KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA

TEMBESU KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA

  

Editor:

Nina Mindawati

Hani Siti Nurohmah

Choirul Akhmad

  Penerbit FORDA PRESS 2014

  TEMBESU KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA Editor:

  Nina Mindawati Hani Siti Nurohmah Choirul Akhmad

  Disain Sampul dan Tata Letak:

  Hendra Priatna Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, November 2014 Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan x + 130 halaman; 160 x 242 mm

  ISBN: 978-602-71770-3-1

  Diterbitkan oleh:

  FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jln. Gunung Batu No.5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251-7520093 Email: fordapress@yahoo.co.id Dicetak oleh Percetakan PT Rambang, Palembang Isi di luar tanggung jawab Percetakan

  

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  

Ketentuan Pidana

  

Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual

kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait

KATA PENGANTAR

  Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga potensial dikembangkan di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Secara sosial tembesu telah dikenal dan kayunya telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

  Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah benyak meneliti tembesu. Secara detail, hasil-hasil penelitian tersebut dituangkan di dalam buku ini yang dikemas dalam bentuk bunga rampai, mengupas tuntas berbagai aspek tembesu mulai dari pengenalan dan ekologi, perbenihan, budidaya, perlindungan, hasil dan pertumbuhan serta sosial, ekonomi dan kebijakan.

  Apresiasi diberikan kepada para peneliti yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses editing, penyajian, penerbitan, pencetakan, dan pendistribusiannya hingga dapat tersebarluaskan dengan baik.

  Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan serta kemajuan bidang kehutanan khususnya dalam pengembangan/pengusahaan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman tembesu.

  Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF

  NIP. 195610051982031006

  

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. iii

DAFTAR ISI .......................................................................................... iv

  1. PENDAHULUAN ...........................................................................

  1

  2. MENGENAL KARAKTERISTIK TANAMAN TEMBESU

Junaidah, Agus Sofyan dan Nasrun ..............................................

  3

  3. PENANGANAN DAN PENGUJIAN BENIH TEMBESU

Muhammad Zanzibar .....................................................................

  13

  4. PEMBIBITAN JENIS TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)

Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ........................................

  27

  5. BUDIDAYA TANAMAN TEMBESU

Abdul Hakim Lukman dan Agus Sofyan ........................................

  41

  6. POTENSI DAN PERTUMBUHAN TEMBESU DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ................................................

  57

  7. HAMA DAN PENYAKIT TEMBESU

Asmaliyah ......................................................................................

  73

  8. TEKNIK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN TEMBESU

Etik Erna Wati Hadi dan Fatahul Azwar ........................................

  93

  9. SIFAT DASAR DAN PEMANFAATAN KAYU TEMBESU Sahwalita ....................................................................................... 107

  10. UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA PETANI DAN PASAR Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono .................................. 117

  PENDAHULUAN

  Tembesu adalah salah satu jenis kayu andalan yang populer di Sumatera Bagian Selatan, memiliki nilai ekonomi dan nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat lokal. Berdasarkan sifat kayunya, tembesu memiliki kelas kuat I-II dan kelas awet I sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara luas untuk dipakai, baik di dalam ruangan maupun terbuka.

  Masyarakat menggunakan tembesu yang bersifat agak keras (Fagraea fragrans) sebagai tiang penyangga baik untuk rumah, kapal, jembatan, konstruksi rumah dan bahan furniture. Sebagai bahan konstruksi rumah, tembesu mempunyai nilai budaya tinggi dan menambah nilai prestise bagi pemiliknya. Adapun tembesu yang bersifat lembut (Fagraea

  

crenulata) dipakai untuk bahan baku produk ukiran karena kayu tembesu ini

  mudah dibentuk, tidak mudah retak dalam pengerjaannya dan nilai penyusutannya kecil Kemanfaatan dan keekonomian kayu tembesu cukup tinggi, namun demikian sumber kayu tembesu saat ini masih mengandalkan tegakan alam. Sampai saat ini belum ada upaya budidaya yang dilakukan masyarakat sehingga populasi tembesu di alam terus menurun.

  Pada dasarnya tembesu merupakan jenis adaptif dan mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan kondisi drainase buruk dan mudah dalam regenerasi alaminya. Penanaman tembesu sangat mungkin dilakukan karena teknologi pengadaan bibit baik dengan cara generatif maupun vegetatif sederhana sudah diketahui. Teknik pertanaman terkait pemilihan pola tanam dan alternatif tindakan silvikulturnya masih harus terus dikembangkan.

  Meskipun termasuk jenis kayu mahal, sayangnya tembesu belum menjadi komoditas pilihan utama petani untuk menanamnya. Hal ini dikarenakan tembesu termasuk salah satu jenis pohon lambat tumbuh dengan daur tebang sekitar 25 tahun. Dalam pertumbuhannya pun tembesu menghasilkan percabangan yang banyak dan tidak rontok secara alami, sehingga diperlukan pengelolaan intensif agar kayu tembesu yang dihasilkan berbentuk lurus dan panjang. Penghambat lainnya dalam komoditisasi tembesu adalah tingginya nilai komoditas lain seperti karet dan sawit di wilayah Sumatera. Secara praktis masyarakat cenderung memilih komoditas karet dan sawit sebagai alternatif utama penopang ekonomi keluarga.

