TOKOH TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIF

Nama : Ni Putu Diah Paramitha G.
NIM : 1201605003
Prodi : Antropologi
TOKOH-TOKOH SUDUT PANDANG KEBUDAYAAN DIFERENSIAL
Sudut pandang diferensial melihat bahwa kebudayaan bersifat liquid (cair), dinamis,
dan kompleks. Berbeda dari pandangan generik yang melihat bahwa kebudayaan bersifat
turun-temurun, pandangan diferensial melihat bahwa kebudayaan lebih bersifat situasional
yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang
berubah dari waktu ke waktu. Adapun teori yang digunakan untuk mengamati kebudayaan
diferensial ini adalah teori-teori yang bernuansa posmodern. Teori-teori tersebut beserta tokoh
pendukungnya dijabarkan sebagai berikut.
1.

POS-STRUKTURALISME
Pos-strukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap

strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas
kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta
ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Kaum pos-strukturalis pada umumnya
melihat bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang sangat dinamis. Tokoh-tokoh pendukung
teori ini adalah sebagai berikut.

a.

ROLAND BARTHES

Salah satu ungkapan Barthes yang paling terkenal adalah “pegarang sudah mati”.
Ungkapan tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam kondisi posmodern, pengarang
dengan semangat Cartesian, tidak memiliki tempat dalam diskursus. Ungkapan tersebut

adalah sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa
pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara.
Karya atau teks posmodern, dalam hal ini, tidak dapat lagi dikategorikan menjadi teks
atau karya dalam pengertian modernisme, yaitu karya yang memiliki arti yang tunggal dan
utuh. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa tunggal dan subyektif
pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan asal-usul yang tidak pasti. Hal ini
dijelaskan Barthes, sebagaimana yang ditulisnya,
“…sebuah teks bukanlah sebaris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis
(pesan atau wahyu Pengarang – Tuhan), akan tetapi ruang multi-dimensional yang di
dalamnya aneka ragam tulisan-tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal,
bercampur, dan bertumpang tindih. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang
diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.”

Bagi Barthes, sebuah teks adalah kombinasi dari tulisan-tulisan, yang diambil dari
berbagai kebudayaan, dan memasuki suatu ruang tertentu, yang di dalamnya semuanya
dipusatkan dan berinteraksi dalam bentuk dialog, parodi, arena kontes, atau alegori. Ruang
ini, menurut Barthes adalah pembaca. Matinya sang pengarang dalam era posmodern diiringi
dengan lahirnya pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang
menjadikan pembaca/teks-teks sebagai pusat penciptaan ketimbang pengarangnya sendiri
(lihat Piliang, 2003: 118-121).
b. JULIA KRISTEVA

Julia Kristeva adalah seorang pemikir pos-strukturalis Prancis. Dalam bukunya
Revolution in Poetic Language dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature
and Art, ia memperkenalkan istilah intertekstualitas. Dalam kedua buku ini, Kristeva
membawa istilah intertekstualitas, sebagai satu konsep kunci dari paham pos-strukturalisme,

yang sekaligus menantang model berpikir struktur, sinkronik, dan bersistem dari paham
strukturalis. Apa yang dilihat Kristeva dalam suatu teks dan karya seni, tidaklah sesederhana
relasi-relasi antara bentuk dan makna atau penanda (signifer) dan petanda (signified),
sebagaimana yang dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat
pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam analisis teks.
Sebuah teks atau karya seni dibuat dalam waktu yang konkrit. Oleh sebab itu, mesti

ada relasi-relasi antara satu teks atau karya dengan teks atau karya lainnya dalam ruang, dan
antara satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu.
Singkatnya, Kristeva melihat bahwa satu teks atau karya seni tidak berdiri sendiri, tidak
mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri – tidak otonom (lihat Piliang, 2003:
121-122).
c.

