MAKALAH SKI ISLAM and PLURALISME.docx

MAKALAH
ISLAM DAN PLURALISME
Dosen Pengampu:
Benny Afwadzy, M.Hum

Disusun Oleh:
Ahmad Mu’arif

(14810096)

Ahmad Rifa’i

(14810109)

Ahmad Haqqi Azizy

(14810122)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH


2014

1

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................

1

DAFTAR ISI........................................................................................................

2

BAB I

BAB II

BAB III


PENDAHULUAN
A. Latar belakang...............................................................................

3

B. Rumusan masalah..........................................................................

4

C. Tujuan makalah..............................................................................

4

D. Manfaat..........................................................................................

4

PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam dan Pluralisme Agama.......................................


5

B. Perkembangan Pluralisme di Indonesia.........................................

7

C. Hubungan antara Islam dan Pluralisme.........................................

9

PENUTUP
A. Analisis..........................................................................................

11

B. Kesimpulan....................................................................................

11


C. Saran..............................................................................................

11

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

12

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita menganggap bahwa Indonesia adalah negara religius. Selanjutnya, kita
menganggap bahwa orang Indonesia itu dengan sendirinya juga religius, yaitu manusia yang
berTuhan. Buktinya setiap tahun orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak
sedunia. Jumlah yang pergi umroh juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun.
Suasana Ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.1
Disamping itu, Masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini,
diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya

hingga agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia. 2 Disisi
lain, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah resmi mengeluarkan fatwa, bahwa
paham Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat islam
memeluknya.3
Fenomena antipluralisme, antiliberalisme, dan antisekulerisme tersebut tampaknya
tidak terjadi hari ini dan di bumi Indonesia, tetapi sudah berlangsung berabad-abad dan
berlangsung diberbagai tempat di dunia muslim. Ia tampaknya telah menjadi konstruksi yang
begitu kukuh dalam masyarakat muslim selama berabad-abad. Nalar religius mayoritas kaum
beragama hari ini masih terus mewarisi kebudayaan arabia produk abad pertengahan, ketika
akal intelektual dikalahkan oleh teks-teks keagamaan yang dimaknai secara tunggal dan
literal, ketika paradigma teologis “kekuasaan” mengalahkan paradigma teologis “keadilan”,
dan ketika pemaknaan esoteris atas teks-teks keagamaan dihegemoni oleh pemakanaan
eksoteris. Konstruksi ini kemudia diproduksi dan didoktrinkan secara terus menerus dari
generasi ke generasi melalui berbagai media sosial dan pendidikan, tanpa ada perubahan
kearah kemajuan yang berarti bagi kemanusiaan. Alih-alih, ruang-ruang dialog untuk
mengkritik paradigma doktrinal tersebut mampat, stagnan, malahan justru melahirkan stigmastigma yang melukai wilayah psikologi dan fisik, atau bahkan membunuh karakter-karakter
manusia.4

1
2

3

4

K.H. Salahuddin Wahid, Berguru Pada Realitas, (Malang: UIN-Maliki, 2011), hal. 3.
Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, (Malang: Maliki-Press, 2010), hal. 1.
Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama (Malang: UIN-Maliki Press,
2010), hal. 41
KH. Husain Muhammad, Mengaji Pluralisme, (Bandung: Al-Mizan, 2001), hal. 62.

3

4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan yang hendak disampaikan yaitu:
1. Apa pengertian Islam dan Pluralisme?
2. Bagaimana perkembangan Pluralisme di Indonesia?
3. Apa hubungan Islam dan Pluralisme?
C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan Makalah ini dibuat yaitu:
1. Mengetahui pengertian Islam dan Pluralisme.
2. Mengetahui perkembangan Pluralisme di Indonesia.
3. Mengetahui hubungan Islam dan Pluralisme.
D. Manfaat
Diharapkan Penulisan Makalah ini agar pembaca mengenal dan mengetahui Islam dan
Pluralisme.
1. Bagi Penulis, untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan
Kebudayaan Lokal.
2. Bagi Pembaca, sebagai bahan acuan materi Islam dan Pluralisme.
A.

