TERORIS ME Aktor and Isu Global Abad XX

Resensi : TERORIS (ME) “Aktor & Isu Global Abad XXI”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional
Dosen : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si

Disusun oleh :

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2016

IDENTITAS BUKU

Judul Buku

: Teroris (Me) Aktor dan Isu Global Abad XXI

Penulis


: Dr. Agus Subagyo, S.Ip., M.Si.

Penerbit

: Alfabeta

Kota terbit

: Bandung

Tahun Terbit : 2015
Cetakan Ke

:1

2

PENDAHULUAN
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,

Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September
Kelabu”. Lalu baru-baru ini kita semua dikagetkan dengan aksi pengeboman
"LAGI" oleh sekelompok organisasi yang belum kita ketahui. Berbagai usaha
yang dilakukan bahkan setelah terjadi Bom Bali 1 pemerintahan RI membentuk
suatu ketentuan undang-undang yang dinamakan “Undang-undang Republik
Indonesia Nomor.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang nomor.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme menjadi undang-undang”.
Terlebih Pemerintahan RI membentuk suatu kesatuan khusus yang
dinamakan Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus
Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di
Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani
segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan
anggota tim Gegana. Hingga pada puncaknya pasukan khusus ini dapat
menghentikan sepak terjang salah satu gembong teroris yang paling diburu yakni
Gembong teroris Noordin M Top yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 di
Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu, ternyata semua itu bukan akhir dari pada
sepak terjang para teroris yang ada di Indonesia namun akan tetapi telah
mengembangkan jaringan sel-sel baru terorisme.


3

ISI ATAU SUBSTANSI BUKU
BAB I
HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN TERORISME
A. HAM Dalam Hubungan Internasional
Dalam literature ilmu politik, hak asasi adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran
atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Secara historis-empiris,
tonggak-tonggak penting pemikiran dan gerakan hak asasi manusia dapat
dilacak kembali pada lahirnya Magna Charta 1215, Glorius Revolution
1688, Deklarasi Kemerdekaan AS, pemikiran Trias Politika, dan Kontrak
Sosial. Diilhami oleh kepahitan Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang
menginjak-injak HAM, PBB, yang dibentuk oleh negara-negara pemenang
perang, memperjuangkan apa yang ada dalam piagamnya disebut sebagai
penghormatan atas HAM dan kebebasan fundamental (respect for
humanrights and for fundamental freedom ).
Dalam konteks hubungan internasional, upaya implementasi HAM
mengalami benturan dan perdebatan. Secara garis besar, perdebatan itu
dapat dirangkum dalam dua pandangan berikut. Pertama, Autonomy of

State, pandangan ini menekankan pada pengakuan atas prinsip kedaulatan
negara dalam hubungan internasional. Pandangan ini bersumber dari
pemikiran klasik Thomas Hobbes, yaitu bahwa dalam hubungan
internasional, masing-masing negara mempunyai kedudukan yang sama.
Kedua, Cospolitan Perspective, pandangan ini bertumpu pada pengakuan
HAM pada tingkat individu secara universal. Meskipun Autonomy of State
dan Cosmopolitan Perspective saling bertolak belakang baik dilihat dari
asumsi-asumsi yang mendasari maupun pemikiran yang dikembangkan,
terdapat kesamaan yang mendasar, yakni keduanya mengklaim HAM
sebagai masalah fundamental dari demokrasi.
B. Terorisme: Kembali ke High Politics ?
Konstelasi poltik internasional pasca Perang Dunia II mengalami
perubahan yang besaran, luasan, dan kedalamnya luar biasa. Munculnya
4

AS dan US sebagai negara adidaya, kemerosotan dan kebangkitan kembali
Eropa dan Jepang sebagai aktor ekonomi politik utama, peningkata
ketegangan utara-selatan, dan munculnya negara-negara Dunia Ketiga
yang abru saja terbebas dari belenggu Kolonialisme-Imperialisme adalah
rangkaian realitas perubahan-perubahan besar itu. Namun, berakhirnya

perang Dingin, dunia mengalami perubahan-perubahan cepat dan
mendasar di berbagai bidang yang pada gilirannya mengakibatkan
berlanjutnya proses transformasi luas pada peta politik dan ekonomi global
serta pada pola hubungan antar negara.
Dengan demikian perubahan tata politik global pasca perang
Dingin telah menggeser isu High Politics menjadi Low Politics. Belum
selesai dunia menyaksikan perubahan tata ekonomi politik global yang
mengarah pada kecenderungan isu low politics, masyarakat internasional
dikejutkan oleh serangan teroris ke gedung WTC dan pentagon, AS, 11
September 2001. Sgera setelah itu, AS segera menghancurkan rezim
Taliban di Afganistan yang dianggap melindungi Osama Bin Laden dan
jamaah

Al

Qaeda.

