Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Pendeta di Gereja "X" Kota Bandung.

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada pendeta di gereja “X” kota Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada 50 orang pendeta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahas Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Perhitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Missiliana R dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dan reliabilitas 0.8181 yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa pendeta di gereja “X” kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah sebanyak 82% dan yang memiliki derajat self-self-compassion yang tinggi sebanyak 18%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar dari pendeta di gereja “X” kota Bandung memiliki derajat self-compassion yang tergolong rendah. Saran yang dapat diberikan adalah meneliti lebih lanjut mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.


(2)

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This research is conducted to determine the degree of self-compassion of pastors in church “X” at Bandung. This research was conducted to 50 pastors. This research used a descriptive methods with a survey technique. Measuring instruments used a measuring tool made by Neff (2003) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani in 2012. After that, the instruments translated back into English by Sarintohe in 2012 and has been approved by Neff. Validiy and reliability calculations performed by Missiliana R with Pearson correlation and Cronbach alpha of the 26 item Valid 0.8181 and reliability is high. Besed on the result of data processing, it is know that the pastors in church “X” at Bandung has degree low compassion as much as 82% and that has a degree of self-compassion were higher by 18%. Conclusion of this research are mostly of pastors in church “X” at Bandung has a degree of self-compassion is low. The suggestion was to further examine the correlation of self-compassion with the factors that affect.


(3)

v Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN………...ii

ABSTRAK………...iii

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL………....ix

DAFTAR BAGAN ……...x

DAFTAR LAMPIRAN………xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Identifikasi Masalah ...7

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...7

1.3.1 Maksud Penelitian ...7

1.3.2 Tujuan Penelitian ...7

1.4 Kegunaan Penelitian...7

1.4.1 Kegunaan Teoritis ...7


(4)

vi Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka pikir ...8

1.6 Asumsi ...20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Self Compassion ...21

2.2 Komponen Self Compassion...21

2.2.1 Self Kindness………...21

2.2.2 Common Humanity……….....23

2.2.3 Mindfulness………....23

2.2.4 Korelasi Antar Komponen...25

2.3 Faktor yang Mempengaruhi ...26

2.3.1 Personality ...27

2.3.2 Jenis Kelamin ...28

2.3.3 Culture ...29

2.3.4 The Role of Parent ...30

2.3.5 Adult Attachment ………....33

2.4 Dampak Self compassion ...34

2.5 Perkembangan masa dewasa madya………..36


(5)

vii Universitas Kristen Maranatha BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ...39

3.1.1 Skema Rancangan Penelitian ...39

3.2 Variabel dan Definisi operasional ...40

3.2.1 Definisi Operasional Self Compassion ...40

3.3 Alat Ukur Self Compassion...41

3.3.1 Kisi-Kisi Aat Ukur Self Compassion ...42

3.3.2 Cara Skoring…. ...43

3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ...44

3.3.3.1 Data Pribadi...44

3.3.3.2 Data Penunjang ...44

3.4 Validitas dan Reliabilitas alat Ukur ...44

3.4.1 Validitas Alat Ukur ...45

3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ...45

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling ...46

3.5.1 Populasi sasaran ...46

3.5.2 Karakteristik Sampel ...46

3.5.3 Teknik Sampling ...46


(6)

viii Universitas Kristen Maranatha BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran responden……….48

4.2 Hasil penelitian………..49

4.3 Pembahasan………...50

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………63

5.2 Saran………..64

5.2.1 Saran Teoritis………..64

5.2.2 Saran Praktis………...64

DAFTAR PUSTAKA ...xii


(7)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi alat ukur Self-Compassion………42

Tabel 3.2 Cara Skoring………44

Tabel 4.1 Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin………48

Tabel 4.2 Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan………48

Tabel 4.3 Gambaran responden berdasarkan lamanya menjadi pendeta……….49

Tabel 4.4 Gambaran responden berdasarkan jabatan………..49

Tabel 4.5 Gambaran komponen………...48


(8)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ………...19 1.2 Bagan Rancangan Penelitian ………...39


(9)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat pengesahan pengambilan data Lampiran 2 : Surat persetujuan

Lampiran 3 : Kuesioner Self-Compassion Lampiran 4 : Hasil crosstab

Lampiran 5 : Data demografi


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Masing-masing agama memiliki pemuka agama. Peranan pemuka agama sangatlah penting dan tidak mudah karena pemuka agama diharapkan dapat terus membimbing umat beragama dengan benar, membangun serta menjaga kerukunan hidup berbangsa dan bernegara antar sesama umat beragama. Dalam pidatonya, Presiden mengarahkan peranan yang lebih banyak dari pemuka agama dalam upaya menjaga kerukunan bangsa.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan dinamis, maka meskipun ingin hidup berdampingan secara damai, saling sayang menyayangi, dan hormat menghormati, sekali-sekali, hampir pasti, ada perselisihan. Para pemuka agama apapun, ditegaskan kepala negara yaitu presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, harus mampu menjadi contoh dalam tutur kata, mencerdaskan, memberikan teladan dan kepemimpinan, serta dalam upaya menyelesaikan berbagai macam perselisihan ditengah bangsa yang majemuk. Presiden berharap kepada semua pemimpin agama di negeri ini, untuk dapat memberikan solusi bagi penyelesaian berbagai perselisihan. (http://nrmnews.com/2012/10/30)


