JANJI SEBATANG ROKOK SEJATI (1)
JANJI SEBATANG ROKOK SEJATI
Pengalaman adalah guru yang sejati. Sejatinya selalu menemani memori-memori kita. Sejatinya
membuat membuat seseorang menjadi sukses. Sejatinya membuah seseorang untuk berharap dirinya
pikun. Sejatinya sehingga membuatku hanya mampu terduduk meneliti setiap inci hamparan
rerumputan luas di depanku. Sejatinya, membuatku tidak tau harus menangis, atau tertawa dengan
bangganya. Sejatinya bagaikan pukulan-pukulan semu yang menulusuri rongga-rongga Qalbuku ini.
“Akh… Bapak tahu apa dengan dunia?. Wajar jika Bapak tidak tahu, karena bapak berasal di
jaman purba. Ini hanya sebuah rokok, semua teman-temanku mengisapnya. Hanya banci di sekolahku
yang tidak tahu, dan mungkin bapakku juga banci.” Kesal Rahmad, ketika kakaknya melarangnya
mengisap rokok.
Rahmad pergi begitu saja setelah meluapkan kekesalannya. Dulu saat memberi nama itu
untuknya aku berharap dia hadir membawa rahmad di keluargaku. Tapi ternyata nama hanya sebuah
nama. Hati ini selalu pilu setiap kali mendengar setiap kata yang mengalir darinya. Bukan karena katakata itu. Tapi Karena lukaku sendiri. Siapa aku dulu, dan seperti apa aku dulu.
“Doni, Lihatlah Bapak membuat kamu tongkat baru.” Kata Bapak yang menghampiriku di
beranda belakang dengan dengan wajah cerianya. Tampak butiran-butiran keringat di wajahnya. Ku
perhatikan tongkat yang dia bawah, yang dia buat dengan penuh cinta. Beliau membuat aku bepikir
kalau betapa bodohnya beliau. Apa lagi yang dia harapkan dariku, aku anak yang tak berguna. Tiada
satupun yang dapat beliau banggakan dariku, aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk berjalan normal
lagi. “Maaf bapak belum bisa membelikanmu yang baru.”
Ku lihat wajah ibanya pada anaknya ini. Aku tahu betul ekonomi keluargaku. “Tidak mengapa
pak, ini sudah cukup. Yang pentingkan Doni bisa berjalan.” Ku sambut tongkat baruku dengan senyum.
Melihatku menerima dengan senang guratan keriput di wajahnya mulai berkurang. Aku mencoba berdiri
dengan tongkat itu.
Bapak manatap dengan miris saat aku mencoba berdiri “Palan-pelan saja anakku.”
“Biar Femi bantu ya kak.” Kata Femi datang bersama Mia, ibu dan Nenek
“Mia juga.” Mia berjalan mendahului Femi
Bruuuuk
“A…a…a…a.a..” Jeritku kesakitan, aku terjatuh sebelum Femi dan Mia sempat membantuku.
Bapak membantuku berdiri. Sedang yang lain hanya menatapku dengan Iba. Betapa buruknya diriku saat
ini padahal waktu yang silam aku adalah pria terkeren. Kenapa tidak, sejak menduduki bangku SD kelas 5
aku sudah mengenggam rokok. Itulah masa-masa kejayaanku.
“Kita coba lagi ya nak.” Bapak tidak mau lepas harapan.
“Iya.” Tidak mau mengecewakan beliau yang kesekian kalinya, aku turuti saja keinginannya itu.
Dan aku cukup berhasil untuk semua permulaan. Semuanya tampak senang, mereka menemukan
sebuah harapan di gerak-gerak pelanku. Membuat aku percaya akan diriku sendiri dan berjanji tidak akan
melakukan kesalahan yang sama lagi karena akibatnya aku yang rasakan sendiri.
Sekian lama ku lenyapkan diriku dari bangku sekolah, akhirnya aku memutuskan kembali ke
sekolah. Walau masih menggunakan tongkat. Aku bertekad untuk merubah diriku. Pagi-pagi dengan
Ojek, yang masih tetanggaku sendiri. Dengan semangat yang baru aku melangkah masuk ke gerbang
sekolah, tak peduli jika semua menatapku dengan iba atau mungkin tanda Tanya. Tiba di kelas aku siap
untuk menerima materi, jika jam istirahat tiba aku tidak perlu ke kantin. Sebab ibu menyediakan bekal
untukku. Teringat masa SD ku saat Ibu dengan penuh cinta membuat bekal untukku, dan itu masih beliau
lakukan sampai sekarang.