  Sehubungan dengan hal di atas, maka pemerintah dan para pihak seharusnya mendorong upaya komoditisasi tembesu melalui penelitian dan pengembangan yang berfokus pada penyediaan IPTEK agar tembesu lebih cepat tumbuh, pembangunan hutan tanaman baik dalam bentuk campuran atau monokultur, program revitalisasi meubel dan ukiran tembesu, serta peningkatan brand tembesu dalam pemasaran produk kayu di Sumatera Bagian Selatan.

  Secara kultural, dulu tembesu dikenal sebagai “kayu raja” karena konon penanamannya merupakan perintah raja (pengusaha/pemerintah) pada waktu itu. Kini tembesu yang tumbuh secara alami dipelihara juga oleh masyarakat, sehingga sekarang bisa juga disebut kayu rakyat. Ke depan tembesu akan menjadi kayu utama jika “sang raja” (pemerintah) dan rakyat memiliki keinginan yang sama dan berupaya untuk menjadikannya sebagai komoditas primadona.

  Buku “Tembesu, Kayu Raja Andalan Sumatera” ini disusun sebagai langkah awal untuk membuka peluang dan prospek pengembangan budidaya dan pengelolaan hutan tanaman tembesu lebih lanjut, baik pada aspek teknis maupun sosial ekonominya.

  MENGENAL KARAKTERISTIK TANAMAN TEMBESU Oleh: Junaidah, Agus Sofyan dan Nasrun

  I. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEMBESU

  Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis dari famili Loganiaceae yang mempunyai wilayah penyebaran alami sangat luas. Menurut Lemmens et al, (1995), penyebaran Fagraea fragrans mulai dari Bengal di India, Myanmar, Andaman Islands, Indo-Cina, Filipina, Thailand, Peninsular Malaysia, Singapura, Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Yapen Island di Papua.

  Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung) kayu tembesu termasuk jenis yang sangat populer dan mempunyai nilai ekonomi serta budaya yang sangat tinggi bagi sebagian masyarakatnya. Menurut Heyne (1987), khususnya di wilayah Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat. Untuk mencegah kepunahannya, kepala adat menetapkan peraturan, yaitu untuk setiap penebangan satu pohon tembesu harus diganti dengan menanam sebanyak sepuluh pohon pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Berkat peraturan tersebut, kemudian banyak terbentuk kebun tembesu di berbagai wilayah di Sumatera Bagian Selatan (Heyne, 1987).

  Dengan adanya perubahan dan perkembangan zaman, walaupun tidak lagi diterapkan peraturan menanam kembali jika menebang pohon tembesu, namun budaya tersebut ternyata masih berlangsung hingga saat ini, dimana masyarakat seringkali menanam dan atau memelihara tembesu yang tumbuh alami sebagai tanaman sela pada kebun-kebun mereka, baik pada kebun karet maupun sawit yang mereka usahakan.

  Usaha pengembangan tembesu, baik sebagai tanaman pokok maupun sebagai tanaman sela, tentunya harus didukung dengan informasi serta teknologi budidaya yang tepat, yang didasarkan pada hasil-hasil kajian dan penelitian berbagai aspek, sehingga produktivitas hasil yang maksimal dapat tercapai dan berkelanjutan.

II. TAKSONOMI, BOTANI DAN SEBARAN

  A. Taksonomi

  Dalam taksonomi tumbuhan tembesu termasuk dalam famili Loganiceae dan digolongkan ke dalam : Phylum : Tracheophyta Class : Magnoliopsida Famili : Loganiaceae Genus : Fagraea Spesies : Fagraea fragrans Roxb

  B. Nama umum

  Secara umum tembesu dikenal sebagai ironwood. Di Indonesia dikenal sebagai ki badak (Sunda), kayu tammusu, tembesu (Sumatera), ambinaton, tembesu (Kalimantan). Di Malaysia dikenal sebagai tembesu hutan, tembesu padang dan tembesu tembaga (Peninsular). Di Philipina secara umum dikenal dengan nama urung, dolo (Tagbanua), susulin (Tagalog). Di Burma atau Myanmar dikenal sebagai kayu anan, ahnyim. Di Cambodia disebut sebagai tatraou. Di Thailand dan Vietnam dikenal sebagai tanaman kankrao dan trai (Martawijaya et al., 2005 dan Lemmens et al., 1995).

  C. Botani

  Tembesu merupakan jenis pohon yang mempunyai sifat hijau sepanjang tahun (evergreen) dengan percabangan yang banyak. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 m, tinggi bebas cabang sampai 25 m dengan diameter dapat mencapai 150 cm (Lemmens et al., 1995, Martawijaya et al., 2005). Batang pohon tembesu memiliki ciri fisik bergelombang lemah tanpa banir. Kulit batangnya tebal dan cukup keras, warna coklat sampai hitam, beralur dangkal sampai dalam (Gambar 1).

  Gambar 1. Tipe permukaan kulit tembesu (umur tanaman 7 tahun) Tajuk pohon berbentuk kerucut (cone) dan daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur-lonjong, dengan ukuran panjang 4 -15 cm dan lebar

  1,5

  • – 6 cm (Lemmens et al., 1995). Tembesu dalam pertumbuhan dan perkembangannya termasuk jenis tanaman yang menghasilkan cabang atau percabangan sangat banyak yang secara alami sukar mengalami peluruhan, sehingga cabang menjadi semakin besar dengan bertambahnya umur tanaman.

