Karakterisasi Sifat Optik Dan Thermal Kaca Teo2-Zno-Bi2o3-Pbo COVERR
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KARAKTERISASI SIFAT OPTIK DAN THERMAL
KACA TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Fisika
Oleh:
WAHYUDI
NIM. S911102006
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
2013 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KARAKTERISASI SIFAT OPTIK DAN THERMAL
KACA TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO
Wahyudi
Prodi Ilmu Fisika Program Pascasarjana UNS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menfabrikasi serta mengetahui karaterisasi sifat thermal
dan sifat optik dari kaca Tellurite Zinc Bismuth Plumbum (TBZP). Komposisi kaca
yang digunakan adalah 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi PbO (x=1, 2,
3, 4, 5). Fabrikasi kaca dilakukan dengan metode melt quanching menggunakan furnace
CARBOLITETM. Hasil uji XRD menunjukkan kaca TBZP hasil fabrikasi merupakan
padatan amorf. Penambahan konsentrasi ion Pb2+ dapat meningkatkan polarisabilitas
kaca sehingga indek bias kaca TBZP meningkat (1,9492,011). Absorbansi pada daerah
UV-Vis meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan
kaca TBZP. Nilai absorbansi menurun drastis pada daerah cahaya tampak setelah
melewati UV edge (sekitar 380 nm). Energi band gap optik kaca TBZP menurun
seiring dengan penambahan konsentrasi ion Pb2+. Absorbansi pada daerah infrared
menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan kaca TBZP
dan IR edge bergeser menuju panjang gelombang yang lebih panjang. Minimum loss
kaca TBZP terendah sekitar 2,31 dB/km pada λ=5848,9 nm. Penambahan ion Pb2+
dapat meningkatkan rentang transmitansi pada kaca TBZP. Suhu transisi kaca (Tg)
memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan meningkatnya laju pemanasan (β)
secara nonisothermal. Stabilitas kaca tertinggi pada TBZP2 dan terendah pada TBZP4.
Energi aktivasi kristalisasi (Ec) berkisar antara 177,06 KJ/mol hingga 307,46 KJ/mol.
Energi aktivasi kristalisasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion
Pb2+ dalam kaca TBZP. Penumbuhan kristal terjadi secara volumetrik dan mengalami
perubahan dari tiga dimensi menjadi dua dimensi.
Kata kunci: kaca, sifat optik, sifat thermal, tellurite.
ABSTRACT
The tellurite zinc bismuth plumbum (TBZP) glass with molar composition 55TeO2-(43x)ZnO-2Bi2O3-xPbO (x=1, 2, 3, 4, 5) have been fabricated and their thermal and optical
properties were investigated. The TBZP glass were prepared by melt quanching method
using a CARBOLITETM furnace. XRD test results demonstrate the TBZP glass has an
amorphous solid. The addition of Pb2+ ion concentration was increase the refractive
index of the glass so polarizability TBZP glass increased (1.9492.011). Absorbance in
the UV-Vis region increases with increasing concentration of Pb2+ ions in the TBZP
glass. Absorbance values plummeted in the visible region after passing through the UV
edge (about 380 nm). Optical band gap energy of TBZP glass declines with the addition
of Pb2+ ion concentration. Absorbance in the infrared region decreased with increasing
concentration of Pb2+ ions in the glass and IR edge shifted towards longer wavelengths.
Theoretical minimum loss of glass TBZP
about
2,31 dB/km at λ=5848,9 nm. The
commit
to user
2+
addition of Pb ions can increase the range of transmittance of the TBZP glass. Glass
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
transition temperature (Tg) have a tendency to increase with increasing heating rate (β).
Glass Stability highest and lowest were TBZP2 and TBZP4. Activation energy of
crystallization (Ec) ranged between 177,06 KJ/mol to 307,46 KJ/mol. Activation energy
of crystallization increases with increasing concentration of Pb2+ ions in the TBZP
glass. Crystal growth occurs and volumetric changes from three dimensions into two
dimensions.
Key Word: Glasses, optical properties, thermal properties, tellurite.
PENDAHULUAN
Peranan material kaca di dunia modern menjadi penting mengingat kaca banyak
digunakan dalam berbagai piranti rumah tangga, benda seni dan teknologi lanjut. Kaca
umumnya dibuat dari bahan silika (soda lime-silicate) dengan komposisi 72% SiO2,
14% Na2O, 11% CaO dan 3% bahan campuran lainnya (Shelby, 2006). Namun, di
bidang teknologi khususnya teknologi di bidang optik dan fotonik, bahan pembuat kaca
sudah menggunakan berbagai bahan yang disesuaikan dengan aplikasi yang diinginkan.
Kaca merupakan salah satu elemen dasar dari instrumen optik yang dapat
mentransmisikan cahaya. Kaca telah dikembangkan selama bertahun-tahun sebagai
material untuk berbagai aplikasi di bidang optik dan fotonik diantaranya fiber optik (Yu
and Yin, 2008; Massera et.al, 2010), laser (Sudhakar et.al, 2008; Raju et.al, 2013),
planar vaweguide (Lavers et.al, 2000; Madden and Vu, 2009), ultrafast optical
switching (Padilha et.al, 2005; Ciolek et.al, 2006), Photodetectors (Diemel et.al, 2002;
Lu et.al, 2006), integrated optic (Shechter et.al, 2001; Poffo, 2009), dan lain
sebagainya. Berbagai aplikasi tersebut membutuhkan kaca dengan spesifikasi tertentu
sehingga dapat bekerja dengan baik.
Salah satu contoh aplikasi kaca di bidang optik yang marak dikembangkan adalah
fiber optik. Sampai saat ini, sebagian besar fiber optik terbuat dari bahan utama silika
(SiO2). Bahan silika memiliki kelebihan antara lain memiliki transparansi yang baik
pada rentang 0,2 µm hingga 2 µm, memiliki sifat mekanis (uji tarik dan bending) yang
kuat. Namun, Kaca silika pada dasarnya memiliki non-lineritas yang rendah sehingga
menjadikannya kurang baik dibandingkan dengan material yang ideal untuk aplikasi
non-lineritas seperti optoelektronik (Manning, 2011).
Selama 25 tahun terakhir ini, penelitian tentang material fiber optik terus
mengalami perkembangan. Material fiber optik dikembangkan untuk mendapatkan sifat
mekanik dan optik yang menyamai kaca silika namun lebih dapat bekerja pada
gelombang infrared. Hal ini tentu menjadi keterbatasan bagi kaca silika yang hanya
dapat mentransmisikan cahaya dengan baik pada panjang gelombang 0,2 µm hingga 2
µm. Sehingga untuk aplikasi yang menggunakan gelombang mid-infrared seperti sensor
infrared, kaca silika tidak dapat digunakan dengan baik.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari material fiber optik yang dapat
bekerja pada gelombang infrared. Salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan
tersebut yaitu digunakannya kaca fluoride. Kaca fluoride dapat mentransmisikan cahaya
hingga 4,5 µm, namun kaca fluoride belum bisa diterima secara luas oleh industri
karena sifatnya relatif tidak stabil terhadap kristalisasi.
Salah satu material kaca yang menjanjikan untuk dapat mentransmisikan cahaya
pada daerah infrared namun lebih stabil dari kaca fluoride adalah kaca tellurite. Kaca
commit
to user mid-infrared yakni sekitar 5 µm.
tellurite dapat bekerja hingga pada panjang
gelombang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kaca tellurite memiliki stabilitas yang baik, homogenitas tinggi dan konduktivitas listrik
yang relatif tinggi (Rajendran, 2000). Berbeda dengan kaca silika, fosfat dan borat, kaca
tellurite memiliki titik leleh yang rendah dan tidak higroskopis. Kaca tellurite juga
memiliki densitas tinggi dan temperatur transformasi yang rendah (Mallawany, 1998).
Indeks bias kaca ini sekitar 2,0. Telurite juga memiliki ultraviolet cut off wavelength
sekitar 418 nm hingga 445 nm (Mallawany et.al., 2008). Menurut Sharaf et.al. (2008),
kaca tellurite juga memiliki kekuatan mekanik yang baik dan transmisi yang optimum
dari sinar tampak hingga mid-infrared (4,5 µm).
Kaca tellurite juga baik untuk aplikasi laser jika dibandingkan dengan kaca silika
dan kaca fluoride. Kaca silika secara signifikan lebih kuat daripada kaca fluoride,
namun memiliki energi fonon yang tinggi (1100 cm-1), nilai ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kaca fluoride (550 cm-1). Untuk aplikasi laser, kaca tellurite
memiliki sifat yang baik karena memiliki energi fonon yang lebih rendah (750 cm -1)
daripada kaca silika dan lebih stabil daripada kaca fluoride (Richards and Jha, 2011).
Puncak energi fonon kaca tellurite juga lebih kecil dibandingkan dengan kaca pospat,
germanat dan borat (Sharaf et.al., 2008). Sifat-sifat tersebut memungkinkan dapat
dibuatnya generasi laser kaca pada panjang gelombang infra merah.
Kaca tellurite telah dipelajari selama lebih dari 150 tahun tetapi hanya baru-baru
ini kaca tellurite dapat dibuat dengan kemurnian lebih dari 98,5% mol (Mallawany,
1998). Struktur kaca tellurite pertama kali diteliti oleh Barady pada tahun 1956-1957.
Penelitian mengenai formasi kaca tellurite dilakukan oleh Winter (1957), Mochida dan
Kozhokaro (1978). Selanjutnya pada tahun 1984, Burger meneliti sifat dan struktur
pembentuk kaca pada sistem kaca TeO2-B2O3 (Mallawany, 2002).
Penelitian kaca tellurite sudah banyak dikembangkan dengan bermacam-macam
komposisi. Rosmawati (2008) mendesain dan mengkaji sifat-sifat elestis, optik dan
termal kaca tellurite dengan komposisi (TeO2)1-x–(ZnO)x. Hasil penelitiannya
menunjukkan indeks bias kaca tellurite yang didesain berkisar antara 1,99 hingga 2,07.