6 bulan kemudian aku sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat, walau agak pincang.
“Man jadda wa jadda.” Siapa besungguh-sungguh memang akan sukses. Aku sukses menghilangkan
perbedaan dengan teman-teman yang lain, walau tidak aku pungkiri kalau aku masih pincang. Kini aku
sudah berada di bangku SMP kelas VII, dengan suasana yang baru. Aku tidak membawa bekal lagi, karena
bapak mau memberi sedikit keringatnya untuk mengisi kantongku, yang cukup untuk membeli roti dan
minuman di kantin.
“Hei Doni, apa kabar? lama kita tidak berjumpa. Ternyata kita di SMP yang sama juga.” Sapa
seorang kawan lamaku, melihat wajahnya tercermin semua masa laluku. Dengan senyum ku balas, aku
rasa dia tahu sendiri keadaanku sekarang. Dia memperhatikan roti yang ku pegang. “Gimana rasanya?”
Pertanyaanya membuatku bingung “Roti ini?” tanyaku memastikan arah pertanyaanya itu
“Nikmat.” Jawabku yakin, dan tidak tahu arah pertanyaanya itu. Masa dia belum pernah merasakan roti
ini, bohong jika dia tidak punya uang untuk membelinya.
Ku lihat tangannya masuk ke sakunya, mungkin terpengaruh dengan jawabanku dan ingin
membelinya “Lebih enak mana dengan ini.” Sebatang rokok kini berada di depanku. Ku perhatikan
keadaan sekeliling berharap tidak ada yang memperhatikan kita.
“Sebaiknya kamu ambil kembali rokok itu, aku sudah lama tidak merokok lagi.” Tolak diriku “lagi
pula ini sekolah, kamu tidak takut di hukum oleh guru.” Kataku dan berdiri meninggalkannya. Aku tidak
ingin terpengaruh lagi sebab bekas dulu masih tersisah sampai sekarang, kaki ini korbannya. Korban
karena pergaulanku yang dulu.
Sepulang sekolah kawanku itu sudah menungguku di gerbang. Apa lagi yang dia inginkan dariku
“Hei kawan, sudah mau pulang?” Tanya dia “Mampirlah sebentar, tidak serulah kalau pria berkurung diri
di rumah, kamu bukan bancikan? ” katanya, membuatku bagai hipnotis. Kuturuti dirinya.
Sampai di pangkalan tempat mereka berkumpul dia memberiku sebatang rokok “Ambilah, aku
tidak menyuruhmu mengisapnya, tapi untuk bergaya saja. Kamu tidak inginkan di tertawakan yang
lainnya.” Katanya membuatku mengenggamnya sebatang rokok. Ternyata sejak awal aku salah
mengambil langkah, seharusnya aku pulang ke rumah, dan berkumpul bersama Femi dan Mia serta
lainnya. Karena saat tanganku menggenggam sebatang rokok kembali, tentu temanku yang lain aku
berpura-pura memintanya dan yang lainnya malah menawarkan pemantik. Merasa memiliki sebatang itu
dan tidak mau direbut yang lain tentu aku akan mengkonsumsinya. Dan tentu itu sebuah nikmat yang
tiada tara, walau awalnya aku harus batuk-batuk dan di tertawakan yang lain.
“Rokok itu bukan barang haram di dunia ini, jadi jangan kamu hindari kawanku.” Kata kawanku
itu yang mengenalkan dirinya sebagai kawan. Ya kawan. “merekok itu kewajiban setiap pria, kenikmatan
setiap pria. Seperti halnya wanita yang menikmati fesion dan shopping.” Sambungnya “yang jadi kejaran
polisi itu Narkotika bukan rokok. Kita malah membantu pendapatan Negara.” Celotehnya makin panjang
dan makin hari makin membuatku yakin kalau merokok di usiaku itu di perbolehkan.
Sejak saat itu pergaulanku makin bebas, bapak dan yang lainnya kembali miris melihat diriku.