JACQUES DERRIDA

Salah satu konsep yang paling penting dari Derrida adalah mengenai kritik
‘dekonstruksi’ yang merupakan pengembangan dari pemikiran Nietzsche. Dekonstruksi
Derrida menekankan pada ‘logosentrisme’ filsafat Barat dan mengusulkan bahwa oposisi
biner sentral yang membangun pemikiran Barat (ucapan/tulisan, hadir/absen, makna/bentuk,
pikiran/jasmani, dan hurufiah/metaforis) adalah arbiter, tidak stabil, dan dapat berbolak-balik.
Derrida ingin menunjukkan bahwa upaya untuk membangun landasan perlu menjadikan
kemauan menjadi kekuasaan (Saiffudin, 2006).
Ia menentang banyak asumsi pokok dalam filsafat Barat modern yang memandang
dualisme objek-subjek dan memandang bahasa sebagai representasi dan kebenaran sebagai
cermin antara kata dan dunia. Ia menawarkan cara pandang pragmatik: pengetahuan sebagai
praktik sosial, yang bernilai karena peranan sosialnya.


Derrida mendemonstrasikan bahwa tulisan – kalau dinilai secara benar- merupakan
prakondisi bahasa, dan bahkan ada sebelum ucapan oral. Kalau tulisan lebih dari sekadar
grafis atau prasasti dalam pengertiannya yang normal, maka tidaklah benar bahwa tulisan
adalah representasi palsu, atau topeng dari ucapan. Tulisan, menurut Derrida, pada
kenyataannya melepaskan diri dari ucaan dengan sengaja membuat asumsi kebenaran
alamiah (logos)nya, dan dari predikat sebagai topong dari logos. Tulisan adalah sebuah
permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan
makna secara terus-menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada posisi di luar
jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini, Derrida melihat tulisan sebagai jejak
(trace) – bekas tapak kaki yang mengharuskan kita menelusurinya untuk mencari si empunya
kaki. Adalah proses berpikir, menulis, berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebuk
Derrida sebagai difference (Piliang, 2003: 126-127).
d. MICHEL FOUCAULT

Foucault adalah seorang pos-strukturalis asal Prancis. Ia membicarakan permasalahan
diskursus (wacana) dengan cara yang baru. Bukunya yang berjudul The Archaeology of
Knowledge, dianggap sebagai buku yang berbicara mengenai diskursus secara inovatif. Di
dalam buku tersebut, Foucault menjelaskan diskursus tidak dalam konteks kontinuitas
sejarah, tetapi di dalam konteks diskontinuitas. Apa yang dilihat Foucault di dalam satu

rentang waktu adalah sesuatu yang terputus atau sesuatu yang kontradiktif.
Foucault mengemukakan bahwa di dalam satu masyarakat, peristiwa berbeda
(misalnya praktik bahasa), badan pengajaran yang berbeda, gagasan filsafat, opini sehari-hari,
berbagai institusi, praktik komersial, penggunaan ruang dan objek, serta pennggunaan tubuh,

semuanya berlandaskan pada pengetahuan implisit yang khusus pada masyarakat tersebut
yang disebutnya savoir (knowledge atau pengetahuan) (Piliang, 2003: 107).
2.

POSKOLONIALISME
Pos-kolonialisme sendiri merupakan studi yang mempelajari interaksi antara negara

Eropa dengan negara jajahan mereka di era modern (Wardhani, 2014). Pos-kolonialisme lahir
pada tahun 1960-an, dengan ditandai oleh terbitnya buku The Wretched of the Earth karya
Frantz Fanon di Prancis. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.
a.

FRANTZ FANON

The Wretched of the Earth (2000), buku karyanya, disebut sebagai pegangan bagi

revolusi hitam yang sukses di negerinya; Aljazair. Buku ini adalah kecaman bagi kulit putih
dan barat agar sadar bahwa kolonalisme telah berakhir. Bukunya telah menginspirasi praktikpraktik revolusi dan re-organisasi sosial. Fanon adalah seorang psikiater kulit hitam yang
sukses keluar dari kolonisasi mental yang dikonstruksi oleh kolonialisme, bahkan
mengorganisir dan menginspirasi gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.
b. EDWARD SAID

Dengan meminjam analisis Fuchoult tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan, Said,
menemukan adanya relasi antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme,
dengan kuasa kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti
gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya,
dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme.
Kata Said ‘orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan,
antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi
timur sebagai inferior'. Dengan kata lain, orientalisme adalah diskursus yang bukannya
memvisualisasikan dan merepresentasikan kebenaran tentang kebudayaan non-Barat, tetapi
mengadilinya berdasarkan pengetahuan Barat.
Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan 'aparatus ideologis'
negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi
pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, 'prilaku layak', dan secara jangka pajang mengkonstruksi
nalar pribumi. Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori

pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah 'netral', namun memuat struktur ideologi
tertentu yang disusupkan dengan data-data (pseudo) ilmiah.
c.

