BAB II LANDASAN TEORITIS

(1)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Masyarakat dan Kebudayaan

Definisi dari masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.1 Beberapa pengertian Masyarakat menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Pengertian masyarakat adalah sejumlah besar orang yang tinggal dalam wilayah yang sama, relatif independen dan orang orang di luar wilayah itu, dan memiliki budaya yang relatif sama. (Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm, 1998).

2. Definisi Masyarakat adalah orang orang yang berinteraksi dalam sebuah wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama. (John J. Macionis, 1997).

3. Adam smith menulis bahwa sebuah masyarakat dapat terdiri dari berbagai jenis manusia yang berbeda, yang memiliki fungsi yang berbeda (as among different merchants), yang terbentuk dan dilihat hanya dari segi fungsi bukan dari rasa suka maupun cinta dan sejenisnya, dan hanya rasa untuk saling menjaga agar tidak saling menyakiti “may subsist among different men, as among different merchants, from a sense of its utility without any mutual love or affection, if only they refrain from doing injury to each other.”

4. Pengertian Masyarakat Menurut An-Nabhani bahwa masyarakat adalah sekelompok individu seperti manusia yang memiliki pemikiran perasaan, serta sistem/aturan yang sama, dan terjadi interaksi antara sesama karena kesamaan tersebut untuk kebaikan masyarakat itu sendiri dan warga masyarakat.

5. pengertian masyarakat menurut Linton adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga dapat terbentu organisasi yang mengatur setiap individu dalam masyarakat tersebut dan membuat setiap individu dalam masyarakat dapat mengatur diri sendiri dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan tertentu.

6. Menurut MJ. Heskovits, masyarakat adalah sebuah kelompok individu yang mengatur, mengorganisasikan, dan mengikuti suatu cara hidup (the way life) tertentu.

7. Menurut S.R. Steinmentz, masyarakat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang terbesar meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur

8. J.L Gillin mengartikan masyarakat sebagai sebuah kelompok manusia yang tersebar yang memiliki kebiasaan (habit), tradisi (tradition), sikap (attitude) dan perasaan persatuan yang sama.


(2)

9. Menurut Mack Ever, arti Masyarakat sebagai suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian-pembagian sosial, sistem pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks dan selalu berubah dari relasi sosial.

10. Selo Soemardjan memberikan pengertian masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

11. Masyarakat menurut Max Weber adalah sebagai suatu struktur atau aksi yang pada pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilai-nilai yang dominan pada warganya

12. Ahli Sosiologi dan bapak sosiologi modern, Emile Durkheim, mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.

13. Bapak Komunis, Karl Marx, memberikan definisi masyarakat sebagai suatu struktur yang menderita ketegangan organisasi ataupun perkembangan karena adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecah-pecah secara ekonomis2

Kata "kebudayaan berasal dari (bahasa Sanskerta) yaitu "buddayah" yang merupakan bentuk jamak dari kata "budhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Pengertian Kebudayaan secara umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan. Sedangkan menurut definisi Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa pengertian kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat. Senada dengan Koentjaraningrat, didefinisikan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi, pada bukunya Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta :Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hal 113, merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.

Pengertian Kebudayaan dalam bahasa inggris disebut culture. merupakan suatu istilah yang relatif baru karena istilah culture sendiri dalam bahasa inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelumnya pada tahun 1843 para ahli antropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam istilah agriculture dan holticulture. Hal ini bisa kita mengerti karena istilah culture berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian. Pada arti kiasan kata itu juga berarti "pembentukan dan pemurnian jiwa". Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (New York ; Brentano's, 1924), hal 1, yang mendefinisikan pengertian kebudayaan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.3

2 http://hariannetral.com/2014/09/pengertian-masyarakat-menurut-para-ahli.html


(3)

Kebudayaan menurut Erdward B. Tylor adalah keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, dan tiap kemampuan serta kebiasaan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.4

B. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Kebudayaan

1. Pengertian Perubahan Sosial

Perubahan sosial (social change) merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial dalam masyarakat. Adapun menurut Kingsley Davis perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan teknologi, dan filsafat.5