Walau aku tahu perbuatanku salah, tapi aku tidak dapat menghentikannya. Aku memang malu di
hadapan keluargaku, tapi Malu-ku hilang saat kawan setiaku itu sudah menyodorkan sebatang rokok.
Berkali-kali aku berjanji pada diriku, berkali-kali aku ingkari. Suatu hari temanku menawarkan aku ganja
dan semacamnya, untuk yang satu itu aku bisa mengatasinya. Hatiku enggan untuk menggunakannya,
walau berkali-kali hatiku betanya-tanya saat menggenggamnya. Ternyata sedikit bekas iman masih
tersimpan di paling dasar hatiku.
Setelah lulus SMP Aku mencoba untuk berubah, entah ini yang ke berapa kalinya Aku bertekat
untuk berubah. Aku ingin dapat berkerja dengan baik. Aku sadar kalau kakiku pincang, dan tidak banyak
tempat bekerja yang membutuhkanku. Hingga akhirnya Aku tertarik dengan sebuah yayasan. Aku
memutuskan masuk ke sebuah Yayasan yang berbasis ilmu pengetahuan dan Agama. Tapi lagi-lagi itu
bukan sebuah jaminan untuk aku dapat berubah lebih baik, sebab walaupun cacat dirku bisa
membentuk sebuah genk baru yang kita beri nama “The King Of Brother” terdiri dari aku sendiri
Muhammad Romdani, dan kawan-kawanku Mamba Usul, Aji al-Bukhori, Ajun & Ilham Azizi. Dengan
bangga aku berkelana di penjuru Yayasan itu dengan menyandang predikit pembuat onar.
Hidupku terus berjalan dengan janji-janji akan perubahan pada diriku. Hingga ku temukan
seorang wanita Sholeha, aku berjanji berubah untuknya. Ternyata begitu banyak pria-pria terbaik yang
menyaingiku untuk mendapatkan cintanya. Perjuanganku pasang surut untuk memperolah cintanya. Di
tambah lagi bapaknya yang menganggap aku berandalan. Tapi akhirnya aku bisa memperlihatkan dirku
yang terbaik kepada dia dan keluarganya di bandingkan pria lagi. Karena dia aku berubah.
Setahun menikah kami di hadiakan seorang anak perempuan. Kebutuhan kita mulai meningkat,
membuatku seringkali stress memilkirkan pekerjaan tambahan yang harus aku ambil. Dengan sembunyisembunyi sampai terang-terangan terhadap istriku, aku kembali menggenggam sebatang rokok untuk
menghilangkan stress. Istriku seringkali menasehatiku, sebab dengan sebungkus rokok cukup sebagai
pengganti sekilo gram beras. Tapi aku menganggap semua ucapannya sebagai angin lalu. Hingga sebuah
goncangan menghancurkan diriku, Istriku harus pergi ke dunia lain setelah memperjuangkan anak kedua
kami untuk datang ke dunia ini.
“mas jagalah anak-anak kita, ijinkan aku membawa sebatang rokokmu itu untuk pergi
bersamaku. Jadilah bapak dan ibu terbaik bagi mereka.” Pesannya di sela-sela nafas terakhirnya, air
mataku tidak terbendung mendengar ucapannya itu. Air mataku mengalir dengan derasnya melihatnya
yang terbujur kaku. Jika aku punya kesempatan untuk berjanji lagi aku ingin berjanji padanya, kalau tiada
rokok lagi.
“Bapak…Bapak…” panggilan Rahmi menyadarkan aku dari lamunanku, aku hapus air mataku
“Bapak menangis? Karena ulah Rahmad? Bapak tidak perlu pikirkan dia, dia akan mendapatkan
karmanya. Kita doakan dia supaya sadar saja bapak.” Kata Rahmi, sekarang sudah beranjak dewasa, dia
menuruni sifat ibunya yang baik hati. Sedangkan Rahmad mungkin menuruni sifatku, tapi aku tidak
berharap dia akan sepertiku. “Kita masuk Bapak perlu minum obat, biar bapak cepat sembuh.” Lanjutnya
mangajakku masuk.
Dengan langkah pelan aku dan Rahmi masuk, apa yang di harapkan dari aku lagi. Aku tidak butuh
obat, sebab yang sakit itu hatiku. Yang aku inginkan agar Rahmad bisa menjadi pria terbaik tidak
sepertiku. Aku sangat berharap tiada lagi yang seperti diriku.
