BAB II LANDASAN TEORETIS - EKO BAB II

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kajian Teoretis

1. Konsep Pembelajaran

a. Pengertian Pembelajaran

  Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang diwarnai nilai edukatif, yang menciptakan interaksi antara guru dengan anak didik, yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pembelajaran dilakukan. Menurut Jamaludin (2003: 9), “istilah pembelajaran pada dasamya mengandung pengertian yang sama dengan konsep belajar-mengajar. Menurut Sri Anitah W, dkk. (2008 : 18), “ Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik, Tim Instruktur (2010 : 91) Jadi secara konseptual istilah “pembelajaran” mengacu pada"proses” yang melibatkan dua komponen utama dalam suatu kegiatan belajar mengajar (guru dan siswa)”. Dari ketiga pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa “ pembelajaran ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

b. Ciri-ciri dan Komponen Pembelajaran

  Di atas telah penulis kemukakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang disadari dan terencana. Pembelajaran bukan merupakan suatu proses kegiatan yang terjadi secara alami dan bersifat otomatis, tetapi merupakan proses kegiatan yang dilakukan guru dan siswa, yang direcanakan dan diperhitungkan sedemikian rupa agar tujuan pembelajaran yang dirumuskan tercapai.

  Sebagai suatu proses yang terencana, kegiatan pembelajaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Mengenai ciri-ciri pembelajaran, Jamaluddin (2003: 13) memberi penjelasan sebagai berikut.

  Ada delapan aspek yang keberadaannya merupakan ciri-ciri umum suatu kegiatan pembelajaran. Kedelapan ciri pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.

  a. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

  b. Adanya suatu prosedur yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

  c. Adanya materi pelajaran tertentu yang menjadi bahan garapan dalam proses pembelajaran.

  d. Adanya aktivitas para pembelajar sebagai subjek didik

  e. Adanya aktivitas guru selaku perencana dan pengelola kegiatan pembelajaran.

  f. Adanya kedisiplinan dalam kegiatan pembelajaran.

  g. Adanya batas waktu kegiatan pembelajaran

  h. Adanya pelaksanaan evaluasi sebagai sarana untuk mengukur keberhasilan tujuan dan proses pembelajaran yang sedang atau telah dilaksanakan. Pendapat Jamaluddin mengenai ciri-ciri pembelajaran seperti dikemukakan di atas sejalan dengan pendapat Sardiman (2001: 18) sebagai berikut.

  Ciri-ciri interaksi belajar mengajar (proses pembelajaran) yakni memiliki penggarapan materi secara khusus, ditandai dengan aktivitas, guru yang berperan sebagai pembimbing, membutuhkan disiplin, dan ada batas waktu untuk pencapaian tujuan serta sudah barang tentu perlu adanya kegiatan penilaian.

  Sejalan dengan ciri-ciri pembelajaran di atas, Djamarah dan Aswan Zain (2002: 48) mengemukakan tentang komponen pembelajaran sebagai berikut.

  “Sebagai suatu sistem, tentu saja kegiatan pembelajaran itu mengandung sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi”.

  Sebagai perencana, pengelola, dan pelaksana kegiatan suatu proses pembelajaran, gurulah yang berhak menentukan tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar- mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi. Artinya, semua komponen pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas harus direncanakan dan dikelola oleh guru sebagai pengajar.

  Dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, tujuan merupakan komponen yang dapat mempengaruhi komponen-komponen pembelajaran yang lainnya, seperti materi pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat bantu, sumber, dan alat evaluasi. Semua komponen tersebut harus sesuai dengan tujuan dan dapat didayagunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.

  Menurut Depdiknas (2003: 3), “Kegiatan belajar-mengajar (pembelajaran) harus dirancang mengikuti prinsip-prinsip belajar-mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar”. Mengenai prinsip-prinsip belajar-mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar tersebut penulis kemukakan pada subbab berikut ini.

c. Prinsip-prinsip Belajar Mengajar dan Prinsip Motivasi Belajar

  Harus kita sadari bahwa kurikulum merupakan acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini secara tegas dijelaskan Depdiknas dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar sebagai salah satu komponen dari kurikulum berbasis kompetensi pada halaman satu yang isinya sebagai berikut.

  Buku kegiatan belajar mengajar (KBM) ini menyajikan prinsip-prinsip praktik pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi peserta didik secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki, kebutuhan peserta didik, keadaan sekolah dan tuntutan kehidupan masa depan. Informasi yang disajikan dalam buku ini diharapkan dapat membantu guru untuk mengembangkan gagasan tentang strategi mengajar yang memenuhi standar yang diharapkan. Buku ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai bahan diskusi atau sebagai sumber gagasan dan titik tolak peningkatan kualitas pembelajaran di dalam kelas. Dengan demikian, buku KBM ini bermanfaat untuk pengembangan silabus dan menyusun perencanaan pembelajaran, serta merancang penilaian berbasis kelas.

