Industri Radio Siaran Swasta

Industri Radio Siaran Swasta
Di Ambang Babak Ketiga
2002
Dinamika politik selalu mampu menyuguhkan perubahan. Peta politik Indonesia yang
bergeser drastis tiga tahun lalu, telah pula mengubah konstelasi industri radio siaran
swasta. Perubahan itu selanjutnya menggiring industri radio siaran swasta memasuki
ambang babak ketiga di dalam kehidupannya. Babak pertama –jika bisa dikatakan
begitu– adalah ketika radio amatir muncul sebagai cikal bakal radio-radio siaran
swasta pada pertengahan tahun 1960-an. Pembenahan yang kemudian dilakukan
pemerintah sekitar awal tahun 1970-an, mendorong radio siaran swasta memasuki
babak kedua. Ditandai dengan keluarnya ketentuan yang mengharuskan radio siaran
swasta dikelola lembaga berbadan hukum. Di babak kedua inilah, kendati terjadi
pasang surut, radio siaran swasta menjelma sebagai mesin bisnis. Pernah mencapai
kejayaan ketika banyak dimanfaatkan sebagai medium iklan. Lalu surut lagi tatkala
sebagian besar iklan mulai tersedot stasiun televisi swasta yang muncul di awal
tahun 1990-an.
Apakah saat ini industri siaran radio swasta nasional sudah bisa dikatakan berada di
ambang babak ketiga? Memperhatikan fenomena yang berkembang akhir-akhir ini,
dengan dampaknya di masa mendatang, maka mungkin ada benarnya, industri
siaran radio tengah berada di ambang babak ketiga perjalanannya. Indikasi pertama,
terjadi pergeseran fungsi radio siaran swasta dari sekadar media hiburan, menjadi

media informasi. Banyak stasiun radio mengubah format menjadi radio news.
Diperkirakan untuk mempertinggi mutu produk siaran, beberapa diantaranya
kemudian menjalin kerjasama pemberitaan dengan radio-radio luar negeri sekaliber
BBC, VOA ataupun Hivelsurf Netherland. Indikasi kedua, adanya upaya
mempertegas eksistensi radio siaran swasta melalui Rancangan Undang Undang
Penyiaran baru, pengganti Undang Undang No.24 Tahun 1997. Pemberlakukan
Undang Undang Penyiaran baru kelak, semakin mendorong terjadinya peningkatan
profesionalitas pengelolaan radio siaran swasta.
Ada tanggapan serius para pengelola radio siaran swasta untuk menjawab tantangan
perkembangan manajemen bisnis dan teknologi. Dengan tanggapan yang tepat
disertai kemampuan mengadaptasinya, akan menguatkan posisi radio siaran swasta
dalam bisnis penyiaran. Apabila indikasi-indikasi tersebut berkembang dan mampu
diwujudkan sepenuhnya, maka hal itu berarti industri radio siaran swasta nasional
telah berada di babak ketiga dalam kehidupannya. Barangkali di babak itu posisi
industri radio siaran lebih kuat dan lebih profesional dalam arung pecaturan bisnis
media penyiaran nasional. Lalu apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini? Tiga
tulisan berikut akan mencoba memotret kondisi yang tumbuh di dalam tiga tahun
terakhir. Masa tiga tahun menjadi ukuran, sama seperti kita mencoba memahami
perubahan situasi setelah gerakan reformasi berlangsung.
Peluang Menumbuhkan Bisnis Radio