  Bunga tembesu berwarna putih (Gambar 2a), merupakan bunga tunggal dengan aroma berbau harum, tabung daun mahkota bunga berbentuk corong dengan panjang berkisar 0,7 - 2,3 cm. Buah tembesu, pada musim berbuah akan menghasilkan buah dalam jumlah sangat banyak, buah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5

  • – 1 cm, berwarna hijau atau kuning pada saat muda dan berwarna merah atau orange bila telah masak (Gambar 2b).

  (a) (b)

  Gambar 2. Bunga dan buah muda tembesu (a); Buah tembesu masak (b) Buah tembesu termasuk tipe buah buni, berdaging dan berisi biji dengan ukuran relatif kecil (diameter kurang dari 1 mm). Semakin besar ukuran buah, semakin banyak biji terkandung di dalamnya. Jumlah buah dalam satu kilogram sebanyak 6.600 buah (Martawijaya et al., 2005), sedangkan jumlah biji dalam satu kilogram adalah sekitar 5 juta biji (Lemmens et al., 1995). Biji tembesu yang masih muda berwarna coklat muda sampai coklat, sementara biji yang telah masak berwarna hitam dengan kulit biji relatif keras dan permukaan kulit tidak rata dan kasar (Gambar 3).

  (a) (b) Gambar 3. Biji/benih muda (a) dan benih tua atau masak (b)

  D. Fenologi dan pembungaan Tanaman tembesu umumnya mulai berbuah pada umur 5 - 6 tahun.

  Menurut Martawijaya et al. (2005), tembesu dapat berbuah setiap tahun dan umumnya pada bulan Nopember

  • – Januari. Namun demikian dalam tiga tahun terakhir (2011-2013), untuk wilayah Sumatera Selatan telah terjadi perubahan atau pergeseran waktu berbuah yaitu berkisar antara bulan Maret – Juni, dengan masa pembungaan dan pembuahan yang tidak serempak, baik antar tanaman dalam satu populasi maupun antar populasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasil produksi buah pada berbagai populasi relatif menurun dibanding periode-periode sebelumnya (Sofyan et

  

al., 2013). Hal ini diduga karena adanya pengaruh iklim yang telah

  mempengaruhi proses pembungaan dan pembuahan tanaman tembesu, dimana jumlah bunga yang dihasilkan relatif sedikit, sementara buah-buah yang masih muda (belum sempat masak) mengalami kerontokan karena cuaca yang relatif kering.

  E. Sebaran dan tempat tumbuh

  Di Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara alami di beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya. Tembesu secara alami tumbuh sebagai tanaman pionir pada areal terbuka bekas terbakar, lahan alang-alang atau pada hutan sekunder yang lembab. Menurut Lemmens et al. (1995) tembesu merupakan jenis yang sangat adaptif dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan, seperti pada tanah datar dan sarang, tanah pasir atau tanah liat berpasir, serta tanah miskin. Selanjutnya dikatakan pula bahwa tembesu dapat tumbuh baik pada tanah dengan drainase yang buruk dan di rawa tembesu tumbuh berasosiasi dengan gelam (Melaleuca spp.). Secara umum, jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dan tumbuh baik pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 2005).

F. Pertumbuhan

  Pertumbuhan tanaman tembesu di alam relatif lambat dan seringkali menghasilkan batang pokok yang tidak lurus, jumlah cabang sangat banyak, dan tajuk yang berat (Gambar 4a). Regenerasi alami tembesu umumnya berasal dari tunas akar, sangat jarang dijumpai regenerasi alami yang berasal dari biji atau benih. Dengan karakter tersebut, tembesu dapat membentuk tegakan yang berasal dari akar (Heyne, 1987)

  Tembesu termasuk jenis tanaman dengan kemampuan meluruhkan cabang secara alami (self prunning) sangat rendah, sehingga dalam pembudidayaannya harus dilakukan pemangkasan cabang secara intensif sejak pertumbuhan awal (mulai umur 1 tahun). Jika tidak dilakukan pemangkasan maka seiring dengan pertumbuhannya, cabang-cabang yang tumbuh/terbentuk akan semakin bertambah besar dan dalam jumlah yang relatif banyak karena tidak mengalami peluruhan. Pada pertanaman tembesu dengan jarak tanam relatif rapat yaitu 2 m x 3 m, menunjukkan bahwa sampai umur tanaman 7 tahun, cabang-cabang yang tumbuh tidak mengalami peluruhan atau rontok secara alami (Gambar 4b).

  (a) (b) Gambar 4. Penampilan tegakan tanpa pemangkasan (a) dan percabangan pada umur 7 tahun (b) Hasil penelitian pemangkasan cabang tembesu pada tanaman umur di bawah 2 tahun menunjukkan bahwa pemangkasan dengan intensitas 40- 50%, dapat meningkatkan rerata riap pertumbuhan diameter sebesar 23,67% dibanding tidak dipangkas (Lukman et al., 2010). Pemangkasan cabang yang dilakukan pada umur tanaman lebih tua (3,5 tahun), tidak memberikan hasil nyata terhadap pertumbuhan diameter maupun tinggi sampai umur 7 tahun atau 3,5 tahun setelah pemangkasan (Sofyan et al., 2013).

  Perlakuan pemangkasan, selain dapat meningkatkan pertumbuhan diameter tanaman tembesu, juga dapat meningkatkan kualitas batang yang dihasilkan, karena dengan perlakuan pemangkasan akan dihasilkan batang/kayu yang relatif besar dan lurus bebas mata kayu yang dapat menurunkan kualitas kayu. Penampilan batang kondisi tegakan tembesu yang diberi perlakuan pemangkasan, dapat dilihat pada Gambar 5.