5

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Islam dan Pluralisme Agama
Istilah Islam dan Pluralisme masih sering disalahpahami oleh sebagian orang. Hal ini


dapat dilihat dari semakin menjamurnya kajian internasional tentang Islam dan Pluralisme.
Sungguh sangat mengejutkan, bahwa banyak yang mencoba mendefinisikan Pluralisme
agama. Sementara definisi agama dalam wacana barat mengandung polemik yang tak
berkesudahan dalam berbagi bidang. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir mustahil untuk
mendapatkan definisi agama yang diterima semua kalangan. 5
Prof. Dr. Harun Nasution mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang ajaranajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw
sebagai Rasul.6 Sedangkan, menurut Dr. Muslim Ibrahim yang mengatakan bahwa Islam
berarti patuh dan taat serta berserah diri kepada Allah secara menyeluruh sehingga
terwujudlah “salam” dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.7
Islam adalah agama damai, bukan agama pedang. Hal ini menurut Abd al-Basit dapat
dibuktikan melalui surat-surat Rasulullah kepada para raja pada waktu itu, antara lain surat
kepada Heraclius, Raja Romawi. Dari surat tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa dakwah
dengan cara-cara damai dan lembut adalah karakter dakwah Nabi. Jika Heraclius bersedia
memeluk Islam, maka dia dijanjikan akan mendapat pahala yang berlipat, namun jika
menolak maka ancamannya adalah dosa, bukan ancaman diteror dengan pedang. Dengan
demikian kalangan Barat menuduh Nabi sebagai penebar teror. Kelembutan dakwah nabi
berdasarkan firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang

lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Q.S. An Nahl:125]. “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
5

Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hal. 9.
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 2001), hal .17.
7
Dr. Muslim Ibrahim, MA, Pendidikan Islam untuk Mahasiswa, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 13.
6

6

kepada-Nya”. [Q.S. Al-'Imran:159]. Dakwah secara santun pun menjadi ciri khas para
sahabat. Dalam sebuah riwayat, diceritakan Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan
bersabda, “Ajaklah mereka dengan hal-hal yang mudah. Janganlah memberatkan mereka.
Berilah mereka kabar gembira dan jangan membuat mereka lari ketakutan”. Ajaran cinta

damai ini tentu sangat bertentangan dengan tindakan-tindakan kekerasan kaum radikal.8
Sedangkan pengertian pluralisme Agama, berasal dari dua kata yaitu:”pluralisme” dan
“agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan ”al-ta’addudiyah al-diniyyah” dan dalam bahasa
inggris diterjemahkan “religious pluralism”. Karena istilah Pluralisme berasal dari Bahasa
Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk pada kamus bahasa
tersebut. Pluralisme berarti “ jama” atau lebih dari satu. Sedangkan pluralisme menurut Anis
Malik Toha dalam bukunya “Tren Pluralisme Agama” (2005:11) mempunyai 3 pengertian.
pertama, bermakna kegerejaan, yaitu sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
dalam struktur kegerejaan. kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui eksistensi keragaman kelompok, baik yang
bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung tinggi aspek perbedaan yang
sangat karakteristik dalam kelompok-kelompok tersebut.9
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan bahwa pluralitas
merupakan sesuatu yang alamiah. Allah tidak menghendaki manusia untuk menjadi satu umat
saja. “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi
Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan”[Q.S. An Nahl:93]. “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan
mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke

dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang
pelindungpun dan tidak pula seorang penolong [Q.S. Ash-Shura:8]. Juga dinyatakan bahwa
masing-masing kelompok manusia mempunyai jalan hidup yang memang cocok untuk
mereka. Perbedaan itu memang sesuatu yang alami dan karenanya yang penting adalah
bagaimana masing-masing kelompok dapat berbuat untuk kebaikan umat manusia.10

8

Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, (Bandung: Mizan:2011), hal. 231-232
Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hal. 8.
10
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Yogyakarta: LkiS, 2011), hal. 254-255
9

7

B.

Perkembangan Pluralisme di Indonesia
Pemikiran Pluralisme Agama muncul pada masa yang disebut Masa Pencerahan

(Renaissance), tepatnya pada abad XVIII masehi, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya pemikiran moderen. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacanawacana baru pergulakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.11
Masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini, diperoleh
manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga
agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.12
Abu Rabi’melihat, meskipun Islam telah menjadi kekuatan, nilai dalam menumbuhkan
etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, namun potensi untuk menjadi gerakan
sosial yang kental dengan sentimen anti-Kristennya, masih terbuka lebar. Berbagai
kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini, menggambarkan
posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab
itu, menurutnya, aspirasi politik keagamaan yang berkembang, akan tetap membuka peluang
bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi,
ketebukan dan moderasi. Hal ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan
perkembangan wacana keagamaan paska moderen.13
Menurut kelompok yang menolak Pluralisme agama, mereka berpendapat agama
bahwa “Pluralitas Agama” dan “Pluralisme Agama” merupakan dua hal yang berbeda.
Pluralitas Agama adalah kondisi dimana berbagai macam agama mewujud secara bersamaan
dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan Pluralisme Agama adalah suatu paham yang
mengatakan bahwa semua agama sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema penting
dalam disiplin sosiologi, teologi, dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan
merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu, menganggap Pluralisme Agama
sebagai sunatullah adalah klaim yang berlebihan.14

11
12
13
14

Dr. Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2006), hal. 16.
Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, hal. 1.
ibid, hal. 2.
ibid, hal. 4.