Tidak

hanya


itu

saja,

AS

secara

getol

mengkampanyekan gerakan dan perang melawan teroris global dengan
cara apapun. Ideologi politik luar negeri pasca tragedi WTC dan Pentagon
bersumber pada Doktrin Bush, yang berbunyi “kalau Anda bukan teman
saya,

pastilah Anda musush Saya. Saya tdak membedakan teroris

dengan negara yang melindungi teroris ”. Dari perspektif politik global,
Doktrin Bush telah membentangkan garis demakrasi yang membelah

dunia menjadi dua: Teroris atau bukan teroris. Begitu pula yang dilakukan
AS saat ini. Pemikrian dan langkah politik luar negerinya didasarkan pada
Ideologi “anti-terorisme”. Demikianlah tragedy WTC dan Pentagon yang
disusul dengan balas dendam AS terhadap terorisme global telah
mengubah isu politik global dari low politics menjadi high politics
kembali.
C. HAM Versus Terorisme: “Global Antiterorism Governance”
Dalam konstruk teoritk, istilah HAM dan Terorisme merupaka
istilah yang berlawanan. Yang menjadi masalah kemudian adalah

5

bagaimana cara menangani dan mencegah tindak terorisme itu. Cara atau
metode yang harus ditempuh belum ada kesepakatan yang bersifat global.
Bahkan, perdebatan ini semakin memuncak ketika AS secara sembarangan
menuduh

negara-negara

yang


dulunya

membangkang

terhadap

hegemoninya, dengan sebutan teroris, poros kejahatan, dan sarang teroris.
Oleh karena itu, agar perang melawan terorisme global ini tidak
mematikan prinsip-prinsip HAM, diperlukan suatu jerangka konseptual,
yang harus dirumuskan oleh seluruh dunia yang dapat dijadikan batu
pijakan dalam memberantas terorisme global sekaligus sebagai pengontrol
bias-bias HAM politik luar negeri AS. Di samping itu, PBB juga harus
mengambil alih tongkat komando perang melawan teorisme.
D. Konteks Domestik Indonesia
Perubahan global diawal millennium ketiga ini, tentu saja
mendorong setiap negara dan lembaga internasional, untuk menyesuaikan
diri kepada konstelasi global tersebut. Dan dalam konteks Indonesia,
berbagai perubahan itu memunculkan aneka ragam tantangan dan peluang
baru bagi Indonesia di masa mendatang. Walaupun pasca Tragedi WTC

dan Pentagon Indonesia mendapat banyak sorotan dunia internasional
terkait dengan terorisme, Indonesia mendukung Resolusi DK PBB No.
1373 untuk memberantas terorisme glabal dengan cara-cara yang
manusiawi. Hal ini tentu penting bagi politik luar negeri Indonesia
mengingat adanya realitas bahwa negara-negara Barat akanmemberikan
bantuan bagi pemulihan ekonomi apabila Indonesia mendukung perang
melawan terorisme global.
Upaya Indonesia dalam memerangi terorisme global terdiri dari
tiga lapis strategi. Pertama, dalam skala internasional, Indonesia berupaya
memperluas kerjasama dengan ASEAN, Gerakan Non Blok, OKI, dan
negara-negara pasifik. Kedua, dalam skala regional, Indonesia juga terlibat
secara intensif melawan terorisme bersama Filipina, Singapura, dan
Malaysia. Ketiga, dalam skala nasional, Indonesia secara intensif
menggodog

RUU

antiterorisme,

RUU


money

laundering,

dan

memperbaiki sistem keimigrasian. Berkaitan dengan RUU antiterorisme,

6

masih menimbulkan perdebatan oleh berbagai kalangan. Sebagian besar
kalangan mengkritisi RUU antiterorisme sebagai anti prinsip HAM dan
nilai demokrasi. Demikianlah Indonesia harus melakukan proses-proses
penyesuaian diri dalam berinteraksi dengan negara-negara lain di dunia.

BAB 2
DUNIA DAN TERORISME
A. Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”


7

Pasca 11 September 2001, perhatian dunia internasional tersedot
pada isu seputar aksi terorisme. Di tengah suasana kekalutan dan
berkabung atas tragedi bersejarah itu, presiden AS, George W. Bush,
membuat pernyataan kontroversial bahwa yang menjadi “dalang” atas
tragedy WTC dan Pentagon adalah Osama Bin Laden beserta jaringan Al
Qaeda yang saat ini bermarkas di Afganistan. Serangan AS ke Afganistan
adalah bagian dari gerakan antiterorisme. Pengeboman bertalu-talu militer
AS terhadap basis-basis kekuatan Taliban dan Al Qaeda baik yang ada di
Kabul maupun Kandahar dan Masar I Sharif menimbulkan reaksi pro
kontra dari berbagai negara di dunia.
Sebagian besar negara-negara di dunia sepakat bahwa perlu suatu
kesepakatan untuk membentuk suatu gerakan dalam memerangi terorisme.
Tindakan serangan membabi buta pasukan AS yang pada kenyataannya
kerap kali salah sasaran, melukai dan menghujami sasaran-sasaran sipil
sehingga menimbulkan korban jiwa di kalangan rakyat biasa, dinilai oleh
sebagian besar kalangan tidak memperhatikan dan mengindahkan
beberapa pertanyaan berikut: Apakah benar sudah terbukti secara hukum
bahwa Osama Bin Laden dan jaringan Al Qaedanya terlibat atas
hancurnya gedung WTC dan Pentagon? Pandangan dan tindakan AS
positivistik dalam menangani permasalahan-permasalahan internasional
telah mengabaikan nilai-nilai hukum dan aturan demokratis yang selama
ini ia junjung tinggi.
Sejak saat itu, AS pun melakukan “black list” terhadap rezim
Taliban dan menjadikannya sebagai sasaran gerakan anti terorisme. Hans
J. Morgenthau (1978), seorang pelopor realisem politik internasional,
mengatakan