  (a) (b) Gambar 5. Penampilan batang hasil pemangkasan (a), dan penampilan tegakan hasil pemangkasan

G. Karakteristik dan kegunaan kayu

  Karakteristik kayu dari pohon tembesu termasuk kelas berat, sedang, sampai tinggi. Kayu terasnya berwarna kuning muda sampai coklat, kayu gubalnya berwarna lebih muda. Berat jenis kayu tembesu 0,72-0,93 3 g/cm . Tekstur kayu halus sampai agak halus dan merata (Lemmens et al.,

  1995). Menurut Martawijaya et al. (2005), kayu tembesu termasuk kayu kelas kuat I-II dan kelas awet I.

  Kayu tembesu termasuk kayu yang mudah diolah. Hasil pengujian sifat pengolahan kayu tembesu menunjukkan bahwa kayu tembesu mudah diserut dan dibentuk, dibubut dan diamplas dengan baik (Martawijaya et al., 2005). Selain itu, menurut Lemmens et al. (1995), kayu tembesu memiliki sifat pemakuan, perekatan (menggunakan perekat urea-formaldehida) dan sifat pengupasan (untuk dijadikan veneer dengan ketebalan 1,5 mm) yang baik.

  Dengan karakteristik yang dimilikinya, kayu tembesu sangat cocok digunakan untuk konstruksi berat di tempat terbuka maupun yang berhubungan dengan tanah, balok jembatan atau tiang rumah, lantai dan barang bubutan (Martawijaya et al., 1989). Hal senada dikemukakan oleh Lemmen et al. (1995) yang menyatakan bahwa kayu tembesu dapat digunakan untuk bantalan rel kereta api, daun jendela dan pintu serta meubelair. Masyarakat di Sumatera Selatan, menggunakan kayu tembesu selain untuk kontruksi juga untuk produk-produk ukiran.

III. PENUTUP

  Mengenalkan dan mempromosikan tembesu di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan, tentunya bukanlah hal yang sulit, mengingat jenis ini secara kultural sudah sangat dikenal dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam menunjang kehidupan masyarakatnya. Namun demikian upaya untuk terus mendorong dan mendukung pengembangan tembesu pada usaha yang lebih produktif, tetap perlu dan harus dilakukan oleh para pihak. Balai Penelitian Kehutanan Palembang, melalui penelitian-penelitian yang telah dihasilkan, diharapkan dapat memberi kontribusi, terutama dalam mewujudkan pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat jenis tembesu yang produktif, baik dalam bentuk pola campuran (tembesu sebagai tanaman sela diantara karet atau sawit) maupun pola monokultur.

DAFTAR PUSTAKA

  Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005.

  Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber.

  PROSEA. Bogor Indonesia. Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaidah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh

  Pemangkasan terhadap Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda. Prosiding Seminar Nasional. Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor

  Sofyan, A., A.H. Lukman dan Nasrun. 2013. Laporan Hasil Penelitian Teknik Silvikultur Jenis Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.

  Tidak Dipublikasi.

  PENANGANAN DAN PENGUJIAN BENIH TEMBESU Oleh: Muhammad Zanzibar

I. PENANGANAN BENIH TEMBESU

  Benih adalah bahan tanaman berupa bagian generatif atau bagian vegetatif tanaman, antara lain berupa biji, mata tunas, akar, daun, jaringan tanaman yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembang- biakkan tanaman. Penanganan benih secara tepat berimplikasi meningkatkan efisiensi pengelolaan dan produktivitas tanaman karena benih relatif lebih tahan disimpan, kecambah akan menjadi bibit sehat, tumbuh cepat dan serempak. Penanganan mencakup serangkaian prosedur yang dilakukan sesaat setelah pemanenan hingga benih menjadi bibit siap tanam.

  Setiap elemen dari kegiatan penanganan sangat menentukan derajat kualitas genetik yang diemban oleh kelompok benih tersebut. Tahapan teknologi penanganan benih tembesu dan aspek-aspek dominan yang berpengaruh adalah sebagai berikut:

A. Klasifikasi Buah dan Kriteria Masak Fisiologis Benih

  Buah tembesu tergolong buah “majemuk - berdaging”, dimana buah berasal dari peleburan putik dari beberapa bunga-air dan gula terakumulasi di dalam buah. Dalam suatu musim buah dan tandan yang sama, dapat diperoleh perbedaan tingkat kemasakan benih (Gambar 1 dan Gambar 2), yaitu benih muda (buah berwarna hijau), benih masak fisiologis (buah berwarna kuning hingga oranye) serta benih memiliki vigor kekuatan tumbuh dan daya simpan maksimum. Kondisi ini merupakan waktu pemanenan yang tepat.

  Musim buah tembesu tergolong relatif singkat, saat benih masak cepat tersebar, dan mudah diserang hama (Schmidth, 2002). Di Sumatera Selatan, Riau dan Jambi masak fisiologis benih tembesu diperoleh pada bulan Maret

  • – Juni. Hingga saat ini, belum ada sumber benih tembesu yang dikukuhkan. Buah umumnya diunduh dari lahan pekarangan dengan jumlah pohon yang sangat terbatas.
b a Gambar 1. Variasi tingkat kemasa- Gambar 2. Penampilan benih tembe- kan benih tembesu ber- su pada pembesaran 600 kali. Benih muda (a) dan dasarkan warna buah. benih masak fisiologis (b). Pada saat sebagian be- sar buah telah berwarna (dok. Zanzibar et al., kuning-oranye merupa- 2010) kan saat yang tepat un- tuk dipanen. (dok. Zanzibar et al., 2010)

B. Pengumpulan Buah, Ekstraksi dan Pengeringan Benih

  Benih seharusnya dikumpulkan pada saat panen raya atau pada tegakan yang berbunga lebat dan sedikit serangan hama. Pengumpulan buah dilakukan dengan cara pemanjatan karena pohon tembesu relatif tinggi dan cabang yang menghasilkan buah tidak dapat dicapai dengan galah berkait dari tanah. Buah hasil pemanenan dikumpulkan dalam karung plastik dari beberapa pohon (bulk).

