Studi Kasus Mengenai Wisdom pda Mentor Youth Gereja "X" Bandung.

(1)

x Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui wisdom pada mentor Youth Gereja “X” Bandung. Mentor dalam pelayanannya menghadapi masalah-masalah hidup yang pelik membutuhkan wisdom untuk mampu memahami dan mengatasi masalah-masalah tersebut.

Penelitian ini menggunakan teori wisdom dari Paul B Baltes (1994) yang menyatakan wisdom sebagai sistem pengetahuan yang mumpuni dalam berurusan dengan pragmatik kehidupan mendasar. Teori ini menyatakan wisdom melalui 5 kriteria yaitu rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism, value relativism, management uncertainty dan proses life planning dan life review yang melatarbelakanginya.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix method. Alat ukur yang digunakan adalah Manual for The Assessment of Wisdom-Related Performance dan wawancara mengenai wisdom. Penelitian dilakukan pada 3 subjek. Teknik analisis adalah kajian kuantitatif dengan hasil Manual for The Assestment of Wisdom-Related Performance melalui kesepakatan interrater pada skor kelima kriteria dan proses yang melatarbelakanginya. Selain itu data dianalisis dengan membandingkan hasil dan skor Manual for The Assessment of Wisdom-Related Performance dengan hasil wawancara dari pemaknaan kriteria dan proses yang melatar belakangi wisdom

Berdasarkan hasil interrater agreenment dan wawancara diperoleh bahwa A adalah seorang yang normatif sehingga cenderung kaku dalam membuat penilaian terhadap situasi orang lain, hal ini membuat wisdom yang dimiliki A tergolong pada kategori rendah. B memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai hakikat manusia, namun dalam penyampaian sarannya masih bersifat dogmatik. Hal ini membuat wisdom yang dimiliki B cenderung rendah. C telah mampu mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya untuk membuat perencanaan dan juga mendapatkan insight ketika meninjau kembali kehidupan sehingga wisdom yang dimiliki C tergolong pada kategori cukup. Peneliti mengajukan saran agar Youth Gereja “X” dapat memasukan materi wisdom dalam pelatihan yang diadakan oleh bidang pembinaan


(2)

xi Abstract

This research was conducted to determine wisdom of mentor in Youth Gereja “X”Bandung. Mentor in service face a lot of dilemmatic problem which mean need wisdom to understand and solving the problem

This research used wisdom theory from Paul B Baltes (1994) which state that wisdom is expert knowledge system in fundamental pragmatic of life.Wisdom is asses by 5 criteria rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism, value relativism, management uncertainty and life planning and life review as organizing process behind them.

The method in this research is mix method. Instrumental that being used to collect data is Manual for The Assessment of Wisdom-Related Performance and interview about wisdom. This research consist 3 subject. Data analysis technique is quantitative approach which result interrater agreement of Manual for The Assestment of Wisdom-Related Performance in five criterias and organizing process behind them. Data is analyzed by compare result and score from Manual for The Assessment of Wisdom-Related Performance and interview result from perceive criterias and organizing process behind wisdom.

Based on rating interrater agreenment and interview, we can conclude A is normative person and tend to be rigid in giving judgement to other situasion. This consideration makes A’s wisdom fall in low category. B have an extensive knowledge about human nature, but when giving advice B tend to be dogmatic. This consideration makes B’s wisdom fall in low category. C can relate his knowledge to make a life planning and gaining insight in life review, with this consideration C’s wisdom fall on medium category. Advice from researcher is to conclude wisdom material when development division giving training


(3)

xii DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT...ii

LEMBAR PENGESAHAN...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR BAGAN... x

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2Identifikasi Masalah... 10

1.3Maksud dan Tujuan... 10

1.3.1 Maksud Penelitian... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Kegunaan Penelitian... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis... 11

1.5 Kerangka Pemikiran... 11

1.6 Asumsi Penelitian... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 21


(4)

xiii

2.1.1 Pengertian Teori wisdom... 21

2.1.2 Kriteria wisdom... 21

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wisdom... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1 Rancangan Penelitian... 35

3.2 Bagan Rancangan Penelitian... 36

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional…………... 36

3.3.1 Variabel Penelitian... 36

3.3.2 Definisi Konseptual...36

3.3.3 Definisi Operasional...37

3.4 Alat Ukur... 39

3.4.1 Nama Alat Ukur...39

3.4.1.1 Alat Ukur Manual for the Assessment of Wisdom-Related Performance... 39

3.4.1.2 Alat Ukur Wisdom...40

3.4.2 Kisi-kisi Alat Ukur ...40

3.4.2.1 Kisi-kisi Alat Ukur Manual for the Assessment of Wisdom-Related Performance...40

3.4.2.2 Kisi-kisi Alat Ukur Wisdom...42

3.4.3 Data Penunjang...46

3.4.4 Validitas Alat Ukur...46

3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur...46


(5)

xiv

3.5.1 Populasi Sasaran... 46

3.5.2 Karakteristik Populasi... 47

3.6 Teknik Analisis Data... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...48

4.1 Profil Subjek Penelitian...48

4.2 Hasil Penelitian...49

4.3 Pembahasan...49

4.3.1 Pembahasan Subjek A...49

4.3.1.1 Pembahasan Subjek A dalam melakukan Life planning...56

4.3.1.2 Pembahasan Subjek A dalam melakukan review...61

4.3.1.3 Kesimpulan Subjek A...65

4.3.2 Pembahasan Subjek B...66

4.3.2.1 Pembahasan Subjek B dalam melakukan Life planning...74

4.3.2.2 Pembahasan Subjek B dalam melakukan review...78

4.3.2.3 Kesimpulan Subjek B...83

4.3.3 Pembahasan Subjek C... ...84

4.3.3.1 Pembahasan Subjek C dalam melakukan Life planning...93

4.3.3.2 Pembahasan Subjek C dalam melakukan review...99

4.3.3.3 Kesimpulan Subjek C...105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...107

5.1 Kesimpulan...107

5.2 Saran...107


(6)