HOMI K. BHABHA

Menurut Bhabha, poskolonialitas adalah 'ruang antara' atau kondisi liminalitas menuju
merdeka sepenuhnya. Diintrodusir dari istilah psikologi untuk menunjukkan ruang antara
alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam konsepsi sastra poskolonial, nalar kita berada dalam
'ruang antara', ruang liminalitas, antara pra kemerdekaan menuju kemerdekaan sepenuhnya.
Bhaba mengatakan bahwa setiap momen harus sebagai rangkaian sebuah revisi
dimana ada keterbukaan dan kontingensi dalam keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan.
Bagi korban kolonialisme, strategi budaya sebagai cara dari kebertahanan (survival) yang

lebih banyak diperoleh dari warisan. Ada jarak antara warisan dan pemahaman ofisial
(ideologi) dan penyediaan ruang tampilan individu untuk pertahanan dan individualitas.
Menurut Bhabha, bila dilihat dari sudut pandang poskolonial, ada 2 kutub biner yang
berbeda, yakni colonized (dijajah) dan colonizer (penjajah). Keduanya harus dilihat sebagai
konteks historis yang tidak selalu linear satu arah. Bila colonized bersikap resisten, maka
colonizer bersikap anxiety atau cemas. Namun sikap perlawanan dan cemas dapat saja terjadi

dikedua belah pihak, seperti perlawanan dan resistensi dari colonizer yang khawatir akan
ancaman terhadap daerah jajahannya oleh penjajah lainnya. Sedangkan dari pihak yang
dijajah, tidak selalu resisten, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah, meski
tidak sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, Bhaba melihat pentingnya penyelamatan kondisi yang
tidak menentu (resist dan anxiety) yang dilakukan oleh para agen melalui budaya. Dengan
kata lain, budaya sebagai strategi pertahanan yang dilakukan oleh agen: pihak penjajah
maupun yang dijajah.
d. GAYATRI SPIVAK

Bila Said melalui orientalisme, sebuah buku rumit yang ditulis melalui riset serius atas
naskah-naskah kolonial, maka Spivak mengenalkan dirinya masuk menjadi intelektual
poskolonial melalui artikel pendeknya berjudul 'Can the Subaltern Speak?' dan bukunya A
Critique of Postkolonial Reason. Naskah ini telah banyak dikutip sebagai contoh teks teori
poskolonial.
Tulisan-tulisan Spivak yang terpenting adalah konsepsi yang berkisar pada kajian
subaltern. Berangkat dari pengamatan tentang bagaimana perempuan-perempuan selatan
terpinggirkan dan tidak bisa bersuara. Perempuan, petani desa, kaum terpinggirkan lainnya
inilah yang disebut oleh Spivak sebagai subaltern. Konsepsi ini sebenarnya pernah disebutkan

oleh Gramsci untuk merujuk petani desa di Italia yang tersubordinasi oleh kekuatan negara.

Spivak sendiri menganggap bahwa suara dan perwakilan perempuan dimarjinalkan.
3.

POSFEMINISME
Posfeminisme merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang menempatkan diri pada

posisi yang kritis. Posfeminisme mempertanyakan asumsi-asumsi feminisme seperti patriarki
sebagai situs utama penindasan, pengalaman penindasan yang universal, keseragaman,
monovokal dan monologis. Posfeminisme mempertanyakan kiprah perjuangan feminisme
yang melenceng dari visinya sebagai gerakan pembebasan menjadi sebuah gerakan yang
justru menciptakan dominasi baru. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.
a.