bahwa

kemampuannya

salah

satu

mempengaruhi

asumsi
negara

realisme
lain

politik

melalui

adalah

penggunaan

kekuasaan, kekuatan, dan kekerasan tanpa mengindahkan nilai-nilai moral
dan etika. Inilah yang merupakan jawaban sekaligus penjelasan atas
tindakan AS melakukan pengeboman terhadapa Afghanistan. Realism
poltitk yang selalu ditampilkan oleh AS ini sebenarnya tidak dapat
menyelesaikan persoalan secara komprehensif dan tuntas.
8

AS seharusnya mulai menghapuskan relisme politik yang selama ini
dipraktekkan pada negara-negara yang dia anggap sebagai “pembangkang
dan teroris”. Presiden AS George W. Bush, mengatakan bahwa seranag
dan pemboman yang dilakukan oleh pasukan militer AS dan dibantu
dengan Inggris mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, untuk menangkap
Osama Bin Laden. Kedua, utnuk menghancurkan jaringan Al Qaeda.
Ketiga, untuk menggulingkan rezim Taliban yang dia anggap melindungi
Osama Bin Laden. Namun, beberapa kalanganmensinyalir bahwa selain
ketiga tujuan diatas, AS mempunyai motivasi lain dalam menyerang
Afghanistan. Motivasi itu adalah motivasui geografis dan ekonomis.
Motivasi geografis, kemungkinan adanya ambisis AS ingin menguasai
kawasan Asia Tengah dan Laut Kaspia. Secara ekonomis, kawasan Asia
Tengah dan Laut Kaspia dikenal meyimpan cadangan minyak bumi
terbesar kedua setelah kawasan Araba Teluk. Indikasi adanya motivasi
geigrafis-ekonomis ini tentunya membuat gerah negeri kaum Mullah, Iran.
Sebagai negara yang berpengaruh di kawasan ini dan adanya kepentingan
Iran atas Afghanistan, membuat Iran mempunyai kecurigaan yang besar
terhadap motivasi lain AS dibalik penyerangannya terhadap Afghanistan.
Serangan udara dengan membombardir basis-basisi kekuatan rezim
Taliban dan instalasi militernya sejak 7 Oktober lalu yang dilakukan oleh
Aliansi Intenasional pimpinan AS membuat rezim Taliban semakin
terjepit. Dampak destruktif dari konflik dan peperangan ini tentunya
sangat dirasakan oleh penduduk sispil Afghanistan yang tidak berdosa dan
tidaj tahu apa-apa. Lebih dari 2 juta pengungsi Afghanistan membanjiri
perbatasan Pakistan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Melihat
kondisi warga sipil yang terlunta-lunta menjadi korban perang dan adanya
kekhawatiran akan serangan darat pasukan AS terhadap Afghanistan,
sehrusnya medorong seriap negara dan organisasi internasional untuk
mencari jalan keluar yang terbaik dalam mengatasi konflik ASAfghanistan.
Permasalahnnya, siapa dan dalam kerangka apa mekanisme
mediasi itu dilaksanakan? Jawaban atas pertanyyan ini tentu sulit untuk
9