xv

5.2.2 Saran Praktis...108 DAFTAR PUSTAKA...110 LAMPIRAN...xiii


(7)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1...19 Bagan 3.1...31


(8)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur...36

Tabel 4.1 Tabel Profil Subjek Penelitian...40

Tabel 4.2 Tabel Skor Kriteria Wisdom...41

Tabel 4.3 Tabel Skor Kriteria Wisdom A...41

Tabel 4.3 Tabel Skor Kriteria Wisdom B...58


(9)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alat Ukur Manual for the Assessment of Wisdom-Related Performance...xiii Lampiran 2 Hasil Tes Manual for the Assessment of Wisdom-Related Performance………...xx Lampiran 3 Hasil Wawancara...xliii


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Gereja berasal dari bahasa Yunani yaitu ekklesia. Ek artinya keluar, sedangkan klesia berasal dari kata kaleo yang berarti memanggil. Diterjemahkan sebagai kumpulan orang yang dipanggil keluar dari dunia. Definisi ini mengandung beberapa arti, yang pertama ialah umat atau lebih tepat persekutuan orang Kristen. Pengertian ini merupakan pengertian yang diterima orang Kristen mula-mula sebagai arti gereja. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan gereja pada awalnya bukanlah sebuah gedung.

Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau

pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun tempat rekreasi. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”. Arti terakhir mengacu pada sebuah rumah ibadah umat Kristen secara umum, di mana umat bisa berdoa dan menyembah Tuhan. (http://bible-truth.org/Ekklesia.html)

Gereja “X” merupakan salah satu gereja injili di Kota Bandung. Gereja “X” merupakan gereja yang berlatar belakang Tionghoa yang berada dalam klasis


(11)

Priangan Sinode Jawa Barat. Youth gereja “X” merupakan komunitas anak muda Gereja “X” yang berasal dari jenjang sma, kuliah, dan awal kerja. Youth gereja “X” memiliki visi memfasilitasi anak muda di Kota Bandung untuk menyembah Allah dan membangun komunitas orang percaya yang bertumbuh maksimal dalam segala bidang, serta giat bersaksi dan menjangkau generasinya bagi Allah. Pada hari minggu jemaat yang beribadah kurang lebih sebanyak 350 orang.

Setiap jemaat memiliki komunitas sel (komsel) sebagai tempat untuk bertumbuh, membahas Firman Tuhan dan sharing mengenai kehidupan mereka. Komsel ini dilakukan setiap dua minggu sekali setelah kebaktian. Pada umumnya setiap komsel beranggotakan 5-7 orang dan memiliki seorang pemimpin komsel (PKS) yang bertugas membawakan bahan dan melihat bagaimana kondisi kerohanian setiap anak-anak yang dibimbingnya. Namun peran ini belum dijalankan oleh PKS dengan maksimal. Komsel yang berjalan baru di kisaran 50% dari semua komsel yang ada. Penyebabnya beraneka ragam, ada yang disebabkan oleh karena PKSnya dan ada juga yang disebabkan oleh anggota komselnya.

Masing-masing dari PKS tersebut juga akan menjadi anggota komsel yang dibawakan oleh seorang mentor. Komsel ini diadakan secara rutin seminggu sekali pada hari Senin. Mentor pada umumnya berada di usia 30 tahun ke atas. Mentor berfungsi untuk membawakan bahan, membimbing, dan juga mendidik setiap anggota komselnya agar dapat bertumbuh di dalam Tuhan. Dengan ini setiap PKS juga memiliki seorang mentor di mana dia dapat menceritakan mengenai kesulitannya saat membawakan komsel, pergumulan, dan juga kehidupan pribadinya kepada seorang mentor. Ketika PKSnya memiliki suatu


(12)

3

permasalahan, mentor akan memberikan konseling sederhana, membimbing dan juga mendoakan PKSnya tersebut.

Selain bertugas membawakan bahan komsel bagi PKS untuk PKS teruskan bagi anak-anak komselnya di minggu, mentor juga ditempatkan di setiap bidang untuk mengarahkan pengurus youth gereja “X” di bidang tersebut. Mentor yang ditempatkan dalam divisi tersebut akan mengarahkan, membimbing dan juga berdiskusi dengan pengurus untuk perencanaan program bidang selanjutnya. Selain itu ada program perencanaan gereja untuk lima tahun mendatang di mana akan ada perwakilan dari mentor utama untuk membuat perencaan gereja secara umum. Kemudian semua mentor beserta pengurus akan bertemu untuk membicarakan dan menyusun tujuan spesifik yang ingin dicapai youth gereja “X” secara keseluruhan untuk setahun mendatang. Pada akhir tahun akan diadakan evaluasi mengenai program yang diberikan oleh mentor dan juga pengurus. Lewat evaluasi tersebut diharapkan mendapatkan suatu pembelajaran baru dan juga untuk membantu dalam membuat perencanaan selanjutnya.

Ketika membawakan komsel, tidak jarang seorang mentor mengalami situasi dilema. Pada umumnya setiap komsel pernah mengalami konflik antar anggotanya. Ada konflik yang dapat dibereskan sendiri oleh antar anggotanya, tetapi ada juga konflik yang semakin parah. Perselisihan ini pernah membuat salah seorang anggota komselnya meninggalkan gereja. Mentor sebagai pemimpin tersebut seharusnya dapat menyelesaikannya.

