EVALUASI KINERJA AGGREGATE FLOW CONTROL TERHADAP SISTEM DIFFERENTIATED SERVICES PERFORMANCE EVALUATION OF AGGREGATE FLOW CONTROL ON DIFFERENTIATED SERVICES SYSTEM

  Jurnal Teknik dan Ilmu Komputer

  

EVALUASI KINERJA AGGREGATE FLOW CONTROL

DIFFERENTIATED SERVICES TERHADAP SISTEM

PERFORMANCE EVALUATION OF AGGREGATE FLOW

CONTROL ON DIFFERENTIATED SERVICES SYSTEM

Benny Winata, Veronica Windha

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro

  

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya - Jakarta

Abstrak

Differentiated Services (Diffserv) menyediakan cara yang sederhana untuk menangani Quality of

Service (Qos) di dalam jaringan Internet Protocol (IP) dengan mekanisme klasifikasi paket dan

  pembedaan perlakuan, serta alokasi sumber daya jaringan untuk trafik-trafik tertentu. Masalah yang sering terjadi di Diffserv adalah unfairness dan kongesti. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu mekanisme yang dapat mengatur aliran paket data, salah satunya adalah

  

Aggregate Flow Control (AFC). Penggunaan AFC pada sistem tidak hanya mengendalikan

  kongesti, tetapi juga meningkatkan fairness dalam throughput sehingga dalam penelitian ini, kinerja Diffserv tanpa dan dengan AFC, yaitu troughput dan packet loss dievaluasi menggunakan Network Simulator 2 (NS-2). Skenario simulasi yang digunakan dalam penelitian adalah simulasi variasi jumlah microflows, variasi ukuran paket, variasi RTT, dan variasi kelas AF. Hasil simulasi menunjukkan bahwa Diffserv dengan AFC dapat meningkatkan fairness dalam throughput dan menekan packet loss yang terjadi di dalam jaringan. Namun, untuk simulasi variasi kelas AF,

  

Diffserv dengan AFC tidak dapat menciptakan fairness dalam throughput tetapi dapat menekan

packet loss yang terjadi di dalam jaringan.

  

Kata kunci: aggregate flow control, differentiated service, fairness, network simulator, quality of

service , AF PHB.

  

Abstract

Differentiated Services (Diffserv) provides a simple way for addressing Quality of Service (QoS)

in the network Internet Protocol (IP) with the packet classification mechanism and treatment

differentiation as well as network resources allocation for certain traffics. A problem frequently

occurs in Diffserv is unfairness and congestion. To overcome these problems, a mechanism is

required to regulate the flow of data packets, one of which is Aggregate Flow Control (AFC). The

use of AFC in the system does not only control congestion but also improve the fairness in

throughput. This study therefore evaluates the performance of Diffserv with and without AFC,

namely throughput and packet loss, using the Network Simulator 2 (NS-2). Simulation scenario

used in this study were simulations of varied microflows amount, packet size, RTT, and AF class.

Simulation result showed that Diffserv with AFC could increase fairness in throughput and

decrease packet loss in network. In the case of AF class variation, Diffserv with AFC could not

increase fairness in throughput but decrease the packet loss that happened in the network.

  

Keywords: aggregate flow control, differentiated service, fairness, network simulator, quality of

service, AF PHB.

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  Tanggal Terima Naskah : 05 Agustus 2015 Tanggal Persetujuan Naskah : 21 September 2015

  1. PENDAHULUAN

  Perkembangan laju informasi menyebabkan meningkatnya kebutuhan penggunaan Internet. Salah satu arsitektur yang digunakan untuk mencapai Quality of

  

Service (QoS) dalam teknologi Internet adalah Differentiated Services (Diffserv), yang

  merupakan skema implementasi QoS untuk Internet Protocol (IP) yang menyediakan diferensiasi layanan dengan membagi trafik menjadi beberapa kelas.

  Salah satu kendala dari Diffserv adalah sering terjadi unfairness dan kongesti di antara aggregates pada kelas trafik yang sama. Unfairness adalah penggunaan bandwidth yang tidak merata disebabkan karena perbedaan resources, sedangkan kongesti adalah kemacetan dalam pengiriman data. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan suatu mekanisme yang dapat mengatur aliran paket data dan salah satunya adalah Aggregate

  

Flow Control (AFC) yang merupakan mekanisme kendali kongesti yang berada pada

  lapisan Transmission Control Protocol (TCP) [1]. Penggunaan AFC pada sistem tidak hanya mengendalikan kongesti, tetapi juga meningkatkan fairness dalam throughput. Penelitian ini membandingkan kinerja Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC dengan melihat indikator kinerja, yaitu throughput dan packet loss pada

  sistem [2].

  2. KONSEP DASAR

  2.1 Quality of Service Quality of Services (QoS) merupakan standar nilai dari kualitas suatu layanan.

  Sebagai tolok ukur nilai performansi dikenal adanya parameter QoS yang meliputi: a.