dijawab dan kalaupun dijawab tentu akan sangat beragam jawabannya.
Sebagai sebuah organisasi inteasional dengan jumlah anggota 189 negara,
PBB harus memprakarsai dan mengambil terobosan-trobosan guna
mendudukan pihak-pihak yang bertikai dalam meja perundingan dibawah
naungan multilateral PBB. Sekjen PBB saat itu, Kofi Annan, seyogyanya
dapat bersikap cepat, lugas, cekatan, responsive, f;eksibel, dan obyektif
meyakinkan AS dan Afghanistan bahwa cara-cara militer tidak akan
menyelesaikan masalah. Dengan demikina, yang patut dijadikan cacatan
disini adalah semua sepakat bahwa aksi-aksi terorisme harus dihancurkan.
Tapi, cara-cara militer dengan menyerang negara berdaulat untuk mencari
tokoh dan kelompok terorisme global patut disesalkan karena melanggar
kedaulatan sebuah negara.
B. Terorisme: Konstelasi Baru Dalam Politik Internasional
Tampilan politik luar negeri AS pasca tragedi WTC dan Pentagon
memang menunjukkan perubahan yang sangat mendasar. Bukan itu saja,
kampanye antiterorisme AS yang disertai tekanan-tekanan politik telah
menciptakan ketidakharmonisan. Doktrin Bush yang memprioritaskan
pada upaya memerangi terorisme global dalam setiap langkah kebijakan
politik luar negeri AS, secepat kilat mendorong isu terorisme menjadi isu
global diawal abad ke-21 ini, mengalahkan isu-isu yang sebelumnya
mendominasi tatanan politik global seperti demokrasi, hak asasi manusi,
good governance, dan lingkungan hidup. Sebagai sebuah isu global masa
kini, terorisme membawa isu-isu ikutan lainnya yang sempat terbenam
seiring berakhirnya perang Dingin, isu tersebut adalah militerisme, enjata
nuklir, dan perang.
Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan besar politik
dunia ini adalah terjadinya arus balik orientasi dan isu high politics.
Realisme politik yang selama ini menjiwai kebijakan politik luar negeri
AS mulai mendapatkan pertentangan yang baru. Oleh karena itu, berbagai
cara dilakukan untuk membasmi basis-basis terorisme global, termasuk
menyerang negara yang dinilai memberikan fasilitas pada aksiaksiterorisme global sebagaimana yang telah dilakukannya pada rezim

10

Taliban di Afghanistan yang melindungi Osama Bin Laden dan jaringan Al
Qaeda.
Derasnya kecaman dan kritikan terhadap langkah AS dalam
memerangi tindakan terorisme global menunjukkan keresahan sebagian
besar negara-negara di dunia. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus,
niscaya akan terjadi anarkisme internasional. gejala ini sangat jelas
mewarnai perilaku negara-negara didunia. Oleh karena itu, agar supaya
tidak terjadi gesekan-gesekan kepentingan masing-masing negara dalam
memberantas

terorisme

global,

diperlukan

sebuah formula

yang

komprehensif. Dengan demikian, masing-masing negara dengan di
sponsori oleh PBB seharusnya mencetuskan sistem penanganan dan
pengelolaan yang dapat menangkal terorisme global. Selain itu,
pengelolaan dan penanganan masalah terorisme secara global harus
bertumpu pada pendekatan dialog dan kalupun memakai cara-cara militer,
harus didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB sehingga tidak
menimbulkan kritik dan resistensi dari berbagai pihak.
C. Global Antiterrorisme Governance
Dalam khazanah ilmu hubungan internasional, organisasi teroris
adalah salah satu aktor atau pemain dalam percaturan politik internasional,
karena sifatnya yang melintasi batas antar negara. Sejak itulah AS selalu
gencar melakkan serangkaian persiapan untuk membasmi jaringan atau
sel-sel Al Qaeda di deluruh penjuru dunia dan melancarkan program
pergerakan antiterorisme global. Al Qaeda terorisme pimpinan Osama Bin
Laden yang melambun namanya pasca tragedi selasa kelabu ini
mempunyai sel-sel dibanyak negara. Selain mempunyai sel dibanyak
negara, Al Qaeda juga membangun hubungan dengan kelompok-kelompok
pergerakan pembebasan nasional. Dalam melakukan langkah-langkah
operasionalisasi, Al Qaeda didukung oleh danan yang besar baik dana
yang berasal dari individu-individu maupun organisasi-organisasi amal.
Semangat untuk memerangi terorisme ini juga terlihat pada KTT
Uni Eropa di Brussel, Belgia, 21 September 2001dan pertemuan MenteriMenteri Luar Negeri OKI di Doha, Qatar, 10 Oktober 2001. Oleh karena

11

itu, semangat dan perhatian besar dari masyarakat internasional untuk
memerangi terrorisme global ini harus digelar dan diwujudkan dalam tiga
lapis. Pertama, lapisan internasional yang dikoordinir oleh PBB. Kedua,
lapisan regional yang tentunya melibatkan organisasi-organisasi regional.
Ketiga, lapisan nasional yang dikomandoi oleh para pemimpin dari
masing-masing negara. Nampaknya terorisme global akan menjadi isu
sentral dunia dan menjadikan teroris sebagai aktor global yang
mendominasi tatanan politik dunia abad XXI.
D. Actor dan Isu Global Abad XXI
Bersamaan dengan dinamika perubahan global ini, telah lahir pula
isu baru yang sangat besar pengaruhnya terhadap tatanan politik ekonomi
global saat ini. Konsekuensi dari mencuatnya isu terorisme ke permukaan
ini adalah lahirnya teroris sebagai aktor yang sangat diperhitungkan diatas
pentas nasional. Dalam konteks ini, duna telah tervbelah menjadi dua,
yakni antara ikut kubu AS memerangi terorisme global atau ikut
mendukung terorisme global. Isu terorisme global yang menggema
dihampir seluruh penjuru dunia telah menimbulkan stabilitas keamanan
regional menjadi kacau dan tidak harmonis.
Pendek kata, konfigurasi politik kawasan telah mengalami
kegoncangan yang amat membahayakan. Masing-masing negara dalam
kawasan saling curiga dan menuduh satu sama lain meskipun tidak ada
bukti yang akurat. Selain itu, secara bersamaan ada semacam kesadaran
dari masing-masing negara untuk meningkatkan kerjasama intelijen dan
melakukan perjanjian ekstradisi. Dalam kasus Indonesia, isu terorisme
juga telah merenggangkan hubungan antara pemerintah dengan kelompokkelompok islam. Melihat berbagai fenomena diatas, dapat dikatakan
bahwa formasi negara dalam interaksi domestik dan internasional
mengalami berbagai perubahan dan penyesuaina.