LINDA NICHOLSON

Linda Nicholson, seorang profesor sejarah dan studi perempuan di Washington
University di St Louis, mengklaim bahwa gagasan tubuh manusia dipisahkan menjadi dua
jenis kelamin tidak historis konsisten. Dia berpendapat bahwa alat kelamin pria dan alat
kelamin perempuan dianggap inheren sama dalam masyarakat Barat sampai abad ke-18. Pada
saat itu, alat kelamin perempuan dianggap sebagai alat kelamin pria tidak lengkap, dan

perbedaan antara kedua dikandung sebagai masalah derajat. Dengan kata lain, ada gradasi
bentuk fisik, atau spektrum. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini terhadap seks, yang
mempertimbangkan perempuan dan laki-laki dan alat kelamin yang khas mereka sebagai
pilihan alami hanya mungkin, muncul menjadi ada melalui sejarah, akar tidak biologis.
b. NANCY FRASER

Fraser membagi gelombang kedua feminisme menjadi tiga babak berdasarkan
tuntutannya, antara lain (1) the personal is political, (2) Arah redistribusi sosial-politis yang
bergerak menjadi penyadaran identitas, dan (3) hubungan berbahaya (dangerous liaison)
antara feminisme dan neoliberalisme. Fraser mengkritik bahwa akar keadaan ini terjadi ketika
“the personal is political” tidak dilanjutkan dalam konteks sosio-ekonomi, melainkan hanya
berlandaskan pada kultural, dan lebih spesifik ke permasalahan identitas. Akibatnya, agenda
gelombang feminisme kedua yang menuntut keadilan dalam permasalahan sosio-ekonomi
belum selesai, tapi didahului oleh agenda kultural, yang bermain dalam kerangka identitas.
Fraser tidak serta merta meninggalkan kultural, tapi yang ia tanyakan adalah
genealogi permasalahan kultural itu sendiri. Jika feminisme abai pada permasalahan sosioekonomi mereka, maka penindasan akan selalu terjadi dan justru membuat terpecah-pecahnya
gerakan perempuan, termasuk pemisahannya dari gerakan sosial lain—suatu hal yang
diinginkan oleh patriarki. Permasalahan identitas yang penting seperti kritik Bell Hooks
direduksi menjadi sekadar pembenaran perbedaan perempuan dari laki-laki. Ini akan menjadi
gerakan perempuan yang tidak bernas, sebab memahami perempuan berarti juga memahami

laki-laki dan subjek-subjek sosial lainnya di masyarakat.
Fraser tidak berusaha melupakan kultural, melainkan ia mempertanyakan isu
kebudayaan di dalam feminisme yang mana hanya disempitkan menjadi problem identitas
semata dan bagaimana para feminis sekarang memaknai gender. Di sini, Fraser menyorot
kritiknya kepada Lacanianism, atau bagaimana pemikiran Lacan diterjemahkan oleh para
feminis. Para perempuan feminis yang gandrung kepada pemikiran (pseudo) pascamodernis
khususnya Lacan, mengamini gender sebagai konstruksi diskursif (discursive construction)
dan pemisahan gender tidak lagi dikaitkan dengan fungsi biologisnya, melainkan pada proses
identifikasi, bahasa dan sosialisasi ketika anak belajar di tengah-tengah lingkungannya.
Setelahnya, anak tunduk pada peraturan di masyarakat. Namun, argumen ini dianggap Fraser

tidak terlalu akurat secara historis dan bahkan kultural. Sebab, pembacaan Lacanianism
terhadap gender hanya berorientasi pada simbol-simbol, tapi abai pada struktur yang telah
menghasilkan simbol-simbol tersebut.
4.

POSDEVELOPMENTALISME
Posdevelopmentalisme adalah suatu pemikiran bahwa pembangunan masyarakat,

terutama negara-negara berkembang yang dilakukan dalam era pasca-kolonial dan pada era
modern. Pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang bersifat berkelanjutan.
Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah sebagai berikut.
a.

