of forgiveness (hal. 423-440). New York: Brunner-Routledge.
Wenzel, M., & Okimoto, T.G. (2010). How acts of forgiveness restore a sense of
justice: Addressing status/power and value concerns raised by transgressions.
European Journal of Social Psychology, 40, 401-417.
Wenzel, M., & Okimoto, T.G. (2012). The varying meaning of forgiveness:
Relationship closeness moderates how forgiveness affects feeling of justice.
European Journal of Social Psychology, 42, 420-431.
Worthington, E.L. (2003). Forgiving dan reconciling: Bridges to wholeness and hope.
Downers Grove, IL: InterVarsity Press.
Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The psychology of unforgiveness and
forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical
Psychology, 18, 385-418.
Worthington, E.L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused
coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience:
Theory, review, and hypotheses. Psychology and Health, 19, 385-405.