12

BAB 3
OSAMA BIN LADEN DAN TERORISME
A. Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?
Opini publik yang berkembang di AS menunjukkan bhawa Osama
Bin Laden dan jaringan Al Qaeda yang melakukan perbuatan tersebut.
Pernyataan AS yang spontan itu langsung dibantah oleh Osama. Menurut
Osama, teroris yang melakukan penyerangan itu dari orang-orang AS
sendiri. Spekulais bermunculan seperti bahwa pelaku utama dalam

13

peristiwa tersebut adalah Israel dan rakyat AS sendiri. Ini diperkuat
dengan bukti adanya laporan yang mengungkapkan saat tragedi tersebut
terjadi 4000 karyawan berkebangsaan Israel tidak masuk kerja. Kedati
demikian,

AS

menafikkan

indikasi-indikasi

tersebut

dan

selalu

mengkampanyekan tuduhan bahwa Osama, Al Qaeda dan jaringan Taliban
adalah pihak-pihak yang bertanggungjawab.
B. Osama Bin Laden: Dalang Tragedi WTC dan Pentagon?
Tuduhan yang tanpa didukung bukti memadai dan akurat ini
dibantah

secara

keras

oleh

Osama

Bin

Laden. Tragedy yang

melambungkan nama Osama Bin Laden ini menibulkan pertanyaan:
“siapa sebenarnya Osama Bin Laden itu? ” Osama Bin Laden yang
bernama asli Usamah Bin Muhammad Awad Bin Laden adalah anak ke-17
dari 50 bersaudara. Dia lahir di Riyadh tahun 1957. Hanpir seluruh hidup
Osama Bing Laden diabdikan bagi perjuanagn melawan kejahatan dan
kebhatilan. Nama Osama mulai mencuat sejak keterlibatan Osama dalam
berbagai aksi terorisme anti Amerika. Meskipun pihak pemerintah AS
telah membekukan asset dan aliran dana Osama yang ditaksir sekitar U$$
300 juta itu, ia tidak akan kekurangan dana untuk oprasionalisasi
kegiatannya. Tragedy WTC dan Pentagon sempat menimbulkan
pertanyaan dan keraguan akan kemampuan sistem pertahanan rudal
nasional AS yang menelan biaya sekitar U$$ 60 Milyar itu.
BAB 4
INDONESIA DAN TERORISME
A. Reformasi: Radikalisme, Terorisme, dan Civil Society
Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang
merebak di Indonesia adalah radikalisme etnik. Saat ini, radikalisme etnik
untuk sementara waktu meredup digeser oleh radikalisme teroris. Sebagai
bangsa yang menjunjung tiggi kemanusiaan dan keberagaman, sudah
sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris
yang selama ini menghantui bangsa Indonesia. Disamping itu, yang perlu

14

dipegang teguh adalah bahwa terorisme dan segala bentuknya jangan
disangkutpautkan dengan agama. Konsepsi multikulturaisme yang intinya
menekankan pada pengkuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan dan
perbedaan yang selama ini akan dikembangkan dalam konteks kebangsaan
Indonesia akan berhadapan secara tajam dengan isu-isu terorisme yang
berkembang akhir-akhir ini.
Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan
pluralism, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik.
Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi
bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Konsolidasi masyarakat sipil
saat ini sangat penting mengingat saat ini negara sebagai unit politik
formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada
rakyatnya dari ancaman terorisme. Merebaknya aksi-aksi terorisme telah
menganggu dan merampas hak hidup dan hak untuk aman dari rakyat.
Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata dan saling tukar
informasi, salin gialog, saling bekerjasama sehingga akan tercapai suatu
kesepakatan dan gerakan moral sosial yang kuat sehingga persatuan dan
kesatuan bangsa bisa terjaga.
B. Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali
Sebagai reaksi atas tragedi bom di Bali pada tanggal 12 Oktober
2002, pemeritah Indonesia menegluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Anti Terorisme. Sementara itu reaksi yang tak
kalah hebatnya juga ditampilkan oleh negara-negara yang selama ini
sangat berkepentingan dalam mengobarkan perang melawan terorisme
global, seperti AS dan Australia. Meskipun mendapat dukungan dari
negara-negara didunia, khususnya AS dan sekutunya, Perpu Antiterorisme
dipandang secara bervariasi oleh publik domestik. Terdapat pro dan kontra
dalam masyarakat. Bagi public yang mendukung perangkat hukum
berwujud Perpu ini sangat penting baik secara hukum maupun secara
politik. Sementara itu bagi public yang meolak Pepru Antiterorisme
berargumentasi bahwa proses lahirnya Perpu tersebut sarat dengan muatan
kepentingan negara asing, yakni AS.