  Dari kutipan di atas jelas sekali bahwa jika akan melaksanakan suatu pembelajaran kita harus menggunakan kurikulum sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tersebut. Begitu pula jika kita akan melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani (Penjas). Pengembangan silabus, penyusunan perencanaan pembelajaran, perencanaan penilaian, serta pelaksanaannya di dalam kelas harus mengacu pada kurikulum.

  Berkaitan dengan hal ini, Depdiknas (2003: 4) mengemukakan bahwa “kegiatan belajar mengajar harus dirancang mengikuti prinsip-pnnsip belajar- mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar”. Selanjutnya Depdiknas (2003: 5) mengemukakan bahwa ada 10 prinsip kegiatan belajar-mengajar yang disarankan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004), yaitu:

  (l) berpusat pada siswa; (2) belajar dengan melakukan; (3) mengembangkan kemampuan sosial; (4) mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan; (5) mengembangkan keterampilan memecahkan masalah; (6) mengembangkan kreativitas siswa; (7) mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi; (8) menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik; (9) belajar sepanjang hayat; dan (10) perpaduan kompetensi, kerja sama, dan solidaritas.

  Sedangkan prinsip motivasi dalam belajar yang harus diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2004, Depdiknas (2003: 4-5) mengemukakannya sebagai berikut.

  (1) kebermaknaan, (2) pengetahuan dan keterampilan prasyarat, (3) model, (4) komunikasi terbuka, (5) keaslian dan tugas yang menyenangkan, (6) latihan yang tepat dan aktif, (7) penilaian tugas, (8) kondisi dan konsekunsi yang menyenangkan, (9) keragaman pendekatan, (10) mengembangkan beragam kemampuan, dan (11) melibatkan sebanyak mungkin indera, dan keseimbangan pengaturan pengalaman belajar. Dari berbagai pengertian hasil belajar diatas maka dapat diambil pengertian bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang meliputi berbagai aspek, yaitu kognitif, afektif, maupun psikomotor yang dipengaruhi oleh faktor masukan pribadi maupun masukan yang berasal dari lingkungan.

  Dengan demikian jelas bahwa pelaksanaan pembelajaran hasil pukulan dalam permainan kasti yang penulis laksanakan selama proses penelitian ini tidak lepas dari kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (Kurikulum 2004).

2. Konsep Pembelajaran Gerak

  Pembelajaran gerak pada hakikatnya sama dengan kegiatan belajar gerak, karena titik tolak penekanan dalam pembelajaran gerak adalah kegiatan belajar gerak yang berpusat pada siswa. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis kemukakan terlebih dahulu pengertian mengenai belajar.

  Pengertian belajar dapat dilihat secara mikro maupun secara makro, dapat dilihat dalam arti luas ataupun terbatas/ khusus, seperti dikemukakan Sardiman (2001: 20), “Dalam pengertian luas belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko- fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya”.

  Menurut Natawijaya, (Prastowo. 1997 : 83) “ belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

  Menurut Sardiman (2001: 21) mengatakan pula bahwa “belajar itu sebagai serangkaian kegiatan jiwaraga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.

  Hal ini sejalan dengan pendapat Gagne dalam Sugiyanto (2000: 7.33), “aspek-aspek kemampuan yang bisa ditingkatkan melalui belajar meliputi 1) Keterampilan intelektual, 2) Kemampuan mengungkap informasi dalam bentuk verbal, 3) Strategi berpikir, 4) Keterampilan gerak, 5) Emosi dan perasaan”.

  Mengenai pengertian belajar Sugiyanto (2000: 7.34) mengutip beberapa pendapat ahli sebagai berikut.

  (l) Menurut Nasution (1982) belajar adalah perubahan urat-urat, perubahan pengetahuan, dan perubahan perilaku yang dihasilkan dari pengalaman dan latihan. (2) Menurut Galloway (1976) belajar adalah perubahan kecenderungan tingkah laku yang relatif permanen, yang merupakan hasil dan berbuat berulang-ulang. (3) Menurut Gagne (1977) belajar adalah suatu perubahan pembawaan atau kemampuan yang bertahan dalam jangka waktu tertentu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan sebagai berikut.

  Selanjutnya Sugiyanto (2000: 7.35) menarik kesimpulan dari ketiga pendapat para ahli tersebut sebagai berikut.