*Sekian*
19/06/2012
Pengalaman adalah guru yang sejati. Sejatinya selalu menemani memori-memori kita. Sejatinya
membuat membuat seseorang menjadi sukses. Sejatinya membuah seseorang untuk berharap dirinya
pikun. Sejatinya sehingga membuatku hanya mampu terduduk meneliti setiap inci hamparan
rerumputan luas di depanku. Sejatinya, membuatku tidak tau harus menangis, atau tertawa dengan
bangganya. Sejatinya bagaikan pukulan-pukulan semu yang menulusuri rongga-rongga Qalbuku ini.
“Akh… Bapak tahu apa dengan dunia?. Wajar jika Bapak tidak tahu, karena bapak berasal di
jaman purba. Ini hanya sebuah rokok, semua teman-temanku mengisapnya. Hanya banci di sekolahku
yang tidak tahu, dan mungkin bapakku juga banci.” Kesal Rahmad, ketika kakaknya melarangnya
mengisap rokok.
Rahmad pergi begitu saja setelah meluapkan kekesalannya. Dulu saat memberi nama itu
untuknya aku berharap dia hadir membawa rahmad di keluargaku. Tapi ternyata nama hanya sebuah
nama. Hati ini selalu pilu setiap kali mendengar setiap kata yang mengalir darinya. Bukan karena katakata itu. Tapi Karena lukaku sendiri. Siapa aku dulu, dan seperti apa aku dulu.
“Doni, Lihatlah Bapak membuat kamu tongkat baru.” Kata Bapak yang menghampiriku di
beranda belakang dengan dengan wajah cerianya. Tampak butiran-butiran keringat di wajahnya. Ku
perhatikan tongkat yang dia bawah, yang dia buat dengan penuh cinta. Beliau membuat aku bepikir
kalau betapa bodohnya beliau. Apa lagi yang dia harapkan dariku, aku anak yang tak berguna. Tiada
satupun yang dapat beliau banggakan dariku, aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk berjalan normal
lagi. “Maaf bapak belum bisa membelikanmu yang baru.”
Ku lihat wajah ibanya pada anaknya ini. Aku tahu betul ekonomi keluargaku. “Tidak mengapa
pak, ini sudah cukup. Yang pentingkan Doni bisa berjalan.” Ku sambut tongkat baruku dengan senyum.
Melihatku menerima dengan senang guratan keriput di wajahnya mulai berkurang. Aku mencoba berdiri
dengan tongkat itu.
Bapak manatap dengan miris saat aku mencoba berdiri “Palan-pelan saja anakku.”
“Biar Femi bantu ya kak.” Kata Femi datang bersama Mia, ibu dan Nenek
“Mia juga.” Mia berjalan mendahului Femi
Bruuuuk
“A…a…a…a.a..” Jeritku kesakitan, aku terjatuh sebelum Femi dan Mia sempat membantuku.
Bapak membantuku berdiri. Sedang yang lain hanya menatapku dengan Iba. Betapa buruknya diriku saat
ini padahal waktu yang silam aku adalah pria terkeren. Kenapa tidak, sejak menduduki bangku SD kelas 5
aku sudah mengenggam rokok. Itulah masa-masa kejayaanku.
“Kita coba lagi ya nak.” Bapak tidak mau lepas harapan.
“Iya.” Tidak mau mengecewakan beliau yang kesekian kalinya, aku turuti saja keinginannya itu.
Dan aku cukup berhasil untuk semua permulaan. Semuanya tampak senang, mereka menemukan
sebuah harapan di gerak-gerak pelanku. Membuat aku percaya akan diriku sendiri dan berjanji tidak akan
melakukan kesalahan yang sama lagi karena akibatnya aku yang rasakan sendiri.
Sekian lama ku lenyapkan diriku dari bangku sekolah, akhirnya aku memutuskan kembali ke
sekolah. Walau masih menggunakan tongkat. Aku bertekad untuk merubah diriku. Pagi-pagi dengan
Ojek, yang masih tetanggaku sendiri. Dengan semangat yang baru aku melangkah masuk ke gerbang
sekolah, tak peduli jika semua menatapku dengan iba atau mungkin tanda Tanya. Tiba di kelas aku siap
untuk menerima materi, jika jam istirahat tiba aku tidak perlu ke kantin. Sebab ibu menyediakan bekal
untukku. Teringat masa SD ku saat Ibu dengan penuh cinta membuat bekal untukku, dan itu masih beliau
lakukan sampai sekarang.
