Kurikulum KTSP Bercirikan Keagamaan

KURIKULUM KTSP BERCIRIKAN KEAGAMAAN Oleh: Evi Sapinatul Bahriah, S.Pd 2009

  Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian proses kegiatan yang dilakukan secara sadar, berencana, sistematik, berkesinambungan, terpola, dan terstruktur terhadap anak didik dalam rangka membentuk para peserta didik menjadi seorang insan yang berkualitas baik sacara intelek maupun moral spiritual. Pendidikan adalah aspek kehidupan yang harus dan pasti dijalani oleh semua manusia di muka bumi sejak kelahiran, selama masa pertumbuhan dan kedewasaannya (M. Joko Susilo 2007 : 24).

  Perkembangan pendidikan menunjukan perkembangan yang sangat pesat, indikatornya adalah munculnya sekolah-sekolah baru yang menawarkan berbagai kelebihan dalam membekali peserta didik. Untuk itu, maka perlu adanya pembenahan disetiap lini atau perkembangan lembaga pendidikan tersebut, jika tidak maka harus bersiap tertinggal dan tidak diminati lagi oleh para calon peserta didik.

  Sesuai dengan salah satu tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, maka dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 diamanatkan adanya kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 % dari APBN.

  Anggaran pendidikan lebih tinggi dari anggaran kesehatan, karena program ini bertujuan mewujudkan manusia yang sejahtera lahir dan batin, serta menguasai sains dan teknologi dengan tetap memprespektifkan etis dan panduan moral. Seperti terlihat di negara-negara maju, kemajuan dan penguasaan sains dan teknologi yang berlangsung tanpa perspektifetis dan bimbingan moral akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Hal ini, pada gilirannya akan menciptakan masalah-masalah kemanusiaan yang cukup berat, diantaranya krisis nilai- nilai moral, sosial dan kekosongan nilai-nilai kerohanian dan sebagainya.

  Mempertimbangkan kenyataan ini, pengembangan dan penguasaan sains dan teknologi di Indonesia, seyogyanya berlandaskan pada wawasan moral dan etis. Indonesia mempunyai sejumlah modal besar yang memadai. Untuk mewujudkan cita-cita ini, di antara modal dasar yang terpenting adalah kenyataan bahwa rakyat dan masyarakat Indonesia adalah umat religius yang sangat menghormati ajaran-ajaran agama.

  Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang seperti ini, banyak para orangtua peserta didik memasukkan anak-anak mereka ke dalam pondok pesantren dengan nuansa keagamaan yang masih sangat kental. Mereka ingin mendidik anak-anak mereka dalam suasana keagamaan sebanyak mungkin agar dapat menjadi pondasi yang kokoh dalam menghadapi dampak negatif perkembangan zaman. Usaha ini menghadapi problem yang serius, yaitu tertinggalnya anak-anak mereka dari kehidupan modern selepas mereka dari pendidikan tradisional tersebut. Lulusan sekolah-sekolah keagamaan tradisional ini pada umumnya menjadi gagap dan tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan modern.

  Realita inilah yang membuat para orang tua berfikir untuk membuat alternatif lain sebagai ganti dari sekolah-sekolah keagamaan tradisional tersebut. Mereka sadar bahwa meski pendidikan dan kultur keagamaan diperlukan bagi masa depan anak-anak tetapi modernisasi juga perlu diakomodir agar anak-anak mereka juga dapat menjadi pemenang dalam kehidupan dunia. Sekolah haruslah mampu memberi bekal dasar-dasar keagamaan yang cukup sekaligus mampu membuat anak-anak mereka tampil cakap di dunia modern, hal ini senada dengan Abdul Wahid mengutip Mucthar Bukhori bahwa tuntunan dalam pendidikan mencakup kemampuan untuk mengetahui pola perubahan dan kecenderungan yang sedang berjalan (Abdul Wahid, 2002 : 264), kesadaran inilah yang kemudian menumbuh suburkan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan yang mengusung ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam kurikulum mereka sebagai upaya untuk menghadapi dan menanggapi tuntutan yang berkembang pada masa ini. Perkembangan selanjutnya di tanah air, banyak muncul lembaga-lembaga formal berbasis keagamaan. Sekolah dengan label SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu), SMAIT (Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu) marak didirikan dimana-mana (Farid Hasan, 2008:4).

  Seiring diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 pasal 11 tentang otonomi daerah dalam bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkunngan hidup, koperasi serta tenaga kerja. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan berada di bawah kewenangan daerah kabupaten dan kota (E. Mulyasa,2006 : 5).

  Ketentuan otonomi daerah sebagaimana diuraikan diatas, telah membawa perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten. Pemerintah daerah untuk selalu senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah. Sekolah sebagai ujung tombak dari kebijakan pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakannya dalam dunia pendidikan, diharapkan mampu mengembangkan kurikulum sendiri yang sesuai dengan keadaan demografis, perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan teknologi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat sekitarnya.