  Throughput, adalah kecepatan transfer data efektif.

  b.

  Packet Loss, adalah ukuran banyak paket yang hilang akibat adanya buffer overflow pada saat terjadi kongesti.

  c.

  Waktu tempuh satu paket adalah waktu yang dibutuhkan untuk mentransmisikan data dari sumber ke tujuan.

  2.2 Antrian

  Suatu trafik terkadang tidak dilayani secara langsung, tetapi sebagian trafik harus menunggu dalam suatu buffer. Antrian dapat dibedakan menjadi antrian tanpa priotitas dan antrian dengan prioritas. Antrian tanpa prioritas disebut juga dengan First In First

  

Out (FIFO). Pada FIFO, paket- paket yang datang ke dalam suatu buffer akan disimpan

  sesuai urutan kedatangannya. Paket yang berada pada urutan paling awal pada buffer akan dilayani terlebih dahulu. Selain FIFO, antrian Round Robin juga termasuk antrian tanpa prioritas. Round Robin adalah jenis antrian di mana proses forward paket dilakukan secara siklis untuk setiap alamat fisik [3].

  Antrian dengan prioritas melakukan pelayanan terhadap trafik dengan pertimbangan tertentu sesuai persyaratan QoS, misalnya trafik Assured Forwarding (AF) yang memiliki empat kelas trafik. Contoh antrian dengan prioritas adalah Priority Queueing, Weighted Round Robin.

   Priority Queueing adalah jenis antrian yang melayani paket sesuai kelas

  layanannya, paket yang memiliki tingkat prioritas lebih tinggi akan dilayani terlebih dahulu. Pada Weighted Round Robin pelayanan paket tidak dilakukan satu per satu untuk tiap antrian fisik; Weighted Round Robin bisa mengatur jumlah paket yang dilayani oleh

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  masing-masing alamat fisik untuk setiap siklus. Antrian trafik yang terlalu panjang akan dapat menyebabkan kongesti. Untuk menangani kongesti, maka diperlukan manajemen kongesti.

  2.3 Manajemen Kongesti

  Kongesti dapat terjadi ketika jumlah permintaan layanan pada suatu server melebihi kapasitas server. Jaringan yang heterogen memiliki kemungkinan adanya kongesti yang besar akibat adanya ketidaksesuaian resource pada tiap node yang membentuknya, fenomena keterbatasan ini disebut dengan bottleneck. Terdapat dua cara untuk menangani kongesti, yaitu open loop congestion control dan closed loop .

  congestion control

  Pada open loop congestion control, penanganan kongesti dilakukan tanpa adanya umpan balik dari penerima, tetapi dilakukan dengan mengalokasikan resource sesuai dengan prioritas pada tiap kelas layanan, contohnya dropping policy Random Early

  

Detection (RED). Pada closed loop congestion control, penanganan kongesti dilakukan

  dengan memberikan feedback atau informasi kepada pihak atau tempat dimana bisa diambil tindakan [4].

  2.4 Transmission Control Protocol TCP bertanggung jawab terhadap reliable, flow control, dan error correction.

  Tugas TCP di sisi pengirim adalah melakukan segmentasi data yang berasal dari layer di atasnya, sedangkan di sisi penerima tugas TCP adalah melakukan reassembly paket-paket menjadi data dari layer di bawahnya. TCP harus dapat me-recover data yang rusak, hilang, terduplikasi, atau sampai di tujuan dengan urutan yang salah. Oleh karena itu, digunakan penomoran pada setiap paket yang dikirimkan dan membutuhkan

  

acknowledgement (ACK) dari TCP penerima atau dengan kata lain, penerima

mengirimkan pesan ACK ke pihak pengirim.

  2.5 Model Layanan QoS

2.5.1 Model Differentiated Services

  Model layanan DiffServ adalah skema implementasi QoS untuk IP yang menyediakan diferensiasi layanan, dengan membagi trafik menjadi beberapa kelas, dan memperlakukan setiap kelas secara berbeda [5]. Identifikasi kelas dilakukan dengan memasang semacam kode Diffserv, disebut Diffserv code point (DSCP), ke dalam paket

  IP. Berikut adalah bentuk arsitektur Diffserv.

  Secara garis besar, jaringan DiffServ dibagi atas: a. Titik akhir, pada umumnya disebut dengan Customer Edge (CE).

  b.

  Router yang berhubungan langsung dengan CE, yaitu Boundary Nodes (BN) yang disusun oleh edge router.

  c.

  Jaringan backbone yang disebut Inner Nodes (IN) yang disusun oleh core router.

  • – Mar 2016

  Pada shaper terdapat buffer yang berfungsi sebagai ruang tunggu, dimana dapat dilakukan pembuangan paket jika penuh.