Bagi beberapa stasiun radio, krisis ekonomi membawa hikmah tersendiri. Tanpa
berpromosi, iklan yang dicari datang sendiri. Hal itu karena ulah pengiklan yang
bersikap taktis dalam belanja media, ketika dihadapkan pada tipisnya anggaran. Hani
Soemadipradja, Direktur Masima Radio Network melihat fenomena itu. “Pengiklan
memahami, mengenali dan juga merasakan efektivitas radio, kemudian banyak yang
lari ke radio,” katanya. Menurut perkiraannya, kue iklan radio telah kembali mendekati
jumlah belanja iklan radio di tahun 1997. “Jadi sudah kembali ke kondisi sebelum
krisis,” tambahnya.
Adanya indikasi kue iklan di radio mulai mengembang kembali, dibenarkan Agus
Sudrajat, Managing Director Mediacom Indonesia. “Saya kira memang ada kenaikan
dari perolehan iklan tahun lalu, sekitar 20 sampai 30 persen,” katanya. Agus
mengamati, banyak produk baru muncul tahun ini, terutama di kategori produk yang
biasa beriklan di radio seperti consumer good. “Ada beberapa produk baru yang

cukup gencar beriklan di radio, antara lain Nasiku,” katanya. Ini juga yang ikut
mendorong kue iklan di radio diperkirakan bakal naik tahun ini. Selain itu, bagaimana
pun radio memiliki pelanggan iklan tetap seperti produk obat-obatan.
Namun karena jumlah radio banyak dan standarnya tidak sama, maka pertumbuhan
belanja iklan di radio tidak bisa dirasakan oleh lebih banyak stasiun radio. Hal itulah
yang juga dilihat Andi Odang, General Manager Radio Smart FM. Menurut

perhitungannya, jumlah belanja iklan radio tahun ini akan mengalami kenaikan.
Sayangnya rezeki kenaikan itu diduga belum bisa terdistribusi merata. “Peningkatan
hanya dirasakan radio-radio tertentu yang posisinya sudah semakin jelas dan kuat,”
katanya. Di samping iklan yang mulai mengalir kembali, boleh dibilang saat ini ada
peluang bagus yang dapat dimanfaatkan industri radio siaran untuk meningkatkan
kinerjanya. Pertama, peluang mengubah format siaran dari radio hiburan menjadi
radio berita. Sejak tiga tahun lalu dengan Undang Undang No. 24 tahun 1997, radio
siaran sudah bisa menyiarkan berita, yang selama puluhan tahun dilarang.
Masalahnya memang, tidak mudah mengubah format dan menjadi radio berita.
Terutama karena harus menyiapkan terlebih dahulu sumber daya manusianya.
Padahal memperoleh jurnalis radio tidaklah mudah. Kesulitan itu lalu disiasati dengan
memanfaatkan pemasok berita. Maka tumbuhlah kemudian bisnis baru di industri
radio siaran, yaitu pemasok berita. Salah satunya adalah Kantor Berita 68H. Pilihan
menjadi radio berita, memang belum dapat dipastikan mampu menopang sukses
bisnis. Akan tetapi iklim kerja sebuah radio berita, cenderung menumbuhkan suasana
kerja profesional. Suasana kerja inilah yang diharapkan kelak dapat mendorong
sebuah radio beroperasi secara lebih profesional. Tidak bisa lagi sebuah radio hidup
dengan sekadar asal siaran.
Di samping itu, saat ini terbuka peluang melakukan kerjasama dengan radio-radio
luar negeri, seperti yang sudah dilakukan oleh banyak stasiun radio. Tawaran

kerjasama itu menurut seorang pengelola radio, cukup banyak. Tentu saja tawaran
itu bisa dipakai untuk menaikkan mutu isi siaran, terutama program berita. Selain itu,
kerjasama ini bisa sekaligus dimanfaatkan untuk melakukan pertukaran pengalaman,
dan pengetahuan bidang manajemen atau programming. Peluang lain yang tetap
terbuka adalah memanfaatkan kerjasama dalam sebuah networking. Pilihannya tidak
terbatas pada urusan pemasaran iklan atau pengelolaan operasional, namun bisa
juga keduanya. Berikutnya tinggal menunggu lahirnya UU penyiaran baru. Kehadiran
UU itu, diharapkan mampu menggerakkan bisnis radio ke arah yang lebih profesional
sebagaimana layaknya sebuah lembaga penyiaran.
Lawless
Namun tampaknya memang tidak mudah untuk bisa merebut peluang-peluang itu
dengan segera. Masalahnya antara lain karena kondisi bisnis radio siaran saat ini
tengah berada dalam masa transisi. Bahkan seperti yang dilihat oleh Wolly Baktiono,
dari Radio SCFM Surabaya, kondisi bisnis radio secara umum masih belum menentu.
Lantaran masih adanya dua kepentingan yang saling tarik ulur. Pertama, keinginan
kalangan radio menjadikan radio sebagai pers merdeka. Kedua, masih ada keinginan
pemerintah, terutama di daerah, untuk menguasai pers. “Kami merasakan kekuatan
itu masih ada,” katanya. Melalui peraturan daerah, pemerintah di daerah masih dapat
melakukan kontrol terhadap pelaksanaan siaran radio. Padahal Wolly percaya, pers
termasuk Padahal Wolly percaya, pers termasuk radio adalah bagian dari