Penambahan konsentrasi ZnO dalam bahan menyebabkan pengurangan nilai energi
band gap optik kaca tellurite. Penelitian yang dilakukan Massera (2009) dengan
mendesain kaca tellurite dengan komposisi (90-x)TeO2-xZnO-10Bi2O3 sebagai bahan
untuk membuat fiber optik yang bekerja pada cahaya infrared. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penambahan ZnO dalam bahan mengakibatkan penurunan indeks
bias dan densitas kaca tellurite. Fiber optik yang berhasil di fabrikasi memiliki loss
(3,20,1) dB/m pada λ=632 nm dan (2,10,1) dB/m pada λ=1,5 µm.
Komposisi kaca tellurite lainnya juga diteliti oleh Oo et.al (2012) dengan
komposisi (Bi2O3)x-(TeO2)100-x. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa densitas
meningkat (5,43 g/cm3 hingga 6,26 g/cm3) seiring meningkatnya konsentrasi bismuth
dalam bahan. Begitu juga dengan indeks bias yang diukur dengan λ=632,8 nm yang
meningkat dari 1,97 hingga 2,12 seiring meningkatnya konsentrasi bismut dalam bahan.
Ozdanova, Ticha dan Tichy (2007) membuat kaca tellurite dengan komposisi (100x)TeO2-5Bi2O3-xZnO dengan x=15 dan 25 serta (100-x)TeO2-10Bi2O3-xZnO dengan
x=15 dan 25. Hasil penelitian tersebut menunjukkan baik penambahan ZnO maupun
Bi2O3 menyebabkan meningkatnya densitas kaca tellurite serta menurunkan energi band
gap optik kaca tellurite.
Penambahan Bi2O3 pada kaca tellurite dapat menaikkan viskositas kaca (Suri
et.al., 2006) dan indeks bias kaca tellurite (Yousef et.al., 2007). Viskositas bahan kaca
yang relatif tinggi akan menjadikan kaca stabil pada saat proses fabrikasi sehingga kaca
commit to user
lebih mudah terbentuk. Sedangkan penambahan bahan dengan kemampuan polarisasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tinggi seperti PbO`dapat menaikkan non-lineritas optik kaca (Kim, 1993). Hal
serupa dikemukakan oleh Eraiah (2010) bahwa dengan densitas yang tinggi dengan
dispersi yang rendah akan memiliki indeks bias non-liner yang tinggi pula. Kaca yang
mengandung oksida logam berat (heavy metal oxide) seperti Bi2O3 dan PbO memiliki
densitas dan indek bias yang tinggi serta memiliki sifat non-lineritas yang sangat baik.
Namun, penambahan Bi2O3 dalam bahan akan menurunkan energi band gap optik pada
kaca tellurite.
Berdasar penelitian-penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini dibuat kaca
berbasis tellurite dengan bahan tellurite, bismut, zinc dan plumbum dengan komposisi
55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi konsentrasi PbO dalam bahan (x=1, 2,
3, 4, dan 5). Diharapkan dengan adanya penambahan konsentrasi PbO dalam bahan
kaca didapatkan kaca tellurite dengan indeks bias yang tinggi serta energi band gap
optik kaca yang relatif rendah. Selain itu, diharapkan kaca berbasis tellurite yang
dihasilkan memiliki minimum loss pada daerah infrared sehingga dapat diaplikasikan
sebagai bahan fiber optik infrared, sensor infrared, host material yang baik untuk
penguat laser dan aplikasi-aplikasi lainnya.
Dengan memperhatikan latar belakang di atas komposisi kaca tellurite yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan x= 1, 2,
3, 4, 5. Penelitian ini diarahkan untuk mempelajari sifat optik dan sifat thermal kaca
tellurite. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi PbO (% mol) dalam kaca terhadap sifat thermal yang berkaitan dengan
kinetika kristalisasi kaca dan sifat optik yang meliputi indeks bias, profil absorbansi
pada daerah UV-Vis dan IR, energi band gap optik, minimum loss serta rentang
transmitansi pada kaca telluirte. Sehingga kemanfaatan dari kaca dapat diperoleh.
METODE
Kaca difabrikasi dengan teknik melt quenching dengan komposisi kaca 55TeO2–
2Bi2O3–[43-x]ZnO–xPbO (%mol) dengan x= 2, 3, 4, 5. Tingkat kemurnian bahan
Tellurite (IV) Oxide 99,99%, Bismuth (III) Oxide 99,9%, Zinc Oxide 99,9% dan Lead
(II) Oxide 99%. Campuran bahan sebanyak 8 gram ditumbuk di dalam lumpang
keramik kemudian dimasukkan ke dalam crucible platinum dan dilebur menggunakan
furnace CARBOLITETM pada suhu 9000C selama 1,5 jam. Leburan diaduk (shake)
setiap 20 menit. Sampel kaca dicetak di dalam mold berukuran (3,5x2,5x0,5)cm yang
telah dipanaskan pada suhu 2500C. Setelah dicetak kaca didinginkan secara natural
cooling. Salah satu sampel kaca TBZP diuji DTA untuk menentukan kisaran suhu
anealing. Sampel dianealing dengan furnace NABERTHERM TM pada suhu 3750C
selama 6 jam kemudian didinginkan dengan colling rate 20C/menit hingga mencapai
suhu kamar. Permukaan sampel kaca dihaluskan menggunakan polishing machine
secara tertahap dengan sand paper 1000, 2000 dan 4000. Uji XRD dilakukan untuk
mengetahui fase amorf pada kaca. Indek bias diukur dengan peralatan sudut Brewster,
absorbansi pada daerah UV-Vis diuji dengan Spektrofotometer Perkin-Elmer UV-VISNIR Lambda-25, absorbansi pada daerah IR diuji dengan Spektrofotometer FT-IR
Shimadzu. Sifat thermal diuji secara non-isothermal dengan menggunakan DTA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fabrikasi kaca tellurite quarterly dengan sistem TBZP (TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO)
telah dilakukan dalam penelitian ini dengan metode melt quenching. Proses melt
commitbaku
to user
quenching didasarkan pada peleburan bahan
kristalin menjadi cairan kental yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diikuti dengan pembentukan lelehan menjadi kaca. Komposisi kaca yang difabrikasi
dalam penelitian ini yaitu 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi PbO (x= 1,
2, 3, 4, 5). Kaca hasil fabrikasi tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Kaca tellurite TBZP dengan komposisi 55TeO2-42ZnO-2Bi2O3-1PbO
Kaca TBZP hasil fabrikasi seperti tampak pada Gambar 4.1 terlihat transparan.
Fase amorf atau kristal pada kaca dapat dilihat dari sifat transparan kaca. Bahan tellurite
yang bersifat transparan memiliki fase amorf. Sedangkan fase padatan dari bahan
tellurite yang tidak transparan adalah fase kristal (Mallawany, 2002).
Semuan sampel kaca yang terbentuk berwarna kuning transparan. Tidak ada
pengaruh penambahan PbO dalam bahan terhadap gradasi warna masing-masing
sampel. Hal ini dikarenakan ion Pb2+ tidak termsuk ion dari unsur yang menyebabkan
perubahan warna pada kaca. Menurut Konishi et.al (2003), warna pada kaca dapat
disebabkan oleh penambahan ion logam transisi, ion tanah jarang atau suspensi koloid
partikel logam. Efek warna pada kaca secara umum dibuat dengan mencampurkan
bahan kaca dengan ion logam transisi 3d atau ion tanah jarang transisi 4f (lantanida),
dimana warna muncul dari sebuah efek yang disebut efek medan ligan (Shelby, 2005).
Namun dalam penelitian ini, bahan baku kaca (telllurite) tidak menggunakan logam
transisi dan ion tanah jarang sehingga warna kuning pada kaca TBZP lebih disebabkan
oleh suspensi koloid partikel Te. Partikel tersebut memiliki ukuran yang bersesuaian
dengan panjang gelombang kuning sehingga ketika seberkas cahaya polikromatik
masuk ke dalam kaca maka panjang gelombang kuning diserap sedangkan panjang
gelombang lainnya akan dibiaskan. Hal ini menjadikan kaca TBZP berwarna kuning.
Uji DTA dilakukan terhadap sampel kaca TBZP hasil fabrikasi. Hal tersebut
dilakukan untuk memastikan apakah padatan tersebut (kaca TBZP) mencirikan sebuah
kaca yang memiliki fase kaca transisi (Tg) seperti yang dikemukakan Doremus (1994)
dan Shelby (2005). Uji DTA juga dilakukan untuk mengetahui suhu puncak kristalisasi
kaca yang akan memberikan informasi batasan suhu annealing kaca sebelum
dikarakterisasi. Hasil uji DTA terlihat pada Gambar 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Exothermal ---->
DTA signal (V)
20
0
Tc=472,43 C
o
Tg=332,43 C
o
Tx=453,67 C
12
8
320
400
480
Temperatur (oC)
560
Gambar 2. Kurva hasil uji DTA kaca TBZP0
Hasil uji DTA seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan adanya fase kaca
transisi (Tg) pada kaca TBZP. Fase kaca transisi ditunjukkan pada kurva DTA dengan
adanya lekukan endothermal pada suhu transisi kaca sekitar 332,43oC. Fase kaca
transisi terjadi sebelum terjadinya fase kristalisasi yang ditandai dengan adanya puncak
eksothermal yang tajam (Tp). Hasil ini menjadi salah satu keterangan bahwa kaca hasil
fabrikasi dalam penelitian ini adalah padatan amorf yang memiliki fase kaca transisi.
Uji XRD juga dilakukan untuk memastikan bahwa kaca TBZP hasil fabrikasi
dalam penelitian ini merupakan padatan amorf. Sebelum dilakukan uji XRD, sampel
kaca TBZP seperti pada Gambar 4.3a dipotong menjadi dua bagian. Kemudian dari
kedua bagian tersebut, satu bagian panaskan menggunakan furnace pada suhu sekitar
suhu kristalisasi (510oC) selama 10 jam, sedangkan satu bagian lainnya tidak diberikan
perlakukan apapun. Setelah proses kristalisasi selesai kedua bagian dibandingkan
kembali dan tampak pada Gambar 4.3b.
X
(a)
Y
(b)
Gambar 3. (a) Sampel kaca TBZP yang transparan dipotong menjadi dua bagian.
(b) Sampel kaca TBZP setelah salah satu bagian dikristalkan.