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha Di dalam agama Kristen, pemuka agama disebut dengan pendeta. Tidak hanya bagi negara, pendeta juga memiliki tugas yang penting di dalam gereja. Seseorang yang ingin menjadi pemuka agama dalam agama Kristen yaitu pendeta, di gereja “X” tidak harus memiliki gelar theologia (S1). Dalam buku tata gereja pasal 30 dan 33, seseorang yang sudah melayani dalam jangka waktu minimal 3 tahun, mendapatkan penilaian baik dari gembala jemaat dan telah lulus dalam mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja, akan menjadi pejabat atau pendeta. Setelah menjadi pendeta, mereka memiliki tugas-tugas baru dan kesulitan-kesulitan tertentu yang harus mereka jalani, salah satunya dalam buku tata gereja di gereja “X” pasal 18 adalah pendeta harus mengembangkan, mengurus, dan menginjili jemaatnya. Pendeta di Gereja “X” sebagian besar memiliki jabatan seperti gembala, koordinator, diaken, dan pelayanan jemaat. Mereka semua memiliki tugasnya masing-masing, namun tetap bertujuan pada mengembangkan, mengurus, dan menginjili jemaat yang ada di dalam bagiannya masing-masing.

Di gereja “X” ada yang disebut dengan hamba Tuhan (aktivis gereja), namun ada pula yang disebut dengan pendeta. Perbedaannya adalah sama-sama melayani Tuhan namun pendeta memiliki nama awalan pendeta (pdt) di depan nama asli pendeta tersebut yang berarti pendeta memiliki pertanggung jawaban atau tuntutan yang lebih besar dalam melayani, memiliki kewenangan, dan citra yang lebih khusus daripada hamba Tuhan. Itu adalah salah satu kesulitan tersendiri yang dialami oleh pendeta.


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha Di gereja “X” juga sebagian besar pendeta sudah hidup berkeluarga. Kesulitan lainnya yang harus mereka jalani adalah membagi waktu dalam melayani orang lain dan melayani keluarga mereka sehingga keluarga dapat menerima dan mendukung pelayanan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, termasuk memenuhi kebutuhan materil keluarga. Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada tujuh orang pendeta di gereja “X”, tiga pendeta (43%) mengalami kesulitan dalam keluarga. Seringnya berada di luar rumah untuk bekerja dan melayani orang lain sehingga anggota keluarga yang ada merasa kurang dapat menerimanya. Sang istri dan anak yang merasa kurang mendapatkan perhatian dan merasa suami kurang dapat berperan sebagai kepala keluarga. Keluarga yang selalu dipandang dan dilihat oleh jemaat-jemaat sehingga harus berhati-hati dalam bertindak.

Sementara empat pendeta lainnya (57%) mengalami masalah dalam melayani jemaat, seperti jemaat yang merasa kurang terperhatikan, menuntut pendetanya lebih memperhatikan mereka secara individu, jemaat merasa pendeta kurang membimbing mereka sehingga ada jemaat yang keluar dari gereja “X”. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh pendeta di gereja “X” seperti dalam menjalankan tugas sebagai pendeta dan juga membagi waktu dengan keluarganya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai pendeta, mereka harus mengasihi, melayani, dan memperhatikan orang lain. Menurut Neff (2003), jika seseorang memiliki self-compassion, kemungkinan besar akan bersikap baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Self-compassion merupakan adanya keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu,


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha memberikan pengertian pada diri sendiri tanpa menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Self-compassion seseorang dibangun oleh tiga komponen, yaitu self kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Pendeta di Gereja “X” kota Bandung membutuhkan self-compassion agar mereka dapat melayani jemaat-jemaatnya dengan memberikan kepedulian dan perhatian kepada jemaatnya secara optimal, sehingga dapat melayani jemaatnya dengan baik

(compassion for others).

Untuk memperjelas fenomena tersebut, maka dilakukan survey awal kepada tujuh pendeta di Gereja “X” kota Bandung. Berdasarkan hasil survey terhadap tujuh orang pendeta, 4 orang pendeta (57%) tidak mengkritik diri dan tidak menyalahkan dirinya secara berlebihan saat mengalami kegagalan, misalnya jika terdapat jemaat yang merasa bahwa mereka kurang diperhatikan secara individual, pendeta merasa bahwa hal tersebut mungkin sulit untuk dirinya karena banyaknya jemaat yang harus diperhatikan dan pendeta sudah merasa memerhatikan jemaatnya sesuai dengan kemampuannya. Pendeta terus berusaha untuk dapat memerhatikan jemaatnya. Hal tersebut dinamakan self kindness yaitu bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri (Neff, 2003).