  Pada Control TCP Connections dimasukkan control flow ke dalam jaringan untuk mendeteksi kongesti di sepanjang jalur aggregate data (baik control flow dan paket data harus mengikuti jalur yang sama antara edges router).

  b.

  Control TCP Connections terkait dengan setiap aggregate pelanggan dan terletak diantara dua edge router.

  a.

  

Diffserv traffic conditioning yang mengatur trafik aggregate pelanggan ke dalam core

network untuk mengatasi kongesti di jaringan [6]. AFC bekerja dengan cara berikut:

  AFC adalah mekanisme kontrol edge-to-edge yang dikombinasikan dengan

  e. Dropper berfungsi untuk melakukan pembuangan paket pada saat terjadi kongesti. Hal ini dilakukan sesuai aturan RED.

  Shaper berfungsi untuk memberikan delay pada trafik sesuai dengan profile trafik.

  Vol. 05 No. 17, Jan

  d.

  Meter berfungsi untuk mengukur aliran trafik yang kemudian digunakan untuk menentukan trafik mana yang akan mendapat prioritas pelayanan lebih tinggi dan probabilitas drop yang lebih rendah.

  c.

  Marker berfungsi untuk melakukan pemberian kondisi DSCP bit.

  b.

  Gambar 2. Proses klasifikasi pada DiffServ Keterangan blok diagram: a. Classifier berfungsi untuk memilah paket berdasarkan header paket sehingga didapat informasi mengenai kelas trafik.

  Gambar 1. Arsitekur Diffserv Proses klasifikasi trafik terjadi pada BN sedangkan pada IN hanya meneruskan paket, sehingga pada DiffServ, kompleksitas layanan berada pada edge router.

2.5.2 Model Differentiated Services dengan Aggregate Flow Control (AFC)

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  Gambar 3. Skema mekanisme kontrol edge-to-edge

  Control flow adalah paket kontrol yang diberi flow identifier untuk tiap

aggregate . Dalam Diffserv dengan AFC digunakan lebih dari satu control flow sehingga

  untuk tiap control flow pada masing-masing aggregate akan berbeda.

  flow identifier

  Mekanisme AFC merupakan mekanisme yang menggunakan Diffserv trafic conditioning, yaitu parameter RED dan konfigurasi AFC secara bersama di edge router yang berhubungan dengan sumber trafik, sedangkan di edge router yang berhubungan dengan tujuan trafik hanya menggunakan parameter RED [7]. Di core router pada Diffserv dengan AFC tidak terdapat perubahan atau penambahan mekanisme.

  Gambar 4. Diffserv dengan AFC Berikut adalah bentuk skema AFC.

  Gambar 5. Skema AFC Proses klasifikasi trafik aggregate terjadi di edge router. Paket data masuk diterima oleh Classifier (CI), kemudian diklasifikasikan dan diantrikan sesuai dengan klasifikasinya, kemudian paket data akan diteruskan ke Flow Control Unit (FCU). Pada FCU digunakan Additive Increase Multiplicative Decrease (AIMD) untuk mengatur trafik data. Setiap terjadi kongesti, congestion window akan dikurangi setengahnya (Multiplicative Decrease). Ketika tidak terjadi kongesti, congestion window akan diperbesar secara bertahap (Additive Increase). FCU akan meneruskan paket data ketika

  

credit tersedia di bucket. Kapasitas bucket akan diserap sesuai dengan ukuran paket yang

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  dikirim oleh FCU. AFC menggunakan virtual maximum segment size (vmss) untuk alur

  

flow control TCP, vmss tersebut adalah jumlah data user (bytes) yang diperbolehkan

  untuk setiap credit. Untuk setiap nilai data vmss user (bytes) yang dikirim, control flow dihasilkan dan dikirim ke TCP stack. Semua paket data dan control flow akan diteruskan ke Diffserv block untuk policing, marking, dan metering. Output handler (OH) memantau semua paket keluar. Ketika OH mendeteksi control flow, OH akan menambah credit ke

  

bucket sesuai vmss (bytes) untuk kemudian digunakan lagi pada paket data berikutnya.

  Pada Gambar 5 terlihat hanya satu TCP credit bucket, tetapi pada kenyataan setiap

  

aggregate mempuyai TCP credit bucket-nya sendiri. Kehilangan control flow akan

  menyebabkan congestion windows akan berkurang sehingga akan menyebabkan berkurangnya tingkat transmisi aggregate. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam AFC digunakan lebih dari satu control flow untuk setiap aggregate. Besarnya credit diinisialisasikan sebagai n+1 vmss, dimana n adalah jumlah control flow yang digunakan.