  Di dalam istilah belajar terkandung pengertian-pengertian : 1) Belajar adalah proses yang bisa menghasilkan, 2) belajar bisa menghasilkan perubahan- perubahan pada diri seseorang dalam berbagai macam kemampuan atau sifat yang ada pada dirinya, 3) perubahan dalam belajar terjadi karena pengalaman, berbuat berulang-ulang atau berlatih, 4) perubahan yang terjadi karena belajar bisa bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Pandangan model mengenai belajar dikemukakan oleh Hamalik (2001: 27) sebagai berikut.

  Menurut pandangan model, belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan. Seseorang dinyatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya. Pada hakikatnya perubahan tingkah laku itu adalah perubahan kepribadian pada diri seseorang.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar bersifat menyeluruh dan merupakan hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya, yang meliputi berbagai aspek, baik aspek jasmaniah maupun aspek rohaniah.

  Selain mengemukakan pengertian belajar secara umum, perlu penulis kemukakan pula pengertian mengenai belajar gerak. Pengertian tentang belajar gerak ini tidak terlepas dari pengertian belajar pada umumnya seperti yang dikemukakan di bagian depan. Di bagian depan tadi sudah disinggung mengenai aspek-aspek kemampuan yang bisa ditingkatkan melalui belajar, misalnya belajar yang menekankan pada aktivitas berpikir bisa disebut belajar kognitif, belajar pada aktivitas emosi dan perasaan bisa disebut belajar afektif, dan belajar pada gerak tubuh bisa disebut belajar gerak (psikomotor).

  Dengan demikian, belajar gerak merupakan bagian dari belajar secara umum yang bertujuan untuk menguasai berbagai keterampilan gerak dan mengembangkannya agar keterampilan gerak yang dikuasai bisa dilakukan untuk menyelesaikan tugas-tugas gerak untuk mencapai sasaran tertentu. Dalam upaya untuk menguasai keterampilan gerak tentunya diperlukan proses belajar gerak.

  Proses belajar gerak pada hakikatnya berbeda dengan proses belajar yang lain. Proses belajar gerak tidak sama dengan proses belajar kognitif dan afektif.

  Yang membedakannya adalah aspek-aspek yang dominan keterlibatannya dalam proses belajar. Yang dominan keterlibatannya dalam proses belajar kognitif adalah aspek berpikir dalam proses belajar afektif adalah emosi dan perasaan. Sedangkan yang dominan keterlibatannya dalam proses belajar gerak adalah aspek fisik dan psikomotor.

  Menurut Sugiyanto (2000: 9.4), “Proses belajar gerak bisa dibahas melalui fase-fase belajar yang dilalui oleh pelajar”. Sedangkan fase belajar gerak keterampilan menurut Fitts dan Possner dalam Sugiyanto (2000: 9.4), “terjadi dalam tiga fase belajar, yaitu: 1) fase kognitif, 2) fase asosiatif, dan 3) fase otonom”.

  Fase kognitif merupakan fase awal dalam belajar gerak keterampilan. Pada fase ini, proses belajar diawali dengan aktif berpikir tentang gerakan yang dipelajari. Pelajar berusaha mengetahui dan memahami gerakan dari informasi yang diterimanya, baik informasi verbal maupun informasi visual. Pada saat menerima informasi verbal (berupa kata-kata), indera pendengar aktif berfungsi. Sedangkan pada saat menerima informasi visual (berupa contoh gerakan atau gambar gerakan), indera yang aktif berfungsi adalah indera penglihat. Informasi yang ditangkap oleh indera diproses dalam mekanisme perseptual yang berfungsi untuk menangkap makna informasi. Dan fungsi ini pelajar bisa memperoleh gambaran tentang gerakan yang dipelajari.

  Setelah memproses gambaran tentang gerakan, maka gambaran tersebut diproses lagi ke dalam mekanisme pengambilan keputusan. Keputusan ini diwujudkan dalam bentuk rencana gerak, yang selanjutnya diproses melalui mekanisme pengerjaan. Dalam mekanisme pengerjaan terjadi pengorganisasian respon untuk dikirim sebagai komando gerak ke sistem muskular untuk diwujudkan menjadi gerakan tubuh, sehingga terwujudlah gerakan-gerakan.

  Dengan demikian, pada fase kognitif, pelajar belum bisa melakukan gerakan- gerakan dengan baik. Pelajar akan mampu melakukan gerakan dengan lancar dan baik, jika ia melakukan atau mempraktikannya secara berulang-ulang.

  Fase asosiatif ditandai dengan tingkat penguasaan gerakan. Pada fase ini pelajar mampu melakukan gerakan-gerakan dalam bentuk rangkaian yang tidak tersendat-sendat pelaksanaannya. Dengan mempraktekkan berulang-ulang, pelaksanaan gerakan akan semakin menjadi efisien, lancar, sesuai dengan keinginannya, dan kesalahan semakin berkurang. Karena itu, untuk meningkatkan penguasaan gerak diperlukan kesempatan yang leluasa untuk praktek berulang- ulang.