Sedangkan 43 % lainnya mengkritik diri dan menyalahkan dirinya secara berlebihan. Misalnya ketika pendeta kurang dapat memperhatikan jemaatnya secara individual, mereka merasa bahwa hal tersebut adalah kekurangan dan kegagalan


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha mereka, walaupun sulit, seharusnya mereka tetap bisa memperhatikan jemaat secara individual. Mereka berusaha agar semua jemaatnya dapat diperhatikan dengan baik, walaupun terkadang merasa bahwa dirinya tidak bisa memperhatikan semua kondisi jemaatnya secara individual dan sebenarnya bisa meminta tolong kepada tim yang lain untuk lebih memperhatikan jemaat. Namun tetap menyalahkan diri bahwa itu adalah tugas dan tanggung jawab mereka. Hal tersebut dinamakan self judgement yaitu sikap individu yang mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau penderitaan (Neff, 2003).

Selain itu juga, dari tujuh orang pendeta diantaranya 43% menganggap kegagalan yang dialami tersebut sebagai kejadian yang wajar dan menganggap bahwa semua manusia pasti mengalami kegagalan dalam hidup. Misalnya pendeta yang mengalami masalah dalam berbeda pendapat dengan pendeta lain, pengerja atau jemaat sehingga mengalami suatu benturan atau masalah. Hal tersebut dianggap wajar karena didunia tidak ada yang sempurna, memiliki pendapat dan pola berpikir yang berbeda sehingga masalah tersebut dapat diterima dan diselesaikan dengan baik, saling menghargai pendapat yang berbeda. Hal ini dinamakan common humanity yaitu kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Sedangkan 57% lainnya menganggap kegagalan yang dialami bukanlah suatu kejadian yang wajar. Misalnya pendeta yang mengalami masalah dan berbeda pendapat dengan pendeta lain sehingga mengalami suatu benturan dan masalah. Pendeta merasa bahwa tidak semua orang mengalami masalah seperti dia,


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha dan hanya dia saja yang mengalami masalah tersebut seharusnya pendeta bisa menjadi teladan bagi orang-orang.

Komponen lainnya, dari tujuh orang pendeta diantaranya 57% menghadapi kegagalan secara wajar dan tidak secara berlebihan. Misalnya ketika pendeta merasa bahwa dirinya gagal menjadi kepala keluarga yang baik, kurang memberikan perhatian kepada keluarganya, ia tidak menampilkan emosi yang berlebihan dan merugikan orang lain. Pendeta merasa sedih akibat kegagalannya namun dapat bangkit kembali dan membuat pendeta merasa bahwa kegagalannya adalah proses untuk membuat pendeta mempelajari sesuatu yang lebih baik. Pendeta harus mengatur waktu dengan lebih baik lagi. Pendeta yang merasa sedih akibat kegagalannya tetapi tidak menyesal berlarut-larut dinamakan mindfulness yaitu kemampuan individu untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan dengan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan (Neff, 2003). Sedangkan 43% lainnya menghadapi kegagalan secara tidak wajar dan berlebihan. Misalnya pendeta yang menyesal berlarut-larut karena gagal menjadi kepala keluarga hingga mempengaruhi pendeta dalam melayani jemaat, dan juga membuat pendeta merasa ingin keluar dari pelayanannya.

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki kecenderungan derajat self-compassion yang bervariasi. Melalui fenomena tersebut, maka peneliti ingin meneliti bagaimanakah gambaran self-compassion yang dimiliki oleh pendeta di Gereja “X” kota Bandung.


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha 1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dari masing-masing komponen mengenai derajat self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung dan mengetahui hubungan self-compassion dengan faktor yang mempengaruhi.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk :

1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu psikologi, mengenai


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha 2. Sebagai bahan bagi peneliti lain bila ingin meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal

yang berhubungan dengan self-compassion khususnya pada pendeta.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain : 1. Memberikan informasi bagi gembala pimpinan dalam memahami dan menyadari

pentingnya pendeta memiliki self-compassion untuk dapat melayani setiap jemaatnya dengan lebih baik.

2. Memberikan informasi kepada pendeta-pendeta khususnya mengenai variasi komponen dari self-compassion yang dimiliki dan diharapkan mereka dapat mempertahankan atau mengoptimalkan self-compassion mereka dengan memberitahukan dampak positif dari self-compassion.