  Trafik aggregate yang menyebabkan kongesti di core router akan mengalami

  

blocking di edge router berdasarkan atas dropping control flow yang terjadi di core

router . Apabila terjadi dropping dari control flow di core router, maka core router akan

  memberikan informasi berupa ACK (paket data dan control flow) tentang adanya kongesti ke edge router. Informasi tersebut akan diterima oleh OH dan kemudian OH akan mem-blocking paket data dan control flow, serta menghentikan penambahan credit ke bucket, sehingga FCU tidak dapat meneruskan paket data jika credit tidak tersedia di

  bucket . Hal ini menyebabkan packet loss yang terjadi lebih sedikit.

  2.6 DSCP Bit Pada DiffServ dilakukan penggantian TOS bit dengan DSCP bit.

  Gambar 6. Konfigurasi DSCP bit Kondisi DSCP bit, memberikan informasi mengenai prioritas trafik yang dibentuk oleh bit yang ditempatkan pada bit ke-0 hingga bit ke-2, sedangkan informasi mengenai kondisi drop ditempatkan pada bit ke-3 hingga bit ke-5. Bit ke-6 dan ke-7 belum digunakan (unused) hingga saat ini.

  2.7 Per Hop Behaviour (PHB)

  Pengklasifikasian paket yang datang menyebabkan adanya perbedaan Behaviour

  

Aggregat , di mana untuk setiap agregat diset sebuah nilai DSCP [7]. Penjadwalan

  dilakukan berdasarkan nilai yang terdapat pada DSCP yang disebut sebagai per hop behaviour (PHB).

  Sistem PHB yang sudah distandarisasi, diantaranya: a. Assured Forwarding (AF)

  AF mendefinisikan empat kelas forwarding yang bersifat independent ketika melakukan pengiriman paket, yaitu AF1, AF2, AF3, AF4.

  Tabel 1. Konfigurasi bit AF

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  b.

  Expedited Forwarding (EF) EF memiliki karakteristik delay, jitter, dan loss probability yang rendah; serta adanya jaminan bandwidth sehingga EF sesuai untuk aplikasi real time, seperti video

  conference .

  c.

  Best Effort (BE) Kelas layanan ini memperlakukan trafik seperti apa adanya pada DiffServ. Ketika berada di buffer, semua trafik diperlakukan sama tanpa ada jaminan QoS apapun.

  2.8 Policer Time Slide Window Three Color Marking Policer Time Slide Window Three Color Marking (TSW3CM) merupakan

  yang berfungsi untuk memberi color marking (green marking, yellow marking,

  policer

  atau red marking) pada setiap paket yang datang, yang menandakan kondisi drop

  

precedence pada trafik dengan AF PHB kemudian memberikan DSCP bit sesuai dengan

kondisi paket yang masuk, memetakannya ke dalam antrian fisik dan virtual-nya.

  TSW3CM bekerja berdasarkan parameter Commited Information Rate (CIR), Peak

  

Information Rate (PIR), dan rata-rata aliran trafik pada saat paket datang. Policer ini

  mengatur beberapa proses, yaitu: a.

  Classifying

Classifying adalah membedakan paket yang masuk berdasarkan tingkat prioritasnya.

  b.

  Measuring Measuring adalah menentukan atau mengukur rata-rata aliran trafik.

  c.

  Marking

  

Marking adalah proses pemberian DSCP bit sesuai tingkat prioritas dan drop

precedence.

  2.9 Random Early Detection Random Early Detection (RED) merupakan bentuk congestion control pada

DiffServ . RED terletak pada dropper dan berfungsi untuk mencegah terjadinya packet

loss secara burst dengan cara men-drop secara acak paket-paket yang datang sebelum

buffer penuh [8]. RED akan bekerja dengan ketentuan sebagai berikut:

  a.

  Jika rata-rata antrian di bawah nilai minimum threshold, maka paket akan diteruskan pada buffer untuk menunggu layanan.

  b.

  Jika minimum threshold<rata-rata antrian buffer<maksimum threshold, maka paket akan mengalami dropping dengan probabilitas sebesar P drop dan probabilitas paket diteruskan pada buffer untuk menunggu layanan sebesar 1-P drop . Nilai probabilitas

  dropping ini dapat diketahui berdasarkan persamaan berikut:

  ............................. (1) Keterangan: Q = Rata-rata panjang antrian pada buffer avg Min th = Batas minimum threshold buffer RED Max th = Batas maksimum threshold buffer RED P = Probabilitas drop maksimum suatu paket untuk kondisi Min <Q <Max max th avg th c. Jika rata-rata antrian mendekati threshold, maka probabilitas paket mengalami drop akan semakin besar.

  d.

  Jika rata-rata antrian>maksimum threshold, maka paket akan langsung di drop.

  Pada RED, rata-rata panjang antrian pada buffer (Q avg ) diukur dengan menggunakan Low Pass Filter. Low Pass Filter yang digunakan bersifat Exponential

  

Weighted Moving Average (EWMA). Untuk setiap paket yang datang, nilai Q avg

  ditentukan dengan persamaan berikut:

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  ............................................ (2)

  Q (

avg q avg q

1 W ) Q qW

  Keterangan: Q avg = Rata-rata panjang antrian pada buffer dan bernilai awal 0 W q = Konstanta waktu pada LPF. q = Panjang antrian pada saat pengukuran.