Mentor perlu mengambil keputusan untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berselisih sehingga dapat diselesaikan dengan baik, tetapi pada


(13)

prosesnya hal ini tidak berjalan dengan lancar. Pada akhirnya salah satu dari pihak yang berselisih memutuskan untuk meninggalkan gereja. Mentor perlu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk dapat menyelesaikannya, namun, hal ini tidak mampu dilakukan oleh seorang mentor. Oleh karena itu dibutuhkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menyelesaikanyya.

Kebijaksanaan (wisdom) merupakan keahlian dalam sistem pengetahuan yang mumpuni dalam kehidupan mendasar, seperti perencanaan hidup dan meninjau kembali kehidupan. Hal tersebut membutuhkan pengetahuan umum yang kaya mengenai persoalan kehidupan, pengetahuan praktis yang kaya mengenai masalah dalam kehidupan, pemahaman mengenai perbedaan antara konteks kehidupan dan nilai atau prioritas, dan pengetahuan mengenai hal-hal yang tak terduga mengenai hidup ini. (Baltes dan Smith 1994). Konsep dari pragmatik mendasar diartikan sebagai pengetahuan dan penilaian mengenai esensi manusia dalam membuat perencanaan, pengelolaan, serta memiliki pemahaman mengenai kehidupan (P. Baltes & Smith, 1990; Baltes & Staudinger, 1993). Perencanaan merupakan salah satu hal yang mendasar untuk dapat melihat wisdom yang dimiliki seseorang.

Wisdom peduli dengan keahlian (mastery) pada dialek mendasar eksistensi manusia. Seperti dialektik antara yang baik dengan yang buruk, positif dan negatif, kendali dan kurangnya kendali, dependent dan independent, kekuatan dan kelemahan, egois dan altruisme. Keahlian (mastery) bukan berarti membuat keputusan hanya dari satu sisi melainkan mempertimbangkan keduanya dalam mengambil keputusan. Dengan memiliki wisdom individu dapat mengetahui pada


(14)

5

keadaan seperti apa seseorang perlu fokus pada salah satu kutub yang berlawanan (Staudinger 1999b dalam Baltes2000). Berdasarkan tujuan di atas, dibuatlah langkah-langkah perencanaan dengan memperhatikan dialektik yang ada di lapangan agar tujuan awal dapat terlaksana.

Perencanaan yang baik tidak hanya memakai logika tapi lebih dari itu dibutuhkan wisdom untuk membuat rencana dan mengambil keputusan. Sehingga seorang mentor juga memerlukan wisdom dalam membuat perencanaan untuk program satu tahun ke depan. Wisdom juga diperlukan ketika seorang mentor membawakan komsel PKS. Komsel pada umumnya dibuka dengan doa kemudian membagikan bahan. Setelah bahan dibagikan akan ada sharing baik dari kehidupan mentor berkaitan dengan bahan tersebut, kemudian menanyakan bagaimana kondisi PKS berkenaan dengan bahan tersebut. Pada bagian akhir PKS dapat bercerita mengenai masalah pribadi yang mereka alami. Sehingga ketika PKS bercerita mengenai permasalahan mereka pada umumnya mentor perlu untuk memberikan masukan kepada PKS tersebut. Wisdom sering termanifestasi dalam situasi sosial seperti ketika memberikan saran dan juga pengarahan (guidance) (Montgemery et al 2002 dalam Sternberg 2005). Berdasarkan pernyataan tersebut artinya wisdom yang dimiliki mentor dapat termanifestasi ketika memberikan saran dan pengarahan terhadap masalah yang dialami oleh anggotanya.

Tidak jarang bahkan masalah-masalah dilemma yang diperhadapkan sehingga wisdom merupakan hal yang esensial dalam menghadapinya. Dilemma merupakan situasi di mana pilihan yang sulit harus diambil di antara dua atau lebih alternatif, terutama yang sama-sama tidak diinginkan (Oxford English


(15)

Dictionary). Sebagai contoh salah seorang anggotanya bercerita mengenai keadaan keluarganya di mana ayahnya kurang bertanggung jawab terhadap keluarga dan mau meninggalkan rumah. Anggota tersebut telah bekerja sehingga tidak terlalu masalah baginya karena dia dapat menghidupi ibu dan adiknya. Namun ia kebingungan dengan situasi tersebut dan tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi ia sangat kesal terhadap ayahnya, di sisi lain ia ingin agar ayahnya dapat tetap bersama keluarganya dan ia juga tahu bahwa ia harus mengampuni ayahnya. Situasi ini menjadi konflik baginya.

Pada situasi seperti ini mentor perlu melihat situasinya secara mendalam, dapat berempati dan juga mengerti cara pandang orang tersebut, kemudian barulah memberikan saran yang komprehensif dengan penyampaian yang tepat. Beberapa mentor juga pada umumnya menghadapi situasi di mana salah seorang PKSnya mulai undur dari gereja dan mulai tidak rutin membawakan komsel ke area jemaat. Seorang mentor memerlukan wisdom untuk dapat berkata-kata secara tepat kepada PKSnya tersebut, menggali permasalahan apa yang dihadapinya, tindakan apa yang harus diambil berdasarkan masalahnya PKS tersebut. Apakah PKS tersebut dapat diberikan pengertian sehingga dapat kembali aktif, atau ada situasi yang berada di luar dirinya yang tidak memungkinkan PKS tersebut membawakan komsel kembali. Kemudian keputusan apa yang harus dibuat, apakah PKS tersebut harus dipertahankan atau diganti. Bagaimana dengan hubungan yang selama ini telah dibangun oleh PKS dan anggotanya, apakah ada pengganti yang cocok yang dapat menggantikan. Sehingga banyak hal yang


(16)

7

menjadi pertimbangan dan situasi ini juga dapat menjadi dilemma bagi seorang mentor.