1.5 Kerangka Pikir

Masa dewasa pertengahan (madya) atau yang disebut juga usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu pada umumnya berkisar antara usia 35 atau 40 sampai dengan 60 tahun, dimana pada usia ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik maupun mental (Hurlock,1980:320). Menurut Hurlock (1996) tugas perkembangan masa dewasa madya adalah penyesuaian diri terhadap perubahan fisik.

Tugas ini merupakan penerimaan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal pada usia madya. Individu harus menyadari bahwa kondisi fisiknya tidak lagi sekuat masa lalu, bahkan ada beberapa organ tubuh yang


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha sudah mulai menoupause. Ada pergeseran minat yang mengarah pada aktivitas untuk memenuhi kebutuhan pribadi (privacy). Membantu anak-anak mereka yang mungkin sudah mulai meranjak remaja, belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia, menjaga keharmonisan dengan pasangan hidup agar tetap akrab.

Pendeta di gereja “X” yang berada pada masa dewasa madya, mereka menerima bahwa kondisi fisiknya sudah tidak sekuat masa lalu walaupun banyaknya kesibukan yang dimiliki seperti bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi, membantu mengembangkan anak mereka menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, menjaga hubungan dengan istri, dan juga melayani di gereja “X” dengan berbagai kesulitan. Sebagaimana dengan tugas-tugas perkembangan tersebut, pendeta dapat memahami dirinya, menerima dirinya menjalani setiap tugas-tugas dan kesulitan yang harus dihadapi tanpa ditekan atau berlebihan.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap

penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Jika seseorang memiliki

self-compassion, kemungkinan besar akan bersikap baik pada dirinya sendiri maupun

orang lain (Neff, 2003). Self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung adalah adanya kesadaran terhadap masalah yang dimiliki seperti masalah dalam melayani jemaat dan masalah dalam memenuhi kebutuhan keluarga termasuk afeksi, memiliki kesadaran akan ketidaksempurnaan yang dimiliki pendeta di Gereja “X”


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha saat menjalankan tugasnya sebagai pendeta tanpa menghakimi dirinya secara berlebihan, melihat bahwa semua pendeta juga mengalami hal yang sama dengan dirinya.

Self-compassion memiliki tiga komponen yaitu self kindness, common

humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self kindness pada pendeta di Gereja “X”

adalah kemampuan pendeta di Gereja “X” untuk bersikap memahami diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan yang dihadapi. Saat pendeta sulit untuk memperhatikan semua jemaat yang ada dan pendeta sudah melakukan bagiannya dengan memperhatikan jemaat sesuai kemampuannya, pendeta menerima dan memahami kekurangannya serta mentoleransi kegagalannya itu bahwa ia tidak dapat memperhatikan semua jemaatnya dengan baik. Ia mengatakan kepada dirinya bahwa ia memang memiliki kekurangan dan karena itu ia harus mencari jalan keluar seperti membuat tim untuk dapat memperhatikan jemaatnya.

Komponen yang kedua adalah common humanity. Common humanity pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung adalah kesadaran pendeta bahwa kegagalan atau kesalahan yang mereka lakukan dalam melayani jemaat dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri, misalnya masalah dengan sesama pendeta karena perbedaan pendapat dan pola pikir. Mereka berpikir bahwa pendeta lainnya juga akan mengalami dan merasakan hal yang sama karena setiap orang memiliki pola pikir dan pendapat yang berbeda-beda.

Komponen ketiga dari self-compassion adalah mindfulness. Mindfulness pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung adalah para pendeta melihat secara jelas dan


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha menerima kegagalan atau kesalahan yang mereka lakukan, tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan kegagalan itu. Saat melakukan kesalahan, mereka menyadari bahwa memang melakukan kesalahan atau kegagalan misalnya merasa gagal menjadi kepala keluarga yang baik dan memang merasa kecewa atau sedih dan menyesal, tetapi mereka juga menyadari bahwa kesalahan itu adalah pembelajaran untuk kedepannya agar lebih baik lagi dalam mengatur waktu dan memberikan perhatian kepada keluarga.

Ketiga komponen tersebut menurut Neff (2003) memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Satu komponen berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dalam membangun self-compassion pada pendeta di gereja “X” kota Bandung dan saling mempengaruhi satu dan lainnya. Self-kindness yang dimiliki oleh seseorang dapat meningkatkan komponen common humanity dan mindfulnessnya. Apabila pendeta tetap menghargai dirinya meskipun sedang mengalami masalah, maka ia tidak akan mengkritik dirinya secara berlebihan ketika melakukan kegagalan melainkan ia dapat memberikan dukungan kepada dirinya sendiri misalnya seperti mencari jalan keluar penyelesaian masalah yang ada. Selain itu, dengan adanya

self-kindness pada pendeta, maka ia dapat fokus dalam menghadapi masalah yang sedang

terjadi tanpa menampilkan emosi yang berlebihan dan memandang masalah tersebut secara seimbang. (Greenberg, Watson, & Goldman, 1998).