6 bulan kemudian aku sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat, walau agak pincang.
“Man jadda wa jadda.” Siapa besungguh-sungguh memang akan sukses. Aku sukses menghilangkan
perbedaan dengan teman-teman yang lain, walau tidak aku pungkiri kalau aku masih pincang. Kini aku
sudah berada di bangku SMP kelas VII, dengan suasana yang baru. Aku tidak membawa bekal lagi, karena
bapak mau memberi sedikit keringatnya untuk mengisi kantongku, yang cukup untuk membeli roti dan
minuman di kantin.
“Hei Doni, apa kabar? lama kita tidak berjumpa. Ternyata kita di SMP yang sama juga.” Sapa
seorang kawan lamaku, melihat wajahnya tercermin semua masa laluku. Dengan senyum ku balas, aku
rasa dia tahu sendiri keadaanku sekarang. Dia memperhatikan roti yang ku pegang. “Gimana rasanya?”
Pertanyaanya membuatku bingung “Roti ini?” tanyaku memastikan arah pertanyaanya itu
“Nikmat.” Jawabku yakin, dan tidak tahu arah pertanyaanya itu. Masa dia belum pernah merasakan roti
ini, bohong jika dia tidak punya uang untuk membelinya.
Ku lihat tangannya masuk ke sakunya, mungkin terpengaruh dengan jawabanku dan ingin
membelinya “Lebih enak mana dengan ini.” Sebatang rokok kini berada di depanku. Ku perhatikan
keadaan sekeliling berharap tidak ada yang memperhatikan kita.
“Sebaiknya kamu ambil kembali rokok itu, aku sudah lama tidak merokok lagi.” Tolak diriku “lagi
pula ini sekolah, kamu tidak takut di hukum oleh guru.” Kataku dan berdiri meninggalkannya. Aku tidak
ingin terpengaruh lagi sebab bekas dulu masih tersisah sampai sekarang, kaki ini korbannya. Korban
karena pergaulanku yang dulu.
Sepulang sekolah kawanku itu sudah menungguku di gerbang. Apa lagi yang dia inginkan dariku
“Hei kawan, sudah mau pulang?” Tanya dia “Mampirlah sebentar, tidak serulah kalau pria berkurung diri
di rumah, kamu bukan bancikan? ” katanya, membuatku bagai hipnotis. Kuturuti dirinya.
Sampai di pangkalan tempat mereka berkumpul dia memberiku sebatang rokok “Ambilah, aku
tidak menyuruhmu mengisapnya, tapi untuk bergaya saja. Kamu tidak inginkan di tertawakan yang
lainnya.” Katanya membuatku mengenggamnya sebatang rokok. Ternyata sejak awal aku salah
mengambil langkah, seharusnya aku pulang ke rumah, dan berkumpul bersama Femi dan Mia serta
lainnya. Karena saat tanganku menggenggam sebatang rokok kembali, tentu temanku yang lain aku
berpura-pura memintanya dan yang lainnya malah menawarkan pemantik. Merasa memiliki sebatang itu
dan tidak mau direbut yang lain tentu aku akan mengkonsumsinya. Dan tentu itu sebuah nikmat yang
tiada tara, walau awalnya aku harus batuk-batuk dan di tertawakan yang lain.
“Rokok itu bukan barang haram di dunia ini, jadi jangan kamu hindari kawanku.” Kata kawanku
itu yang mengenalkan dirinya sebagai kawan. Ya kawan. “merekok itu kewajiban setiap pria, kenikmatan
setiap pria. Seperti halnya wanita yang menikmati fesion dan shopping.” Sambungnya “yang jadi kejaran
polisi itu Narkotika bukan rokok. Kita malah membantu pendapatan Negara.” Celotehnya makin panjang
dan makin hari makin membuatku yakin kalau merokok di usiaku itu di perbolehkan.
Sejak saat itu pergaulanku makin bebas, bapak dan yang lainnya kembali miris melihat diriku.
Walau aku tahu perbuatanku salah, tapi aku tidak dapat menghentikannya. Aku memang malu di
hadapan keluargaku, tapi Malu-ku hilang saat kawan setiaku itu sudah menyodorkan sebatang rokok.