  Pengukuran rata-rata panjang antrian buffer dilakukan setiap kedatangan paket, sehingga nilai Q pada saat pengukuran dipengaruhi oleh nilai Q pada pengukuran avg avg sebelumnya.

3. PERANCANGAN SIMULASI

  Simulasi model layanan Diffserv dengan dan tanpa AFC dilakukan dengan menggunakan software Network Simulator 2 versi 2.26 yang beroperasi pada sistem operasi Windows XP [9]. Setiap simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC akan menggunakan konfigurasi RED di edge router seperti pada Tabel 2.

  Tabel 2. Konfigurasi RED dan kapasitas buffer di edge router Parameter konfigurasi di core router untuk Diffserv dengan AFC dan Diffserv tanpa AFC dapat dilihat pada Tabel 3 sesuai dengan thesis Aggregate Flow Control:

  Improving Assurances for Differentiated Services Network [1,5].

  Tabel 3. Konfigurasi RED dan kapasitas buffer di core router

3.1 Differentiated Services tanpa Aggregate Flow Control (AFC)

  Simulasi untuk model layanan Diffserv tanpa AFC dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a.

  Topologi yang akan disimulasikan ada dua, yaitu topologi jaringan single bottleneck dan topologi jaringan multiple bottleneck, seperti yang terlihat pada Gambar 7 dan 8.

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  Gambar 7. Topologi jaringan single bottleneck Keterangan untuk Gambar 7:

  Node = source node 1 Node

  1 = source node 2

  Node 2, 3, 4 = edge router Node

  5 = core router

  Node

  6 = node tujuan source node 1

  Node

  7 = node tujuan source node 2 Gambar 8. Topologi jaringan multiple bottleneck

  Keterangan untuk Gambar 8: Node = source node 1 Node

  1 = source node 2

  Node

  2 = source node 3

  Node

  3 = source node 4

  Node 4, 5, 6, 7, 8 = edge router Node 9, 10, 11 = core router Node

  12 = node tujuan dari semua node source b. Simulasi ini menggunakan protokol transport TCP.

  c.

  Besarnya kapasitas link antara masing-masing sumber trafik dengan edge router adalah 5 Mbps.

  d.

  Kapasitas link antara edge router dengan core router adalah sebesar 5 Mbps.

  e.

  Kapasitas link antara core router dengan edge router adalah 5 Mbps.

  f.

  Besarnya kapasitas link antara edge router dengan masing-masing tujuan trafik adalah 5 Mbps.

3.2 Differentiated Service dengan Aggregate Flow Control (AFC)

  Simulasi untuk model layanan Diffserv dengan AFC dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a.

  Topologi yang akan disimulasikan ada dua, yaitu topologi jaringan single bottleneck dan topologi jaringan multiple bottleneck, seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan 10.

  Gambar 9. Topologi jaringan single bottleneck

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  Keterangan untuk Gambar 9:

  Node = source node 1 Node

  1 = source node 2

  Node 2, 3 = node AFC Node 4, 5, 6 = edge router Node

  7 = core router

  Node

  8 = node tujuan source node 1

  Node

  9 = node tujuan source node 2 Gambar 10. Topologi jaringan multiple bottleneck

  Keterangan untuk Gambar 10:

  Node = source node 1 Node

  1 = source node 2

  Node

  2 = source node 3

  Node

  3 = source node 4

  Node 4, 5, 6, 7 = node AFC Node 8, 9, 10, 11, 12 = edge router Node 13, 14, 15 = core router Node

  16 = Node tujuan dari semua source node b. Simulasi ini menggunakan protokol transport TCP.

  c.

  Besarnya kapasitas link antara masing-masing sumber trafik dengan edge router adalah 5 Mbps.

  d.

  Kapasitas link antara edge router dengan core router adalah sebesar 5 Mbps.

  e.

  Kapasitas link antara core router dengan edge router adalah 5 Mbps.

  f.

  Besarnya kapasitas link antara edge router dengan masing-masing tujuan trafik adalah 5 Mbps.

  g.

  Kapasitas link antara node AFC dengan edge router adalah 500 Mbps.

  h.

  Waktu propagasi anatara node AFC dengan edge router adalah 0,1 ms.

3.3 SKENARIO SIMULASI

  Simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC terdiri atas empat skenario, yaitu: a.

  Skenario simulasi variasi jumlah microflows Tujuan dari skenario simulasi variasi jumlah microflows adalah untuk mengetahui kinerja Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC jika setiap aggregate memiliki jumlah microflows yang berbeda pada kelas trafik yang sama dengan melihat indikator kinerja, yaitu throughput dan packet loss.