Menurut Neff (2003) komponen common humanity yang dimiliki seseorang juga dapat meningkatkan komponen self-kindness dan mindfulnessnya. Pendeta yang memiliki common humanity, tidak akan menilai dirinya dengan negatif dan merasa


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha bahwa masalah yang ia alami wajar dan memang sering dialami oleh pendeta lainnya. Hal ini juga dapat membuat pendeta dapat memandang kekurangannya dan melihat masalah secara jelas dan obyektif, tanpa menghindari dan melebih-lebihkan masalah yang ia hadapi serta berusaha untuk mengatasi masalah tersebut dengan positif.

Komponen terakhir self-compassion yaitu mindfulness juga dapat meningkatkan komponen self-kindness dan common humanity (Neff, 2003). Pendeta yang memiliki komponen mindfulness akan menilai kesalahan dan masalah yang ia hadapi secara obyektif tanpa mengurangi atau melebih-lebihkannya. Hal ini akan mencegah pendeta untuk menilai dirinya tidak baik dan berlebihan atas kesalahan yang telah ia perbuat. Komponen mindfulness ini juga dapat membuat pendeta lebih mudah untuk menyadari akan adanya pendeta lain yang juga mengalami kesalahan dan masalah yang serupa. Self-compassion pendeta dapat dikatakan tinggi apabila ketiga komponen tersebut dikatakan tinggi untuk masing-masing komponennya. Sebaliknya bila terdapat salah satu atau kedua ataupun ketiga komponen rendah, maka self-compassion pendeta tersebut dapat dikategorikan sebagai self-compassion yang rendah.

Self-compassion dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal yaitu personality dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal yaitu role of culture dan role of parent. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI (Neff, Rude et al., 2007), ditemukan bahwa self-compassion memiliki hubungan yang kuat dengan personality neuroticism. Hubungan ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan, karena mengkritik diri dan perasaan terasing


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan

neuroticism. Misalnya jika jemaat yang merasa kurang diperhatikan secara individual

oleh pendetanya, dan pendeta merasa cemas akan hal tersebut, pendeta akan memperhatikan setiap jemaatnya secara satu persatu secara berlebihan sehingga pendeta memiliki self-compassion rendah.

Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness,

extroversion, dan conscientiousness. Namun self-compassion tidak berhubungan

dengan openness to experience, karena trait itu mengukur karakteristik orang-orang yang memiliki imajinasi yang aktif, memiliki pilihan yang bervariasi untuk bisa membuka pikiran sehingga dimensi ini tidak sesuai dengan self-compassion. Pendeta di Gereja “X” yang memiliki derajat tinggi dalam agreeableness dan extroversion berorientasi pada sifat sosial sehingga mereka dapat melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Pendeta yang memiliki derajat

self-compassion tinggi akan cenderung extraversion karena mereka dapat melihat

berbagai masukan dan kritikan yang diberikan kepadanya sebagai hal yang positif. Misalnya pendeta yang diberikan banyak kritikan mengenai prilaku dirinya dan keluarganya akan dipandang positif karena banyak orang yang meneladani perilaku mereka dan itu adalah bukti lingkungan memperhatikan pendeta dan keluarganya. Begitu pula dengan conscientiousness, menurut Costa & McCrae (1997),

conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir

sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Hal ini dapat membantu pendeta di Gereja


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha “X” untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan untuk merespon situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab, sehingga dapat merespon situasi itu dengan tanpa memberikan kritik yang berlebihan, karena itu mereka dapat memiliki derajat self-compassion tinggi. Misalnya seperti pendeta yang lebih berhati-hati dalam membuat keputusan, lebih memikirkan setiap konsekuensi dari tindakannya, agar tidak mengambil keputusan yang salah. Pendeta yang lebih conscientiousness akan lebih memahami keadaan diri dan kesulitan yang dihadapi sehingga memiliki

self-compassion yang tinggi. Pendeta di Gereja “X” memiliki personality yang

bervariasi, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi self-compassion yang mereka miliki.

Self-compassion juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Penelitian

menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengulang-ngulang pemikiran mengenai kekurangan yang ia miliki, selain itu juga perempuan cenderung lebih sering merenungkan masa lalu secara terus menerus dibandingkan laki-laki. Adanya tuntutan lingkungan juga yang mengharuskan bahwa seseorang yang berjenis kelamin perempuan harus dapat lebih memperhatikan orang lain, tetapi mereka tidak diajarkan untuk memperhatikan diri mereka. (Neff, 2011) Pendeta yang berjenis kelamin wanita akan memiliki self-compassion lebih rendah daripada pendeta yang berjenis kelamin pria.