Berkali-kali aku berjanji pada diriku, berkali-kali aku ingkari. Suatu hari temanku menawarkan aku ganja
dan semacamnya, untuk yang satu itu aku bisa mengatasinya. Hatiku enggan untuk menggunakannya,
walau berkali-kali hatiku betanya-tanya saat menggenggamnya. Ternyata sedikit bekas iman masih
tersimpan di paling dasar hatiku.
Setelah lulus SMP Aku mencoba untuk berubah, entah ini yang ke berapa kalinya Aku bertekat
untuk berubah. Aku ingin dapat berkerja dengan baik. Aku sadar kalau kakiku pincang, dan tidak banyak
tempat bekerja yang membutuhkanku. Hingga akhirnya Aku tertarik dengan sebuah yayasan. Aku
memutuskan masuk ke sebuah Yayasan yang berbasis ilmu pengetahuan dan Agama. Tapi lagi-lagi itu
bukan sebuah jaminan untuk aku dapat berubah lebih baik, sebab walaupun cacat dirku bisa
membentuk sebuah genk baru yang kita beri nama “The King Of Brother” terdiri dari aku sendiri
Muhammad Romdani, dan kawan-kawanku Mamba Usul, Aji al-Bukhori, Ajun & Ilham Azizi. Dengan
bangga aku berkelana di penjuru Yayasan itu dengan menyandang predikit pembuat onar.
Hidupku terus berjalan dengan janji-janji akan perubahan pada diriku. Hingga ku temukan
seorang wanita Sholeha, aku berjanji berubah untuknya. Ternyata begitu banyak pria-pria terbaik yang
menyaingiku untuk mendapatkan cintanya. Perjuanganku pasang surut untuk memperolah cintanya. Di
tambah lagi bapaknya yang menganggap aku berandalan. Tapi akhirnya aku bisa memperlihatkan dirku
yang terbaik kepada dia dan keluarganya di bandingkan pria lagi. Karena dia aku berubah.
Setahun menikah kami di hadiakan seorang anak perempuan. Kebutuhan kita mulai meningkat,
membuatku seringkali stress memilkirkan pekerjaan tambahan yang harus aku ambil. Dengan sembunyisembunyi sampai terang-terangan terhadap istriku, aku kembali menggenggam sebatang rokok untuk
menghilangkan stress. Istriku seringkali menasehatiku, sebab dengan sebungkus rokok cukup sebagai
pengganti sekilo gram beras. Tapi aku menganggap semua ucapannya sebagai angin lalu. Hingga sebuah
goncangan menghancurkan diriku, Istriku harus pergi ke dunia lain setelah memperjuangkan anak kedua
kami untuk datang ke dunia ini.
“mas jagalah anak-anak kita, ijinkan aku membawa sebatang rokokmu itu untuk pergi
bersamaku. Jadilah bapak dan ibu terbaik bagi mereka.” Pesannya di sela-sela nafas terakhirnya, air
mataku tidak terbendung mendengar ucapannya itu. Air mataku mengalir dengan derasnya melihatnya
yang terbujur kaku. Jika aku punya kesempatan untuk berjanji lagi aku ingin berjanji padanya, kalau tiada
rokok lagi.
“Bapak…Bapak…” panggilan Rahmi menyadarkan aku dari lamunanku, aku hapus air mataku
“Bapak menangis? Karena ulah Rahmad? Bapak tidak perlu pikirkan dia, dia akan mendapatkan
karmanya. Kita doakan dia supaya sadar saja bapak.” Kata Rahmi, sekarang sudah beranjak dewasa, dia
menuruni sifat ibunya yang baik hati. Sedangkan Rahmad mungkin menuruni sifatku, tapi aku tidak
berharap dia akan sepertiku. “Kita masuk Bapak perlu minum obat, biar bapak cepat sembuh.” Lanjutnya
mangajakku masuk.
Dengan langkah pelan aku dan Rahmi masuk, apa yang di harapkan dari aku lagi. Aku tidak butuh
obat, sebab yang sakit itu hatiku. Yang aku inginkan agar Rahmad bisa menjadi pria terbaik tidak
sepertiku. Aku sangat berharap tiada lagi yang seperti diriku.
*Sekian*
19/06/2012