Bahkan di area jemaat jika ada permasalahan berat atau dilemma yang tidak dapat di tangani oleh PKSnya maka mentor akan turun tangan untuk membantu menyelesaikannya dan juga memberikan konseling sederhana. Berdasarkan pemaparan di atas, wisdom merupakan hal mendasar dan esensial yang dibutuhkan oleh seorang mentor. Dikarenakan tugas dan tanggung jawabnya selalu bersentuhan dengan situasi yang menuntut wisdom

Peneliti melakukan survey awal terhadap seorang mentor yang menjadi ketua bagi youth gereja “X” yang berusia 53 tahun. Subjek (B) selama menjadi mentor cukup banyak mengalami permasalahan dan tanggung jawab yang harus dijalankan. Masalah yang paling umum yang selalu ada adalah perbedaan pendapat menurut B. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Namun ketika berbeda pendapat, B selalu melihat apakah pendapatnya itu suatu kebenaran atau sebenarnya hanya pendapat yang jika diterima untuk memuaskan diri B saja. Dalam membuat perencanaan program youth gereja “X” ke depannya , bukan hal yang jarang B juga tidak setuju dengan pendapat rekannya. Saat itu terjadi, B akan berusaha untuk mengidentifikasi ketidaksetujuannya dan bertanya kepada diri sendiri mengapa sebenarnya tidak setuju. Setelah mengetahui apa yang melatarbelakanginya terkadang ada waktu di mana B juga harus rela melepaskan pendapatnya dan dengan rendah hati juga menerima pendapat yang lain.

Salah satu hal yang paling berat yang pernah dialami B adalah masa transisi di mana terbentuknya youth gereja “X” dengan tempat ibadah baru dan


(17)

fasilitas yang cukup besar yang diterimanya. Sehingga banyak dari berbagai pihak yang memberikan pendapat dan kritik terhadap youth gereja “X”. B merasa kritik bukan sesuatu hal yang mengenakan, namun hal ini adalah hal yang diperlukan untuk kemajuan youth gereja “X” dan juga diri B ke depannya. Dalam merespon terhadap kritik, ada kritik yang B dapat terima, namun ada juga kritik yang B sulit untuk terima. Untuk kritik yang B sulit untuk terima, B selalu berusaha untuk merefleksikannya. Apakah B tidak dapat menerima karena ini merupakan kritik yang salah atau karena identifikasi B yang kuat pada youth gereja “X”. Hal ini berakibat ketika youth gereja “X” dikritik, B juga merasa dirinya dikritik. Namun, di masa sulit itulah B belajar rendah hati menerima semua kritikan yang ada dan ternyata kritik itu merupakan hal yang diperlukan untuk youth gereja “X” ke depannya.

B menginginkan untuk ke depannya youth gereja “X” tetap dilayani secara multigenerasi. Multigenerasi yang dimaksudkan adalah berjenjang. Menurut B tidak mungkin youth dipimpin oleh sesama youth, melainkan tetap harus ada peran seorang yang lebih tua mau mementoring dan membimbing youth sendiri. Sehingga B menerapkan dan meminta beberapa belas orang mentor yang terbeban untuk melayani youth. Dengan diterapkannya pola ini, mentoring dan kaderisasi di dalam youth dapat tetap berjalan.

B juga memiliki keinginan untuk mengembangkan jemaat awam. Di masa awal remaja, seorang remaja masih belum memiliki identitas yang jelas dan belum mengetahui siapa dirinya sendiri. Pada saat itu remaja tersebut dibina dengan keteladanan secara berjenjang ( multigenerasi) sehingga dapat menjadi seorang


(18)

9

yang mengenal dirinya sendiri, dapat menerima dirinya, dan juga pada akhirnya dapat menjadi seorang pemimpin. Untuk sampai pada tahapan tersebut, B menekankan tetap paling penting adalah mengenal Tuhan. Setelah mengenal Tuhan, barulah seorang remaja dapat mengenal dirinya sendiri, membangun nilai-nilai dan prinsip hidup yang benar di hadapan Tuhan.

Pada awalnya B menemukan konsep multigenerasi pada saat tahun 2000 masuk ke dalam komisi remaja ( belum berganti nama menjadi YOUTH GEREJA “X”). B menemukan kesulitan ketika seorang anak SMA memimpin anak SMA lainnya. Ketika diberikan tugas banyak hal yang tidak mengerti. Sehingga B berpikir hal ini tidak bisa dijalankan. Kemudian B berpikir yang menjadi pengurus butuh seorang mahasiswa. Sehingga B mulai membangun hubungan dengan para mahasiswa, pergi bersama, berkomunitas bersama, dan saling terbuka satu dengan lainnya.

Setelah itu ditanamkanlah nilai-nilai dan tujuan kepada mahasiswa tersebut, kemudian pada akhirnya mengajak menjadi seorang pengurus. Ketika menjadi seorang pengurus, yang terpenting bagi B adalah pendampingan. Sehingga B mendampingi para pengurus, dan ketika mendampingi bukan hanya peduli terhadap pelayanan yang mereka lakukan, namun juga peduli secara keseluruhan terhadap studi mereka, keluarga mereka, dan juga iman mereka. Sehingga melayani secara holistik

Setiap tahunnya B selalu update dan tetap melihat kondisi youth sedang ada di mana, trendnya sedang bagaimana, dan apa tantangan terbesar mereka saat ini. B menjaga tetap update biasanya dengan cara membaca buku dan juga melihat


(19)

hasil-hasil konfrensi di dunia mengenai youth. B mencontohkan youth di era postmodern dan era digital memiliki kebutuhan yang berbeda. Hal ini ikut serta mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki oleh youth. Sehingga dengan mengetahui nilai-nilai yang dimilikinya, apa yang B sampaikan dapat relevan dengan kebutuhan youth saat ini

B dapat melakukan identifikasi terhadap dirinya mengenai persoalan yang terjadi di dalam hidupnya. B juga memiliki kemauan untuk belajar dan membaca buku secara rutin mengenai perkembangan youth. B juga memiliki pengalaman yang cukup dalam berhadapan dengan anak di usia youth karena telah memulai pelayanannya selama 15 tahun, namun tetap ada kasus perselisihan di antara jemaat yang B tidak dapat selesaikan dan berakhir dengan salah satu anggotanya meninggalkan gereja.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran wisdom pada mentor di youth gereja “X” .