Pada Gambar 3a kedua bagian potongan kaca tampak transparan. Namun setelah
bagian kaca Y dikristalkan (Gambar 3b), terlihat bagian kaca Y menjadi tidak
commit to user
transparan dan berwarna keruh. Kedua bagian sampel X dan Y sama-sama diuji XRD
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
1200
25
1000
20
800
Intensity (a.u)
Intensity (a.u)
untuk mengetahui bahwa kedua bagian tersebut merupakan padatan amorf (X) dan
padatan kristal (Y). Uji XRD dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UGM, dengan
sudut difraksi 20o-80o dengan interval sudut 0,02o. Grafik hasil uji XRD dapat dilihat
pada Gambar 4.
15
10
5
0
20
600
400
200
30
40
2 Theta (deg)
50
60
0
20
30
40
2 Theta (deg)
50
60
(b)
(a)
Gambar 4 Grafik hasil uji XRD kaca TBZP yang menunjukkan
padatan (a) amorf dan (b) kristal.
Hasil uji XRD (Gambar 4) memperlihatkan adanya perbedaan tipikal grafik antara
bagian sampel kaca (a) dan bagian sampel kristal (b). Bentuk grafik XRD bagain kaca
yang transparan (a) tidak memperlihatkan adanya puncak-puncak kristalisasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bagian sampel kaca yang transparan (a) merupakan
padatan amorf. Sedangkan grafik XRD pada bagaian kaca yang tidak transparan (b)
menunjukkan adanya puncak-puncak kristalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bagian sampel kaca yang tidak transparan (b) bukan padatan amorf tetapi padatan
kristal.
Berdasarkan evaluasi hasil pra-laboratorium, tidak semua komposisi dari bahanbahan yang digunakan menghasilkan kaca yang transparan. Pada penelitian ini, untuk
mendapatkan komposisi kaca yang sesuai dan transparan, telah dilakukan beberapa kali
pembuatan kaca dengan berbagai komposisi. Komposisi dan hasil kaca yang terbentuk
tampak pada Gambar 5.
(a) 60TeO2-40PbO
(b) 60TeO2-40ZnO
(c) 75TeO2-10ZnO-10PbO-5K2HPO4
(d) 75TeO2-10Bi2O3-15ZnO
Gambar 5. Sampel leburan tellurite
dengan
kombinasi
bahan lainnya yang
commit to user
tidak membentuk kaca yang transparan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fabrikasi kaca tellurite TBZP diawali dengan perhitungan gram masing-masing
bahan secara stoikiometri, sehingga didapatkan jumlah gram pada masing-masing bahan
kaca TBZP dengan komposisi 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan x= 1, 2, 3, 4, 5
seperti terlihat pada Tabel 3.1 pada Bab 3. Masing-masing campuran sampel (x=1
hingga x=5) ditumbuk menggunakan lumpang dan alu yang terbuat dari keramik selama
15 menit. Kemudian, bahan dimasukkan ke dalam cruicible platinum yang dipanaskan
di dalam furnace dengan suhu melting 900oC selama 1 jam. Furnace akan mulai bekerja
dengan kenaikan suhu secara fluktuatif dan akan stabil pada suhu yang telah diset.
Pada saat suhu telah mencapai 900oC, bahan diaduk-aduk (shake) hingga leburan
terlihat mengental. Tujuan pengadukan adalah untuk meningkatkan homogenitas bahan
leburan melalui konveksi dan inter difusi dari atom-atom penyusunnya. Pada saat
diaduk, leburan terlihat bening. Hal ini ditandai dengan terlihatnya bagian dasar
crucible. Pengadukan ini dilakukan berulang-ulang pada suhu maksimum yang stabil
(900oC). Pada saat pengadukan, seringkali terlihat adanya gelembung-gelembung di
dasar crucible. Jika gelembung-gelembung tersebut tidak hilang maka suhu leburan
dinaikkan menjadi 950oC, dan ketika sudah gelembung tersebut hilang, suhu furnace
dikembalikan menjadi 900oC.
Setelah peleburan selesai kemudian dilakukan pencetakan sampel ke dalam mold.
Crucible yang berisi leburan dari dalam furnace bersuhu 900oC dikeluarkan, kemudian
crucible dishake beberapa detik lalu dituangkan ke dalam mold yang bersuhu 300oC.
Tujuan leburan dishake sebelum dituangkan ke dalam mold adalah supaya kaca yang
terbentuk tidak pecah. Jika leburan yang bersuhu 900oC dituangkan langsung ke dalam
mold bersuhu 300oC maka kaca yang terbentuk akan pecah. Kemudian jika suhu mold
lebih dari 300oC maka kaca yang terbentuk akan menempel pada mold dan sebagian
terbentuk kristal. Pembentukan kristal pada kaca dapat dihindari dengan menjaga
tingkat viskositas kaca. Dalam hal ini digunakan senyawa Bi2O3 karena memiliki massa
senyawa relatif cukup besar. Senyawa Bi2O3 juga dapat menurunkan stabilitas termal
terhadap kristalisasi dan dapat menaikkan viskositas kaca (Suri, 2006). Sehingga
lelehan kaca tidak terkristalisasi ketika proses pencetakan. Tingkat viskositas yang
tinggi sangat berpengaruh pada proses pendinginan dan pembentukan kaca. Semakin
tinggi viskositas bahan makan proses pendinginan akan semakin cepat dan dalam hal ini
akan menghambat proses terbentuknya kristalisasi.
Setelah sampel kaca terbentuk, salah satu sampel yakni TBZP0 yang merupakan
kaca tellurite-bismuth-zinc yang tidak mengandung plumbum di uji DTA. Hal ini
dilakukan bertujuan untuk mengetahui suhu kristalisasi kaca TBZP. Hasil uji DTA
menunjukkan suhu kaca transisi (Tg) sebesar 332,43oC. Suhu kaca transisi merupakan
suhu dimana suatu kaca mengalami transformasi dari padatan yang rigid menjadi cairan
supercooled dan sangat viscous. Titik transisi kaca merupakan sifat penting dari kaca
karena sifat ini merepresentasikan batas suhu atas dimana suatu kaca dapat digunakan.
Suhu kristalisasi (Tc) diketahui sebesar 472,43oC dan suhu awal kristalisasi (Tx) sebesar
453,67oC. Suhu annealing seluruh sampel TBZP tidak boleh melebihi suhu awal
kristalisasi (Tx) karena akan menyebabkan tumbuhnya kristal pada kaca. Dari informasi
tersebut maka suhu annealing seluruh sampel TBZP yang digunakan sebesar 375oC.
Proses annealing dilakukan menggunakan furnace Computerized Nabertherm.
Annealing dilakukan bertujuan agar atom-atom penyusun kaca dapat terdifusi secara
merata, sehingga terbentuk keseragaman rapat zat pada kaca. Annealing dilakukan pada
suhu 375oC selama 6 jam, kemudian dilakukan pendinginan dengan cooling rate sebesar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2oC/menit hingga mencapai suhu 100oC. Selanjutnya didinginkan secara natural
cooling.
Setelah proses annealing, selanjutnya dilaukan polishing. Polishing dilakukan
pada kedua sisi sampel kaca. Polishing dilakukan secara bertahap. Polishing dengan
sand paper berukuran 1000 digunakan untuk meratakan permukaan kaca yang
bergelombang dan untuk merapikan tepi kaca. Kaca yang dipolish dengan sand paper
1000 menjadi tidak transparan karena tekstur kaca agak kasar. Setelah permukaan kaca
rata dan bentuknya sudah teratur, polishing dilanjutkan dengan sand paper 2000. Pada
tahap ini kaca menjadi transparan kembali namun masih terdapat goresan. Selanjutnya
polish terakhir menggunakan sand paper 4000. Pada tahap ini kaca menjadi sangat
transparan dan permukaannya sudah tidak terdapat goresan. Setelah semua kaca melaui
proses polishing, selanjutnya kaca siap dikarakterisasi sifat optik dan sifat thermalnya.
Reflektansi dan Indek Bias
Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan, reflektansi merupakan perbandingan
antara intensitas cahaya yang dipantulkan dengan intensitas cahaya yang datang.
Sedangkan transmisi merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang diteruskan
dengan intensitas cahaya yang datang. Kaca yang baik memiliki kemampuan tinggi
dalam mentransmisikan cahaya. Kemampuan mentransmisikan cahaya yang tinggi
ditunjukkan dengan nilai reflektansi yang kecil.
Ketika cahaya mengenai sebuah permukaan material dielektrik (non-conducting)
dalam hal ini kaca, maka sebagian cahaya datang akan dipantulkan dan sebagian lagi
akan ditransmisikan. Fraksi dari cahaya datang yang dipantulkan bergantung dari sudut
datang dan arah polarisasi dari cahaya datang. Cahaya secara natural merupakan
gelombang elektromagnetik yang tidak terpolarisasi yang terdiri dari medan listrik dan
medan magnetik yang saling tegal lurus. Cahaya datang dapat direpresentasikan
menjadi dua komponen yaitu komponen polarisasi sejajar bidang datang dan komponen
tegak lurus bidang datang. Komponen polarisasi sejajar bidang datang merupakan mode
Tranverse Magnetic (TM) dan komponen polarisasi tegak lurus bidang datang
merupakan mode Tranverse Electric (TM).
Grafik hasil pengukuran reflektansi masing-masing sampel kaca TBZP pada mode
TE dan TM tampak pada Gambar 4.6. Nilai reflektansi mode TE terus meningkat
seiring meningkatnya sudut datang pada semua sampel kaca TBZP. Namun pada mode
TM, nilai reflektansi menurun seiring meningkatnya sudut datang sampai sekitar sudut
60o-65o, setelah itu nilai reflektansi meningkat kembali pada semua sampel kaca TBZP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
0,6
digilib.uns.ac.id
0,6
TE1
TM1
0,4
Reflectance (%)
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,1
0,1
0,0
TE2
TM2
0,5
Reflectance (%)
0,5
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
0,0
0
10
20
30
0,6
TE3
TM3
0,5
60
70
80
90
TE4
TM4
0,5
Reflectance (%)
0,4
Reflectance (%)
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,1
0,1
0,0
50
(b)
(a)
0,6
40
Angle of Insidence ()
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
0,0
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
(d)
(c)
0,6
TE5
TM5
0,5
Reflectance (%)
0,4
Reflectance (%)
0,012
0,3
0,008
0,2
0,1
0,0
TM2
TM4
TM5
TM3
TM1
0,016
0,004
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
(e)
80
90
55
60
65
Angle of Incidence ()
70
(f)
Gambar 6. Kurva reflektansi vs sudut datang pada mode TE dan TM pada kaca, (a) TBZP1, (b)
TBZP2, (c) TBZP3, (d) TBZP4 dan (e) TBZP5. Serta mode TM semua sampel (f).