  Seiring dengan diterapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (BSNP, 2006:1) yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing sehingga menjamin lulusannya dapat berkompetensi dan memperoleh peluang besar untuk mengisi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan masyarakat.

  Hal itu dikarenakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip: 1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; 2) beragam dan terpadu; 3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; 5) menyeluruh dan berkesinambungan; 6) belajar sepanjang hayat; 7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (BSNP, 2006:2).

  Akan tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi yang selain membawa dampak positif bagi perkembangan zaman juga membawa dampak negatif yang dapat berakibat pada degradasi moral, konsumtifisme, hedonisme, dan instan, tentu saja kurikulum yang hanya mengandung unsur duniawi tidaklah cukup untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat atas efek globalisasi dan modernisasi yang diiringi oleh dampak westernisasi yang diikuti oleh para remaja saat ini. Para orang tua menginginkan anak-anak mereka mempunyai pondasi keagamaan yang kokoh serta dapat menguasai ilmu-ilmu sains dan teknologi yang handal.

  Dalam proses pendidikan, sekolah dasar dan sekolah menengah menempati posisi yang sangat vital dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melakukan pendidikan ditingkat ini akan berakibat fatal untuk pendidikan ditingkat selanjutnya (Zamroni, 2000 : 105). Maka pendidikan dasar dan menengah juga terkait dengan pendidikan tinggi yang mendukung pencapaian tujuan akademik (M. Adnan latif, 1994 : 91). Kurikulum adalah program pembelajaran yang disediakan untuk membelajarkan siswa dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga akan menghasilkan output sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu perlu diadakannya manajemen kurikulum yang baik sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan.

  Banyak definisi kurikulum yang saling berbeda antara satu dan lainnya, disebabkan karena perbedaan landasan filsafat yang dianut oleh para penulis berbeda-beda, akan tetapi adanya kesamaan fungsi, yaitu bahwa kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan (H.Dakir, 2004:1).

  Salah satu upaya mewujudkan kurikulum bercirikan keagamaan, maka perlu diberlakukannya pendidikan nilai/akhlak. Pendidikan nilai/akhlak diartikan sebagai proses internalisasi nilai untuk menghasilkan peningkatan kualitas keimanan, moralitas, dan akhlak mulia (Djaali, 2008:6). Strategi pendidikan nilai/akhlak berintikan keteladanan dan kepeloporan serta keikhlasan pendidik. Keberhasilan pendidikan nilai ditentukan oleh iklim/suasana dan lingkungan yang dirancang untuk menstimulasi interaksi edukatif yang efektif bagi terjadinya internalisasi nilai dan suatu bahan ajar. Dalam pendidikan nilai, peserta didik mengalami proses pembiasaan dalam iklim dan lingkungan yang berisikan perilaku teladan dan interaksi edukatif.

  Adapun kebijakan yang member prioritas pada pendidikan nilai di sekolah, antara lain: memberikan perhatian khusus dan menentukan kelulusan dari satuan pendidikan, mendorong upaya perbaikan pendidikan nilai/akhlak melalui peningkatan peran guru sebagai teladan untuk mendukung terciptanya iklim dan lingkungan sekolah yang kondusif bagi terjadinya interaksi edukatif, serta peningkatan kompetensi guru melelui program sertifikasi, termasuk kompetensi kepribadian dan social.

  Adapun pengertian nilai sendiri menurut A. Kosasih Djahiri merupakan ide atau konsep mengenai apa yang penting dan bertautan dengan etika dan estetika (Syaiful Anwar, 2000:28). Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar, adil, dan indah yang merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih perilaku apa yang pantas dan tidak pantas atau tidak baik dilakukan.

  Nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang berarti bagi kehidupan manusia (Mawardi Lubis, 2008:16). Hal ini sejalan dengan pendapat Gordon Allport yang menyatakan bahwa nilai keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya (Suroso Adi Yudianto, 2005:46). Sedangkan menurut Einstein nilai merupakan emosi yang paling indah dan mendalam yang dapat kita alami ialah kesadaran akan perkara-perkara yang sifatnya spiritual/mistik. Kesadaran ini merupakan kekuatan segala ilmu pengetahuan yang sejati (Suroso Adi Yudianto, 2005:39).

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa nilai merupakan segala sesuatu yang menjadi tuntunan yang dipandang baik atau tidak baik terhadap sesuatu immaterial, personal, kondisional, atau harga yang dibawakan oleh suatu objek dan sangat berarti bagi kehidupan manusia.