15

Indonesia

pasca

bom

Bali

menciptakan

benturan-benturan

membahayakan antara pemeritah dengan kelompok-kelompok islam,
khususnya kelopmok islam garis keras dan radikal. Berkaitan dengan bom
Bali, masih diperdebatkan apakah penangkapan yang dilakukan aparat
keamanan terhadap aktivis-aktivis gerakan islam ini sebagai bentuk dan
upaya pemerintah Repulik Indonesia untuk memperoleh simpati dan
dukungan dari AS, atau murni penegakkan hukum. Jawaban sederhana
namun pasti adalah bahwa kemungkinan terjadi proses penankapan besarbesaran terhadap tokoh dan aktivis gerakan islam radikal yang tentunya
hal ini akan menciptakan keretakan hubungan antara pemerintah dengan
kelompok islam.
Maraknya pembentukkan Satuan Tugas (Satgas) Antiterorisme oleh
pemerintah baik dipusat maupun didaerah banyak dipahami sebagai
pengimbang dari laskar-laskar yang terdapat dalam partai-partai politik
maupun kelompok islam. Makna yang dapat diambil dari rangkaian
peristiwa ini adalah bahwa terror bom Bali menjadi klimaks ketegangan
yang sebelumnya terselubung antara pemerintah dan kelompok-kelompok
islam radikal. Oleh karena itu, melihat berbagai peristiwa secara
mendalam, perlu diciptakan wahana dialog antara berbagai kelompok dan
stakes

holder

yang

terkait

dalam

upaya

mendamaikan

dan

mengharmonisasikan relasi islam-negara.
C. Relasi Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah
Sebagai negara yang terbuka terhadap perkembangan lingkungan
strategis, Indonesia sangat terpengaruh oleh isu terorisme global.
Berdasarkan data dilapangan, berbagai aksi terorisme yang terjadi di
Indonesia sangat terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah pimpinan Abu
Bakar Baasyir yang mempunyai keterkaitan dengan jaringan Al Qaeda
pimpinan Osama Bin Laden. Jamaah Islamiyah atau sering disebut pula
dengan Al Jamaah Al Islamiyah (JI) adalah organisasi keagamaan radikal
yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada tahun
1993. Terdapat keterkaitan antara Al Qaeda dan JI dalam kasus-kasus aksi
terorisme yang merebak di Indonesia setelah era reformasi sehingga

16

mengancam keamanan dalam negeri. Dalam aspek ideologi, Al Qaeda
merupakam sumber inspirasi dan referensi religious JI, khususnya ideologi
dalam memerangi negara-negara Barat.
Keterkaiatn antara Al Qaeda dan JI ini tentunya sangat berdampak
pada aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Berbagai aksi terorisme
sebagai dampak keterkaitan antara JI dan AL Qaeda tentunya
berkonsekuensi pada terganggunya kondisi keamanan dalam negeri
Indonesia. Berdasarkan uraian analisis diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa terdapat keterkaitan antara terorisme global terhadap keamanan
dalam negeri.

BAB 5
TNI DAN TERORISME
A. TNI, Terorisme dan Perkembangan Lingkungan Strategis
Penerapan nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal global yang
diadopsi oleh setiap negara didunia telah menciptakan ruang kebebasan
dalam berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara yang sebenarnya
sangat

bangus

bagi

perkembangan

jalannya

pemerintahan

telah

dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan tindakan terror
yang

melanggar

hukum dan

mengancam stabilits

pemerintahan.

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mudah
diakses oleh setiap warga negara di dunia telah dimanfaatkan oleh
sekelompok orang untuk mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut untuk tujuan aksi terror. Terjadinya tragedi WTC
17