  Prinsip utama kegiatan ekstraksi adalah memudahkan penanganan serta meningkatkan kemampuan penyimpanan. Khusus untuk benih berdaging, berserat lunak dan berukuran kecil, kegiatan ekstraksi terdiri dari: perendaman/penjenuhan, pencucian, penyaringan dan pengeringan. Daging buah tembesu harus segera dihilangkan karena benih dari buah yang terfermentasi umumnya berakibat buruk yaitu cepat menurunkan viabilitas. Ekstraksi benih menggunakan metoda basah-kering, dilakukan dengan cara merendam buah selama 12 jam, diremas-remas, disaring menggunakan ayakan 0.001 m kemudian dikering anginkan selama 5 hari pada suhu kamar (BPTH Palembang, 2000).

C. Pembersihan dan Sortasi

  Kelompok benih hasil ekstraksi, umumnya masih tercampur dengan kotoran; sangat sulit membedakan antara benih dan daging buah/sisa eksokarp (kotoran) karena memiliki ukuran dan penampilan yang relatif sama. Benih yang masih kotor sangat rentan terhadap serangan hama/penyakit karena kotoran merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganismea, utamanya selama penyimpanan. Pembersihan dan sortasi mutlak dilakukan sebelum dikecambahkan atau disimpan. Penggunaan ayakan untuk pembersihan dan sortasi benih yang berukuran kecil cukup efektif meningkatkan kemurnian sehingga mutu fisik dan fisiologisnya dapat meningkat (Boland et al., 1980).

  Metoda pembersihan dan sortasi benih tembesu menggunakan pengayakan bertingkat. Pengayakan diawali dari ukuran lubang paling besar hingga terkecil. Penelitian Zanzibar et al. (2010) menunjukkan bahwa penggunaan ayakan (L = lolos, T = tertahan) T840 (2.935.000 kecambah/kg) dan L840 T710 (2.910 kecambah/kg) menghasilkan jumlah kecambah tertinggi dan berbeda nyata dengan kontrol (1.300.000 kecambah/kg).

  Berdasarkan ukuran ayakan, diperoleh dua klasifikasi mutu fisik- fisiologis (MFF) benih tembesu, yaitu: MFF 1 = T840 (26.54%) dan L840 T710 (32.60%), MFF 2 = L710 T600 (37.86%), MFF 3 dan kotoran = L600 T420 (3.00%). MFF 1 memiliki komposisi jumlah benih paling besar (59.14%) sedangkan kotoran dan benih bervigor rendah berukuran lebih kecil dari 600 mikrometer yang diperlihatkan pada penggunaan L600 T420 (3.00%). Pengelompokkan mutu benih mengikuti kaidah bila benih berukuran besar maka memiliki mutu fisik-fisiologis terbaik (MFF 1 ), dan seterusnya. Benih tembesu berukuran antara 600

  • –840 mikrometer, sedangkan kotoran lebih kecil dari 600 mikrometer.

D. Watak dan Metoda Penyimpanan

  Benih tembesu berwatak intermediate; benih yang tidak toleran o terhadap pengeringan dan suhu rendah (di bawah 15 C), sedangkan kadar air dapat dibuat sesuai klasifikasi ortodoks (rendah = 8-10%) (Schmidth,

  2002). Hasil analisis biokimia menunjukkan bahwa benih tembesu tergolong benih berkarbohidrat, namun juga memiliki kandungan protein dan lemak relatif tinggi (Tabel 1) (Zanzibar, 2010). Tabel 1. Kandungan biokimia benih tembesu hasil radiasi

  Parameter Unit (%) Kadar air

  15.9 Kadar Abu

  1.66 Lemak Total

  28.92 Protein

  12.82 Karbohidrat Total

  40.69 Sumber: Zanzibar et al. (2010) Benih hasil seleksi dan sortasi yang berkadar air 9 - 12% dikemas dalam kantong plastik (kedap air dan udara) (Gambar 3), selanjutnya o disimpan dalam lemari es (refrigerator) pada suhu 15-18

  C, RH = 70-80%. Penyimpanan pada kondisi ini, setelah 2 tahun belum menurun viabilitasnya dan kondisinya sama dengan kelompok benih awal (panenan baru), sedangkan penyimpanan pada suhu kamar selama 6 bulan menyebabkan benih sudah kehilangan semua viabilitasnya (Zanzibar et al., 2010).