masyarakat. “Dan pers harus bisa mengatur dirinya dan tidak diatur pemerintah,”
paparnya.
Hal senada diungkapkan oleh Eroll Jonathan, pengelola Radio Suara Surabaya.
“Masih ada upaya untuk menghambat kebebasan, kontrol dan pengawasan,” katanya
merujuk ke UU Penyiaran yang dianggap tidak akomodatif. Di samping itu UU
tersebut juga dinilainya tidak memiliki perspektif ke depan, terutama dalam bidang
teknologi.

Sedangkan Cahaya Dwi Rembulan dengan bahasa lain, menyebut situasi sekarang
sebagai kondisi lawless –tanpa aturan, khususnya dalam bidang penyiaran. “Padahal
di bidang penyiaran, kalau kita lihat televisi dan radio terus bertambah,” katanya
sambil menekankan perlunya untuk segera mengundangkan Undang-Undang
Penyiaran baru. “Nggak bisa kita terus begini tanpa aturan pasti,” lanjut Direktur
Utama Radio MS Tri ini.
Tidak adanya peraturan yang jelas, telah membuat izin radio baru menjadi persoalan.
Di awal tahun lalu, sempat timbul kekhawatiran ketika permintaan pendirian radio
baru terus meningkat jumlahnya. Dirjen RTF Departemen Penerangan ketika itu
bahkan kemudian memberi izin kepada 20 stasiun radio baru. Pemberian izin radio
baru tersebut sempat mengundang protes PRSSNI, sebab diberikan tanpa melalui
rekomendasinya. Tapi Dirjen RTF waktu itu merasa telah mengeluarkan keputusan

sesuai Keputusan Menpen baru yang tidak mengatur lagi soal rekomendasi PRSSNI.
Seorang pengurus PRSSNI menolak anggapan protes itu lebih karena alasan
dihapuskannya hak membuat rekomendasi. “Mestinya pemberian izin radio baru
dihentikan dulu sampai keluar undang-undang baru, sebab kalau izin tersebut
dikeluarkan sekarang, dasarnya hukumnya belum ada,” katanya. Pemberian izin
operasional radio baru, menurut mereka jadi keprihatinan karena akan berpengaruh
pada soal pemakaian frekuensi yang jumlahnya terbatas. Belum lagi soal tingkat
kejenuhan stasiun radio di suatu daerah, misalnya, jelas malah membuat siaran radio
menjadi tidak maksimal. Tentang hal ini, Yousrul Raffle, Ketua Pengda PRSSNI
Jawa Barat malah telah menyusun suatu peta siar di wilayahnya. Peta itulah yang
dikenal dengan Area Dominant of Influence (ADI). "Di Jabar sendiri kini ada 29 ADI,"
tuturnya. Melalui ADI inilah, bakal diketahui di daerah siar mana sesungguhnya masih
terbuka ruang untuk mendirikan stasiun radio anyar. "Apalagi, kehadiran sebuah
stasiun radio mesti didukung oleh sumber daya ekonomi setempat," imbuhnya.
Sampai di sini, ukuran bagi pendirian sebuah stasiun radio, memang bukan cuma
masalah keterbatasan frekuensi. Sekali pun, soal frekuensi merupakan pintu masuk
bagi setiap calon investor radio. Tak heran bila Zainal Suryokusumo, seorang praktisi
radio pun selalu menegaskan keterbatasan frekuensi ini. "Pemakaian frekuensi harus
benar-benar diatur," katanya. Undang-undang No. 24 Tahun 1997, memang
menyebutkan perlunya dibentuk lembaga yang mengatur soal pemakaian frekuensi.