  Pada fase asosiatif ini, pelajar merangkaikan bagian-bagian gerakan menjadi rangkaian gerakan secara terpadu. Kegiatan ini merupakan unsur penting untuk menguasai berbagai gerakan keterampilan. Namun pada fase ini perlu dilakukan pembetulan gerakan yang salah sebelum sampai pada fase gerakan otonom, karena jika gerakan sudah merupakan gerakan yang otomatis akan sulit pembetulannya.

  Fase otonom merupakan fase akhir dalam belajar gerak. Fase ini ditandai dengan tingkat penguasaan gerakan. Pada fase ini pelajar melakukan gerakan secara otomatis. Namun pada fase ini pelajar harus tahu kesalahan gerakan yang dilakukannya, sebab jika gerakan salah dilakukan melalui paraktek berulang- ulang maka gerakan salah tersebut akan dilakukannya secara otomatis pula. Karena gerakan sudah menjadi otomatis, maka untuk mengubah gerakan yang salah tersebut agak sulit. Dalam hal ini diperlukan ketekunan. Oleh karena itu sejak awal pelajar harus sudah diarahkan melakukan gerakan-gerakan yang benar secara mekanik agar setelah mencapai fase otonom gerakannya benar-benar efisien.

  Dengan demikian jelas bahwa ciri utama telah terjadinya proses belajar keterampilan gerak adalah adanya perubahan perilaku terampil terhadap tugas gerak yang dia pelajari. Sebagai contoh, siswa SD. Belajar terhadap hasil pukulan dalam permainan kasti, dia dapat dikatakan telah belajar terhadap hasil pukulan dalam permainan kasti apabila siswa tersebut dapat melakukan hasil pukulan dalam permainan kasti dengan benar sesuai dengan peraturan sebagaimana yang dipelajarinya.

  Menurut Clarke yang dikutip Hidayat (1999: 45), Kemampuan gerak sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam sejumlah rangkaian kegiatan. Kemampuan gerak dianggap sebagai kemampuan yang terintegrasi dari karakteristik individu, seperti halnya kekuatan, daya tahan, kecepatan, keseimbangan, waktu reaksi dan koordinasi. Karekteristik tersebut diperlukan sebagai landasaan di dalam menampilkan rangkaian gerak yang kompleks, tepat dan efisien.

  Dari kutipan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belajar gerak adalah: suatu proses latihan kemampuan gerak fisik atau gerakan tertentu dalam suatu cabang olahraga, untuk menguasai atau memiliki kemampuan melakukan gerakan tertentu dalam cabang olahraga tertentu. Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini maka yang dimaksud belajar gerak adalah proses latihan gerakan terhadap hasil pukulan dalam permainan kasti melalui pembelajaran dengan menggunakan media gambar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai keterampilan gerak tersebut.

  Bila dikaji dengan seksama, pengertian belajar sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa anak didik adalah subjek dan objek dari kegiatan pembelajaran. Karena itu, inti suatu proses pembelajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran akan dapat dicapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk

  Dalam suatu proses pembelajaran, tentu ada yang belajar dan ada yang mengajar. Yang belajar adalah siswa atau anak didik atau peserta didik, sedangkan yang mengajar adalah pengajar atau guru. Istilah belajar dan mengajar merupakan istilah yang sudah baku dan menyatu di dalam konsep pembelajaran.

  Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar adalah dwi tunggal dalam perpaduan raga jiwa bersatu antara guru dan murid.

  Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Soejono (1998: 10), “Mengajar adalah proses perkembangan intelek pada khususnya dan perkembangan jiwa, sikap pribadi serta keterampilan pada umumnya”. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kegiatan mengajar adalah suatu proses memimpin murid pada perubahan perilaku yang terampil baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.

  Mengenai pengertian mengajar Sardiman (2001: 46) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.

  Mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Atau dikatakan, mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa, sehingga membantu perkembangan anak secara optimal baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun mental.

  Kutipan tersebut memberi petunjuk bahwa fungsi pokok dalam mengajar melakukan kegiatan dalam upaya menemukan dan memecahkan masalah adalah siswanya. Guru dalam hal ini berperan sebagai pembimbing. Dalam membimbing dan menyediakan kondisi yang kondusif itu sudah tentu ia tidak dapat mengabaikan faktor atau komponen-komponen yang lain dalam lingkungan proses belajar mengajar. Misalnya, bagaimana dirinya sendiri, keadaan siswa, alat-alat peraga atau media, metode, dan sumber-sumber belajar lainnya.