Menurut Paul B. Horton dan Cgester L. Hunt, perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan jalinan hubungan dalam masyarakat seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah perubahan budaya. Khusus mengenai perubahan sosial, para ahli sosiologi dan antropologi memberi batasan pengertian saebagai berikut:

a. Robert M. Mcalver mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan

(equilibirium) hubungan sosial.

b. J.P. Gillin dan J.L. Gillin mengatakan perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam msayarakat.

c. Samuel Koening mengartikan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi-modifikasi tersebut dapat terjadi karena sebab-sebab intern maupun ekstern.

d. Wilbert E. Moore mendifinisikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud struktur sosial dalam konteks ini adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial

e. Selo Soemardjan merumuskan tentaang perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.6

Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa perubahan yang terjdi di masyarakat meliputi beberapa perubahan berikut ini:

4 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.

5 Saraswati, Mila., Widaningsih, Ida. 2008. Be Smart Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) untuk Kelas XI Sekolah Menengah Pertama. Grafindo Media Pratama.

6 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.


(4)

a. Perubahan kultural, yaitu perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, sikap-sikap, serta norma-norma sosial masyarakat.

b. Perubahan struktural, yaitu perbahan yang sangat mendasar dan menimbulkan terorganisasi dalam masyarakat.

c. Perubahan proses, yaitu perubahan yang tidak mendasar dan biasanya merupkan penyempurnaan dari perubahan sebelumnya.

d. Perubahan yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam suatu sistem masyarakat.7 2. Teori-Teori Perubahan Sosial

Seperti diketahui bahwa sifat masyarakat ialah dinamis dan berubah. Masyarakat selalu berkembang dari tahap yang sangat sederhana menuju masyarakat yang kompleks. Para ahli mencoba membuat klasifikasi teori umum atau teori besar tentang perubahan masyarakat atau yang dalam istilah sosiologi teori perubahan sosial. Ahli-ahli sosiologi itu, misalnya “bapak sosiologi”, Auguste Comte dan para perintis sosiologi lainnya, seperti Herbert Spencer, Karl Marx, dan Marx Weber. Dari para ahli sosiologi ini kemudian dikenal beberapa teori dalam melihat peruubahan yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu teori evolusioner, teori siklus, teori fungsional, dan konflik.

a. Teori Evolusioner

Teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat, dari yang paling awal menuju ke tahap perkembangan akhir. Di samping itu, perubahan teori-teori evolusioner menyatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai maka pada saat itu perubahan pun berakhir. Teori ini dianut oleh Auguste Comte, Herbert Spencer, Karl Marx, dan Lewis Henry Morgan.

1) Auguste Comte (1798-1857) merupakan seorang sarjana Prancis dan lebih dikenal sebagai “bapak sosiologi”. Dalam melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat ia menyimpulkan bahwa masyarakat berubah melalui tiga tahap perkembangan sebagai berikut:

a) Tahap teologis (theological stage). Pada tahap ini perubahan masyarakat diarahkan oleh nilai-nilai yang dialaminya. Pada tahap teologis manusia memohon pada kekuatan ghaib (supernatural) dan segala kejadian di dunia ini dianggap sebagai kehendak kekuatan ghaib. Manusia menyembah pada semangat atau roh yang terdapat di dunia luar, seperti pohon-pohon dan binatang (animinsme). Kemudian mempercayai sejumlah Tuhan yang diyakini bertanggung jawab atas berbagai fase kehidupan (politheisme). Terakhir menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa.

b) Tahap metafisik (methaphysical stage), yaitu tahap peralihan dimana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (Tuhan) digeser oleh prinsip-prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan budaya. Dalam tahap ini, gagasan tentang kedaulatan serta kekuasaan hukum dan pemerintahan berdasarkan hukum dominan dalam kehidupan politik.

c) Tahap positif atau tahap ilmiah (positive atau scientific stage), tahap ini tercapai segera setelah manusia menyerahkan diri pada hukum yang berdasarkan bukti impiris, pengamatan, perbandingan, dan eksperimen. Tahap 7 Sumtri, Ni Wayan. 2016. Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sasatra, dan Budaya Etnik Rongga,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


(5)

ini disebut abad ilmu pengetahuan dan industrialisme. Segera setelah tahap positif tercapai, perkembangan berlanjut tanpa henti, ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga tingkat yang makin luas. Namun tidak pernah mencapai kebenaran terakhir dan sempurna yang hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