Kecenderungan kurva reflektansi baik mode TE dan mode TM hasil penelitian ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pedroti (1993) bahwa pada mode TE nilai
reflektansi menngkat seiring dengan semakin besarnya sudut datang. Namun pada mode
TM, nilai reflektansi menurun hingga mendekati nol pada sudut datang tertentu (sudut
commit
to user Dari grafik mode TM tersebut,
Brewster) kemudian setelah itu kembali
meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat diindikasikan bahwa sudut brewster masing-masing sampel kaca berada sekitar
sudut 60o-65o (Gambar 4.6f). Informasi sudut brewster diperlukan untuk menentukan
besar indek bias kaca. Sehingga dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada mode TM
dengan memperkecil sudut datang pada rentang dari 61,5o-64,5o dan dilakukan
sebanyak tiga kali pengukuran pada masing-masing sampel. Grafik hasil pengukuran
reflektansi pada mode TM di sekitar sudut brewster tersebut dapat dilihat pada Gambar
7.
Reflectance TM1 (%)
3,7
4,9
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
st
4,7
3,6
3,5
4,6
3,4
4,5
3,3
3,2
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
4,8
Reflectance TM2 (%)
3,8
4,4
62,5
63,0
63,5
64,0
4,3
62,0
64,5
Angle of Incidence ()
62,5
5,0
4,9
4,9
Reflektansi TM4 (%)
5,0
64,0
64,5
63,5
64,0
64,5
4,8
4,8
4,7
4,7
4,6
4,6
4,4
62,0
63,5
(b)
4,5
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
63,5
64,0
64,5
Angle of Incidence ()
4,4
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
Angle of Incidence ()
(d)
(c)
4,7
4,6
Reflectance TM5 (%)
Reflectance TM3 (%)
(a)
4,5
63,0
Angle of Incidence ()
4,5
4,4
4,3
4,2
4,1
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
63,5
64,0
Angle of Incidence ()
64,5
(e)
Gambar 7 Kurva reflektansi vs sudut datang pada kaca TBZP
mode TM untuk menentukan sudut brewster
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada Gambar 7, pengukuran reflektansi pada mode TM disekitar sudut brewster
dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing sampel kaca TBZP. Sudut brewster
dapat diketahui dari nilai reflektansi terkecil pada grafik. Hasil pengulangan pengukuran
menunjukkan nilai sudut brewster yang diperoleh pada TM1 hingga TM3 selalu sama
dan pada TM4 dan TM5 terdapat satu kali pengukuran yang berbeda sehingga diambil
nilai reratanya. Dapat dilihat pada Gambar 4.7, bahwa kisaran sudut brewster dari
pengukuran reflektansi TM1 (sampel TBZP1) hingga TM5 (sampel TBZP5) terus
meningkat. Secara spesifik nilai reflektansi terkecil pada masing-masing sampel dapat
dilihat pada Lampiran 1. Dari data tersebut dapat diketahui besar sudut brewster pada
masing-masing sampel. Dengan menggunakan Persamaan (2.7) pada Bab 2, dapat
dihitung besar indek bias secara eksperimen masing-masing sampel kaca TBZP yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis
Sampel
%mol PbO
(n±∆n) experimen
n teoritis
TBZP1
1
1,949±0,000
2,234
TBZP2
2
1,963±0,000
2,242
TBZP3
3
1,977±0,000
2,249
TBZP4
4
1,986±0,008
2,256
TBZP5
5
2,011±0,008
2,264
Refractive Index (n)
2,265
Experiment
Theoretical
2,250
2,235
2,000
1,975
1,950
1,925
1
2
3
4
Concentration of PbO (mol%)
5
Gambar 8 Kurva pengaruh konsentrasi PbO (%mol) terhadap
indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran indek bias kaca secara eksperimen (kolom
ketiga) dan secara teoritis atau perhitungan berdasarkan komposisi (kolom keempat).
Berdasarkan Tabel 4.1, dan Gambar 4.8 diketahui bahwa indek bias kaca TBZP secara
commit to userkonsentrasi ion Pb 2+ dalam bahan
eksperimen meningkat seiring dengan meningkatnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kaca. Indek bias kaca TBZP ini sedikit lebih rendah dengan indek bias kaca TBZ
dengan nilai 2,149 (Massera, 2009).
Indek bias teoritis kaca TBZP pada Tabel 4.1 (kolom keempat) diperoleh secara
perhitungan dengan menggunakan Persamaan (2.12) dan data standar Tabel Unsur
Periodik (Freshney, 2009) sehingga tidak memiliki ralat pengukuran. Indek bias kaca
TBZP secara teoritis berdasarkan komposisi meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi PbO dalam kaca TBZP (Gambar 4.8). Kecenderungan seperti ini sama
dengan hasil indek bias berdasarkan eksperimen. Namun, jika dibandingkan antara
indek bias berdasarkan hasil eksperimen dengan indek bias teoritis, dapat diketahui
bahwa indek bias teoritis jauh lebih besar dibandingkan dengan indek bias hasil
eksperimen.
Hasil temuan Ticha et.al (2004) juga menunjukkan bahwa indek bias teoritis lebih
besar daripada indek bias secara eksperimen. Jika dikaitkan dengan susunan atom
penyusun kaca, indek bias kaca secara teoritis mengasumsikan susunan atom penyusun
kaca lebih stabil atau teratur sehingga memiliki kepadatan yang lebih rapat. Sementara
kaca yang sesungguhnya (hasil fabrikasi) merupakan padatan amorf (susunan atomnya
tidak teratur) dan memiliki kepadatan yang lebih rendah dari kondisi stabilnya (teoritis).
Begitu juga dengan volum kaca, diasumsikan bahwa volum kaca secara teoritis lebih
kecil daripada volum kaca hasil fabrikasi. Semakin besar kepadatan kaca (volum kecil)
semakin besar pula indek bias kaca tersebut. Hal ini yang menjadikan indek bias secara
teoritis lebih besar daripada indek bias real atau secara eksperimen.
Indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan kaca TBZP. Hasil penelitian ini
memperkuat apa yang telah diteliti oleh Eraiah (2010) bahwa penambahan ion Pb2+
dalam bahan akan memutuskan ikatan Te-O-Te dan membentuk membentuk nonbridging oxygen (NBO) baru seperti Te-O-Pb2+ dalam struktur kaca tellurite.
Peningkatan jumlah non-bridging oxygen (NBO) ini akan meningkatkan indek bias kaca
karena non-bridging oxygen (NBO) lebih bersifat polarisabilitas daripada bridging
oxygen (BO) sehingga terdapat hubungan yang proporsional antara polarisabilitas
dengan indek bias (Mallawany et.al., 2008). Karena non-bridging oxygen (NBO) lebih
dapat terpolarisasi daripada bridging oxygen (BO), perubahan komposisi kaca yang
menyebabkan meningkatnya non-bridging oxygen (NBO) akan meningkatkan indek
bias kaca, namun jika perubahan komposisi kaca menyebabkan menurunya nonbridging oxygen (NBO) maka indek bias kaca juga akan menurun.
Indek bias kaca ditentukan oleh interaksi cahaya dengan elektron dari atom unsur
dari kaca. Peningkatan kerapatan elektron maupun polarisabilitas dari ion dalam kaca
dapat meningkatkan indek bias. Penambahan ion Pb2+ yang memiliki sifat
polarisabilitas yang besar dalam bahan kaca TBZP akan meningkatkan awan elektron
dan menurunkan bilangan oksidasi sehingga dapat meningkatkan indek bias kaca. Jenis
ion yang meniliki polarisabilitas yang tinggi dalam kaca, seperti Pb 2+ dapat menahan
perambatan cahaya yang masuk ke dalam kaca (Ticha et.al, 2004). Hal ini menjadikan
kecepatan cahaya dalam kaca menjadi menurun sehingga indek bias kaca menjadi
semakin besar. Shelby (2005), juga memaparkan bahwa bahan kaca yang mengandung
konsentrasi PbO yang tinggi akan memiliki indek bias kaca yang tinggi pula.
Peningkatan indek bias kaca TBZP yang dipengaruhi oleh polarisabilitas juga
dapat dianalisis dari Persamaan Lorentz-Lorenz seperti ditulisakan pada Persamaan
(2.12) hingga Persamaan (2.15) di Bab 2, yang menunjukkan jika polarisabilitas
commit
user
kacato(n)
juga akan meningkat. Penambahan
molekul (αm) meningkat maka indek bias
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konsentrasi ion Pb2+ dalam kaca TBZP dapat menggantikan posisi Zn2+. Ion
polarisabilitas (αi) Pb2+ (3,632) lebih besar dari ion polarsabilitas Zn2+ (0,283) sehingga
terjadi peningkatan polarisabilitas kaca. Dengan meningkatknya polarisabilitas kaca,
maka perambatan cahaya dalam kaca akan menurun sehingga indek bias kaca TBZP
meningkat.
Kaca dengan indek bias yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
fiber optik dengan indek bias yang tinggi. Fiber optik yang memiliki indek bias yang
tinggi akan memiliki numerical aperture (NA) yang besar pula. Dengan numerical
aperature yang besar, intensitas cahaya (intensitas awal) dapat masuk ke dalam fiber
optik dengan jumlah yang lebih besar sehingga dapat diaplikasikan untuk fibre sensor
evanescence.