Baik oleh pemegang izin lama maupun pendatang baru. Namun lembaga dimaksud
belum juga terbentuk karena nasib undang-undangnya sendiri tidak jelas.
Dalam hal izin pemakaian frekuensi, Eroll mengusulkan agar dibentuk Kementerian
Telekomunikasi, yang kelak mengatur masalah alokasi frekuensi. Namun fungsi
pengawasan atas pemakaian frekuensi dilakukan oleh sebuah dewan penyiaran.
“Dengan demikian pemerintah tetap tidak bisa melakukan intervensi terhadap
pemakaian frekuensi oleh radio-radio siaran swasta, tapi kontrol tetap bisa dilakukan
oleh pihak yang independen,” paparnya.
Jika skenario seperti diusulkan oleh Eroll kelak terwujud –dan tampaknya pemikiran
tersebut terakses di dalam draft inisiatif RUU Penyiaran yang mulai 4 September lalu
dibahas di DPR– maka ketentuan itu harus sudah bisa diantisipasi sedini mungkin
oleh para pengelola radio. Artinya, pemilik radio siaran harus mengoptimalkan
pemakaian frekuensi berdasarkan izin yang dipegangnya. Sebab bila tidak optimal,
berdasarkan hasil audit terhadap pemakaian izin frekuensi radio, logikanya izin
tersebut bisa dicabut dan diberikan ke pihak yang lebih mampu.
Pada dasarnya, seperti dikatakan Andi Odang frekuensi tidak boleh dikuasakan pada
seseorang secara absolut, karena itu merupakan milik masyarakat. Tapi nyatanya
selama ini izin pemakaian frekuensi oleh sebuah radio tidak pernah dievaluasi. “Tidak
pernah sebuah radio dievaluasi kontribusinya terhadap masyarakat sekitar,” katanya.
Yang terjadi kemudian adalah, beberapa radio dijalankan apa adanya dan

penguasaan izin frekuensi kadang dijadikan komoditi bisnis. “Sekarang, izin frekuensi
itu luar biasa gila-gilaan,” lanjutnya. Ini wajar, karena sementara persediaannya

terbatas, permintaan izin frekuensi naik terus.
“Saya setuju jika frekuensi radio yang tidak terpakai optimal dikembalikan hak
pengelolaannya. Lebih baik diberikan kepada mereka yang berminat
mengembangkannya,” tanggap Agus Sudrajat tentang audit pemakaian frekuensi.
Jadi sesungguhnya, bila izin frekuensi dikontrol, maka dengan sendirinya perbaikan
kinerja stasiun radio bukan lagi semata-mata menjadi tuntutan bisnis, melainkan juga
tuntutan hukum. Sebab supaya sebuah stasiun radio tidak tergusur dari orbitnya,
maka pengelola radio perlu membenahi dan menangani bisnisnya dengan sungguhsungguh. Pilihannya cuma itu. •
Pilih Jadi Radio Berita Atau Pakai Jaringan
Banyak cara bisa dipilih untuk meningkatkan kinerja bisnis radio siaran. Salah
satunya dengan mengubah format radio menjadi radio berita. Sukses menjadi radio
berita telah diperlihatkan antara lain oleh Radio Suara Surabaya, Trijaya dan
sebagainya. “Peristiwa reformasi kemarin membuktikan, radio dengan konsep
jurnalistiklah yang tetap eksis, dan hal ini menimbulkan kesadaran baru insan radio,”
kata Eroll Jonathan, pengelola Radio Suara Surabaya.
Radio Suara Surabaya di tangan Eroll bahkan mampu membumikan konsep
jurnalistiknya, sehingga ia bisa berkembang sebagai radio berita dalam format tetap