1.2Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran Wisdom pada mentor di youth gereja “X” .

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud

Mengetahui Wisdom pada mentor di youth gereja “X” . 1.3.2 Tujuan


(20)

11

Mengetahui wisdom pada mentor di youth gereja “X” yang dikaitkan dengan kriteria-kriteria wisdom.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberikan informasi bagi pengembang teori dari Psikologi Positif yang berhubungan dengan wisdom.

 Memberikan masukan kepada peneliti lain yang berminat melakukan penelitian selanjutnya mengenai wisdom pada young adult dan older adult

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi dan masukan pada mentor Youth gereja “X” , agar mereka mengetahui secara umum mengenai gambaran wisdom yang mereka miliki dan dapat menjadi masukan serta bahan evaluasi bagi mereka untuk lebih meningkatkan wisdom yang mereka miliki.

 Memberikan informasi mengenai wisdom pada mentor yang menjadi responden dengan memperhatikan masukan mengenai kriteria-kriteria pada wisdom yang perlu ditingkatkan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Youth gereja “X” adalah suatu komunitas gereja yang khusus melayani anak muda di kota Bandung. Youth gereja “X” memiliki visi memfasilitasi anak muda di Kota Bandung untuk menyembah Allah dan membangun komunitas


(21)

orang percaya yang bertumbuh maksimal dalam segala bidang, serta giat bersaksi dan menjangkau generasinya bagi Allah. Youth gereja “X” sendiri memiliki mentor-mentor dalam membimbing, mendidik, dan juga mengarahkan jemaatnya yang kebanyakan berada dalam tahap perkembangan adolescent. Mentor yang berada di Youth gereja “X” sendiri bertugas untuk menentukan tujuan apa yang ingin dicapai oleh Youth gereja “X” untuk ke depannya. Mereka juga aktif dalam mengajar jemaat melalui kelas pembinaan yang ada di gereja dan juga secara rutin membimbing pemimpin komsel (PKS) di mana PKS tersebut yang akan membimbing jemaat langsung secara kelompok, dan juga memberikan konseling langsung terhadap individu yang membutuhkan.

Ketika konseling tersebut dibutuhkan rich factual knowledge untuk menilai secara komprehensif dan juga holistik mengenai keadaan individu dan juga permasalahan itu sendiri. Mentor juga membutuhkan life-span contextualism dan value relativism untuk dapat melihat gambaran yang lebih luas mengenai konteks individu dan permasalahannya tanpa melibatkan nilai-nilai yang dimiliki oleh mentor tersebut. Terakhir dibutuhkan rich procedural knowledge dan management uncertainty untuk mengambil keputusan yang tepat dengan memperhitungkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan

Dalam hal ini wisdom dibutuhkan oleh seorang mentor dalam menjalankan peranan mereka seperti yang telah dipaparkan di atas. Paul Baltes mendefinisikan Wisdom sebagai keahlian (expertise) dalam mengatasi permasalahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku dan makna hidup. Individu yang memiliki wisdom dapat dilihat dari 5 kriteria yaitu pengetahuan


(22)

13

umum yang kaya ( rich factual knowledge), pengetahuan praktis yang kaya ( rich procedural knowledge), memahami konteks rentang kehidupan manusia (lifespan contextualism), relativisme dari nilai dan prioritas kehidupan (relativism of values and life priorities), mengetahui dan mengelola ketidakpastian (the recognition and management uncertainty) ( e.g., Baltes & Staudinger 2000).

Rich factual knowledge mencakup pengetahuan umum mengenai kondisi manusia dan juga pengetahuan spesifik mengenai suatu kejadian yang spesifik (kelahiran, menikah, kematian) Mentor yang memiliki Rich factual knowledge akan memiliki pengetahuan umum yang kaya, termasuk di dalamnya pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia seperti human nature, norma sosial, perkembangan sepanjang rentang kehidupan, dan juga relasi interpersonal. Di samping itu mentor memiliki suatu kedalaman, mampu menghubungkan pengetahuan detil yang sangat kaya sehingga membentuk pola informasi kompleks mengenai manusia dan kehidupan.

Rich Procedural Knowledge adalah pengetahuan mengenai heuristic dan strategi untuk meninterpretasikan masalah kehidupan dengan melihat masa lalu, masa kini, dan juga masa depan. Rich Procedural Knowledge merupakan strategi mentor dalam memimpin / melakukan (conduct) kehidupan dan juga memiliki makna hidup . Mentor yang memiliki Rich Procedural Knowledge akan mampu menganalisis dan belajar dari pengalaman masa lalu, serta memiliki pengetahuan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan. Mentor tersebut juga mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai kapan waktu yang tepat untuk


(23)

memberikan saran dan bagaimana cara mengungkapkannya ketika seseorang berada situasi kehidupan yang sulit.