Absorbansi pada daerah UV-Vis
Pengukuran absorbansi dilakukan pada daerah UV-VIS menggunakan
Spektrofotometer Perkin-Elmer UV-VIS-NIR Lambda-25. Hasil pengukuran absorbansi
pada daerah UV-VIS ditampilkan pada Gambar 9 dan hasil koefisien absorbansi
ditampilkan pada Gambar 10. Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa spekrtum absorbansi
optik tidak memiliki puncak yang tajam yang merupakan karakteristik dari sebuah kaca
(Subrahmanyam, 2000). Dapat dilihat bahwa pada daerah ultraviolet (
digilib.uns.ac.id
KARAKTERISASI SIFAT OPTIK DAN THERMAL
KACA TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Fisika
Oleh:
WAHYUDI
NIM. S911102006
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
2013 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KARAKTERISASI SIFAT OPTIK DAN THERMAL
KACA TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO
Wahyudi
Prodi Ilmu Fisika Program Pascasarjana UNS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menfabrikasi serta mengetahui karaterisasi sifat thermal
dan sifat optik dari kaca Tellurite Zinc Bismuth Plumbum (TBZP). Komposisi kaca
yang digunakan adalah 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi PbO (x=1, 2,
3, 4, 5). Fabrikasi kaca dilakukan dengan metode melt quanching menggunakan furnace
CARBOLITETM. Hasil uji XRD menunjukkan kaca TBZP hasil fabrikasi merupakan
padatan amorf. Penambahan konsentrasi ion Pb2+ dapat meningkatkan polarisabilitas
kaca sehingga indek bias kaca TBZP meningkat (1,9492,011). Absorbansi pada daerah
UV-Vis meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan
kaca TBZP. Nilai absorbansi menurun drastis pada daerah cahaya tampak setelah
melewati UV edge (sekitar 380 nm). Energi band gap optik kaca TBZP menurun
seiring dengan penambahan konsentrasi ion Pb2+. Absorbansi pada daerah infrared
menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan kaca TBZP
dan IR edge bergeser menuju panjang gelombang yang lebih panjang. Minimum loss
kaca TBZP terendah sekitar 2,31 dB/km pada λ=5848,9 nm. Penambahan ion Pb2+
dapat meningkatkan rentang transmitansi pada kaca TBZP. Suhu transisi kaca (Tg)
memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan meningkatnya laju pemanasan (β)
secara nonisothermal. Stabilitas kaca tertinggi pada TBZP2 dan terendah pada TBZP4.
Energi aktivasi kristalisasi (Ec) berkisar antara 177,06 KJ/mol hingga 307,46 KJ/mol.
Energi aktivasi kristalisasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion
Pb2+ dalam kaca TBZP. Penumbuhan kristal terjadi secara volumetrik dan mengalami
perubahan dari tiga dimensi menjadi dua dimensi.
Kata kunci: kaca, sifat optik, sifat thermal, tellurite.
ABSTRACT
The tellurite zinc bismuth plumbum (TBZP) glass with molar composition 55TeO2-(43x)ZnO-2Bi2O3-xPbO (x=1, 2, 3, 4, 5) have been fabricated and their thermal and optical
properties were investigated. The TBZP glass were prepared by melt quanching method
using a CARBOLITETM furnace. XRD test results demonstrate the TBZP glass has an
amorphous solid. The addition of Pb2+ ion concentration was increase the refractive
index of the glass so polarizability TBZP glass increased (1.9492.011). Absorbance in
the UV-Vis region increases with increasing concentration of Pb2+ ions in the TBZP
glass. Absorbance values plummeted in the visible region after passing through the UV
edge (about 380 nm). Optical band gap energy of TBZP glass declines with the addition
of Pb2+ ion concentration. Absorbance in the infrared region decreased with increasing
concentration of Pb2+ ions in the glass and IR edge shifted towards longer wavelengths.
Theoretical minimum loss of glass TBZP
about
2,31 dB/km at λ=5848,9 nm. The
commit
to user
2+
addition of Pb ions can increase the range of transmittance of the TBZP glass. Glass
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
transition temperature (Tg) have a tendency to increase with increasing heating rate (β).
Glass Stability highest and lowest were TBZP2 and TBZP4. Activation energy of
crystallization (Ec) ranged between 177,06 KJ/mol to 307,46 KJ/mol. Activation energy
of crystallization increases with increasing concentration of Pb2+ ions in the TBZP
glass. Crystal growth occurs and volumetric changes from three dimensions into two
dimensions.
Key Word: Glasses, optical properties, thermal properties, tellurite.
PENDAHULUAN
Peranan material kaca di dunia modern menjadi penting mengingat kaca banyak
digunakan dalam berbagai piranti rumah tangga, benda seni dan teknologi lanjut. Kaca
umumnya dibuat dari bahan silika (soda lime-silicate) dengan komposisi 72% SiO2,
14% Na2O, 11% CaO dan 3% bahan campuran lainnya (Shelby, 2006). Namun, di
bidang teknologi khususnya teknologi di bidang optik dan fotonik, bahan pembuat kaca
sudah menggunakan berbagai bahan yang disesuaikan dengan aplikasi yang diinginkan.
Kaca merupakan salah satu elemen dasar dari instrumen optik yang dapat
mentransmisikan cahaya. Kaca telah dikembangkan selama bertahun-tahun sebagai
material untuk berbagai aplikasi di bidang optik dan fotonik diantaranya fiber optik (Yu
and Yin, 2008; Massera et.al, 2010), laser (Sudhakar et.al, 2008; Raju et.al, 2013),
planar vaweguide (Lavers et.al, 2000; Madden and Vu, 2009), ultrafast optical
switching (Padilha et.al, 2005; Ciolek et.al, 2006), Photodetectors (Diemel et.al, 2002;
Lu et.al, 2006), integrated optic (Shechter et.al, 2001; Poffo, 2009), dan lain
sebagainya. Berbagai aplikasi tersebut membutuhkan kaca dengan spesifikasi tertentu
sehingga dapat bekerja dengan baik.
Salah satu contoh aplikasi kaca di bidang optik yang marak dikembangkan adalah
fiber optik. Sampai saat ini, sebagian besar fiber optik terbuat dari bahan utama silika
(SiO2). Bahan silika memiliki kelebihan antara lain memiliki transparansi yang baik
pada rentang 0,2 µm hingga 2 µm, memiliki sifat mekanis (uji tarik dan bending) yang
kuat. Namun, Kaca silika pada dasarnya memiliki non-lineritas yang rendah sehingga
menjadikannya kurang baik dibandingkan dengan material yang ideal untuk aplikasi
non-lineritas seperti optoelektronik (Manning, 2011).
Selama 25 tahun terakhir ini, penelitian tentang material fiber optik terus
mengalami perkembangan. Material fiber optik dikembangkan untuk mendapatkan sifat
mekanik dan optik yang menyamai kaca silika namun lebih dapat bekerja pada
gelombang infrared. Hal ini tentu menjadi keterbatasan bagi kaca silika yang hanya
dapat mentransmisikan cahaya dengan baik pada panjang gelombang 0,2 µm hingga 2
µm. Sehingga untuk aplikasi yang menggunakan gelombang mid-infrared seperti sensor
infrared, kaca silika tidak dapat digunakan dengan baik.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari material fiber optik yang dapat
bekerja pada gelombang infrared. Salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan
tersebut yaitu digunakannya kaca fluoride. Kaca fluoride dapat mentransmisikan cahaya
hingga 4,5 µm, namun kaca fluoride belum bisa diterima secara luas oleh industri
karena sifatnya relatif tidak stabil terhadap kristalisasi.
Salah satu material kaca yang menjanjikan untuk dapat mentransmisikan cahaya
pada daerah infrared namun lebih stabil dari kaca fluoride adalah kaca tellurite. Kaca
commit
to user mid-infrared yakni sekitar 5 µm.
tellurite dapat bekerja hingga pada panjang
gelombang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kaca tellurite memiliki stabilitas yang baik, homogenitas tinggi dan konduktivitas listrik
yang relatif tinggi (Rajendran, 2000). Berbeda dengan kaca silika, fosfat dan borat, kaca
tellurite memiliki titik leleh yang rendah dan tidak higroskopis. Kaca tellurite juga
memiliki densitas tinggi dan temperatur transformasi yang rendah (Mallawany, 1998).
Indeks bias kaca ini sekitar 2,0. Telurite juga memiliki ultraviolet cut off wavelength
sekitar 418 nm hingga 445 nm (Mallawany et.al., 2008). Menurut Sharaf et.al. (2008),
kaca tellurite juga memiliki kekuatan mekanik yang baik dan transmisi yang optimum
dari sinar tampak hingga mid-infrared (4,5 µm).
Kaca tellurite juga baik untuk aplikasi laser jika dibandingkan dengan kaca silika
dan kaca fluoride. Kaca silika secara signifikan lebih kuat daripada kaca fluoride,
namun memiliki energi fonon yang tinggi (1100 cm-1), nilai ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kaca fluoride (550 cm-1). Untuk aplikasi laser, kaca tellurite
memiliki sifat yang baik karena memiliki energi fonon yang lebih rendah (750 cm -1)
daripada kaca silika dan lebih stabil daripada kaca fluoride (Richards and Jha, 2011).
Puncak energi fonon kaca tellurite juga lebih kecil dibandingkan dengan kaca pospat,
germanat dan borat (Sharaf et.al., 2008). Sifat-sifat tersebut memungkinkan dapat
dibuatnya generasi laser kaca pada panjang gelombang infra merah.
Kaca tellurite telah dipelajari selama lebih dari 150 tahun tetapi hanya baru-baru
ini kaca tellurite dapat dibuat dengan kemurnian lebih dari 98,5% mol (Mallawany,
1998). Struktur kaca tellurite pertama kali diteliti oleh Barady pada tahun 1956-1957.
Penelitian mengenai formasi kaca tellurite dilakukan oleh Winter (1957), Mochida dan
Kozhokaro (1978). Selanjutnya pada tahun 1984, Burger meneliti sifat dan struktur
pembentuk kaca pada sistem kaca TeO2-B2O3 (Mallawany, 2002).
Penelitian kaca tellurite sudah banyak dikembangkan dengan bermacam-macam
komposisi. Rosmawati (2008) mendesain dan mengkaji sifat-sifat elestis, optik dan
termal kaca tellurite dengan komposisi (TeO2)1-x–(ZnO)x. Hasil penelitiannya
menunjukkan indeks bias kaca tellurite yang didesain berkisar antara 1,99 hingga 2,07.
Penambahan konsentrasi ZnO dalam bahan menyebabkan pengurangan nilai energi
band gap optik kaca tellurite. Penelitian yang dilakukan Massera (2009) dengan
mendesain kaca tellurite dengan komposisi (90-x)TeO2-xZnO-10Bi2O3 sebagai bahan
untuk membuat fiber optik yang bekerja pada cahaya infrared. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penambahan ZnO dalam bahan mengakibatkan penurunan indeks
bias dan densitas kaca tellurite. Fiber optik yang berhasil di fabrikasi memiliki loss
(3,20,1) dB/m pada λ=632 nm dan (2,10,1) dB/m pada λ=1,5 µm.