sebagai radio lokal. Mereka mampu menjadikan dirinya sebagai medium pertukaran
informasi yang dilakukan oleh masyarakat Surabaya dan sekitarnya dalam berbagai
kegiatan. Dengan kata lain, menjadi radio berita tidak melulu harus menyajikan berita
politik nasional maupun lokal.
Memang seperti dikatakan oleh Bambang G. Parindra, General Manager Radio Pro2
FM, tidak semua masyarakat berpolitik, dan yang berpolitik pun jumlahnya sedikit.
Jika sebuah radio memilih format berita politik, maka itu berarti ia telah memilih
segmen pendengar yang sempit. Itu sebabnya bagi Pro2 FM, menjadi radio berita
juga berarti harus menyajikan informasi bisnis, tanpa meninggalkan hiburan yang
masih memakan porsi siaran sekitar 50 persen.
Namun harus diakui, sumber daya manusia yang ada sekarang dan dimanfaatkan
oleh kebanyakan radio siaran swasta, kurang mendukung stasiun radio mengubah
formatnya menjadi radio berita dengan mudah. Jurnalisme radio menuntut
kemampuan wartawan yang sedikit memiliki kelebihan khas dibanding jurnalis koran
atau majalah.
Sifat pemberitaan radio yang seketika, langsung mengudarakan tentang suatu
peristiwa, dan sesaat pula diterima pendengar, menuntut tampilnya wartawan radio
yang harus siap dengan informasi akurat. Akurasi informasi itu, harus bisa
diperolehnya dalam rentang waktu yang relatif pendek. Jurnalisme radio memang
tidak mengenal dan harus menghindari ralat. “Reporternya harus mampu bekerja

dalam rentang menit dan detik,” kata Layla S. Mirza dari Radio Mara Bandung.
Menyadari perlunya tersedia SDM berkualitas di radio, termasuk untuk radio berita,
sejak lama PRSSNI melakukan berbagai pelatihan jurnalistik radio. Tujuannya, tentu
saja untuk menggeber kemampuan SDM radio dalam memproduksi berita. Lantaran
seperti ditengarai Yousrul Raffle, Ketua Pengda PRSSNI Jabar, banyak radio di
daerah tak siap mengkreasi siaran berita sendiri. Alhasil, salah satu pilihannya adalah
melakukan sindikasi dengan pemasok program berita –semacam kantor berita radio–
yang kini telah muncul di sini.
Di Jakarta, pemasok dimaksud antara lain adalah Kantor Berita 68H. Sejauh ini
sekitar 111 stasiun radio telah mengakses berita yang dihimpun KBR 68H. “Radio
pengakses mempunyai kewajiban untuk meliput di daerah masing-masing,
selanjutnya berita itu diolah dan kami salurkan,” jelas Santoso, Direktur KBR 68H.
Dengan memanfaatkan jaringan satelit dan internet, berita politik, ekonomi, sosial
maupun hukum dapat dikirim ke masing-masing radio. Sejauh ini berita yang diakses

masing-masing radio masih diperhitungkan gratis. Berita disiarkan oleh KBR 68H
sebanyak 8 kali dalam sehari. Hampir serupa, di Jawa Barat, pola sinergi
pemberitaan macam ini juga sudah mulai terajut. "Distribusi informasinya juga bakal
menggunakan sistem intranet dan internet," tutur Yousrul.
Sesungguhnya pola kerjasama pemberitaan telah pula dilakukan beberapa radio