Lifespan Contextualism merupakan kemampuan untuk melihat individu dan kejadian tidak terisolasi melainkan secara terelaborasi dengan konteks. Lifespan Contextualism merupakan bagaimana seorang mentor dalam melihat suatu permasalahan yang terkait dengan bidang-bidang kehidupan yang selama ini telah dijalani. Mentor dalam melihat suatu masalah memperhatikan konteks usia, biografi, dan budaya. Hal ini dilihat mentor secara menyeluruh dan terintegrasi, bukan secara terpisah satu dengan lainnya.

Value Relativism/ tolerance adalah implikasi pengetahuan bahwa di dalam lingkungan ada nilai dan tujuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Value Relativism/ tolerance merupakan bagaimana mentor dapat melihat bahwa setiap individu itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Mentor dapat mengakui dan mentoleransi bahwa setiap individu memiliki nilai yang berbeda satu dengan lainnya. Tidak berhenti di sana namun, mentor juga mengarahkan individu untuk mencapai suatu optimalisasi dan keseimbangan untuk kebaikan bersama

Awareness/management of uncertainty merupakan pengetahuan bahwa kehidupan tidak dapat selalu diprediksi serta keputusan hidup, interpretasi kehidupan, dan juga perencanaan hidup tidak pernah lepas dari ketidakpastian. Awareness/management of uncertainty adalah seorang mentor menyadari bahwa dirinya terbatas dan tidak mengetahui semuanya. Dia mengetahui bahwa dia tidak dapat selalu menentukan pilihan yang terbaik untuk masa sekarang, memprediksi


(24)

15

masa depan dengan sempurna, atau dengan yakin 100% mengapa suatu kejadian di masa lalu terjadi seperti yang dilakukan ketika itu. Tidak berhenti sampai di sana, namun mentor juga setelah mengetahui adanya ketidakpastian dalam kehidupan ini dapat berhasil mengelola ketidakpastian yang terjadi dalam hidup ini.

Ada 3 jenis faktor yang berpengaruh dalam perkembangan wisdom-related knowledge yaitu Context-Related factor di mana hal ini berisi mengenai usia, interaksi sosial, pendidikan, dan budaya / agama yang dianut oleh individu. Kebanyakan orang percaya bahwa orang yang bijaksana biasanya berusia lanjut (Clayton & Birren 1980, Orwoll & Perlmutter 1990 dalam Sternberg 2005). Faktanya kebanyakan orang yang dinominasi orang yang bijaksana setidaknya memiliki usia 60 tahun (Baltes et al. 1995, Denney et al.1995, Jason et al. 2001, Maercker et al. 1998,Orwoll & Perlmutter 1990 dalam Staudinger 2010). Di sisi lain kebanyakan orang sadar, tidak semua orang mengembangkan wisdom pada usia tua mereka, dan orang muda juga dapat cukup bijaksana. Asosiasi antara wisdom dan usia di bawa oleh ide bahwa orang tersebut telah memiliki pengalaman naik dan turun dalam kehidupan manusia. (e.g., Clayton& Birren 1980, Gl¨uck & Bluck 2010, Holliday & Chandler 1986, Sternberg 1985 dalam Sternberg 2005). Mentor yang lebih tua dipercaya telah lebih banyak mengalami banyak hal dalam kehidupan mereka sehingga dapat dianggap mentor yang lebih tua lebih bijaksana

Mentor yang aktif dalam berinteraksi sosial lebih bijaksana. Hal ini dikarenakan wisdom merupakan konstruk yang berkembang secara sosial


(25)

sehingga perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan individu berlangsung lebih lancar ketika sering berdiskusi dengan orang lain (Sternberg & Jordan, 2005). Jika mentor sering berdiskusi dengan orang lain, mereka dapat memperluas perspektifnya dalam memandang suatu masalah sehingga dapat memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan mampu membuat suatu keputusan dengan lebih bijaksana.

Selain dari usia, pendidikan juga dipandang memainkan peranan yang penting. Seorang mentor yang memiliki pendidikan yang tinggi dipercaya lebih cerdas dan juga bijaksana. Budaya dan agama juga berpengaruh dalam pembentukan wisdom seseorang. Seseorang yang diasosiasikan memiliki wisdom memiliki nilai dan idealisme pada budayanya. Sebagai contoh orang Budha percaya tingkat yang lebih tinggi dari wisdom dapat dicapai melalui usaha sadar, di mana kebanyakan orang Kristen tidak (Rappersberger 20007). Takashi dan Overton membedakan wisdom berdasarkan budaya barat dan budaya timur. Pada budaya barat orang yang memiliki wisdom adalah orang yang memiliki pengetahuan, cognitive complexity, dan dapat melakukan sinthesis sedangkan budaya timur fokus pada integrasi antara kognitif dan afek (Sternberg 2005).

Berikutnya adalah Expertise-Related factor di mana faktor ini mengenai mentor/ role model, terus berlatih, pengalaman hidup, dan juga pelatihan profesional. Mentor dalam hal ini berpengaruh jika seorang memiliki mentor yang bijak akan memperngaruhi wisdom seseorang, sebaliknya jika individu tersebut terus berlatih dan melakukan mentoring terhadap individu lainnya akan mempengaruhi dalam perkembangan wisdom yang dimilikinya.


(26)

17

Pengalaman hidup memainkan peranan yang penting dalam memperngaruhi wisdom. Pengalaman hidup pada situasi kritis selain membentuk seseorang dalam situasi tersebut juga dapat dipandang sebagai waktu untuk seseorang berlatih dan mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya secara mendalam. Mentor yang pernah memiliki pengalaman hidup dalam situasi kritis akan lebih bijaksana dibandingkan yang tidak.