Komposisi kaca tellurite lainnya juga diteliti oleh Oo et.al (2012) dengan
komposisi (Bi2O3)x-(TeO2)100-x. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa densitas
meningkat (5,43 g/cm3 hingga 6,26 g/cm3) seiring meningkatnya konsentrasi bismuth
dalam bahan. Begitu juga dengan indeks bias yang diukur dengan λ=632,8 nm yang
meningkat dari 1,97 hingga 2,12 seiring meningkatnya konsentrasi bismut dalam bahan.
Ozdanova, Ticha dan Tichy (2007) membuat kaca tellurite dengan komposisi (100x)TeO2-5Bi2O3-xZnO dengan x=15 dan 25 serta (100-x)TeO2-10Bi2O3-xZnO dengan
x=15 dan 25. Hasil penelitian tersebut menunjukkan baik penambahan ZnO maupun
Bi2O3 menyebabkan meningkatnya densitas kaca tellurite serta menurunkan energi band
gap optik kaca tellurite.
Penambahan Bi2O3 pada kaca tellurite dapat menaikkan viskositas kaca (Suri
et.al., 2006) dan indeks bias kaca tellurite (Yousef et.al., 2007). Viskositas bahan kaca
yang relatif tinggi akan menjadikan kaca stabil pada saat proses fabrikasi sehingga kaca
commit to user
lebih mudah terbentuk. Sedangkan penambahan bahan dengan kemampuan polarisasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tinggi seperti PbO`dapat menaikkan non-lineritas optik kaca (Kim, 1993). Hal
serupa dikemukakan oleh Eraiah (2010) bahwa dengan densitas yang tinggi dengan
dispersi yang rendah akan memiliki indeks bias non-liner yang tinggi pula. Kaca yang
mengandung oksida logam berat (heavy metal oxide) seperti Bi2O3 dan PbO memiliki
densitas dan indek bias yang tinggi serta memiliki sifat non-lineritas yang sangat baik.
Namun, penambahan Bi2O3 dalam bahan akan menurunkan energi band gap optik pada
kaca tellurite.
Berdasar penelitian-penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini dibuat kaca
berbasis tellurite dengan bahan tellurite, bismut, zinc dan plumbum dengan komposisi
55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi konsentrasi PbO dalam bahan (x=1, 2,
3, 4, dan 5). Diharapkan dengan adanya penambahan konsentrasi PbO dalam bahan
kaca didapatkan kaca tellurite dengan indeks bias yang tinggi serta energi band gap
optik kaca yang relatif rendah. Selain itu, diharapkan kaca berbasis tellurite yang
dihasilkan memiliki minimum loss pada daerah infrared sehingga dapat diaplikasikan
sebagai bahan fiber optik infrared, sensor infrared, host material yang baik untuk
penguat laser dan aplikasi-aplikasi lainnya.
Dengan memperhatikan latar belakang di atas komposisi kaca tellurite yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan x= 1, 2,
3, 4, 5. Penelitian ini diarahkan untuk mempelajari sifat optik dan sifat thermal kaca
tellurite. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi
konsentrasi PbO (% mol) dalam kaca terhadap sifat thermal yang berkaitan dengan
kinetika kristalisasi kaca dan sifat optik yang meliputi indeks bias, profil absorbansi
pada daerah UV-Vis dan IR, energi band gap optik, minimum loss serta rentang
transmitansi pada kaca telluirte. Sehingga kemanfaatan dari kaca dapat diperoleh.
METODE
Kaca difabrikasi dengan teknik melt quenching dengan komposisi kaca 55TeO2–
2Bi2O3–[43-x]ZnO–xPbO (%mol) dengan x= 2, 3, 4, 5. Tingkat kemurnian bahan
Tellurite (IV) Oxide 99,99%, Bismuth (III) Oxide 99,9%, Zinc Oxide 99,9% dan Lead
(II) Oxide 99%. Campuran bahan sebanyak 8 gram ditumbuk di dalam lumpang
keramik kemudian dimasukkan ke dalam crucible platinum dan dilebur menggunakan
furnace CARBOLITETM pada suhu 9000C selama 1,5 jam. Leburan diaduk (shake)
setiap 20 menit. Sampel kaca dicetak di dalam mold berukuran (3,5x2,5x0,5)cm yang
telah dipanaskan pada suhu 2500C. Setelah dicetak kaca didinginkan secara natural
cooling. Salah satu sampel kaca TBZP diuji DTA untuk menentukan kisaran suhu
anealing. Sampel dianealing dengan furnace NABERTHERM TM pada suhu 3750C
selama 6 jam kemudian didinginkan dengan colling rate 20C/menit hingga mencapai
suhu kamar. Permukaan sampel kaca dihaluskan menggunakan polishing machine
secara tertahap dengan sand paper 1000, 2000 dan 4000. Uji XRD dilakukan untuk
mengetahui fase amorf pada kaca. Indek bias diukur dengan peralatan sudut Brewster,
absorbansi pada daerah UV-Vis diuji dengan Spektrofotometer Perkin-Elmer UV-VISNIR Lambda-25, absorbansi pada daerah IR diuji dengan Spektrofotometer FT-IR
Shimadzu. Sifat thermal diuji secara non-isothermal dengan menggunakan DTA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fabrikasi kaca tellurite quarterly dengan sistem TBZP (TeO2-ZnO-Bi2O3-PbO)
telah dilakukan dalam penelitian ini dengan metode melt quenching. Proses melt
commitbaku
to user
quenching didasarkan pada peleburan bahan
kristalin menjadi cairan kental yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diikuti dengan pembentukan lelehan menjadi kaca. Komposisi kaca yang difabrikasi
dalam penelitian ini yaitu 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan variasi PbO (x= 1,
2, 3, 4, 5). Kaca hasil fabrikasi tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Kaca tellurite TBZP dengan komposisi 55TeO2-42ZnO-2Bi2O3-1PbO
Kaca TBZP hasil fabrikasi seperti tampak pada Gambar 4.1 terlihat transparan.
Fase amorf atau kristal pada kaca dapat dilihat dari sifat transparan kaca. Bahan tellurite
yang bersifat transparan memiliki fase amorf. Sedangkan fase padatan dari bahan
tellurite yang tidak transparan adalah fase kristal (Mallawany, 2002).
Semuan sampel kaca yang terbentuk berwarna kuning transparan. Tidak ada
pengaruh penambahan PbO dalam bahan terhadap gradasi warna masing-masing
sampel. Hal ini dikarenakan ion Pb2+ tidak termsuk ion dari unsur yang menyebabkan
perubahan warna pada kaca. Menurut Konishi et.al (2003), warna pada kaca dapat
disebabkan oleh penambahan ion logam transisi, ion tanah jarang atau suspensi koloid
partikel logam. Efek warna pada kaca secara umum dibuat dengan mencampurkan
bahan kaca dengan ion logam transisi 3d atau ion tanah jarang transisi 4f (lantanida),
dimana warna muncul dari sebuah efek yang disebut efek medan ligan (Shelby, 2005).
Namun dalam penelitian ini, bahan baku kaca (telllurite) tidak menggunakan logam
transisi dan ion tanah jarang sehingga warna kuning pada kaca TBZP lebih disebabkan
oleh suspensi koloid partikel Te. Partikel tersebut memiliki ukuran yang bersesuaian
dengan panjang gelombang kuning sehingga ketika seberkas cahaya polikromatik
masuk ke dalam kaca maka panjang gelombang kuning diserap sedangkan panjang
gelombang lainnya akan dibiaskan. Hal ini menjadikan kaca TBZP berwarna kuning.
Uji DTA dilakukan terhadap sampel kaca TBZP hasil fabrikasi. Hal tersebut
dilakukan untuk memastikan apakah padatan tersebut (kaca TBZP) mencirikan sebuah
kaca yang memiliki fase kaca transisi (Tg) seperti yang dikemukakan Doremus (1994)
dan Shelby (2005). Uji DTA juga dilakukan untuk mengetahui suhu puncak kristalisasi
kaca yang akan memberikan informasi batasan suhu annealing kaca sebelum
dikarakterisasi. Hasil uji DTA terlihat pada Gambar 2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Exothermal ---->
DTA signal (V)
20
0
Tc=472,43 C
o
Tg=332,43 C
o
Tx=453,67 C
12
8
320
400
480
Temperatur (oC)
560
Gambar 2. Kurva hasil uji DTA kaca TBZP0
Hasil uji DTA seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan adanya fase kaca
transisi (Tg) pada kaca TBZP. Fase kaca transisi ditunjukkan pada kurva DTA dengan
adanya lekukan endothermal pada suhu transisi kaca sekitar 332,43oC. Fase kaca
transisi terjadi sebelum terjadinya fase kristalisasi yang ditandai dengan adanya puncak
eksothermal yang tajam (Tp). Hasil ini menjadi salah satu keterangan bahwa kaca hasil
fabrikasi dalam penelitian ini adalah padatan amorf yang memiliki fase kaca transisi.
Uji XRD juga dilakukan untuk memastikan bahwa kaca TBZP hasil fabrikasi
dalam penelitian ini merupakan padatan amorf. Sebelum dilakukan uji XRD, sampel
kaca TBZP seperti pada Gambar 4.3a dipotong menjadi dua bagian. Kemudian dari
kedua bagian tersebut, satu bagian panaskan menggunakan furnace pada suhu sekitar
suhu kristalisasi (510oC) selama 10 jam, sedangkan satu bagian lainnya tidak diberikan
perlakukan apapun. Setelah proses kristalisasi selesai kedua bagian dibandingkan
kembali dan tampak pada Gambar 4.3b.
X
(a)
Y
(b)
Gambar 3. (a) Sampel kaca TBZP yang transparan dipotong menjadi dua bagian.
(b) Sampel kaca TBZP setelah salah satu bagian dikristalkan.
Pada Gambar 3a kedua bagian potongan kaca tampak transparan. Namun setelah
bagian kaca Y dikristalkan (Gambar 3b), terlihat bagian kaca Y menjadi tidak
commit to user
transparan dan berwarna keruh. Kedua bagian sampel X dan Y sama-sama diuji XRD
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
1200
25
1000
20
800
Intensity (a.u)
Intensity (a.u)
untuk mengetahui bahwa kedua bagian tersebut merupakan padatan amorf (X) dan
padatan kristal (Y). Uji XRD dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA UGM, dengan
sudut difraksi 20o-80o dengan interval sudut 0,02o. Grafik hasil uji XRD dapat dilihat
pada Gambar 4.