Adanya latar belakang budaya atau culture turut mempengaruhi bagaimana derajat self-compassion yang dimiliki oleh pendeta di gereja “X” kota Bandung. Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar (Soerjanto Poespowardojo,1993). Setiap budaya memiliki konfigurasi tingkah laku yang dipelajari yang berbeda sehingga derajat self-compassion yang dimiliki tiap orang berbeda. Seperti negara Asia yang merupakan budaya collectivist dan bergantung dengan orang lain memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi dibandingkan Budaya Barat. Mayoritas orang di dunia yang tinggal dalam suatu komunitas yang memiliki minat pada kelompok melebihi secara individu disebut sebagai kelompok masyarakat collectivist. Ketika anak tumbuh berkembang mereka belajar untuk berpikir mereka sebagai bagian dari kelompok ‘kita’ (Hofstede, 1980). Pendeta yang memiliki budaya collectivist lebih memiliki self-compassion yang tinggi karena bagaimana mereka belajar memahami diri dan berperan aktif untuk bekerja sama dalam kelompok pada saat mengalami kesulitan di lingkungan komunitas gereja dalam melayani jemaat. Sedangkan minoritas orang di dunia hidup dalam masyarakat dimana minat-minat individu di atas minat kelompok, masyarakat itu disebut sebagai individualist. Anak-anak dari keluarga seperti ini akan tumbuh dan kemudian berpikir bahwa mereka sebagai ‘aku’. Pendeta yang memiliki budaya

individualist memiliki self-compassion yang cenderung rendah karena mereka kurang

berperan aktif dalam kelompok atau komunitas gereja sehingga dalam mengalami masalah, cenderung untuk berpikir dan menyelesaikannya sendiri.

Faktor lain yang mempengaruhi adalah bagaimana pola asuh yang dialami oleh masing-masing pendeta. Gilbert (dalam Neff, 2003) menyatakan bahwa


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha mendapatkan secure attachment seperti mendapatkan kepercayaan, rasa nyaman dan memiliki hubungan dekat dengan orangtuanya dan merasakan penolakan dan kecemasan yang rendah akan cenderung memperlakukan diri mereka dengan sikap peduli dan compassion. Sebaliknya, bila ia mendapatkan insecure attachment yaitu tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, rendahnya hubungan dekat dengan orangtua, merasakan penolakan dan kecemasan akan cenderung memiliki

self-compassion yang rendah.

Menurut Bolby (dalam Kirpatrick,2005) bahwa perkembangan attachment berlangsung sepanjang rentang kehidupan pengalaman attachment awal akan terbawa hingga dewasa sebagai model hubungan kedekatan dengan orang lain atau pada pasangan (adult attachment). Pendeta yang memiliki pola secure attachment relative merasa mudah untuk dekat dan merasa nyaman bergantung dengan pasangan dan pasangan dapat bergantung padanya (pendeta) sehingga self-compassion pada pendeta cenderung tinggi. Sedangkan pendeta yang memiliki pola insecure

attachment menampilkan perasaan tidak nyaman dengan pasangan dan merasa sulit

untuk mempercayai pasangan, sering khawatir pasangannya tidak benar-benar mencintai dirinya atau tidak ingin bersama dirinya sehingga self-compassion pada pendeta cenderung rendah.

Gilbert dan Proctor (2006) menyatakan bahwa bila seseorang tumbuh dalam lingkungan yang banyak mengalami kritikan dari pengasuh mereka, maka mereka akan cenderung memiliki self critical dari pada self-compassion. Pendeta yang tumbuh dalam lingkungan banyak mengalami kritikan dari orangtua mereka dan


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha menginternalisasikan kritik orangtuanya ke dalam pikiran mereka maka pendeta dalam mengalami masalah lebih cenderung untuk mengkritik dirinya sendiri daripada

compassion terhadap dirinya sendiri. Misalnya jika salah dalam pengambilan

keputusan, pendeta akan cenderung untuk mengkritik dirinya sendiri secara berlebihan.

Self-compassion juga tumbuh dari apa yang dilihat pada orangtuanya atau

pengasuhnya (modeling). Bagaimana orangtua melakukan self-compassion pada dirinya jika mengalami masalah dan menyelesaikan masalah tersebut, akan berpengaruh terhadap generasi berikutnya (anak). Pendeta yang melihat orangtuanya melakukan self-compassion pada saat mengalami masalah, maka pendeta cenderung dapat melakukan compassion terhadap dirinya.

Pendeta di Gereja “X” yang memiliki self-compassion yang tinggi, akan memahami kekurangannya dalam melayani jemaat, berempati terhadap hal itu, dan menggantikan kritikan terhadap dirinya dengan memberikan respon yang lebih baik. Ia dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada dirinya dan menyadari bahwa kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian dari kehidupan. Ia lebih terhubung dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan dan kerentanan. Ia bisa melihat kekurangan atau kegagalan yang dihadapi secara objektif, tanpa menghindari atau melebih-lebihkan hal itu.