Terakhir adalah Person-Related factor di mana berisi mengenai inteligensi trait kepribadian, emotional competence serta motivasi. Inteligensi terkait dengan wisdom dibedakan menjadi dua yaitu crystallized intelligent dan fluid ability. Crystallized intelligent diukur melalui kemampuan verbal sebagai indikatornya Mentor yang memiliki tingkat inteligensi yang tinggi akan mendukung perkembangan wisdom yang dimilikinya.

Trait kepribadian dari Big Five Personality (Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism dan Openness to Experience) memiliki hubungan dengan wisdom individu. Faktor kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada diri individu sehingga akan berpengaruh pada bagaimana individu bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya. Mentor yang extraversion yang cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik dan memiliki dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Openness to experience (sejalan dengan extraversion) muncul sebagai prediktor yang kuat dalam pengaruhnya terhadap wisdom.

Emotional Competence adalah kapasitas untuk memiliki self efficacy dalam emosi ,diperoleh dari transaksi sosial (Saarni 1990, 1999). Termasuk ke


(27)

dalamnya sadar akan emosi orang lain, dapat mengekspresikan emosi, empati, regulasi emosi, dan beradaptasi serta mengkomunikasikan emosi ketika berrelasi dengan orang lain. Emotional competence mencirikan orang yang matang dan juga stabil dalam berrelasi dengan orang lain. Seseorang yang memiliki emotional competence akan mempengaruhi terhadap wisdom dan membantunya dalam mendengar permasalahan orang lain, memberikan saran dan juga menyampaikan pendapatnya dengan baik.

Ketiga tipe faktor ini berpengaruh dalam perkembangan wisdom-related knowledge dikarenakan ketiga faktor ini menentukan cara seseorang mengalami dunianya, membuat perencanaan, mengelola, memikirkan ulang kehidupan mereka ( context of developmental regulation )


(28)

19

1.5.1 Bagan Kerangka Pikir

Tinggi

Context related Factor Usia Interaksi sosial Konteks pendidikan Budaya/ agama Context of developmental Regulation Life Planning Life review

1. Rich Factual knowledge 2. Rich Procedural knowledge 3. Lifespan contextualism 4. Value Realtivism/tolerance 5. Awareness/management of

uncertainty

Expertise related Factor Mentor / role model Terus berlatih Pengalaman hidup Pelatihan profesional Person related Factor

Inteligensi Trait kepribadian Emotional Competence Motivasi

Mentor youth

gereja “X” Wisdom

Rendah Sedang


(29)

1.6 Asumsi

 Derajat wisdom pada mentor Youth gereja “X” tergambar melalui lima kriteria, yaitu rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism , value relativism/ tolerance, dan awereness/ management of uncertainty

 Derajat wisdom pada mentor youth gereja “X” di kota Bandung dilatarbelakangi oleh life planning dan life review


(30)

107 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil data wawancara dan rating yang dilakukan mengenai tingkatan wisdom yang dilakukan pada mentor di Youth Gereja “X” , maka diperoleh hasil sebagai berikut :

1. B dan C memiliki wisdom yang tergolong cukup. Hal ini ditunjang dengan dua kriteria yaitu rich factual knowledge dan rich procedural knowledge yang tergolong pada kategori cukup.

2. Tiga kriteria lain yang dimiliki oleh B dan C yaitu lifespan contextualism, value relativism, dan management uncertainty tergolong relatif cukup 3. A memiliki wisdom yang tergolong rendah. Hal ini dikarenakan pada

kelima kriteria yaitu rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism, value relativism, dan management uncertainty tergolong rendah

4. Wisdom pada A, B dan C dilatarbelakangi oleh perencanaan hidup yang baik yang sejalan dengan kategori pengetahuan tentang fakta hidup dan proseduralnya. Hal ini menunjukkan bahwa wisdom dilatarbelakangi oleh kemampuan membuat perencanaan dalam kehidupan yang berisi


(31)

pengetahuan akan fakta-fakta hidup dan proses-proses kehidupan yang direncanakan dan dijalankan secara sistematis.

5. Wisdom yang dimiliki oleh A, B, dan C dalam melakukan life planning dan life review tidak menunjukan keterkaitan dalam pengaruhnya terhadap kriteria-kriteria wisdom

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretik

1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai wisdom dapat disarankan untuk melakukan penelitian mengenai factor-faktor yang mempengaruhi wisdom

2. Kelemahaan dalam penelitian ini adalah dalam hal penilaian hasil wawancara responden yang tidak dapat disesuaikan dengan prosedur aslinya yang melibatkan minimal 10 rater. hal ini berkaitan dengan batasan waktu penelitian dan kesanggupan rater.

5.2.2 Saran Praktis

1. Untuk subjek, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refleksi diri tentang wisdom dalam diri sehingga mampu mengenal praktek kehidupan dan mengenal masalah-masalah kehidupan lebih baik.


(32)

109

wisdom di dalam pelatihannya sehingga disadari dan dapat dikembangkan pada para mentor.


(33)

110

Wisdom-Related Performance. German : Max Planck Institute for Human Development

Baltes, P.B., & Staudinger, U.M . 2000. Wisdom : A Metaheuristic (Pragmatic) to Orchestrate Mind and Virtue Toward Excel1ence

Baltes, Paul B., Gluck, Judith., Kunzmann, Ute. 2002. Wisdom Its Structure and Function in Regulating Succesful Life Span Development. Dalam Synder, Lopez.

2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press, Inc.

Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design: Choosing among the five traditions. Thousand Oaks, CA: Sage

Cronbach, L. J., Meehl, P.E. 1995. Construct Validity in Psychological Tests. Psychological Bulletin.