  Gambar 3. Persiapan pengemasan benih tembesu sebelum disimpan (dok. Zanzibar et al., 2010)

  E. Perlakuan Pendahuluan dan Tipe Dormansi

  Perlakuan pendahuluan terbaik untuk mematahkan dormansi benih tembesu adalah metoda imbibisi dengan H 2 O 2 5% selama 24 jam (2.780.000 kecambah/kg), dibanding jika tanpa perlakuan (langsung ditabur) hanya diperoleh 1.300.000 kecambah/kg. Perlakuan imbibisi dengan H 2 O 2

  5% mampu menyediakan oksigen terlarut dalam jumlah optimum selama perkecambahan (Zanzibar, 2010). Berdasarkan hasil perlakuan perendaman dalam H2O2 5% selama 24 jam, benih tembesu memiliki dormansi morfologis yang tidak terlalu kuat (after ripening) karena tingkat morfologis dari embrio belum matang (Nitsch, 1971; Zanzibar et al., 2009 dan Zanzibar et al., 2010).

  F. Peningkatan Produktivitas Bibit

  Peningkatan produktivitas bibit dapat dilakukan dengan iradiasi sinar 60 gamma ( Co). Beberapa hasil penelitian iradiasi sinar gamma pada benih memperlihatkan bahwa dosis tinggi dapat bersifat menghambat (inhibitory), namun pada dosis rendah berperan memacu pertumbuhan (stimulatory) (Raghava dan Raghava, 1989; Kumari dan Singh, 1996; Radhevi dan Nayar, 1996; Chan dan Lam, 2002; Zanzibar dan Witjaksono, 2011). Selain mempengaruhi pertumbuhan, iradiasi sinar gamma memiliki kemampuan menginduksi mutasi pada materi genetik. Kemampuan tersebut dimung- kinkan karena sinar gamma memiliki energi cukup tinggi untuk menimbulkan perubahan pada struktur dan komposisi materi genetik tanaman. Perubahan tersebut terjadi secara mendadak, acak dan diwariskan pada generasi berikutnya (IAEA, 1977). Keragaman petumbuhan tembesu akibat iradiasi sinar gamma dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 2. Gambar 4. Keragaman pertumbuhan bibit tembesu pada umur 4 bulan Secara umum, perlakuan iradiasi mulai dari 5-120 Gy mampu meningkatkan nilai peubah diameter dan tinggi. Perlakuan iradiasi mulai dari

  5-120 Gy maupun meningkatkan nilai peubah diameter dan tinggi. Perlakuan iradiasi pada dosis di atas 30 Gy menyebabkan daya hidup bibit menurun dan pada dosis di antara 120 Gy kematian bibit terjadi.

  Penggunaan dosis 30 Gy menghasilkan bibit dengan pertumbuhan terbesar; 3 volume bibit mencapai 2.391,4 mm ( 3,14 x 1,55 mm x 1,55 mm x 317 mm), sedangkan bibit dari benih tanpa iradiasi (kontrol) rata-rata memiliki diameter 3 2,1 mm dan tinggi 15,4 cm sehingga diperoleh volume sebesar 533,1 mm .

  Iradiasi benih tembesu pada kisaran kadar air kesetimbangan (8-10%), dosis 30 Gy meningkatkan produktivitas bibit (umur 8 bulan) lebih dari 4,5 kali terhadap kontrol (Zanzibar et al., 2011).

  Tabel 2. Keragaman pertumbuhan bibit tembesu umur 8 bulan akibat pengaruh iradiasi sinar gamma pada benih Peubah pertumbuhan bibit

  Dosis Iradiasi Daya hidup Diameter Tinggi

  (Gy) (%) St dev (mm) St dev (cm) St dev

  58.3

  5.2 2.1 0.113

  15.4

  1.2

  5

  59.6

  12.2 2.6 0.353

  19.3

  4.9

  10

  60.5

  5.2 2.7 0.335

  26.4

  3.0

  15

  53.5

  6.3 2.7 0.173

  26.8

  3.4

  20

  44.6

  6.3 2.8 0.306

  23.8

  2.6

  30

  48.9

  8.4 3.1 0.381

  31.7

  4.4

  60

  37.1

  8.9 2.9 0.229

  25.5

  3.1 120

  33.5

  6.3 2.8 0.260

  25.2

  1.2 Sumber: Zanzibar dan Witjaksono (2011)

II. STANDARDISASI METODA PENGUJIAN BENIH

  Jaminan mutu benih edar dalam sistem sertifikasi diperoleh dari suatu rangkaian pengujian standar. Standar pengujian tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995. Sertifikasi merupakan konsekuensi komersialisasi benih, bertujuan untuk menjamin kebenaran mutu dan memberikan perlindungan bagi pengada, pengedar dan pengguna benih yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tegakan (Sadjad, 1997; Kartiko, 2002).

  Syarat dan ketentuan pengujian benih, tertuang di dalam pedoman pengujian yang dikeluarkan oleh International Rules for Seed Testing (ISTA), namun untuk jenis tanaman hutan masih sangat terbatas. ISTA (2006) menentukan bahwa peubah mutu fisik terdiri dari kadar air, kemurnian dan berat 1000 butir, sedangkan mutu fisiologisnya adalah daya berkecambah. Peubah-peubah tersebut mencerminkan kinerja penanganan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan persemaian di lapangan.

A. Penarikan contoh

  Tujuan penarikan contoh adalah mendapatkan contoh benih untuk mewakili suatu kelompok benih yang akan diuji mutunya. Buah hasil pengunduhan dari suatu lokasi diekstraksi dan dijadikan satu kelompok benih. Kelompok benih tersebut diasumsikan sebagai contoh kiriman. Contoh kerja dibuat dari contoh kiriman menggunakan alat pembagi benih (seed sample devider) atau dengan cara acak parohan hingga diperoleh contoh kerja yang diinginkan (ISTA, 2006).