Pendeta di Gereja “X” yang memiliki self-compassion yang rendah, akan terus-menerus mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau saat menghadapi kekurangan dirinya dalam melayani jemaat. Ia hanya memperhatikan


(27)

18

Universitas Kristen Maranatha kekurangannya tanpa memperhatikan kelebihan yang dimiliki, sehingga ia memiliki pandangan yang sempit bahwa hanya dirinya yang memiliki kekurangan dan menghadapi kegagalan. Ia juga menghindar dari kekurangan yang dimiliki atau kegagalan yang dihadapi agar tidak terus-menerus merasakan perasaan sedih atau kecewa. Ia juga dapat melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi dengan fokus pada kegagalan yang akan ia hadapi di masa lalu, tanpa memperhatikan kegagalan yang ia hadapi saat ini.

Faktor internal yang mempengaruhi :

Personality

• Jenis kelamin

Faktor eksternal yang mempengaruhi • Pola asuh(dalam attachment,

maternal critism, dan modeling)


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan Skema Kerangka Pikir

1.6 Asumsi

Self-compassion terdiri dari 3 komponen yaitu self-kindness, common

humanity, dan mindfulness yang dapat menentukan self-compassion pada

pendeta di Gereja “X” kota Bandung.

• Pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki self-compassion yang bervariasi yang dipengaruhi juga oleh faktor internal dan eksternal.

Pendeta di Gereja “X” kota

Bandung

SELF-COMPASSION

Rendah Tinggi

Komponen self-compassion:

o Self-kindness

o Common Humanity


(29)

20

Universitas Kristen Maranatha • Faktor internal adalah personality atau kepribadian dan jenis kelamin.

Sedangkan faktor eksternal meliputi culture atau kebudayaan dan peran orang tua, yang meliputi adanya attachment, maternal criticsm, modeling.

• Jika pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen itu, maka pendeta tersebut memiliki self-compassion yang tinggi. Jika pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari satu komponen, maka pendeta tersebut memiliki self-compassion yang rendah.


(30)

63 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada 50 pendeta di Gereja “X” kota Bandung mengenai derajat self-compassion, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung sebagian besar

menunjukkan derajat yang rendah.

2. Pendeta yang menunjukkan derajat yang rendah pada ketiga komponen sebagian besar sering mendapat kritikan dari orangtua, mendapat insecure

attachment dari pasangan, dan melakukan modeling pada orangtua yang

mengkritik dirinya.

3. Pendeta yang menunjukan derajat yang tinggi pada ketiga komponen sebagian besar mendapat dukungan dari orangtua, mendapat secure

attachment dari pasangan, dan melakukan modeling pada orangtua yang

tidak mengkritik diri.

4. Faktor internal dan eksternal cenderung berkaitan dengan komponen

common humanity dan mindfulness yaitu personality, kritik dari orangtua,


(31)

64

Universitas Kristen Maranatha 5. Tidak ada perbedaan derajat Self-compassion antara laki-laki dan

perempuan.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran Teoritis

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti, mengajukan beberapa saran, yaitu :

1. Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan ujibanding pada pendeta terutama faktor yang berkaitan seperti jenis kelamin.

2. Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian hubungan antara self-compassion dengan faktor yang mempengaruhi, khususnya

personality.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi kepada gembala pimpinan di Gereja “X” kota Bandung variasi komponen dari self-compassion yang mereka miliki, dan yang memiliki komponen yang rendah dapat disarankan untuk dapat mengadakan seminar yang membahas tentang kesulitan, bagaimana pendeta berpikir objektif dan lebih memahami diri dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapi .

2. Gereja “X” disarankan untuk menyediakan sarana konseling bagi pendeta di gereja “X” kota Bandung agar pendeta dapat berkonsultasi atau membicarakan permasalahan yang sedang dihadapi. Baik permasalahan


(32)

65

Universitas Kristen Maranatha dalam melayani di gereja maupun permasalahan di luar gereja seperti masalah pribadi (keluarga). Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempertahankan derajat self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung.


(33)

xii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Barnard, L. K., & Curry, J. F. (2011). Self-compassion : Conceptualizations, correlates, & interventions. Review Of General psychology, 15, No. 4, 289303. Breines, J. G. & Chen, S (2012). Self-compassion increases self-improvement

motivation. Personality and Social Psychology Bulletin.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. London : Mc. Graw-Hill.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kumar, Rajit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Jurnal of Reasearch in Personality, 41,908-916.

Neff, K. D. 2009. Self-Compassion. In M.R. Leary & R. H. Hyle (Eds.), Handbook of

Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York : Guilford

Press.

Neff, K.D. (2011). Self-compassion, self-esteem, and well-being. Social and Personality Compass,5,1-12.

Neff, Kristin.2011. Self Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity

Behind. New York : HarperCollins Publishers.