dengan surat kabar maupun televisi, karena keterikatan mereka di dalam sebuah
grup usaha. Pro 2 FM misalnya, bekerjasama dengan Anteve, El Shinta dengan
Indosiar, dan Radio Pelita Kasih dengan koran Suara Pembaruan. Jadi telah banyak
contoh, bagaimana memanfaatkan pola kerjasama seperti itu untuk bisa mengawali
pembentukan radio berita.
Memanfaatkan Networking
Alternatif lain untuk bisa menjaga eksistensi bisnis sebuah stasiun radio, adalah
dengan memanfatkan networking. Melalui jaringan kerjasama ini, bisa ditangani mulai
urusan program acara, penjualan iklan sampai manajemen operasional. “Saat ini
banyak konsep radio network” kata Rusmin Kusen Direktur CPP. Ia sendiri melalui
CPP menawarkan konsep network dalam pengertian menciptakan sinergi diantara
sekitar 40 radio anggotanya, dalam hal menangani penjualan space iklan, promosi
dan soal teknik hingga SDM.
Menurut Rusmin, yang kini dilakukan KBR 68H pada prinsipnya juga sebuah
networking radio. “Dia punya berita, lalu disiarkan melalui satelit dan diterima oleh
radio-radio yang menjadi anggotanya, kemudian masing-masing menyiarkan,”
katanya. Pola seperti itu bisa berkembang untuk paket siaran musik, hiburan dan
sebagainya. Radio yang ingin membenahi diri tinggal pilih, lebih suka program yang
mana agar sesuai dengan format radionya.
Sebenarnya kurang lebih seperti itulah yang dilakukan Masima Radio Network.
Menurut Hani, banyak manfaat bisa diambil oleh sebuah radio yang bekerjasama
dengan pihaknya. Banyak jasa ditawarkan dalam kerjasama itu, “Termasuk kalau
mereka membutuhkan hardware dan software untuk kebutuhan radionya,” jelas Hani.
Dan yang biasanya banyak dimanfaatkan dari sebuah networking radio adalah
kerjasama penjualan space iklan.
Dalam bentuk lain, Radio Suara Surabaya juga menempuh cara networking. “Kami
lebih memilih networking dalam hal tukar menukar informasi, karena dalam
networking seperti itu ada kesejajaran,” jelas Eroll. Pertukaran informasi dilakukan
dengan Radio Mara di Bandung dan MS Tri Jakarta. Dengan kedua radio itu, Suara
Surabaya menilai ada kesetaraan, sebab membidik kelas pendengar yang sama,
yaitu kelas A dan B. “Networking dalam kesejajaran, itu yang saya kira paling baik,”
lanjutnya. Berarti, banyak cara dapat dilakukan untuk membenahi sebuah stasiun
radio, yang berarti pula mengoptimalkan hak pengelolaan frekuensi. Pilihan harus
ditentukan, sebelum masyarakat menggugat hak kedaulatan atas frekuensi yang
selama ini dikelola dan dimanfaatkan stasiun-stasiun radio tanpa pernah
dipertanyakan. •
Kerjasama Dengan Radio Asing, Buat Apa?
Dulu sangat mengasyikkan, ketika bisa menangkap siaran BBC, VOA, ABC ataupun
radio-radio luar negeri lainnya. Terutama pada jam siaran berita. Karena selalu ada
informasi lain. Informasi berbeda mengenai suatu peristiwa terutama yang ada bau
politiknya. Biasanya berita di radio-radio manca itu cenderung lebih dipercaya. Itulah
yang terjadi di zaman Orde Baru. Kasus Tanjung Priok, Pembajakan Garuda “Woyla”,
dan sebagainya, tidak bisa dipahami lebih utuh, dalam kehidupan pers yang
terbelenggu ketika itu. Semua informasi nyaris seragam, seperti yang disampaikan
oleh TVRI dan RRI. Serta oleh media cetak, yang lebih memilih aman atau karena
ngeri menghadapi amarah penguasa, sehingga tidak mampu menyajikan berita
investigasi lebih mendalam pada peristiwa-peristiwa semacam kasus Tanjung Priok.