8

Sedangkan menurut kelompok yang menerima Pluralisme agama, mereka sepakat
bahwa fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekulerisme, dan Pluralisme, disamping
sejumlah fatwa yang lain, merupakan pengingkaran terhadap realitas kemajemukan yang
merupakan “sunnah” dan kehendak Tuhan, mencenderai demokrasi, melanggar HAM, dan
konstitusi Negara Republik Indonesia. Fatwa MUI juga mereka anggap telah menjegal ilmu
pengetahuan dan peradaban, serta memasungkan kreatifitas dan pemikiran manusia. Dengan
begitu, menurut mereka fatwa-fatwa tersebut bukan hanya merusak citra agama tetapi juga
membahayakan masa depan kemanusiaan dan secara khusus mengancam kebhinekaan negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan
darah dimana-mana.15

15

KH. Husain Muhammad, Mengaji Pluralisme, hal. 60.

9

C.

Hubungan antara Islam dan Pluralisme

Di dunia Islam, kedudukan agama sedemikian sakralnya, sehingga kritik atasnya
hampir-hampir merupakan sesuatu yang dianggap pantangan. Akan tetapi, melakukan kritik
atas diri sendiri sebagai manusia beriman merupakan suatu keharusan, ketika perjalanan
hidup keimanan ternyata tidak membawa manusia ke keadaan yang diidealkan dan ketika
kenyataan sekuler yang dirasakan “kebenarannya” ternyata menyimpang atau bahkan
bertentangan dengan ajaran keimanan.16
Sebagai sebuah produk budaya, Islam berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan
dalam berbagai corak sesuai dengan keberagaman manusia. Dari sejak kehadiranya,
kepelbagaian bahkan sudah terlihat. Dalam sikap individual para sahabat Nabi Muhammad
saw., terdapat orang-orang yang lembut seperti Abu Bakar dan ‘Utsman, namun juga terdapat
orang yang keras seperti ‘Umar dan ‘Ali.17 Sehingga bisa terlihat bahwa dalam memahami
Islam pun menjadi berbeda-beda dari masing-masing pemeluknya.
Dalam tradisi Islam, terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusiftoleran. Nalar dogmatis eksklusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal
yang tidak dapat terbagi-bagi. Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari
kiamat.18 Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya agama (yang
diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al
Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.” [Q.S. Al 'Imran:19]
Sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan agama
lain adalah salah. Ini merupakan pandangan dogmatis arus utama yang didasari oleh asumsi
subjektif bahwa agama merekalah (Islam) yang toleran sementara pemeluk agama yang lain
adalah intoleran. Beginilah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, dimana para
pemeluk Islam masih terkungkung dalam fanatisme dan ortodiksi sehingga wacana
pluralisme dan inklusivisme masih dimusihi bahkan diteror.19
Nalar dogmatis eksklusif merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam
semua tradisi agama. Ia sering mengatasnamakan dirinya sebagai otoritas resmi yang
disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mendaku dirinya berhak memvonis benar atau
sesatnya sebuah pemikiran dan aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak menentukan
hal-hal yang boleh dipikirkan dan yang terlarang dipirkan. Hal-hal yang terlarang dipikirkan
patut disingkirkan oleh otoritas resmi karena dinilai sesat dan menyesatkan. Otoritas resmi
seakan-akan mempunyai stempel benar dan salah. Pluralisme, liberalisme, dan isme-isme
lainnya disesatkan dan dilarang untuk dipikirkan.20

16
17
18
19
20

Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, hal. 43-44
ibid, hal. 130
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 52-53
Ibid, hal. 47-48
Ibid, hal. 51