  B. Peubah kadar air

  Tingkat kadar air benih mengindikasikan tingkat kemasakan, daya simpan dan perlakuan yang harus diterapkan untuk penanganan selanjutnya. Penanganan kadar air yang tepat dapat membatasi terjadinya kerusakan, setiap penurunan 1% dari nilai kadar air (benih ortodoks) akan memperpanjang periode simpan selama 4-5 tahun. Selain itu, kadar air yang terlalu tinggi dari tingkat kadar air kesetimbangannya merupakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan jamur dan bakteri (Zanzibar, 2010).

  Metoda penentuan kadar air yang paling tepat adalah bila mampu memberikan nilai kadar air tertinggi (Wilan, 1985). Metode dirancang untuk mengurangi oksidasi, dekomposisi atau hilangnya zat yang mudah menguap bersamaan dengan pengurangan kelembaban sebanyak mungkin (ISTA, 2006). Metode oven tetap yang menguapkan air saja yang diuapkan selama pengeringan banyak digunakan sebagai metode standar (Edward, 1987;

  ISTA, 2006) bila dibandingkan dengan metode lainnya yang masih harus dikalibrasi. Nilai kadar air kesetimbangan kelompok benih awal tembesu (benih baru dipanen) berkisar antara 9.2-12.2%, diukur berdasarkan metode oven tetap dengan 2 (dua) ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 1.0 gram. Menurut Widyani et al. (2010) penentuan kadar air tembesu dapat menggunakan suhu tinggi maupun rendah; suhu tinggi pada 130 - 133 C

  C selama 22 jam. selama 4 jam, sedangkan suhu rendah pada 103 ± 2

  C. Peubah kemurnian

  Benih yang baru dipanen meskipun telah dibersihkan kemungkinan masih tercampur dengan kotoran, baik berupa potongan daun, ranting, daging buah, benih tanaman lain, atau benih dari jenis yang sama namun telah mengalami kerusakan. Kotoran benih berakibat buruk pada infeksi hama penyakit, kualitas fisik yang rendah, melembabkan atmosfer sekitar benih, meningkatkan kadar air dan memacu metabolisma. Pengetahuan tentang determinasi dan penampilan benih sangat menentukan keakuratan hasil pengujian. Selain itu, peubah kemurnian digunakan untuk memprediksi kebutuhan benih serta pengelompokkan mutu benih (Zanzibar, 2010).

  Kemurnian benih tembesu berkisar antara 84,8% - 94,8% (Widyani

  

et al., 2010). Metoda pengukurannya berdasarkan analisis manual di atas

  meja kemurnian dengan 2 (dua) ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 2.0 gram; antara benih murni dan daging/kulit buah sebagai kotoran dipisahkan satu sama lain. Nilai kemurnian sangat dipengaruhi oleh kinerja pengada. Semakin baik metoda pembersihan benih maka nilai kemurnian benih akan makin tinggi, begitu pula sebaliknya.

D. Peubah Berat 1000 Butir

  Setiap jenis benih memiliki ukuran berbeda dengan jenis lainnya, demikian halnya dalam satu jenis yang sama. Perbedaan ukuran dalam satu jenis yang sama dapat disebabkan oleh: perbedaan klimatis - edafik antar tapak, perbedaan klimatis pada saat pembentukan buah, perubahan (evolusi) terhadap kondisi alaminya, atau intensifitas pengelolaan. Perbedaan ukuran kemungkinan dapat menyebabkan perbedaan viabilitas dan vigor benih. Ukuran benih juga digunakan untuk memprediksi kebutuhan benih untuk tujuan penanaman serta pengelompokkan mutu (Zanzibar, 2010).

  Jumlah benih per kg untuk benih-benih halus seperti tembesu dinyatakan dengan istilah benih hidup murni (Thomson, 1979). Perhitungan berat 1000 butir menggunakan 6 (enam) ulangan berdasarkan hasil pengukuran keragaman, koefisiennya dan standar deviasi. Menurut Widyani

  

et al. (2011) berat 1000 butir benih tembesu berkisar antara 0,26-0,29 gram,

  sedangkan jumlah benih per kg berkisar antara 3.478.260 – 3.813.155 butir.

E. Peubah daya berkecambah

  Daya berkecambah memberikan informasi kepada pengguna benih akan kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi normal pada kondisi sub optimum. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kecambah normal pada kondisi yang sesuai dalam jangka waktu tertentu. Sebelum ditabur, benih diberi perlakuan pendahuluan berupa imbibisi dengan H 2 O 2 5% atau air dingin selama 24 jam. Uji perkecambahan di laboratorium menggunakan germinator, ulangan sebanyak 2 (dua) kali, masing-masing ulangan terdiri dari 0.05 gram. Kriteria kecambah normal bila telah muncul sepasang daun serta tidak terserang penyakit (Gambar 5). Perhitungan awal dimulai pada hari ke 17 dan diakhiri pada hari ke-26. Uji di atas kertas (UDK) merang merupakan metoda uji terbaik, berkisar antara 129-142 kecambah/0.05 gram. Pada uji antar kertas (UAK) sebesar 121-140 kecambah/0.05 gram. Hal ini mengindikasikan bahwa perkecambahan benih tembesu relatif membutuhkan cahaya yang cukup sehingga germinator harus dilengkapi lampu neon yang selalu menyala selama pengujian.