Sementara itu, radio swasta pun tidak bisa diharapkan, karena perannya disudutkan
untuk sekadar menjadi media hiburan. Tidaklah heran jika kemudian masyarakat
termotivasi untuk melacak frekuensi radio-radio luar negeri, dan mendengarkan
siaran beritanya dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Sekarang situasinya sudah
jauh berubah. Pers telah menemukan kemerdekaannya kembali. Bebas menulis dan
memberitakan hasil investigasi jurnalistik apa adanya. Heboh isu perselingkuhan
presiden pun misalnya, dengan santai dipublikasikan. Kebebasan ini telah
mendorong beberapa stasiun radio swasta memutar haluan. Mereka bergerak
membangun positioning- barunya sebagai radio berita. Beberapa stasiun radio kini
menerjunkan para reporternya meliput peristiwa apa pun. Lalu melaporkan secara
langsung, apa pun yang dilihat dan didengar tentang suatu peristiwa yang sedang
diliputnya. Pertanyaan kini, buat apa radio siaran swasta bekerjasama dengan radio
luar negeri dan me-relay siaran beritanya? Bukankah berita yang mereka suguhkan
relatif sudah sama dengan yang diwartakan pers dalam negeri?
Buat Image
Saat ini beberapa radio di Jakarta bekerjasama dengan radio-radio luar negeri.
Diantaranya dengan menyiarkan relay siaran beritanya. Radio Pelita Kasih (RPK)
misalnya, menjalin kerjasama dengan Voice of America (VOA), Deutschwele Jerman,
dan Hilversuf Nederland. Radio El Shinta bekerjasama dengan British Broadcasting
Corporation (BBC). Delta FM dengan Radio Australia Siaran Indonesia (RASI). Di
Manado, Smart FM juga menjalin kerjasama dengan BBC.
Menurut Yati Tulus, Stasiun Manager Radio Pelita Kasih, kerjasama dengan
Deutschwele Jerman dan Hilversuf Nederland telah lama dilakukan. “Mereka yang
proaktif menjalin kerjsama,” katanya. Sedangkan dengan VOA, lebih karena RPK
sendiri ingin mendapatkan data langsung perkembangan bisnis valas di Wall Street.
Ditambah baru-baru ini dengan siaran berbahasa Inggris, setiap hari pada jam 12.00
-13.00 WIB. “Itu untuk memenuhi segmen pendengar eksekutif yang berbahasa
Inggris,” jelas Yati. Di samping dengan Hilversuf, RPK juga kerjasama dengan Radio
Belanda. Diawali dengan siaran Euro 2000. Ternyata kerjasama itu lebih karena
kuatnya hubungan personal pendiri RPK dengan Radio Belanda. “Jadi ada sejarah di
balik itu semua,” Yati melanjutkan.
Latarbelakang historis juga mewarnai kerjasama Radio Delta dan RASI.
“Prakarsanya dicetuskan Pak Nuim Hayat yang pernah jadi penyiar Delta dan
sekarang di RASI. Jadi lebih karena alasan historis dan tidak ada unsur apa-apa,”
ungkap Dodi Elza, Program Manager Radio Delta. Lagipula tidak ada perjanjian hitam
di atas putih, kecuali karena kebijakan manajemen masing-masing. Kerjasama itu
antara lain berbentuk paket siaran informasi 20 menit sore hari, dengan
memanfaatkan hubungan langsung lewat satelit. Ditambah program siaran pada hari
Sabtu pagi.
Sedangkan Smart FM di Manado, menjalin kerjasama dengan BBC karena
pertimbangan kualitas berita. “Kami melakukan kerjasama dengan BBC, karena
kebetulan mereka punya acara siaran berita yang bagus,” ungkap Andi Odang,
General Manager Smart FM. Lagipula program tersebut dianggap sesuai dengan
kebutuhan pendengar Smart FM. Manfaat kerjasama itu menurut Yati, lebih jauh ke
arah membangun image RPK, di samping memupuk relasi atau persahabatan
diantara crew masing-masing. Baik RPK maupun Delta, tampaknya belum
memperoleh manfaat lebih jauh, terutama dalam meningkatkan jumlah pendengar
dan berujung menggaet iklan. “Sebenarnya otomatis kalau image sudah terangkat,
pemasang jadi melihat RPK. Tapi tujuan utama kerjasama ini sebenarnya karena
kami ingin konsisten memberikan informasi,” Yati melanjutkan. Andi Odang pun
membenarkan. Kerjasama dengan BBC belum secara langsung berpengaruh
terhadap peningkatan bisnis. Belum ada pengaruh signifikan terhadap perolehan
iklan.
Agus Sudrajat dari Mediacom memahami hal itu. Jalinan kerjasama dengan radio
asing, belum tentu meningkatkan posisi tawar radio tersebut di dalam merebut iklan.