ARTURO ESCOBAR

Arturo Escobar (1995) dalam teks pasca-pembangunan klasiknya, Encountering
Development, menjelaskan bagaimana wacana pembangunan yang dominan bermain keluar.
Wacana ini didasarkan pada modernisasi dan gagasan kemajuan bangsa Barat, yang
menciptakan konsep ‘Dunia Ketiga’. Dunia Ketiga tersebut dikatakan terdiri dari populasi
yang kurang beruntung dan membutuhkan 'bantuan'. Agar Dunia Ketiga menjadi modern dan
'progresif,' maka Dunia Pertama (sebagai negara yang model modernitas dan kemajuan)
memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepada Dunia Ketiga tersebut.
b. MAJID RAHNEMA

Rahnema (1991), dalam karya-karyanya yang membahas masalah kemiskinan,
menyatakan bahwa tidak ada 'solusi' untuk 'kemiskinan' dalam modernitas; akan tetapi
mencari alternatif tidaklah mudah karena struktur kekuasaan yang ada itulah yang telah
‘menjaga keberadaan kemiskinan’ sehingga kekuasaan dapat tercipta dan dipertahankan.
Struktur kekuasaan yang ada meliputi berbagai negara-bangsa yang terlibat dalam
pembangunan, tetapi juga kekuatan pasar ekonomi global modern dan kontrol masyarakat
dengan elitisme teknis. Untuk mewujudkan paradigma alternatif, Rahnema menyatakan
bahwa pasca-pembangunan "tidak harus difokuskan pada 'rencana aksi' hanya operasional
atau spektakuler atau 'strategi.'" Sebaliknya, ia menyerukan komitmen dari orang-orang 'baik
orang dalam setiap komunitas untuk membuat paradigma baru berdasarkan persahabatan dan
rasa sebenarnya dari masyarakat dengan tujuan mengakhiri modernitas dan hegemoni global.
5.

POSMODERNISME
Istilah posmodern muncul pertama kali pada wilayah seni dan digunakan Frederico de

Onis pada tahun 1930. Istilah ini kemudian banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti
seni rupa, arsitektur, politik, sastra, antropologi, sosiologi, feminisme, psikologi, filsafat, dan
lain-lain. Posmodern adalah term deskriptif untuk menggambarkan apa yang datang setelah
era modern. Term posmodern bukan bersifat ‘anti modern’. Posmodern memanfaatkan halhal yang dianggap baik pada era modern (re-use) dan penyusunan kembali potonganpotongan (collage) dari unsur-unsur tradidional dan modern serta mendaur ulang dalam
konteks yang baru. Istilah posmodern dapat pula mengacu pada satu era (periode) di mana
kepercayaan pada modernitas (the Enlightemen belief) mulai memudar. Tokoh-tokoh
pendukung teori ini adalah sebagai berikut.
a. FRIEDRICH NIETZSCHE

Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh
Nietzsche (1844-1900) adalah doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche
menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik
X”, artinya “nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya. Dalam pandangan
Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan
doktrin “kematian Tuhan”.
Dalam terminologi Nietzsche, perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai berbentuk
apa yang dia istilahkan “will to power.” Ini berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk
mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran
metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan
nilai dihilangkan atau disingkirkan. Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika
metafisika telah mencapai suatu poin di mana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan,
sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana
kepercayaan dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan
salah, keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat
diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolak kebenaran.
Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain. Berdasarkan pada doktrin ini
maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara peyoratif sebagai “ilmu yang membahas
tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang
fundamental”. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas
serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.
b. MARTIN HEIDEGGER

Bersama dengan Nietzsche, Heidegger disebut sebagai Bapak Posmodernisme.
Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama dengan Nietzsche mendefinisikan nihilisme
sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”. Dalam pandangan
Heidegger, nihilisme menunjukkan penghapusan “being” dengan sedemikian rupa sehingga
menjelma menjadi nilai. Di sini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk suatu susunan di
mana sang pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik di
mana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna.
Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, relijius
ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine).
Seperti Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan
dengan persepsinya tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran
teologis adalah berhenti berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap
sebagai kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya
adalah Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut di depanNya. Inilah yang ia sebut
Tuhan yang sebenarnya (Truly Divine God).
Filsafat diferensi yang dikembangkan oleh Heidegger merupakan satu upaya untuk
mendekonstruksi oposisi biner dan kontradiksi, serta menghindari diri dari penyangkalan dan
melakukan semacam rekonstruksi dari apa-apa saja yang telah didekonstruksi. Seperti yang
dikatakan Levin, bahwa Heidegger berupaya melakukan “pengumpulan kembali Ada, dengan
segala dimensi-dimensinya” yang telah dilupakan oleh modernitas.
c.