  Tabel 4. Parameter yang digunakan untuk simulasi variasi microflows

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  b.

  Skenario simulasi variasi ukuran paket Tujuan dari skenario simulasi variasi ukuran paket adalah untuk mengetahui kinerja

  Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC jika setiap aggregate memiliki ukuran

  paket yang berbeda pada kelas trafik yang sama dengan melihat indikator kinerja, yaitu throughput dan packet loss.

  Tabel 5. Parameter yang digunakan untuk simulasi variasi ukuran paket

  c. Skenario simulasi variasi besarnya Round Trip Time (RTT) Tujuan dari skenario simulasi variasi besarnya RTT adalah untuk mengetahui kinerja

  Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC jika setiap aggregate memiliki nilai

  RTT yang berbeda pada kelas trafik yang sama dengan melihat indikator kinerja, yaitu throughput dan packet loss.

  Tabel 6. Parameter yang digunakan untuk simulasi variasi RTT d.

  Skenario simulasi variasi kelas AF Tujuan dari skenario simulasi variasi kelas AF adalah untuk mengetahui kinerja

  Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC jika setiap aggregate memiliki kelas

  trafik AF yang berbeda dengan melihat indikator kinerja, yaitu throughput dan packet loss .

  Tabel 7. Parameter yang digunakan untuk simulasi variasi kelas AF

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

4. HASIL SIMULASI

4.1 Throughput

  4.1.1 Throughput untuk Simulasi Variasi Jumlah Microflows T hroughput untuk Diffserv tanpa dan dengan AFC untuk simulasi variasi jumlah microflows dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

  Gambar 11. Diffserv tanpa AFC Gambar 12. Diffserv dengan AFC

  Hasil simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC yang dilakukan pada kelas AF yang sama, yaitu AF1 menunjukkan bahwa pada Diffserv tanpa AFC, faktor jumlah microflows memengaruhi throughput yang diperoleh setiap

  

aggregate , dimana aggregate yang mempunyai jumlah microflows yang besar maka

throughput yang diperoleh juga besar. Pada Diffserv dengan AFC, faktor jumlah

microflows tidak mempengaruhi throughput yang diperoleh setiap aggregate, dimana

  setiap aggregate memperoleh throughput yang hampir sama besarnya walaupun jumlah

  

microflows yang dimiliki setiap aggregate berbeda jumlahnya. Fairness dalam

throughput ini terjadi karena tiap aggregate menggunakan jumlah control flow yang sama

  tanpa memperhatikan jumlah microflows pada tiap aggregate.

  4.1.2 Throughput untuk Simulasi Variasi Ukuran Paket Throughput untuk Diffserv tanpa dan dengan AFC untuk simulasi variasi ukuran paket dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

  Gambar 13. Diffserv tanpa AFC

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  Gambar 14. Diffserv dengan AFC Hasil simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC yang dilakukan pada kelas AF yang sama, yaitu AF2 menunjukkan bahwa pada Diffserv tanpa

  AFC, faktor ukuran paket memengaruhi throughput yang diperoleh setiap aggregate, dimana aggregate yang mempunyai ukuran paket yang besar maka throughput yang diperoleh juga besar. Pada Diffserv dengan AFC, faktor ukuran paket tidak mempengaruhi throughput yang diperoleh setiap aggregate, dimana setiap aggregate memperoleh throughput yang hampir sama besarnya walaupun ukuran paket yang dimiliki setiap aggregate berbeda besarnya. Fairness dalam throughput ini terjadi karena skema AFC secara efektif memberlakukan congestion window ke setiap aggregate yang tidak bergantung kepada ukuran paket.

4.1.3 Throughput untuk Simulasi Variasi Round Trip Time (RTT)

  untuk Diffserv tanpa dan dengan AFC untuk simulasi variasi RTT

  T hroughput dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.

  Gambar 15. Diffserv tanpa AFC Gambar 16. Diffserv dengan AFC

  Hasil simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC yang dilakukan pada kelas AF yang sama, yaitu AF3 menunjukkan bahwa pada Diffserv tanpa AFC, faktor nilai RTT mempengaruhi throughput yang diperoleh setiap aggregate, dimana aggregate yang mempunyai nilai RTT yang kecil maka throughput yang diperoleh besar. Pada Diffserv dengan AFC, faktor nilai RTT tidak memengaruhi

  

throughput yang diperoleh setiap aggregate, dimana setiap aggregate memperoleh

throughput yang hampir sama besarnya walaupun nilai RTT yang dimiliki setiap

aggregate berbeda besarnya. Trafik aggregate yang mempunyai nilai RTT paling kecil

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  akan mempunyai kesempatan besar untuk membuat kongesti, tetapi masalah ini dapat diatasi oleh skema AFC dengan mem-blocking trafik aggregate tersebut di egde router, sehingga hasil throughput untuk tiap aggregate dapat mencapai fair sharing.