“Tergantung pada program yang dihasilkan. Kalau tidak cocok, pengiklan nggak akan
tergerak beriklan di situ,” katanya. Jadi masih harus ditunggu bagaimana beritaberita kemasan luar negeri itu bisa menarik pendengar lebih banyak buat stasiun
radio yang menyiarkannya. Namun Agus memandang positif kerjasama itu. Terutama
karena bisa terjadi pertukaran pengalaman dan pengetahuan yang baik untuk
pengembangan manajemen maupun program. •
Lima Besar di Enam Kota
“Saya mah udah biasa nyetel Sonora, supaya bisa monitor daerah yang kena macet,”
kata seorang supir taksi Kosti. Hari itu Jakarta memang gemuruh. Demonstrasi di
mana-mana, sehingga dia harus tahu, di mana ruang yang masih kosong.
Sepengetahuannya, rata-rata temannya sesama supir taksi memang tune in Sonora.
Kenyataan itu membuat laporan hasil survei ACNielsen Indonesia di Jakarta tentang
peringkat radio bisa dimengerti. Hasil survei pendengar radio tahun 1999 itu
menempatkan Sonora unggul di Jakarta, Ardan di Bandung dan Wijaya di Surabaya.
Berikutnya, Gajahmada unggul di Semarang, Geronimo di Yogyakarta dan
Citrabuana di Medan. Hasil survei Taylor Nelson Sofres setahun sebelumnya,
menghasilkan data yang sama untuk Bandung dan Semarang, yaitu Ardan dan
Gajahmada. Di kota lain, hasilnya berbeda terutama untuk posisi teratas. Sedangkan
untuk posisi kedua sampai kelima, nyaris sama. Yang beda cuma urutannya.
Dua survei menghasilkan dua data. Itu biasa, karena bisa saja metodanya berbeda.
Namun sebagai informasi, keduanya sah digunakan. Justru dengan dua data, siapa
pun dapat melakukan komparasi. Bukankah lebih menguntungkan? •

Lima Besar Jumlah Pendengar Radio di Enam Kota
Versi Taylor Nelson Sofres (1998) dan ACNielsen Indonesia (1999)
Bandung
Radio
Ardan
Dahlia
OZ
Antassalam
Garuda

ACNielsen
556.000
419.000
397.000
392.000
314.000

Radio
Ardan
Dahlia
Garuda
Antassalam
Rama

Sofres
530.000
434.000
403.000
387.000
309.000

Semarang
Radio
Gajahmada
Imelda
Kis
Radiks
RCT

ACNielsen
405.000
296.000
265.000
99 202.000
200.000

Radio
Gajahmada
Imelda
Radiks
Kis
RCT

Sofres
348.000
269.000
99 238.000
211.000
208.000

ACNielsen

Radio

Sofres

371.000

Kiss

330.000

342.000
319.000
291.000
270.000

Simphony
Rhodesa
Citra Buana
Kardopa

294.000
282.000
266.000
235.000

Medan
Radio
Citra
Buana
Rhodesa
Kiss
Simphony
Kardopa
Surabaya
Radio
Wijaya
Suara Giri
Suara
Surabaya
Suzana
Merdeka
Jakarta
Radio
Sonora
Kayumanis
Prambors
Muara

ACNielsen
578.000
450.000

Radio
Merdeka
MTB FM

Sofres
632.000
546.000

385.000

Swara Giri

537.000

382.000
332.000

Wijaya
Suzana

515.000
502.000

ACNielsen
1.406.000
895.000
803.000
723.000

Makasar
Radio
Telstar
Al Ikhwan
Gamasi
Bharata
Sonata

Sofres
701.000
240.000
231.000
189.000
189.000