  Dengan demikian mengajar itu merupakan kegiatan mengorganisasikan proses belajar secara baik. Karena itu guru harus berperan sebagai organisator yang baik pula. Secara makro, guru dituntut untuk dapat mengorganisasikan komponen-komponen yang terlibat dalam proses belajar mengajar, sehingga diharapkan terjadi proses pembelajaran yang optimal.

  Dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar gerak. Sebagai pengelola proses belajar mengajar gerak, guru harus menciptakan kondisi belajar yang kondusif untuk meningkatkan kualitas keterampilan gerak para siswa. Kondisi yang kondusif dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan adalah kondisi yang bisa menunjang terlaksananya proses belajar yang baik atau kondisi yang bisa mengundang minat siswa untuk belajar dengan baik. Kondisi yang diciptakan harus disesuaikan dengan setiap fase belajar sebagaimana dikemukakan di atas.

  Mengenai peran guru pada setiap fase belajar, Sugiyanto (2000: 12.29) mengungkapkannya sebagai berikut.

  Peran guru pada fase kognitif adalah: 1) menimbulkan ingatan pelajar mengenai bagian-bagian dan rangkaian gerakan - yang berkaitan dengan gerakan keterampilan baru yang akan dipelajari, berkaitan dengan kondisi memperagakan gerakan-gerakan yang akan dipelajari, berkaitan dengan penciptaan kondisi eksternal yang berupa instruksi verbal dan instruksi visual; 3) mengatur kesempatan bagi setiap murid agar bisa mencoba-coba mempraktikan gerakan-gerakan yang diajarkan.

  Peran guru pada fase asosiatif adalah: 1) memberikan kesempatan dan mengatur pelaksanaan kegiatan mempraktikkan rangkaian gerakan keterampilan secara keseluruhan; 2) memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai benar atau salahnya gerakan-gerakan yang dilakukan oleh setiap murid. Peran guru pada fase otonom pada dasarnya sama dengan pada fase asosiatif, hanya intensitas kecermatannya perlu lebih tinggi, karena fase otonom merupakan fase penyempurnaan. Pemberian kesempatan praktik sebaiknya lebih banyak, dan pemberian umpan balik harus lebih cermat dan makin terperinci. Dari pengertian belajar mengajar sebagaimana diungkapkan di atas, nyata sekali bahwa belajar mengajar merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru menyediakan situasi yang kondusif untuk belajar dan menghubungkannya dengan siswa dan membimbing siswanya, siswa memanfaatkan situasi yang kondusif tersebut untuk melakukan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan.

  Sebagai suatu proses pengaturan seperti yang dikemukakan di atas, kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut di antaranya memiliki tujuan, adanya interaksi yang direncanakan, adanya satu penggarapan materi yang khusus, adanya aktivitas anak didik baik fisik maupun mentalnya, guru berperan sebagai pembimbing dalam kegiatan belajar mengajarnya, adanya disiplin dalam kegiatan belajar mengajar, adanya batas waktu dan adanya evaluasi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran. Dari ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa belajar mengajar itu merupakan

  Seperti yang telah dikemukakan pada sub bab hakikat pembelajaran, sebagai suatu sistem tentu saja kegiatan pembelajaran itu mengandung sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber belajar, serta evaluasi. Tujuan merupakan komponen yang menentukan komponen pengajaran lainnya, artinya, semua komponen tadi harus sesuai dengan tujuan. Jika ada salah satu komponen yang tidak sesuai dengan tujuan, maka kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  Materi pelajaran harus diberikan kepada siswa secara sistematis. Arti sistematis menurut Harsono (1988: 101) adalah. “Berencana, menurut jadwal, menurut pola dan sistem tertentu, metodis, dari mudah ke sukar, latihan yang teratur dari yang sederhana ke yang lebih kompleks”. Kegiatan belajar mengajar merupakan inti kegiatan dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini akan melibatkan semua komponen pengajaran. Kegiatan belajar mengajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.

  Dalam kegiatan pembelajaran gerak khususnya pada fase kognitif, guru harus menjelaskan dan memperagakan gerakan-gerakan yang akan dipelajari, berkaitan dengan penciptaan kondisi eksternal yang berupa instruksi verbal dan instruksi visual. Dalam hal ini tugas guru seperti itu dapat dibantu dengan media yang berisi rangkaian gerakan yang sesuai dengan materi pelajaran (teknik gerakan) yang harus dipelajari siswanya.

  Sesuai dengan permasalahan penelitian ini, dalam kegiatan pembelajaran yang penulis lakukan selama penelitian digunakan media gambar yang berisi rangkaian gerakan terhadap hasil pukulan dalam permainan kasti sebagai alat bantu dan sumber belajar pada saat siswa sampai pada tahap asosiatif dan fase otonom.