  Gambar 5. Kecambah normal tembesu pada hari ke-14 (dok. Zanzibar dan Witjaksono, 2011)

  Berdasarkan pengujian di rumah kaca diperoleh bahwa media perkecambahan berupa media campuran serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan pasir (1:1)(v/v) atau campuran arang sekam dan pasir (1:1)(v/v) pada bak-bak kecambah ditutup plastik transparan memberikan hasil terbaik. Perhitungan awal dimulai pada hari ke-17 dan diakhiri pada hari ke-44. Ke dua metoda tersebut, masing-masing antara 132-250 kecambah/0.05 gram dan 179-253 kecambah/0.05 gram.

III. PENUTUP

  Benih tembesu yang umumnya dari buah (Biji) mempunyai sifat/karakteristik tertentu. Musim buah yang relatif singkat dan mudah terserang hama serta karakteristik benih yang tergolong intermediate, memerlukan penanganan yang tepat dari pengunduhan hingga penyimpanan benih. Penanganan benih yang tepat dapat meningkatan efisiensi pengelolahan dan produktivitas, meningkatkan daya simpan dan daya kecambah serta meningkatkan kemungkinan bibit tumbuh sehat, cepat, dan serentak.

  DAFTAR PUSTAKA Boland, D.J dan J.W. Turnbull, and D.A. Kleinig, 1980. Eucalyptus Seed.

  Division of Forest Research CSIRO, Canberra. BPTH - Palembang, 2000. Informasi Teknis Budidaya Tembesu. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah Sumatera. Ditjen RLPS.

  Palembang. Chan, Y.K. and P.F. Lam, 2002. Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working material

  • – Improvement of tropical and subtropical fruit trees through induced mutations and biotechnology. IAEA, Vienna, Austria. 35
  • – 45 pp Edwards, D.G.W. 1987. Methods and Procedures for Testing Tree Seeds in Canada. Forestry Technical Report 36. Canadian Forestry Service. Ottawa.
IAEA, 1977. Manual on Mutation Breeding. Second Edition. Join FAO/IAEA division of atomic energy in food and agriculture. Vienna, Austria.

  ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing: Edition 2006. The International Seed Testing Association. Bassersdorf. CH-.

  Switzerland. Kartiko. H.D.P. 2002. Penanganan Perbenihan untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Secara Lestari. Dalam Industri Benih di Indonesia.

  Aspek Penunjang Pengembangan. Kerjasama Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor dengan PT. Sang Hyang Seri. Bogor.

  Kumari, R. and Y.Singh, 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed germination and plant survival of Pisum sativum and Lens culinaris Medic. Neo Botanica 4(1) : 25 – 29. Nitsch, J.P,1971. Perennation through seeds and other structures: Fruit development. In : Plant physiology, a treatise. AP. pp 413

  • – 501 Radhadevi,D.S., and N.K.Nayar, 1996. Gamma rays induce fruit character variations in Nendran, a varieties of banana (Musa paradasiaca L.). Geobios : 23(2-3): 88-93.

  Raghava,R.P., dan N.Raghava, 1989. Effect of gamma irradiation on fresh on dry weight of plant part in Physsalis L. Geobios: 16(6): 261-264. Sadjad. S. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia.

  PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Schmidth, L. 2002. Penanganan Benih Tropis dan Hutan Tropis. Ditjen

  Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Jakarta. Thomson, L.O. 1979. An Introduction to Seed Technology. Thomson Litho Ltd. East Kilbride. Scotland. Widyani N, Dede JS, Eliya S, Enoch RK, Nurkim M, Abay, Emuy S, 2010.

  Standardisasi Pengujian Mutu Benih Tembesu (Fagraea fragrans

  Roxb). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak diterbitkan. Wilan, R.L. 1985. A Guide to Forest Seed Handling. FAO. United Nation.

  Rome, Italy. Zanzibar, M., N. Yuniarti, E. Suita, Megawati, D. Haryadi, dan E. Supardi.

  2010. Hasil Penelitian Teknologi Perbenihan Jenis Tembesu (Fagraea

  fragrans Roxb). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.

  Zanzibar, M, 2010. Materi Kursus Teknologi Penanganan Benih Tanaman Hutan (Teori dan Praktek). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.

  Zanzibar, M dan Witjaksono, 2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma (60 C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona Sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman: 8(2): 81 - 87.

  

PEMBIBITAN JENIS TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)

Oleh: Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman

  Salah satu kendala dalam pembangunan kehutanan, baik program pembangunan hutan tanaman, reboisasi, rehabilitasi serta kegiatan lainnya adalah masalah ketersediaan benih atau bibit yang tidak selalu tersedia saat dibutuhkan. Penguasaan teknik pembibitan dalam rangka pengembangan jenis-jenis komersial sangat perlu untuk dilakukan.

  Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang hasil-hasil penelitian teknik pembibitan tembesu, baik secara generatif maupun vegetatif agar menghasilkan bibit bermutu tinggi dalam jumlah yang banyak dan seragam, sehingga ketersediaan bibit berkualitas dapat tercapai.

I. TEKNIK PEMBIBITAN JENIS TEMBESU

A. Permudaan dan pengumpulan buah

1. Permudaan

  Tembesu termasuk jenis tanaman pionir yang mempunyai kemampuan regenerasi alami relatif mudah. Hasil pengamatan pada berbagai lokasi di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi) menunjukkan bahwa regenerasi alami tembesu terjadi pada areal atau lahan terbuka di sekitar daerah sebaran alaminya, yang umumnya berasal dari tunas akar (Gambar 1).