Santrock, John W. 1995. Life Span Development. Jakarta : Erlangga.

Siegel, Sidnet. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia Pustaka


(34)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi. 2009. Panduan Skripsi Sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha

http://homepage.psy.utexas.edu/homepage/faculty/gosling/tipi%20site/tipi.pdf

http://anggersuryokusumo.blog.com/2009/07/adult-attachment.html

http://rizqidiaz.blogspot.com/2012/05/pengertian-budaya-kebudayaan.html

https://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.htm http://nrmnews.com/ (diakses 30 Oktober 2012)

http://www.self-compassion.org/ (diakses 29 Agustus 2012)


(1)

Universitas Kristen Maranatha • Faktor internal adalah personality atau kepribadian dan jenis kelamin.

Sedangkan faktor eksternal meliputi culture atau kebudayaan dan peran orang tua, yang meliputi adanya attachment, maternal criticsm, modeling.

• Jika pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen itu, maka pendeta tersebut memiliki self-compassion yang tinggi. Jika pendeta di Gereja “X” kota Bandung memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari satu komponen, maka pendeta tersebut memiliki self-compassion yang rendah.


(2)

63 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada 50 pendeta di Gereja “X” kota Bandung mengenai derajat self-compassion, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung sebagian besar

menunjukkan derajat yang rendah.

2. Pendeta yang menunjukkan derajat yang rendah pada ketiga komponen sebagian besar sering mendapat kritikan dari orangtua, mendapat insecure

attachment dari pasangan, dan melakukan modeling pada orangtua yang

mengkritik dirinya.

3. Pendeta yang menunjukan derajat yang tinggi pada ketiga komponen sebagian besar mendapat dukungan dari orangtua, mendapat secure

attachment dari pasangan, dan melakukan modeling pada orangtua yang

tidak mengkritik diri.

4. Faktor internal dan eksternal cenderung berkaitan dengan komponen

common humanity dan mindfulness yaitu personality, kritik dari orangtua,


(3)

Universitas Kristen Maranatha 5. Tidak ada perbedaan derajat Self-compassion antara laki-laki dan

perempuan.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran Teoritis

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti, mengajukan beberapa saran, yaitu :

1. Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan ujibanding pada pendeta terutama faktor yang berkaitan seperti jenis kelamin.

2. Untuk peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian hubungan antara self-compassion dengan faktor yang mempengaruhi, khususnya

personality.

5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi kepada gembala pimpinan di Gereja “X” kota Bandung variasi komponen dari self-compassion yang mereka miliki, dan yang memiliki komponen yang rendah dapat disarankan untuk dapat mengadakan seminar yang membahas tentang kesulitan, bagaimana pendeta berpikir objektif dan lebih memahami diri dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapi .

2. Gereja “X” disarankan untuk menyediakan sarana konseling bagi pendeta di gereja “X” kota Bandung agar pendeta dapat berkonsultasi atau membicarakan permasalahan yang sedang dihadapi. Baik permasalahan


(4)

65

Universitas Kristen Maranatha dalam melayani di gereja maupun permasalahan di luar gereja seperti masalah pribadi (keluarga). Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempertahankan derajat self-compassion pada pendeta di Gereja “X” kota Bandung.


(5)

xii Universitas Kristen Maranatha Barnard, L. K., & Curry, J. F. (2011). Self-compassion : Conceptualizations,

correlates, & interventions. Review Of General psychology, 15, No. 4, 289303. Breines, J. G. & Chen, S (2012). Self-compassion increases self-improvement

motivation. Personality and Social Psychology Bulletin.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. London : Mc. Graw-Hill.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kumar, Rajit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications.

Neff, K. D., & Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. (2007). An examination of self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Jurnal of Reasearch in Personality, 41,908-916.

Neff, K. D. 2009. Self-Compassion. In M.R. Leary & R. H. Hyle (Eds.), Handbook of

Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York : Guilford

Press.

Neff, K.D. (2011). Self-compassion, self-esteem, and well-being. Social and Personality Compass,5,1-12.

Neff, Kristin.2011. Self Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity

Behind. New York : HarperCollins Publishers.

Santrock, John W. 1995. Life Span Development. Jakarta : Erlangga.

Siegel, Sidnet. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia Pustaka


(6)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi. 2009. Panduan Skripsi Sarjana. Bandung : Universitas Kristen Maranatha

http://homepage.psy.utexas.edu/homepage/faculty/gosling/tipi%20site/tipi.pdf

http://anggersuryokusumo.blog.com/2009/07/adult-attachment.html

http://rizqidiaz.blogspot.com/2012/05/pengertian-budaya-kebudayaan.html

https://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.htm

http://nrmnews.com/ (diakses 30 Oktober 2012)

http://www.self-compassion.org/ (diakses 29 Agustus 2012)