dan Pentagon telah mendorong AS untuk menerapkan kampanye perang
melawan terror diseluruh negara didunia.
Bantuan Uni Eropa terhadap Indonesia dalam menangani aksi
terror yang dikucurkan melalui lembaga donor yang bernaung dibawah
paying Uni Eropa telah mempengaruhi uapaya penanganan terorisme di
Indoensia. Perkembangan si wilayah Asia Tenggara menunjukkan kondisi
yang memanas dengan adanya aksi terror yang semakin meningkat di
negara Philipina dan Thailand. Sepak terjang Australia di wilayah Pasifik
Selatan dan Indonesia dalam menangani aksi terror telah berpengaruh
terhadap aksi terror di Indonesia.
B. TNI, Terorisme dan Satbilitas Nasional
Menguatnya Radikalisme, fundamentalisme dan militansi agama,
khususnya agama islam yang dipraktekkan secara keliru oleh sebagian
kecil pemeluknya telah mendorong adanya aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang
pengamanan terhadap aksi terorisme belum mewadahi secara eksplisit
unsur satuan khusus anti teror TNI. Kondisi ekonomi masyarakat
Indonesia yang berada dalam kondisi kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan pendapatan sebenarnya merupakan akar penyebab terjadinya
aksi teror di Indonesia.
Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang secara umum
relatif rendah sehingga menyebabkan lemahnya kualitas sumber daya
manusia telah mendorong masyarakat Indonesia mudah untuk di provokasi
dan dipancing dengan isu-isu yang dapat membahayakan stabilitas
keamanan. Belum adanya pembagian tugas yang jelas antara TNI, Polri
dan komponen bangsa lainnya terhadap penanganan aksi teror telah
mendorong satuan khusus tertentu yang menonjol dibandingkan dengan
satuan khusus lainnya.
C. Daya Dorong TNI Terlibat dalam Penangan Terorisme
Aksi terorisme yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia telah
membuat semua pihak sadar dan paham akan pentingnya suatu mekanisme
dan prosedur penanggulangan aksi terorisme. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan

sebuah

gagasan

tentang

pemeberdayaan

satuan

18

penanggulangan teror TNI untuk mengatasi aksi terorisme dalam rangka
stabilitas nasional. Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua
macam operasi TNI, yakni Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi
Militer Selain Perang (OMSP). Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang
POLRI, kepolisian RI melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 telah
melakukan perburuan terhadap para teroris. Sebagai alat pertahanan
negara, keterlibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme sangat relevan
mengingat adanya payung hukum berupa Undang-Undang RI No. 34
Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pada pasal 9, dimana TNI memegang
amanat untuk melakukan tugas pokok dalam operasi militer selain perang
(OMSP), diantaranya membantu penanganan aksi terorisme.
D. Peluang dan Kendala TNI
Dalam penangan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang
yang dapat dimanfaatkan sehingga akan dapat mendorong stabilitas
nasional, antara lain:
Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan
peluang bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional khususnya
ASbahwa penanganan aksi teror tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan
tertentu semata, melaikna memerlukan keterlibatan satuan khusus anti
teror TNI. Citra positif masyarkat internasional terhadap kepemimpinan
nasional yang dinilai sangat komit terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM
dan good governance menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggalang
dukungan internasional dalam menyelenggarakan aksi teror secara mandiri
tanpa adanya intervensi dari negara lain. Bantuan dana, teknis dan
menejerial

yang

mengalir

dari

lembaga

internasional

terhadap

pemerintahan Indonesia untuk menangani aksi teror secara lebih optimal
sehingga sangat membantu pemerintah dalam menangani masalah
terorisme yang sangat kompleks. Adanya UU terorisme yang disahkan
oleh pemerintah dan DPR dimana aksi teror merupakan tindakan
pelanggaran pidana khusus yang sangat berat hukumannya.
Sedangkan kendala yang dihadapi oleh TNI dalam mengahadapi
aksi terorisme adalah sebagai berikut:

19

Kurang tegas dan kurang beraninya kepemimpinan nasional dalam
mengambil tindakan dan kebijakan untuk menangani aksi teror secara
terarah, terpadu dan terprogram. Perilaku pejabat publik yang masih
diwarnai dengan perilaku KKN, konflik anta elit politik, konflik antar
partai politik, dan konflik untuk memperebutkna kekuasaan menyebabkan
sulitnya menangani secara tuntas samapi keakar-akarnya. Belum
disahkannya UU Keamanan Nasional yang mengatur posisi kewenangan
setiap institusi pertahanan dan keamanan dalam menangani aksi teror.
Masih adanya persepsi negative sebagian kecil masyarakat yang
menyatakan bahwa pemberian porsi yang besar bagi satuan khusus anti
teror TNI akan dapat mendorong pelanggaran HAM.

BAB 6
POLRI DAN TERORISME
A. Polri, Densus 88 AT dan Terorisme
Indonesia sangat rawan terjadinya aksi terorisme sehingga harus
ditanggulangi sedini mungkin. Serangkaian peristiwa peledakan bom yang
dilakukan oleh para teroris diduga dilakukna oleh jaringan teroris
internasional yang memiliki sel-sel diwilayah Indonesia diamana JI
terindikasi kuat sebagai aktor di balik semua aksi teroris tersebut. Para
gembong teroris memanfaatkan keramahan dan tenggang rasa yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk menciptakan sel-sel teroris
sekaligus sebagai tempat persembunyian/ basis dari kejaran aparat
kepolisian. Operasi perburuan teroris yang dilakukan oleh Densus 88
diberbagai wilayah sebenarnya telah mempersempit ruang gerak para
teroris.
Sebagai aparat kamtibmas, polri mempunyai tugas dan wewenang
untuk menanggulangi aksi terorisme. Polri perlu melakukan berbagai