15
10
5
0
20
600
400
200
30
40
2 Theta (deg)
50
60
0
20
30
40
2 Theta (deg)
50
60
(b)
(a)
Gambar 4 Grafik hasil uji XRD kaca TBZP yang menunjukkan
padatan (a) amorf dan (b) kristal.
Hasil uji XRD (Gambar 4) memperlihatkan adanya perbedaan tipikal grafik antara
bagian sampel kaca (a) dan bagian sampel kristal (b). Bentuk grafik XRD bagain kaca
yang transparan (a) tidak memperlihatkan adanya puncak-puncak kristalisasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bagian sampel kaca yang transparan (a) merupakan
padatan amorf. Sedangkan grafik XRD pada bagaian kaca yang tidak transparan (b)
menunjukkan adanya puncak-puncak kristalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bagian sampel kaca yang tidak transparan (b) bukan padatan amorf tetapi padatan
kristal.
Berdasarkan evaluasi hasil pra-laboratorium, tidak semua komposisi dari bahanbahan yang digunakan menghasilkan kaca yang transparan. Pada penelitian ini, untuk
mendapatkan komposisi kaca yang sesuai dan transparan, telah dilakukan beberapa kali
pembuatan kaca dengan berbagai komposisi. Komposisi dan hasil kaca yang terbentuk
tampak pada Gambar 5.
(a) 60TeO2-40PbO
(b) 60TeO2-40ZnO
(c) 75TeO2-10ZnO-10PbO-5K2HPO4
(d) 75TeO2-10Bi2O3-15ZnO
Gambar 5. Sampel leburan tellurite
dengan
kombinasi
bahan lainnya yang
commit to user
tidak membentuk kaca yang transparan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fabrikasi kaca tellurite TBZP diawali dengan perhitungan gram masing-masing
bahan secara stoikiometri, sehingga didapatkan jumlah gram pada masing-masing bahan
kaca TBZP dengan komposisi 55TeO2-(43-x)ZnO-2Bi2O3-xPbO dengan x= 1, 2, 3, 4, 5
seperti terlihat pada Tabel 3.1 pada Bab 3. Masing-masing campuran sampel (x=1
hingga x=5) ditumbuk menggunakan lumpang dan alu yang terbuat dari keramik selama
15 menit. Kemudian, bahan dimasukkan ke dalam cruicible platinum yang dipanaskan
di dalam furnace dengan suhu melting 900oC selama 1 jam. Furnace akan mulai bekerja
dengan kenaikan suhu secara fluktuatif dan akan stabil pada suhu yang telah diset.
Pada saat suhu telah mencapai 900oC, bahan diaduk-aduk (shake) hingga leburan
terlihat mengental. Tujuan pengadukan adalah untuk meningkatkan homogenitas bahan
leburan melalui konveksi dan inter difusi dari atom-atom penyusunnya. Pada saat
diaduk, leburan terlihat bening. Hal ini ditandai dengan terlihatnya bagian dasar
crucible. Pengadukan ini dilakukan berulang-ulang pada suhu maksimum yang stabil
(900oC). Pada saat pengadukan, seringkali terlihat adanya gelembung-gelembung di
dasar crucible. Jika gelembung-gelembung tersebut tidak hilang maka suhu leburan
dinaikkan menjadi 950oC, dan ketika sudah gelembung tersebut hilang, suhu furnace
dikembalikan menjadi 900oC.
Setelah peleburan selesai kemudian dilakukan pencetakan sampel ke dalam mold.
Crucible yang berisi leburan dari dalam furnace bersuhu 900oC dikeluarkan, kemudian
crucible dishake beberapa detik lalu dituangkan ke dalam mold yang bersuhu 300oC.
Tujuan leburan dishake sebelum dituangkan ke dalam mold adalah supaya kaca yang
terbentuk tidak pecah. Jika leburan yang bersuhu 900oC dituangkan langsung ke dalam
mold bersuhu 300oC maka kaca yang terbentuk akan pecah. Kemudian jika suhu mold
lebih dari 300oC maka kaca yang terbentuk akan menempel pada mold dan sebagian
terbentuk kristal. Pembentukan kristal pada kaca dapat dihindari dengan menjaga
tingkat viskositas kaca. Dalam hal ini digunakan senyawa Bi2O3 karena memiliki massa
senyawa relatif cukup besar. Senyawa Bi2O3 juga dapat menurunkan stabilitas termal
terhadap kristalisasi dan dapat menaikkan viskositas kaca (Suri, 2006). Sehingga
lelehan kaca tidak terkristalisasi ketika proses pencetakan. Tingkat viskositas yang
tinggi sangat berpengaruh pada proses pendinginan dan pembentukan kaca. Semakin
tinggi viskositas bahan makan proses pendinginan akan semakin cepat dan dalam hal ini
akan menghambat proses terbentuknya kristalisasi.
Setelah sampel kaca terbentuk, salah satu sampel yakni TBZP0 yang merupakan
kaca tellurite-bismuth-zinc yang tidak mengandung plumbum di uji DTA. Hal ini
dilakukan bertujuan untuk mengetahui suhu kristalisasi kaca TBZP. Hasil uji DTA
menunjukkan suhu kaca transisi (Tg) sebesar 332,43oC. Suhu kaca transisi merupakan
suhu dimana suatu kaca mengalami transformasi dari padatan yang rigid menjadi cairan
supercooled dan sangat viscous. Titik transisi kaca merupakan sifat penting dari kaca
karena sifat ini merepresentasikan batas suhu atas dimana suatu kaca dapat digunakan.
Suhu kristalisasi (Tc) diketahui sebesar 472,43oC dan suhu awal kristalisasi (Tx) sebesar
453,67oC. Suhu annealing seluruh sampel TBZP tidak boleh melebihi suhu awal
kristalisasi (Tx) karena akan menyebabkan tumbuhnya kristal pada kaca. Dari informasi
tersebut maka suhu annealing seluruh sampel TBZP yang digunakan sebesar 375oC.
Proses annealing dilakukan menggunakan furnace Computerized Nabertherm.
Annealing dilakukan bertujuan agar atom-atom penyusun kaca dapat terdifusi secara
merata, sehingga terbentuk keseragaman rapat zat pada kaca. Annealing dilakukan pada
suhu 375oC selama 6 jam, kemudian dilakukan pendinginan dengan cooling rate sebesar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2oC/menit hingga mencapai suhu 100oC. Selanjutnya didinginkan secara natural
cooling.
Setelah proses annealing, selanjutnya dilaukan polishing. Polishing dilakukan
pada kedua sisi sampel kaca. Polishing dilakukan secara bertahap. Polishing dengan
sand paper berukuran 1000 digunakan untuk meratakan permukaan kaca yang
bergelombang dan untuk merapikan tepi kaca. Kaca yang dipolish dengan sand paper
1000 menjadi tidak transparan karena tekstur kaca agak kasar. Setelah permukaan kaca
rata dan bentuknya sudah teratur, polishing dilanjutkan dengan sand paper 2000. Pada
tahap ini kaca menjadi transparan kembali namun masih terdapat goresan. Selanjutnya
polish terakhir menggunakan sand paper 4000. Pada tahap ini kaca menjadi sangat
transparan dan permukaannya sudah tidak terdapat goresan. Setelah semua kaca melaui
proses polishing, selanjutnya kaca siap dikarakterisasi sifat optik dan sifat thermalnya.
Reflektansi dan Indek Bias
Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan, reflektansi merupakan perbandingan
antara intensitas cahaya yang dipantulkan dengan intensitas cahaya yang datang.
Sedangkan transmisi merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang diteruskan
dengan intensitas cahaya yang datang. Kaca yang baik memiliki kemampuan tinggi
dalam mentransmisikan cahaya. Kemampuan mentransmisikan cahaya yang tinggi
ditunjukkan dengan nilai reflektansi yang kecil.
Ketika cahaya mengenai sebuah permukaan material dielektrik (non-conducting)
dalam hal ini kaca, maka sebagian cahaya datang akan dipantulkan dan sebagian lagi
akan ditransmisikan. Fraksi dari cahaya datang yang dipantulkan bergantung dari sudut
datang dan arah polarisasi dari cahaya datang. Cahaya secara natural merupakan
gelombang elektromagnetik yang tidak terpolarisasi yang terdiri dari medan listrik dan
medan magnetik yang saling tegal lurus. Cahaya datang dapat direpresentasikan
menjadi dua komponen yaitu komponen polarisasi sejajar bidang datang dan komponen
tegak lurus bidang datang. Komponen polarisasi sejajar bidang datang merupakan mode
Tranverse Magnetic (TM) dan komponen polarisasi tegak lurus bidang datang
merupakan mode Tranverse Electric (TM).
Grafik hasil pengukuran reflektansi masing-masing sampel kaca TBZP pada mode
TE dan TM tampak pada Gambar 4.6. Nilai reflektansi mode TE terus meningkat
seiring meningkatnya sudut datang pada semua sampel kaca TBZP. Namun pada mode
TM, nilai reflektansi menurun seiring meningkatnya sudut datang sampai sekitar sudut
60o-65o, setelah itu nilai reflektansi meningkat kembali pada semua sampel kaca TBZP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
0,6
digilib.uns.ac.id
0,6
TE1
TM1
0,4
Reflectance (%)
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,1
0,1
0,0
TE2
TM2
0,5
Reflectance (%)
0,5
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
0,0
0
10
20
30
0,6
TE3
TM3
0,5
60
70
80
90
TE4
TM4
0,5
Reflectance (%)
0,4
Reflectance (%)
0,4
0,3
0,3
0,2
0,2
0,1
0,1
0,0
50
(b)
(a)
0,6
40
Angle of Insidence ()
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
0,0
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
80
90
(d)
(c)
0,6
TE5
TM5
0,5
Reflectance (%)
0,4
Reflectance (%)
0,012
0,3
0,008
0,2
0,1
0,0
TM2
TM4
TM5
TM3
TM1
0,016
0,004
0
10
20
30
40
50
60
70
Angle of Incidence ()
(e)
80
90
55
60
65
Angle of Incidence ()
70
(f)
Gambar 6. Kurva reflektansi vs sudut datang pada mode TE dan TM pada kaca, (a) TBZP1, (b)
TBZP2, (c) TBZP3, (d) TBZP4 dan (e) TBZP5. Serta mode TM semua sampel (f).