Sternberg, Robert J., Jordan, Jennifer.2005. A Handbook of Wisdom : Psychological Perpective.New York : Cambridge University Press

Suryabrata, Sumadi . 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Staudinger, U.M., Gluck, Judith.2010. Psychological Wisdom Research : Commonalitites and Differences in a Growing Field. German

Staudinger, U.M. 1999. Older and Wiser? Integrating Result on the Relationship between Age and Wisdom-Related Performance. International Journal of Behavioral Development, 641-644


(34)

111

Staudinger, U.M., Maciel, Anna. G., Smith, Jacqui., Baltes, Paul. B. 1998. What Predict Wisdom-Related Performance? A First Look at Personality, Intelligence, and Facillitative Experiential Contexts. European Journal of Personality 12, 1-17

Staudinger, U. M., Pasupathi, Monisha. 2003. Correlates of Wisdom Related Performance in Adolescence and Adulthood : Age – Graded Differences in

“ Path” Toward Desireable Development. Journal of Research on

Adolscence 13, 239-268

Staudinger, U.M. 2003. Wisdom. Encylopedia of Psychological Assessment. London : Sage

Weiner, Irving B., John A. Schinka, Wayne F. Velicer. 2012. Handbook of Psychology Volume 2 : Research Method in Psychology 2nd edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.


(1)

1.6 Asumsi

 Derajat wisdom pada mentor Youth gereja “X” tergambar melalui lima kriteria, yaitu rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism , value relativism/ tolerance, dan awereness/ management of uncertainty

 Derajat wisdom pada mentor youth gereja “X” di kota Bandung dilatarbelakangi oleh life planning dan life review


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil data wawancara dan rating yang dilakukan mengenai tingkatan wisdom yang dilakukan pada mentor di Youth Gereja “X” , maka diperoleh hasil sebagai berikut :

1. B dan C memiliki wisdom yang tergolong cukup. Hal ini ditunjang dengan dua kriteria yaitu rich factual knowledge dan rich procedural knowledge yang tergolong pada kategori cukup.

2. Tiga kriteria lain yang dimiliki oleh B dan C yaitu lifespan contextualism, value relativism, dan management uncertainty tergolong relatif cukup 3. A memiliki wisdom yang tergolong rendah. Hal ini dikarenakan pada

kelima kriteria yaitu rich factual knowledge, rich procedural knowledge, lifespan contextualism, value relativism, dan management uncertainty tergolong rendah

4. Wisdom pada A, B dan C dilatarbelakangi oleh perencanaan hidup yang baik yang sejalan dengan kategori pengetahuan tentang fakta hidup dan proseduralnya. Hal ini menunjukkan bahwa wisdom dilatarbelakangi oleh kemampuan membuat perencanaan dalam kehidupan yang berisi


(3)

pengetahuan akan fakta-fakta hidup dan proses-proses kehidupan yang direncanakan dan dijalankan secara sistematis.

5. Wisdom yang dimiliki oleh A, B, dan C dalam melakukan life planning dan life review tidak menunjukan keterkaitan dalam pengaruhnya terhadap kriteria-kriteria wisdom

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretik

1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai wisdom dapat disarankan untuk melakukan penelitian mengenai factor-faktor yang mempengaruhi wisdom

2. Kelemahaan dalam penelitian ini adalah dalam hal penilaian hasil wawancara responden yang tidak dapat disesuaikan dengan prosedur aslinya yang melibatkan minimal 10 rater. hal ini berkaitan dengan batasan waktu penelitian dan kesanggupan rater.

5.2.2 Saran Praktis

1. Untuk subjek, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refleksi diri tentang wisdom dalam diri sehingga mampu mengenal praktek kehidupan dan mengenal masalah-masalah kehidupan lebih baik.


(4)

109

wisdom di dalam pelatihannya sehingga disadari dan dapat dikembangkan pada para mentor.


(5)

110

Baltes, P.B., Staudinger, U.M., Smith, Jacqui. 1994.Manual for the Assessment of Wisdom-Related Performance. German : Max Planck Institute for Human Development

Baltes, P.B., & Staudinger, U.M . 2000. Wisdom : A Metaheuristic (Pragmatic) to Orchestrate Mind and Virtue Toward Excel1ence

Baltes, Paul B., Gluck, Judith., Kunzmann, Ute. 2002. Wisdom Its Structure and Function in Regulating Succesful Life Span Development. Dalam Synder, Lopez.

2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press, Inc.

Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design: Choosing among the five traditions. Thousand Oaks, CA: Sage

Cronbach, L. J., Meehl, P.E. 1995. Construct Validity in Psychological Tests. Psychological Bulletin.

Sternberg, Robert J., Jordan, Jennifer.2005. A Handbook of Wisdom : Psychological Perpective.New York : Cambridge University Press

Suryabrata, Sumadi . 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Staudinger, U.M., Gluck, Judith.2010. Psychological Wisdom Research : Commonalitites and Differences in a Growing Field. German

Staudinger, U.M. 1999. Older and Wiser? Integrating Result on the Relationship between Age and Wisdom-Related Performance. International Journal of Behavioral Development, 641-644


(6)

Staudinger, U.M., Maciel, Anna. G., Smith, Jacqui., Baltes, Paul. B. 1998. What Predict Wisdom-Related Performance? A First Look at Personality, Intelligence, and Facillitative Experiential Contexts. European Journal of Personality 12, 1-17

Staudinger, U. M., Pasupathi, Monisha. 2003. Correlates of Wisdom Related Performance in Adolescence and Adulthood : Age – Graded Differences in “ Path” Toward Desireable Development. Journal of Research on Adolscence 13, 239-268

Staudinger, U.M. 2003. Wisdom. Encylopedia of Psychological Assessment. London : Sage

Weiner, Irving B., John A. Schinka, Wayne F. Velicer. 2012. Handbook of Psychology Volume 2 : Research Method in Psychology 2nd edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.