4.1.4 Throughput untuk Simulasi Variasi Kelas AF

  hroughput untuk Diffserv tanpa dan dengan AFC untuk simulasi variasi kelas T AF dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

  Gambar 17. Diffserv tanpa AFC

Gambar 1.8 Diffserv dengan AFC

  Hasil simulasi untuk Diffserv tanpa AFC dan Diffserv dengan AFC yang dilakukan pada kelas AF yang bervariasi menunjukkan bahwa pada Diffserv tanpa AFC,

  

aggregate yang mempunyai kelas trafik dengan prioritas tinggi akan memperoleh

throughput yang lebih besar. Pada Diffserv dengan AFC, throughput yang didapat setiap

aggregate tidak mencapai fairness karena perbedaan kelas trafik. Di sini terlihat bahwa

  skema AFC tidak dapat menciptakan fairness dalam throughput untuk tiap aggregate yang mempunyai kelas trafik yang berbeda-beda.

4.2 Packet Loss

4.2.1 Packet Loss untuk Simulasi Variasi Jumlah Microflows

  asil packet loss untuk simulasi variasi jumlah microflows dapat dilihat pada

  H

  Tabel 8. Total packet loss pada Diffserv dengan AFC untuk semua aggregate di core

  

router mengalami penurunan sekitar ±57,6% (974 paket) dari Diffserv tanpa AFC,

  sedangkan total packet loss di jaringan mengalami penurunan sekitar ±61,4 % (1.139 paket) dari Diffserv tanpa AFC. Diffserv dengan AFC mem-blocking trafik aggregate yang menyebabkan kongesti di core router sehingga kongesti tidak terjadi dan packet loss yang terjadi juga sedikit.

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  Tabel 8. Packet loss untuk simulasi variasi jumlah microflows

  4.2.2 Packet Loss untuk simulasi variasi ukuran paket H asil packet loss untuk simulasi variasi ukuran paket dapat dilihat pada Tabel 9.

  Tabel 9. Packet loss untuk simulasi variasi ukuran paket Total packet loss pada Diffserv dengan AFC untuk semua aggregate di core

  

router mengalami penurunan sekitar ±33,8% (709 paket) dari Diffserv tanpa AFC,

  sedangkan total packet loss di jaringan mengalami penurunan sekitar ±36,4 % (727 paket) dari Diffserv tanpa AFC. Sama seperti simulasi variasi jumlah microflows, Diffserv dengan AFC mem-blocking trafik aggregate yang menyebabkan kongesti di core router sehingga kongesti tidak terjadi dan packet loss yang terjadi juga sedikit.

4.2.3 Packet Loss untuk Simulasi variasi Round Trip Time (RTT)

  Hasil packet loss yang terjadi untuk simulasi variasi RTT dapat dilihat pada Tabel

  10. Pada Diffserv dengan AFC, total packet loss yang terjadi untuk semua aggregate mengalami penurunan sekitar ±54,5% (6 paket) untuk core router 1, ±89,2% (182 paket) untuk core router 2, ±53,6% (708 paket) untuk core router 3 dan ±58,6% (938 paket) untuk jaringan. Hal ini terjadi karena trafik aggregate yang menyebabkan kongesti akan mengalami blocking pada edge router.

  Vol. 05 No. 17, Jan

  • – Mar 2016

  Tabel 10. Packet loss untuk simulasi variasi RTT

  4.2.4 Packet Loss untuk Simulasi Variasi Kelas AF Hasil packet loss untuk simulasi variasi kelas AF dapat dilihat pada Tabel 11.

  Tabel 11. Packet loss untuk simulasi variasi kelas AF Pada Diffserv dengan AFC, packet loss yang terjadi lebih sedikit walaupun tidak dapat menciptakan fairness dalam throughput. Pada Diffserv dengan AFC, total packet

  

loss yang terjadi mengalami penurunan ±32,9% untuk core router 3 dan jaringan. Hal ini

  Evaluasi Kinerja Aggregate Flow Control

  

  membuktikan bahwa skema AFC masih dapat mengendalikan kongesti di simulasi kelas AF yang berbeda walaupun dalam throughput tidak tercapai fair sharing.

  5. KESIMPULAN

  Dari hasil simulasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada kelas trafik yang sama, Diffserv dengan AFC dapat menciptakan fairness dalam throughput bagi tiap aggregate daripada Diffserv tanpa AFC.

  2. Pada kelas trafik yang berbeda, Diffserv dengan AFC tidak dapat menciptakan fairness dalam throughput bagi tiap aggregate daripada Diffserv tanpa AFC.

  3. Diffserv dengan AFC dapat meminimalisasikan packet loss yang terjadi di jaringan daripada Diffserv tanpa AFC.

  REFERENSI [1].