2) Herbert Spencer (1820-1903) adalah seorang sarjana Inggris yang tertarik pada teori evolusi organisnya Charles Darwin. Spencer berpandapat bahwa ada persamaan antara evolusi Darwinisme dan evolusi sosial peralihan masyarakat, yang berawal dari tahap keolmpok suku yang homogen dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer menerapkan “yang terkuatlah yang akan menang” atau survival of the fittest-nya Darwin terhadap masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang-orang yang cakap dan bergairah (energetik) akan memenangkan perjuangan hidup, sedangkan orang-orang yang malas dan lemah akan tersisish. Pandangan ini muali dikenal dengan “Darwinisme Sosial” dan banyak dianut oleh golongan kaya.

a) Tahap kebuasan rendah (lower status of savagery), yaitu sejak manusia ada di permukaan bumi sampai ia mengenal bahasa.

b) Tahap kebuasan menengah (middle status of savagery), yaitu ditandai adanya kemampuan membuat api dan berakhir dengan adanya kemampuan manusia membuat busur dan panah.

c) Tahap kebuasan tinggi (upper status of savagery), yaitu dimulai membuat busur dan panah sampai menemukan peralatan tembikar.

d) Tahap barbarisme rendah (lower status of barbarism), yaitu dimulai dari kemampuan membuat tembikar smapai mengenal bedidaya tumbuhan dan pemeliharaan hewan ternak.

e) Tahap barbarisme menengah (middle status of barbarism), yaitu dimuali dari pengenalan budidaya tanaman dan hewan sampai kemampuan bertani secara menetap dan mengenal sistem irigasi.

f) Tahap barbarisme tinggi (upper status of barbarism), yaitu dimuali dari kemampuan membuat irigasi smapai pengolahan besi dan sistem alfabet (huruf).

g) Tahap peradaban (status of civilization), yaitu ditandai dengan penggunaan bahasa tulisan dan pencetakan samapsi sekarang.

3) Karl Marx (1813-1883) adalah seorang ahli filsafat Jerman penganut teori konflik. Marx memandang bahwa perubahan sosial sangat jelas bersifat evolusioner. Ia melihat adanya serangkaian tahap perubahan yang kompleksitas teknologinya semakin meningkat, dari tahap masyarakat pemburu primitif ke masyarakat industrialis modern.setiap tahap memiliki “metode produksi” yang cocok untuk tahap tersebut, dan unsur-unsur budaya lainnya diselaraskan dengan cara tersebut. Dalam setiap tahap terkandung “benih perusak dirinya sendiri”, karena setiap tahap tidak dapat menghindarkan terciptanya kondisi yang merusakkan tahap itu untuk menuju ke tahap berikutnya. Oleh karena itu, Marx menilai kapitalisme sebagai sesuatu yang kejam dan eksploitatif. Namun, dilain pihak merupakan persiapan yang diperlukan dalam peralihan menuju komunisme. Ia berkeyakinan


(6)

bahwa pada akhirnya keruntuhan kapitalisme dan kemunculan komunisme akan menjadi kenyataan yang sama sekali tidak bisa ditolak, terlepas dari adanya upaya apapun yang dilakukan oleh para kapitalis untuk menghindari terjadinya kenyataan tersebut.

b. Teori Siklus

Sama halnya seperti para penganut teori evolusi, para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh masyarakat menuju suatu perubahan. Akan tetapi mereka berpandangan bahwa proses peralihan masyarakat bukannya berakhir pada tahap “terakhir” yang sempurna, melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya. Penganut teori ini antara lain Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, dan Arnold Toynbee.

1) Oswald Spengler (1880-1936), seorang ahli filsafat Jerman, berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami poses pentahapan, yaitu kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. pendapat Spengler menarik perhatian karena ramalan hari kiamatnya yang memukau dan dituangkan dalam karyanya The Decline of The West

(Keruntuhan Dunia Barat)

2) Pitirim Sorokin (1889-1968), adalah seorang ahli sosiologi Rusia yang melarikan diri ke Amerika Serikat setelah meletusnya Revolusi Bolshevik. Ia berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir sebagai berikut.

a) Kebudayaan ideasional (idetional culture) yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supernatural). Kebudayaan kultur ideasional ditandai oleh dasar pemikiran berikut:

 Realitas adalah bersifat spiritual, nonmaterial, dan tersembunyi di bawah permukaan material (misalnya, Tuhan, Nirwana, Tao, dan Brahma). Realitas itu abadi dan tidak berubah.