Kecenderungan kurva reflektansi baik mode TE dan mode TM hasil penelitian ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pedroti (1993) bahwa pada mode TE nilai
reflektansi menngkat seiring dengan semakin besarnya sudut datang. Namun pada mode
TM, nilai reflektansi menurun hingga mendekati nol pada sudut datang tertentu (sudut
commit
to user Dari grafik mode TM tersebut,
Brewster) kemudian setelah itu kembali
meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat diindikasikan bahwa sudut brewster masing-masing sampel kaca berada sekitar
sudut 60o-65o (Gambar 4.6f). Informasi sudut brewster diperlukan untuk menentukan
besar indek bias kaca. Sehingga dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada mode TM
dengan memperkecil sudut datang pada rentang dari 61,5o-64,5o dan dilakukan
sebanyak tiga kali pengukuran pada masing-masing sampel. Grafik hasil pengukuran
reflektansi pada mode TM di sekitar sudut brewster tersebut dapat dilihat pada Gambar
7.
Reflectance TM1 (%)
3,7
4,9
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
st
4,7
3,6
3,5
4,6
3,4
4,5
3,3
3,2
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
4,8
Reflectance TM2 (%)
3,8
4,4
62,5
63,0
63,5
64,0
4,3
62,0
64,5
Angle of Incidence ()
62,5
5,0
4,9
4,9
Reflektansi TM4 (%)
5,0
64,0
64,5
63,5
64,0
64,5
4,8
4,8
4,7
4,7
4,6
4,6
4,4
62,0
63,5
(b)
4,5
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
63,5
64,0
64,5
Angle of Incidence ()
4,4
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
Angle of Incidence ()
(d)
(c)
4,7
4,6
Reflectance TM5 (%)
Reflectance TM3 (%)
(a)
4,5
63,0
Angle of Incidence ()
4,5
4,4
4,3
4,2
4,1
62,0
1 Measurement
nd
2 Measurement
st
62,5
63,0
63,5
64,0
Angle of Incidence ()
64,5
(e)
Gambar 7 Kurva reflektansi vs sudut datang pada kaca TBZP
mode TM untuk menentukan sudut brewster
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada Gambar 7, pengukuran reflektansi pada mode TM disekitar sudut brewster
dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing sampel kaca TBZP. Sudut brewster
dapat diketahui dari nilai reflektansi terkecil pada grafik. Hasil pengulangan pengukuran
menunjukkan nilai sudut brewster yang diperoleh pada TM1 hingga TM3 selalu sama
dan pada TM4 dan TM5 terdapat satu kali pengukuran yang berbeda sehingga diambil
nilai reratanya. Dapat dilihat pada Gambar 4.7, bahwa kisaran sudut brewster dari
pengukuran reflektansi TM1 (sampel TBZP1) hingga TM5 (sampel TBZP5) terus
meningkat. Secara spesifik nilai reflektansi terkecil pada masing-masing sampel dapat
dilihat pada Lampiran 1. Dari data tersebut dapat diketahui besar sudut brewster pada
masing-masing sampel. Dengan menggunakan Persamaan (2.7) pada Bab 2, dapat
dihitung besar indek bias secara eksperimen masing-masing sampel kaca TBZP yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis
Sampel
%mol PbO
(n±∆n) experimen
n teoritis
TBZP1
1
1,949±0,000
2,234
TBZP2
2
1,963±0,000
2,242
TBZP3
3
1,977±0,000
2,249
TBZP4
4
1,986±0,008
2,256
TBZP5
5
2,011±0,008
2,264
Refractive Index (n)
2,265
Experiment
Theoretical
2,250
2,235
2,000
1,975
1,950
1,925
1
2
3
4
Concentration of PbO (mol%)
5
Gambar 8 Kurva pengaruh konsentrasi PbO (%mol) terhadap
indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran indek bias kaca secara eksperimen (kolom
ketiga) dan secara teoritis atau perhitungan berdasarkan komposisi (kolom keempat).
Berdasarkan Tabel 4.1, dan Gambar 4.8 diketahui bahwa indek bias kaca TBZP secara
commit to userkonsentrasi ion Pb 2+ dalam bahan
eksperimen meningkat seiring dengan meningkatnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kaca. Indek bias kaca TBZP ini sedikit lebih rendah dengan indek bias kaca TBZ
dengan nilai 2,149 (Massera, 2009).
Indek bias teoritis kaca TBZP pada Tabel 4.1 (kolom keempat) diperoleh secara
perhitungan dengan menggunakan Persamaan (2.12) dan data standar Tabel Unsur
Periodik (Freshney, 2009) sehingga tidak memiliki ralat pengukuran. Indek bias kaca
TBZP secara teoritis berdasarkan komposisi meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi PbO dalam kaca TBZP (Gambar 4.8). Kecenderungan seperti ini sama
dengan hasil indek bias berdasarkan eksperimen. Namun, jika dibandingkan antara
indek bias berdasarkan hasil eksperimen dengan indek bias teoritis, dapat diketahui
bahwa indek bias teoritis jauh lebih besar dibandingkan dengan indek bias hasil
eksperimen.
Hasil temuan Ticha et.al (2004) juga menunjukkan bahwa indek bias teoritis lebih
besar daripada indek bias secara eksperimen. Jika dikaitkan dengan susunan atom
penyusun kaca, indek bias kaca secara teoritis mengasumsikan susunan atom penyusun
kaca lebih stabil atau teratur sehingga memiliki kepadatan yang lebih rapat. Sementara
kaca yang sesungguhnya (hasil fabrikasi) merupakan padatan amorf (susunan atomnya
tidak teratur) dan memiliki kepadatan yang lebih rendah dari kondisi stabilnya (teoritis).
Begitu juga dengan volum kaca, diasumsikan bahwa volum kaca secara teoritis lebih
kecil daripada volum kaca hasil fabrikasi. Semakin besar kepadatan kaca (volum kecil)
semakin besar pula indek bias kaca tersebut. Hal ini yang menjadikan indek bias secara
teoritis lebih besar daripada indek bias real atau secara eksperimen.
Indek bias kaca TBZP secara eksperimen dan teoritis meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi ion Pb2+ dalam bahan kaca TBZP. Hasil penelitian ini
memperkuat apa yang telah diteliti oleh Eraiah (2010) bahwa penambahan ion Pb2+
dalam bahan akan memutuskan ikatan Te-O-Te dan membentuk membentuk nonbridging oxygen (NBO) baru seperti Te-O-Pb2+ dalam struktur kaca tellurite.
Peningkatan jumlah non-bridging oxygen (NBO) ini akan meningkatkan indek bias kaca
karena non-bridging oxygen (NBO) lebih bersifat polarisabilitas daripada bridging
oxygen (BO) sehingga terdapat hubungan yang proporsional antara polarisabilitas
dengan indek bias (Mallawany et.al., 2008). Karena non-bridging oxygen (NBO) lebih
dapat terpolarisasi daripada bridging oxygen (BO), perubahan komposisi kaca yang
menyebabkan meningkatnya non-bridging oxygen (NBO) akan meningkatkan indek
bias kaca, namun jika perubahan komposisi kaca menyebabkan menurunya nonbridging oxygen (NBO) maka indek bias kaca juga akan menurun.
Indek bias kaca ditentukan oleh interaksi cahaya dengan elektron dari atom unsur
dari kaca. Peningkatan kerapatan elektron maupun polarisabilitas dari ion dalam kaca
dapat meningkatkan indek bias. Penambahan ion Pb2+ yang memiliki sifat
polarisabilitas yang besar dalam bahan kaca TBZP akan meningkatkan awan elektron
dan menurunkan bilangan oksidasi sehingga dapat meningkatkan indek bias kaca. Jenis
ion yang meniliki polarisabilitas yang tinggi dalam kaca, seperti Pb 2+ dapat menahan
perambatan cahaya yang masuk ke dalam kaca (Ticha et.al, 2004). Hal ini menjadikan
kecepatan cahaya dalam kaca menjadi menurun sehingga indek bias kaca menjadi
semakin besar. Shelby (2005), juga memaparkan bahwa bahan kaca yang mengandung
konsentrasi PbO yang tinggi akan memiliki indek bias kaca yang tinggi pula.
Peningkatan indek bias kaca TBZP yang dipengaruhi oleh polarisabilitas juga
dapat dianalisis dari Persamaan Lorentz-Lorenz seperti ditulisakan pada Persamaan
(2.12) hingga Persamaan (2.15) di Bab 2, yang menunjukkan jika polarisabilitas
commit
user
kacato(n)
juga akan meningkat. Penambahan
molekul (αm) meningkat maka indek bias
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konsentrasi ion Pb2+ dalam kaca TBZP dapat menggantikan posisi Zn2+. Ion
polarisabilitas (αi) Pb2+ (3,632) lebih besar dari ion polarsabilitas Zn2+ (0,283) sehingga
terjadi peningkatan polarisabilitas kaca. Dengan meningkatknya polarisabilitas kaca,
maka perambatan cahaya dalam kaca akan menurun sehingga indek bias kaca TBZP
meningkat.
Kaca dengan indek bias yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
fiber optik dengan indek bias yang tinggi. Fiber optik yang memiliki indek bias yang
tinggi akan memiliki numerical aperture (NA) yang besar pula. Dengan numerical
aperature yang besar, intensitas cahaya (intensitas awal) dapat masuk ke dalam fiber
optik dengan jumlah yang lebih besar sehingga dapat diaplikasikan untuk fibre sensor
evanescence.
Absorbansi pada daerah UV-Vis
Pengukuran absorbansi dilakukan pada daerah UV-VIS menggunakan
Spektrofotometer Perkin-Elmer UV-VIS-NIR Lambda-25. Hasil pengukuran absorbansi
pada daerah UV-VIS ditampilkan pada Gambar 9 dan hasil koefisien absorbansi
ditampilkan pada Gambar 10. Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa spekrtum absorbansi
optik tidak memiliki puncak yang tajam yang merupakan karakteristik dari sebuah kaca
(Subrahmanyam, 2000). Dapat dilihat bahwa pada daerah ultraviolet (