20

operasi penanganan tindak pidana teorisme yang melibatkan semua satuan
kewilayahan dan satuan fungsional polri diseluruh Indonesia. Para pelaku
teror yang sangat canggih modus operandinya. Khususnya dalam
melakukan komunikasi antar komunitas tentunya mendorong Densus 88
AT untuk menguasai pengetahuan tentang analsa jaringan terorisme yang
diperoleh dari proses hubungan antar komunitas mereka dan jaringannya
sehingga para pelaku teror dapat dideteksi. Kemampuan analisa Densus 88
AT selama ini sebenarnya sudah cukup bagus terbukti dari terungkapnya
dan tertangkapnya berbagai jaringan dan pelaku terorisme serta
mengungkap berbagai rencana pengeboman yang dirancang oleh para
teroris sehingga dapat mencegah terjadinya aksi teorisme.
B. Intelijen Polri dan Terorisme
Perkembangan lingkungan strategis ditingkat global, regional,
nasional dan lokal yang semakin dinamis memerlukan kemampuan
prediksi dan antisipasi yang dilakukan oleh polri sehingga setiap efek,
dampak, dan implikasi negatif dapat terdeteksi secara dini. Satuan polres
senantiasa melakukan tugas pokok polri, khususnya dlam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat. Satuan Intelkam adalah unsure
pelaksana utama polres yang berada di bawah Kapolres. Visinya adalah
terwujudnya postur Intelijen Keamanan yang professional, bermoral dan
modern dalam memelihara kamtibmas dan penegakkan hukum, dengan
melaksanakan early warning dan early detection terhadap ancaman dan
gangguan keamanan.
Tugas pokoknya:
1. Sebagai mata dan telinga kesatuan Polri
2. Mengidentifikasi ancaman, gangguan, atau hambatan terhadap
kamtibmas
3. Melaksanakan pengamatan
4. Menciptakan kondisi tertentu yang menguntungkan
Sedangkan fungsinya adalah pengamanan dan penggalangan untuk
keperluan pelaksaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama penegakkan
hukum, pembinaan kmtibmas, serta keperluan tugas bantuan pertahanan
dan kekuatan nasional. Namun demikian, pada kenyataannya pelaksanaan
21

petugas Intelijen masih belum optimal dalam mencegah tindak pidana
terorisme.

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN BUKU
Kelebihan
Buku ini menambah wawasan terhadap orang yang membacanya, karena
buku ini mengulas tentang actor dan isu global abad XXI yaitu terorisme. Karena
buku ini bisa memberikan solusi dalam menanggulangi atau menyikapi tentang
terorisme serta memberitahukan kendala apa saja yang dialami oleh Indonesia
dalam upaya pemberantasan terorisme.
Kelemahan
Kelemahan buku ini hanya terletak pada banyaknya materi yang diulangulang seperti penjelasan mengenai tragedi WTC dan Pentagon. Ini menyebabkan
pembaca menjadi sedikit bingung dan tidak mengerti.

22

KONSTRIBUSI BUKU TERHADAP STUDI HI
Munculnya terorisme internasional dalam percaturan politik internasional
atau dalam hubungan internasional telah ada sebagai fenomena yang eksistensinya
muncul pada era 1960-an ketika aktivitas terorisme telah banyak terjadi di
berbagai belahan dunia. Dalam memahami munculnya fenomena terorisme
internasional, terdapat beberapa perspektif yang mencoba menjelaskan. Salah satu
diantaranya adalah perspektif realisme yang meyakini bahwa terorisme muncul
sebagai bagian dari fenomena yang dihasilkan oleh sistem internasional.
Ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan organisasi internasional, seperti
PBB yang dalam sudut pandang kelompok teroris lebih cenderung sebagai
representasi kepentingan Negara-negara barat telah membuat mereka tidak
percaya dan frustasi terhadap efektifitas dari lembaga-lembaga tersebut dalam
mengatasi isu-isu global. Hal tersebut terbukti di mana pada banyak kesempatan
aksi-aksi yang telah dilakukan oleh teroris telah menjadi bahan pertimbangan dan
berpengaruh dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang disusun oleh suatu
negara. Kerjasama-kerjasama internasional yang dibangun baik pada tingkat
bilateral hungga regional pun telah ditingkatkan sebagai bentuk perhatian
terhadap fenomena ini. Bahkan invasi AS terhadap Afghanistan pasca tragedi 9/11

23

dapat menjadi bukti bagaimana respon suatu negara terhadap kehadiran fenomena
terorisme.

DAFTAR PUSTAKA
Subagyo, Agus. 2015.Teroris(Me) Aktor dan Isu Global Abad XXI. Bandung:
Alfabeta.

24

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

MANAJEMEN BERITA TELEVISI PADA MEDIA NUSANTARA CITRA (MNC) NEWS CENTER BIRO SURABAYA (Studi Pada Pengelola Berita Lokal di RCTI, TPI, dan Global TV

2 40 2

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22