  Alonso, S.H., et all. 2003. Improving Aggregate Flow Control in Differentiated Services Networks. Spanyol: ETSE Telecomunication, University of Vigo. [2]. Blake, S.,et.al. 1998. RFC 2475: An Architecture for Differentiated Services, (Onliniakses 18 Oktober 2007). [3]. Floyd, S. and Jacobson, V. 1993. Random Early Detection for Congestion

  Avoidance, (Online), diakses 24 Oktober 2007).

  [4]. Heinanen J., et.al. 1999. RFC 2597: Assured Forwarding PHB Group, (Online), diakses 19 Oktober 2007). [5]. Nandy, B., et all. 2003. Aggregate Flow Control: Improving Assurances for Differntiated Services . Canada: Nortel Networks. [6]. Nichols, K., et.al. 1999. RFC 2859: A Time Slide Window Three Colour

  Marker(TSWTCM), (Online), diakses 26 Oktober 2007).

  [7]. Pieda, P., et.al. 2000. A Network Simulator Differentiated Service Implementation, (Online), (http://www.sop.inria.fr/mistral/personnel/Eitan.Altman/COURS- NS/DOC/DSnortel.pdf, diakses 2 November 2007)

  [8]. Veiga, M.F., et all. 2003. Stabilized Edge-to-Edge Aggregate Flow Control, Spanyol: ETSE Telecomunication, University of Vigo. [9]. Wirawan, A. dan Indarto, Eka. 2004. Mudah Membangun Simulasi dengan

  Network Simulator-2 . Yogyakarta: Penerbit Andi

Dokumen yang terkait

PERANGKAT AJAR BIOLOGI MENGENAI GEJALA ALAM BIOTIK DAN ABIOTIK UNTUK SMP KELAS 7 BERBASIS WEB WEB BASED BIOLOGY INSTRUCTIONAL SOFTWARE ON BIOTIC AND ABIOTIC NATURAL SYMPTOMS FOR GRADE 7

0 0 11

STRATEGI PENCIPTAAN NILAI PELANGGAN BERDASARKAN DATA INTERNAL PERUSAHAAN CUSTOMER VALUE CREATION STRATEGY BASED ON COMPANY INTERNAL DATA

0 0 12

ANALISIS OPTIMALITAS METODE HAND TO MOUTH BUYING DAN N-FORWARD BUYING DENGAN METODE MIXED INTEGER PROGRAMMING AN OPTIMALITY ANALYSIS OF HAND TO MOUTH AND N - FORWARD BUYING WITH MIXED INTEGER PROGRAMMING METHOD

0 0 7

IMPLEMENTASI HECTOR SLAM PADA ROBOT PENCARI KORBAN GEMPA THE IMPLEMENTATION OF HECTOR SLAM ON THE EARTHQUAKE VICTIMS FINDER ROBOT

0 1 9

RANCANG BANGUN PEMBANGKIT SINGLE SIDEBAND SUPPRESSED CARRIER (SSBSC) MENGGUNAKAN PHASE SHIFT BERBASIS OP AMP THE DESIGN OF SSB SUPPRESSED CARRIER GENERATOR USING OP AMP BASED PHASE SHIFT (SSBSC)

0 0 7

PERANCANGAN SISTEM MAXIMUM POWER POINT TRACKING CONVERTER BERBASIS MIKROKONTROLER ATMEGA 328 DESIGN OF MAXIMUM POWER POINT TRACKING CONVERTER SYSTEM BASED ON MICROCONTROLLER ATMEGA 328

0 0 13

ANALISIS PENYEBAB KECACATAN PADA SAAT PROSES ASSEMBLY PEMASANGAN KOMPONEN MESIN MOTOR BERJENIS K15 DENGAN METODE FMEA PADA PT XYZ CAUSES OF DEFECT ANALYSIS IN THE ASSEMBLY PROCESS OF K15 TYPE MOTOR MACHINE COMPONENTS INSTALLATION USING FMEA METHOD IN PT X

0 0 8

MINIMIZING BOTTLENECKS AND INCREASING PROFITS IN TYPES D520N AND P165 WHEEL PRODUCTION BY APPLYING THEORY OF CONSTRAINT METHOD AT PT YYY

0 0 11

STUDI ANALISIS KOMPETISI PRODUK TEH HIJAU DALAM KEMASAN (STUDI KASUS: JOY TEA) AN ANALYSIS OF BOTTLED GREEN TEA PRODUCT COMPETITION (A CASE STUDY OF JOY TEA)

0 0 8

ANALISIS VARIASI PARAMETER LEARNING VECTOR QUANTIZATION ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TERHADAP PENGENALAN POLA DATA ODOR PARAMETER VARIATION ANALYSIS OF LEARNING VECTOR QUANTIZATION ARTIFICIAL NEURAL NETWORK FOR ODOR DATA PATTERN RECOGNITION

0 0 12