10

Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaan Al-Qur’an, hadist, dan simbolsimbol agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf saleh. Ciri khas otoritas resmi Islam,
misalnya, akan membiarkan orang-orang yang berusaha mengungkapkan kebrobokan Barat
dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi islam secara ironis akan
memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya. Inilah arogansi dan intoleransi
dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini harus didekonstruksi dan didesakralisasi guna
mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.21
Tidak ada artinya meneriakkan slogan toleransi jika tidak dibarengi dengan keadilan
yang berpijak pada upaya menghormati hak-hak orang lain. Kamus-kamus bahasa
mendefinisikan toleransi sebagai “sikap pemikiran dan perilaku yang berlandasan pada
penerimaan terhadap pemikiran dan perilaku orang lain, baik dalam keadaan bersepakat atau
berbeda pendapat dengan kita”. Intinya, toleransi adalah menghormati orang lain yang
berbeda.22 Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Di antara mereka ada orangorang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak
beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat
kerusakan (40). Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan
bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun
berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan"(41). [Yunus,40-41]
Anjuran inklusif-toleransi juga tercermin dalam tulisan Ibn Rusyd, “Wajib bagi kita
meneliti apa yang pernah dikatakan oleh para pendahulu kita, tidak peduli apakah mereka
seagama dengan kita atau tidak. Sesungguhnya alat yang sah dipakai untuk menyembelih
(yang diibaratkan seperti metode filsafat) tidak dipandang apakah berasal dari orang seagama
atau tidak. Wajib bagi kita menelitinya, Jika benar, maka akan kita terima, Dan jika salah,
maka kita waspadai.23
Gamal al-Banna24- Al-Qur’an adalah dalil terbesar yang mengafirmasi pluralisme
beragama. Al-Qur’an melarang masing-masing kelompok agama mengklaim umat yang
paling utama seraya merendahkan kelompok agama lain. Kelompok-kelompok agama tidak
boleh mengklaim dirinya adalah ahli surga sementara kelompok lain adalah ahli neraka.
Klaim-klaim seperti ini sama saja merampas hak Allah. Sudah saatnya dai Islam mengetahui
bahwa mereka tidak dituntut mengislamkan non-Muslim. Mereka tidak berhak mengklaim
bahwa selain orang Islam akan masuk neraka karena kunci-kunci surga dan neraka tidak
berada di tangan mereka.25 Yang dituntut dari para dai setelah turunnya firman Allah yang
berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan”. [Q.S. Al Maidah:105] adalah sekedar menjadi saksi atas manusia. Para dai
hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian membiarkan mereka
menentukan keyakinan mereka sendiri.26
21

Ibid, hal. 51
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 60
23
Ibid, hal. 62
24
Gamal al-Banna (1920) adalah seorang pemikir Islam yang progresif dari Mesir. Ia
adalah adik bungsu Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
25
Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 71
26
ibid
22

11

BAB III
PENUTUP
A.

Analisis
Islam adalah agama yang terbuka, tidak menutup diri, dan memberikan kebebasan

berpikir bagi pemeluknya, serta mengajak pemeluknya untuk senantiasa berinteraksi antar
sesama manusia tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain serta meghimbau
untuk senantiasa berdialog mencari kebenaran yang hakiki dengan pihak lain (non Islam)
secara baik-baik.
Disamping itu, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga sudah
menjadi wajar manakala di Indonesia terjadi hubungan antar berbagai agama yang ingin
hidup rukun. Sehingga sikap pluralis dan toleransi menjadi sebuah senjata penting untuk
lancarnya kehidupan beragama dan bernegara.
B.

Kesimpulan
Pluralisme Agama di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Karena

ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini
artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga fatwa-fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme
adalah fatwa yang bisa merusak citra agama dan juga bisa membahayakan masa depan
kemanusiaan serta secara khusus mengancam kebhinekaan negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan darah dimana-mana.
C.

Saran

Memahami Islam dan Pluralisme memerlukan kajian yang mendalam agar tidak terjadi
kesalahan pemahaman. Sehingga menjadi penyebab perpecahan umat dan kehidupan
bernegara pun akan terganggu. Oleh sebab itu, belajar terbuka, tidak bersikap eksklusif
adalah langkah awal untuk mempelajari Islam dan Puralisme. Hal ini sangat penting
mengingat Islam adalah agama yang ditujukan untuk semua umat.

12

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahan.
Ibrahim, Muslim. Pendidikan Islam untuk Mahasiswa. (Jakarta: Erlangga, 1989).
Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. (Yogyakarta: LkiS, 2011).
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran. (Bandung: Mizan:2011).
Muhammad, Husain. Mengaji Pluralisme. (Bandung: Al-Mizan, 2001).
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press, 2001) jilid I.
Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2006).
Wahid, Salahuddin. Berguru Pada Realitas. (Malang: UIN-Maliki, 2011).
Wahyuninto, Lusi dan Abd. Qodir Muslim. Memburu Akar Pluralisme Agama. (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010).
Zainuddin, M. Pluralisme Agama. (Malang: Maliki-Press, 2010).

13