  Nilai-nilai yang harus dipelajari dan diamalkan dalam mempelajari suatu konsep ilmu pengetahuan menurut Spranger ada enam yaitu: nilai ekonomi, nilai ilmiah, nilai social, nilai kekuasaan, nilai kekuasaan, dan nilai religious. Sedangkan menurut Einstein menyatakan bahwa sains mempunyai lima nilai (Suroso Adi Yudianto, 2005:46), yaitu:

  RELIGION ECONOMIC POLITICAL PRACTICE SOCIAL SCIENCE

  VALUES EDUCATION INTELECTUAL

  1) Nilai praktis, yaitu nilai kemanfaatan suatu bahan ajar yang dikaitkan dengan segi-segi praktis bagi kehidupan manusia. Contohnya antara lain pemanfaatan Hukum Faraday, pemanfaatan konsep reaksi kesetimbangan dalan industri amoniak dan asam sulfat, dan sebagainya.

  2) Nilai intelektual atau nilai kecerdasan, yaitu kandungan nilai yang mengajarkan kecerdasan seseorang dalam menggunakan akalnya untuk memahami sesuatu dengan tidak mempercayai tahayul atau kebenaran mitos, tetapi agar lebih kritis, analitis, dan kreatif terhadap pemecahan suatu masalah yang lebiih efektif dan efisien.

  3) Nilai sosial-politik-ekonomi, nilai sosial suatu bahan ajar menunjukkan satu kesatuan faktor-faktor yang berinteraksi sehingga menimbulkan fenomena dalam suatu bahan ajar sains itu yang berupa konsep, prinsip-prinsip, dan teori dalam sains.

  4) Nilai pendidikan, yaitu kandungan nilai yang dapat memberikan inspirasi atau ide untuk pemenuhan kebutuhan manusia dengan belajar dari prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang berlaku dalam sains.

  5) Nilai religius (nilai keagamaan), kandungan nilai yang bersumber dari Al-Quran dan Al-

  Hadist yang dapat membangkitkan rasa percaya atau keyakinan bahwa sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakannya atau yang mengaturnya, yang pada akhirnya timbul kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat bertindak, sesuai engan perintah-Nya dan berlaku bijak dengan alam sekitarnya.

  Menurut Krathwohl proses pembentukan nilai pada anak dikelompokkan menjadi lima tahap, yakni (Mawardi Lubis, 2008:18-21): 1)

  Tahap receiving (menyimak) Pada tahap ini seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenomena-fenomena, sedia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena.

  2) Tahap responding (menanggapi)

  Pada tahap ini seseorang sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimulus dalam membentuk respon yang nyata. 3)

  Tahap valuing (memberi nilai) Pada tahap ini seseorang sudah dapat menangkap stimulus atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan mulai mampu menyusun persepsi tentang objek.

  4) Tahap organization (mengorganisasikan nilai) Merupakan tahapn yang lebih komplek dari dari tahap ketiga di atas.

  5)

Tahap characterization (karakterisasi nilai)

  Merupakan tahapan yang ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk mengorganisir system nilai yang diyakini dalam hidupnya secara mapan, ajeg, dan konsisten sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya. Menurut Nik Azis Nik Pa pendekatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan pada pendidikan nilai adalah:

  Pendekatan Falsafah/psikologi Tujuan Pembelajaran Penanaman nilai

  Realisme/behaviorisme Memupuk nilai moral dalam diri peserta didik.

  Keteladanan, contoh, dan peneguhan. Perkembangan moral

  Pragmatsme/perkemban gan kognitif Membina keanekaragaman moral yang komplek beradaskan nilai moral yang tinngi.

  Diskusi tentang fenomena moral dalam kelompok kecil Analisis nilai Realisme/pemprosesan ilmiah Membuat kesimpulan tentang isu nilai dengan menggunakan pemikiran logis dan kajian saintifik Diskusi, praktiku/eksperimen Penjelasan nilai Pragmatisme/humanism Meneliti perasaan, nilai, dan corak tingkah laku sendiri dengan menggunakan pemikiran rasional dan kesadaran emosi.

  Simulasi, latihan analisi diri, diskusi kelompok Pembelajaran tindakan

  Pragmatism/humanisme Mengembangkan dan mengamalkan nilai.

  Proyek kerja, latihan, diskusi, dll Referensi:

  Nik Azis Nik Pa, Pengembangan Nilai dalam Pendidikan Matematik: Cabaran dan Keperluan , University Malaya: 2007. Suroso Adi Yudianto, Biological Science Education Using Value Approach, dalam Manual

  

Book of The First International Seminar on Matematics and Sciense Education , Jakarta: UIN

Jakarta, 2008.

  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2006. Prof. Dr. Djaali, Sistem Pendidikan Nasional yang Mengarah pada Penguatan Karakter, Jakarta: disajikan dalam workshop pendidikan, 2008.

  Suroso Adi Yudianto, Manajemen Alam Sumber Pendidikan Nilai, Bandung; Mughni Sejahtera, 2005. Dr. Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004.