FRANCOIS LYOTARD

Posmodern menurut Lyotard adalah kondisi hilangnya kredibilitas metanarasi dan
berkembangnya perhatian pada pengembangan ‘pengetahuan-pengetahuan baru’ yang sertamerta meruntuhkan metanarasi itu.
Pemikiran dan pengamatan Lyotard menimbulkan implikasi penting bagi pemahaman
tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pramodern dan modern menurut Lyotard,
mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-cerita besar (grandnarratives). Selanjutnya, grand narrative itu menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai
permasalahan penelitian dalam skala mikro dan terpencil sekalipun. Grand narrative
(metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal/masalah, dan
menetapkan kriteria kebenaran dan obyektivitas ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, narasinarasi ‘yang lain’, narasi yang berada di luar narasi besar, dianggap sebagai narasi nonilmiah.
Lyotard menolak pandangan Pencerahan atau paradigma positivisme itu, khususnya
tentang kesatuan ilmu pengetahuan (unifed sciences), obyektivitas dengan menolak metanarasi dan membiarkan berkembangnya ‘narasi-narasi lain’ atau peristiwa-peristiwa berbicara
untuk mereka dengan kriteria/aturannya sendiri. Ia menyatakan adanya unsur ketidak-adilan,
bahkan imperialisme kultural Barat yang termuat dalam pandangan positivisme ilmiah itu.

d. JEAN BAUDRILLARD

Konsep-konsep penting dalam pemikiran Baudrillard adalah mengenai simulasi dan
hiperealitas. Bagi Baudrillard, simulasi adalah suatu proses atau strategi intelektual.
Pernyataan Baudrillard tentang simulasi adalah sebagai berikut.
“Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau substansi referensial. Ia adalah
penciptaan lewat model-model sesuatu yang real, yang tanpa asal-usul atau realitas:
sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta, tidak juga mempertahankannya.
Mulai kini, adalah peta yang mendahului wilayah –precession of simulacra. (Piliang,
2003: 1).”
Hiperealitas adalah efek, keadaan, atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang
dihasilkan dari proses tersebut. awal dari hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan
lenyapnya petanda, dan metafisika representasi; runtuhnya ideologi; dan bangkrutnya realitas
itu sendiri yang diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Tanda tidak lagi
merepresentasikan sesuatu. Satu-satunya refrensi dari tanda yang ada adalah massa, dan
massa ini, menurut Baudrillard adalah mayoritas yang diam.
e.

JACQUES LACAN

Lacan merupakan salah satu tokoh penganut posmodernisme yang mencoba untuk
mengembangkan kembali konsep psikoalanisa milik Sigmund Freud.

Bagi Jacquez Lacan, pembentukan subjek di dalam rentang sejarah dapat dijelaskan
sebagai suatu fenomena psikoanalisis. Di dalam bukunya, Ecrits, Lacan menjelaskan bahwa
proses pembentukan manusia sebagai subjek dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari
pengalaman kelahiran sang manusia tersebut, dalam kaitannya dengan cerita-cerita, mitosmitos, dan bahasa-bahasa yang mendahuluinya. Bagi Lacan, manusia lahir tak ubahnya
seperti apa yang disebutnya hommelette – seperti telor pecah yang tak bisa menemukan
bentuknya yang pasti. Akan tetapi, sekali ia –pada tahap balita– masuk ke dalam satu sistem
sosial (pertama-tama dalam sistem keluarga, dan yang berkaitan dengan seksual), maka ia
akan dibentuk oleh mitos, tabu, atau hukum yang dikenalnya melalui bahasa simbolik, yang
selanjutnya akan mematrikan posisi subjektivitasnya di dalam proses kehidupan sosialnya
seterusnya (Piliang, 2003: 83-84).
f.