  Dari pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa “ belajar ialah kegiatan psiko-fisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya dan berpikir untuk mencari pengetahuan, melainkan juga menyangkut gerak tubuh dan emosi serta perasaan. Jadi dalam belajar itu ada aspek-aspek yang ditingkatkan.

  Aspek-aspek tersebut adalah kognitif, psikomotor, dan afektif.

  Untuk mengetahui pentingnya media dalam suatu pembelajaran gerak, pada sub bab berikut penulis mengemukakan konsep media pembelajaran.

3. Konsep Media Pembelajaran

a. Pengertian Media Pembelajaran

  Sebelum penulis mengemukakan peran dan manfaat media dalam suatu proses pembelajaran, ada baiknya penulis mengemukakan terlebih dahulu pengertian “media” itu sendiri. Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium ” yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”.

  Menurut pendapat IG.A.K. Wardani (2001 : 2.32) “ Media Pembelajaran adalah segala sesuatu, baik orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang fikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa sehingga mendorong proses pembelajaran. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan atau dengan kata lain media merupakan alat bantu penyampai pesan dan sumber pesan yang harus dipelajari siswa (sumber belajar).

  Arsyad (1997: 3) mengemukakan pendapat Gerlach dan Elly mengenai pengertian media sebagai berikut. “Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap”.

  Selanjutnya Arsyad (1997: 3) mengemukakan pandangannya berkaitan dengan pendapat Gerlach dan Elly di atas sebagai berikut. “Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat- alat grafts, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atu verbal”.

  Batasan dalam tentang media yang dikemukakan oleh para ahli dikemukakan pula oleh Arsyad (1997: 3-4) sebagai berikut.

  (1) Heinrich dan kawan-kawan mengemukakan istilah medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan- bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran, maka media itu disebut media pengajaran; (2) Hamidjojo memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan, atau pendapat yang dikemukakan itu sampai ke-pada penerima; (3) Gagne dan Briggs secara implisist mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain media adalah instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar; (4) National Education Association memberikan definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual dan peralatannya, dengan demikian media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, atau dibaca. Selain mengemukakan pendapat-pendapat ahli tentang batasan media,

  Arsyad (1997: 6) mengemukakan pendapatnya tentang batasan media sebagai berikut.

  Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula kata media pengajaran digantikan dengan istilah-istilah seperti alat pandang dengar, bahan pengajaran (,instructional material), komunikasi pandang dengar (audio visual komunication), pendidikan alat peraga pandang(visual education), teknologi pendidikan (educational technology), alat peraga, dan media pendidikan.

  Berdasar pada pendapat-pendapat ahli tentang batasan media seperti dikemukakan di atas, penulis dapat menunjukkan ciri umum yang terkandung pada setiap batasan media di atas sebagai berikut. 1) Media pendidikan memiliki pengertian yang dikenal sebagai hardware dan softM’are. Hardware yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera, sedangkan hardware adalah kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras, yang merupakan isi atau materi pelajaran yang harus dipelajari siswa. 2) Media pendidikan dalam kegiatan pembelajaran, memiliki pengertian alat bantu atau sumber belajar yang digunakan sebagai perantara dalam rangka interaksi siswa dengan lingkungan sehingga ia memperoleh pengalaman berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

  3) Penekanan media pendidikan dalam kegiatan pembelajaran terdapat pada atau perorangan. Oleh karena itu media pendidikan dapat pula diartikan sebagai alat dan teknik pembelajaran yang sangat erat bertalian dengan metode mengajar.

  Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa media pendidikan atau media pembelajaran adalah alat bantu pembelajaran, sumber belajar, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran untuk mengefektifkan interaksi siswa dengan lingkungan belajarnya.

  Pada sub bab berikut, penulis mengemukakan fungsi dan manfaat media pembelajaran dalam suatu proses pembelajaran.

b. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran

  Dalam suatu proses pembelajaran, metode mengajar dan media pembelajaran merupakan dua komponen yang saling berkaitan, yang turut mempengaruhi lklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Karena itu, media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang diperlukan kehadirannya dalam suatu proses pembelajaran.

  Djamarah dan Aswan Zain (2002: 136) mengemukakan pendapatnya mengenai pentingnya kehadiran media dalam proses pembelajaran sebagai berikut.

  Dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting, karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan bahan dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Dengan demikian, anak didik lebih mudah mencerna bahan dari pada tanpa bantuan media.

  Kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya media dalam proses pembelajaran. Namun perlu diingat bahwa peranan media tidak akan muncul jika penggunaannya tidak sejalan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Karena itu tujuan pembelajaran yang merupakan salah satu komponen pembelajaran harus dijadikan pangkal acuan untuk menggunakan media. Manakala tujuan pembelajaran diabaikan, maka media bukan lagi sebagai alat bantu pembelajaran, tetapi bisa menjadi penghambat pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.

  Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran mempunyai fungsi dan manfaat yang cukup berarti dalam suatu proses pembelajaran karena dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. pentingnya kehadiran media sebagai alat bantu dalam suatu proses pembelajaran adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, karena berdasarkan kenyataan materi pelajaran memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Memang tidak semua materi pelajaran memerlukan alat bantu, tetapi perlu kita sadari bahwa ada bahan pelajaran yang tidak memerlukan media dan ada pula bahan pelajaran yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pembelajaran seperti grafik, model, globe, film, pita rekaman, gambar, dan sebagainya.

  Sesuai dengan permasalahan penelitian ini, fungsi media pembelajaran yang penulis kemukakan dibatasi hanya fungsi media visual. Levie &Lentz (1982) dalam Arsyad (1997: 16) mengemukakan empat fungsi media pengajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi, (b) fungsi afektif, (c) fungsi kognitif, dan (d) fungsi kompensatoris.

  Selanjutnya Arsyad (1997: 16-17) menjelaskan keempat fungsi tersebut di atas sebagai berikut.

  Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar, gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Fungsi kompensatoris media visual adalah untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal. Berkaitan dengan manfaat media pengajaran, Sudjana dan Ahmad

  Rival(1997: 2) mengemukakan “Media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya”. Selanjutnya Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 2-3) mengemukakan beberapa alasan mengenai pemyataannya seperti dikemukakan di atas sebagai berikut.

  Alasan pertama berkaitan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar siswa, antara lain (a) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (b) bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa mnguasai tujuan pengajaran lebih baik; (c) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga sistewa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran; dan (d) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. Alasan kedua berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir siswa mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir konkret menuju ke berpikir abstrak, dari berpikir sederhana ke berpikir kompleks. Pengunaan melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikonkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan. Dalam upaya menegaskan tentang pentingnya penggunaan media pengajaran dalam suatu proses pembelajaran, Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 3) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.

  Penelitian yang dilakukan terhadap penggunaan media pengajaran dalam prose belajar-mengajar sampai pada kesimpulan bahwa proses dan hasil belajar para siswa menunjukkan perbedaan yang berarti antara pengajaran tanpa media dengan pengajaran menggunakan media. Oleh sebab itu, penggunaan media pengajaran dalam proses pembelajaran sangat dianjurkan untuk mempertinggi kualitas pmbelajaran. Kutipan di atas secara jelas memberi petunjuk kepada kita bahwa media pembelajaran dalam suatu proses pembelajaran sangat diperlukan kehadirannya karena media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas suatu pembelajaran.

c. Jenis dan Kriteria Memilih Media Pembelajaran

  Seperti telah penulis kemukakan di atas bahwa media pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang bisa berupa pesan, orang, dan peralatan. Media pembelajaran ini berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Media pembelajaran yang dimanfaatkan dalam proses belajar adalah media cetak yang dihasilkan oleh teknologi yang paling tua (percetakan yang bekerja atas dasar prinsip mekanis). Kemudian lahir teknologi audio visual yang menggabungkan penemuan mekanis dan elektronis untuk tujuan pembelajaran. Media pembelajaran yang lahir dari teknologi yang muncul terakhir (teknologi mikro prosesor) adalah komputer dan kegiatan interaktif.

  Berdasarkan perkembangan teknologi, Arsyad (1997: 29) mengelompokkan media pembelajaran ke dalam empat kelompok, yaitu “(1) hasil teknologi yang berdasarkan komputer, dan (4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer”.

  Mengenai jenis media pengajaran Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 3) mengelompokkannya ke dalam empat kelompok, yaitu (1) media grafik seperti gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik, dan lam-lain. Media ini sering juga disebut media dua dimensi, yakni media yang mempunyai ukuran panjang dan lebar. (2) media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid bodel), model penampang, model susun, model keija, mock up, diorama,I dan lain-lain. (3) media proyeksi seperti slide, film strips,film, penggunaan OHP (over head projector) dan lam-lain. (4) penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran. Selanjutnya Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 4) menjelaskan,

  “Penggunaan media di atas tidak dilihat atau dinilai dari segi kecanggihan medianya, tetapi yang lebih penting adalah fungsi dan peranannya dalam membantu mempertinggi proses pembelajaran”.

  Dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran, menurut Sudjana dan Ahmad Rivai (1997 5) sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut: “(1) ketepatannya dengan tujuan pengajaran, (2) dukungan terhadap isi bahan pelajaran, (3) kemudahan memperoleh media, (4) keterampilan guru dalam menggunakannya, (5) tersedia waktu untuk menggunakannya, dan (6) sesuai dengan taraf berpikir siswa”.

  Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa yang harus dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih media pembelajaran adalah semua komponen pembelajaran (tujuan, bahan, metode, evaluasi, guru, dan siswa), kemudahan memperoleh media yang diperlukan, karakteristik media yang akan digunakan,

  Media pembelajaran yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah media gambar yang berisi rangkaian gerakan teknik servis bawah dalam permainan bola voli. Karena itu, pada bagian berikut penulis mengungkapkan konsep mengenai media gambar lengkap dengan karakteristiknya serta kelebihan dan kekurangannya, sebagai salah satu pertimbangan penulis memilih media tersebut dalam penelitian ini.

  4. Konsep Media Gambar

  Gambar fotografi merupakan salah satu media pembelajaran yang sangat sederhana, tidak memerlukan perlengkapan, dan tidak perlu diproyeksikan, dan mudah diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 70) sebagai berikut.

  Dewasa ini gambar fotografi secara luas bisa diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari surat-surat kabar, majalah-majalah, brosur-brosur, dan buku- buku. Gambar, lukisan, kartun, ilustrasi, foto yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut dapat digunakan oleh guru secara efektif daalam kegiatan belajar-mengajar, pada setiap jenjang pendidikan dan berbagai disiplin ilmu.

  Selanjutnya Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 70) mengemukakan bahwa “Gambar fotografi termasuk kepada gambar tetap atau still picture yang terdiri dari dua kelompok, yaitu flat opaque picture atau gambar datar tidak tembus pandang, misalnya gambar fotografi, gambar atau lukisan tersetak; dan transparant picture atau gambar tembus pandang, misalnya film slides, film strips, dan transparencies

  Dalam pelaksanaan pembelajaran, gambar fotografi ini bisa digunakan untuk tujuan pembelajaran individual, dan pembelajaran kelompok baik kelompok

  Dalam penelitian ini, media gambar digunakan untuk tujuan pembelajaran individual dan pembelajaran kelompok. Dalam pelaksanaannya, gambar yang berisi rangkaian gerakan pukulan dengan ukuran besar untuk diamati, ditiru dan dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh siswa yang mengikuti pembelajaran (sebanyak 25 orang). Dengan harapan melalui pembelajaran tersebut siswa mampu melakukan gerakan pukulan dengan benar.

  5. Keuntungan dan Kelemahan Media Gambar Fotografi

  Setiap media pembelajaran mempunyai keuntungan dan kelemahan yang berbeda dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari gambar fotografi dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran menurut Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 71) antara lain sebagai berikut.

  (1) Mudah dimanfaatkan di dalam kegiatan belajar-mengajar, karena praktis tanpa memerlukan perlengkapan apa-apa. (2) Harganya relatif lebih murah daripada jenis-jenis media pengajaran lainnya, dan cara memperolehnya pun mudah sekali tanpa perlu mengeluarkan biaya. (3) Gambar fotografi bisa dipergunakan dalam banyak hal, untuk berbagai jenjang pengajaran dan berbagai disiplin ilmu, dari TK sampai Perguruan Tinggi, dari ilmu-ilmu sosial sampai ilmu-ilmu eksakta. Dan (4) Gambar fotografi dapat meneijemahkan konsep atau gagasa yang abstrak menjadi lebih realistik. Sedangkan kelemahannya menurut Sudjana dan Ahmad Rivai (1997: 72) antara lain sebagai berikut.

  (1) Beberapa gambamya sudah cukup memadai akan tetapi tidak cukup besar ukurannya bila dipergunakan untuk tujuan pengajaran kelompok besar, kecuali bilamana diproyeksikan melalui proyektor opec. (2) Gambar fotografi adalah berdimensi dua, sehingga sukar untuk melukiskan bentuk sebenamya yang berdimensi tiga, kecuali bila dilengkapi dengan beberap seri gambar untuk objek yang sama atau dengan adegan yang diambil dilakukan dari berbagai sudut. (3) Gambar fotografi bagaimana pun

  Namun demikian beberapa gambar fotografi seri yang disusun secara berurutan dapat membenkan kesan gerak dapat saja dicobakan, dengan maksud guna meningkatkan dava efektivitas proses belajar-mengajar. Mengacu pada pendapat Sudjana dan Ahmad Rivai mengenai kelebihan dan kelemahan media gambar fotografi seperti dikemukakan di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan media gambar seri yang berisi rangkaian gerakan pukulan permainan kasti. Setiap gambar berisi satu gerakan teknik servis bawah sesuai dengan tahapan teknik tersebut, sehingga gambar yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan jika diperhatikan dengan seksama gambar tersebut memberikan kesan gerak. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kelemahan dari media gambar fotografi tersebut, sehingga daya efektivitas belajar mengajar yang dilakukan selama penelitian ini lebih meningkat.