GILLES DELEUZE DAN FELIX GUATTARI

Deleuze

Guattari

Deleuze dan Guattari dalam bukunya, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia,
mengembangkan model subjektivitas dengan berlandaskan pada wawasan keterbukaan
terhadap penafsiran. Bagi Deleuze dan Guattari, meskipun manusia lahir seperti hommelette
(lihat pada uraian Jacques Lacan) – yang harus berhadapan dengan mitos, tabu, dan bahasa
simbolik dalam sistem keluarga, namun manusia harus keluar dari rumah penjara simbolik
tersebut, dan mencoba menafsirkan kembali bahasa simbolik yang telah diterima tersebut.
Untuk itu, manusia harus melepaskan diri dari ikatan segitiga Oedipus Complex, dan
mengembangkan serta memasuki satu ruang dan bahasa yang memungkinkan bagi pengakuan
akan abnormalitas, pelanggaran tabu, pemutar-balikkan grammar atau tata bahasa (Piliang,
2003: 84).

Dalam pembahasannya mengenai skizofrenik, berbeda dengan Lacan yang melihat
fenomena skizofrenik dalam fenomena bahasa, Deleuze dan Guattari lebih melihat gejala
skizofrenik berdasarkan fenomena sosial, politik, dan ekonomi. Bagi mereka “skizofrenik
bagaikan cinta; tak ada fenomena atau hakikat yang khusus skizofrenik; skizofrenia adalah
jagat mesin-mesin keinginan yang produktif dan reproduktif, produksi primer universal
sebaai realitas esensial manusia dan alam”.

Refrensi
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Bandung: Jalasutra.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada.
Anonim. Lyotard Francois.
Anonim. Pengertian Posmodern, Posmodernisme, dan Posmodernitas.
http://amirchinggu.blogspot.com/2013/01/gender-2.html
http://hamidfahmy.com/agama-dalam-pemikiran-barat-modern-dan-post-modern/
http://mhakicky.blogspot.com/2011/01/seri-buku-iii-budaya.html
http://rayarken.xtgem.com/artikel/teori/postkolonial
http://repository.upi.edu/3721/6/D_PU_0907863_Chapter3.pdf
http://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/06/poskolonial-homi-k-bhaba.html
http://syaebani.blogspot.com/2009/08/posfeminisme.html
https://www.academia.edu/2373970/Postdevelopment_Postmodernity_and_Deconstructionis
m_A_Practical_Program

Dokumen yang terkait

ANALISIS KETERAMPILAN METAKOGNITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERBASIS POLYA SUBPOKOK BAHASAN GARIS DAN SUDUT KELAS VII-C DI SMP NEGERI 1 GENTENG BANYUWANGI

4 57 259

ANALISIS PENGARUH PENAMBAHAN LPG SEBAGAI SUPLEMEN BAHAN BAKAR TERHADAP UNJUK KERJA MOTOR BENSIN 4 LANGKAH DENGAN VARIASI SUDUT PENGAPIAN

0 39 23

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA PENGERING PADI MODEL IS PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TRAY TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA PENGERING PADI MODEL VENTILATING DRYING VE

1 13 20

ANALIS IS TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA PENGERING PADI MODEL PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TRAY IS PENGARUH SUDUT KEMIRINGAN TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA TERHADAP KECEPATAN PENGERINGAN PADI PADA VENTILATING DRYING PENGERING PADI MODEL V

0 17 20

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN KARTU KELUARGA AN DAN KEBUDAYAAN SKRIPSI DAN PERZINAHAN (Putusan Nomor: 978 K/PID/2011)

1 26 17

UNSUR UNSUR KEBUDAYAAN DAYAK

2 66 22

PEMUNGUTAN RETRIBUSI PESANGGARAHAN OLEH DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN SERTA KONTRIBUSINYA TERHAPAD PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

2 33 65

PERILAKU AGRESIF TOKOH UTAMA DALAM NOVEL EMAK AKU MINTA SURGAMU YA... KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA

18 113 75

TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN BIDADARI YANG MENGEMBARA KARYA A. S. LAKSANA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA

9 103 57