 Kebutuhan tujuan akhir terutama bersifat spiritual. Cara mencapai tujuan itu dipusatkan pada upaya peningkatan jasmani dan rohani, keinginan, keyakinan, keseluruhan kepribadihan agar terhindar dari godaan hawa nafsu dan melepaskannya dari kehidupan duniawi.

 Kebenaran hanya dicapai dengan mengalami sendiri (modifikasi, ilham, dan kegembiraan luar biasa).

b) Kebudayaan idelistis (idelistic culture) dimana kepercayaan terhadap unsur adikodrati dan rasionalistis yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.

c) Kebudayaan sensasi (sensate culture) dimana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

Selanjutnya Sorokin menilai bahwa peradaban barat modern sebagai peradaban yang rapuh dan tidak lama lagi akan runtuh, dan selanjutnya akan berubah menjadi kebudayaan ideasional yang baru.


(7)

3) Arnold Toynbee (1889-1975), sejarawan Inggris ini menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan kematian. Toynbee dalam karyanya A Study of History (12 jilid) membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Pertumbuhan ialah proses tantangan dan jawaban, dan keberhasilan masyarakat tergantung pada bagaimana mereka menjawab tantangan kemanusiaan dan lingkungan.

c. Teori Fungsional dan Teori Konflik

Baik teori fungsional maupun teori konflik tidak termasuk dalam salah suatu teori besar yang disinggung terdahulu. Para penganut teori fungsional menerima perubahan sebagai suatu yang konstan, sesuatu yang tetap dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh karena itu, perubahan dapat dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan itu berhenti pada saat perbahan yang bermanfaat (fungsional) akan diterima dan yang tidak berguna (disfunsional) akan ditolak.

Penganut teori konflik mengikuti pola tersendiri, teori ini menilai bahwa yang konstan adalah konflik sosial, bukannya perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya koonflik tersebut. Karena konflik berlangsung secara terus-menerus, maka perubahan pun demikian adanya. Perubahan menciptakan kelompok baru dan kelas sosial baru. Konflik antarkelompok dan antarkelas sosial melahirkan perubaham berikutnya. Setiap perubahan tertentu menunjukkan keberhasilan kelompok atau kelas sosial pemenang dalam melaksanakan kehendaknya terhadap kelompok atau kelas sosial lainnya.8

3. Pengertian Perubahan Kebudayaan

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat ada yang dapat diamati dengan mudah dan ada pula yang sukar diamati. Tidak ada masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana dinyatakan filosof Yunani Heraclitus bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dalam keadaan yang terus berubah. Begitu melekatnya gejala perubahan sosial di dalam kehidupan masyarakat sampai muncul anggapan yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal saja, yaitu perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendirilah yang tidak pernah mengalami perubahan, tidak pernah surut atau berhenti.

Menurut Robert H. Lauer, perubahan sosial budaya adalah gejala yang normal dan berkelanjutan. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar ,anusia itu sendiri. Manusia selalu berubah dan menginginkan perubahan dalam hidupnya. Manusia merupakan makhluk yang dinamis, aktif, kreatif, inovatif, dan agresif, yang selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar atau di lingkungan budaya mereka.9

4. Teori Perubahan Kebudayaan

Pengkajian masalah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera berpedoman pada teori perubahan kebudayaan. Menurut Geertz (1973:89) dan Bourdieu (1977:83), 8 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.

9 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.


(8)

perubahan kebudayaan berlangsung sesuai dengan perguliran waktu dan kemajukan realitas sosial budaya yang diahadapi pendunkungnya. Kebudayaan, selain dipahami sebagai proses sosial, juga merupakan produk sosial yang dibentuk dan dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial tersebut. Sebagai produk yang dikonstruksi secara sosial, dalam kebudayaan terpancar beraneka kepentingan agen sosial yang terlibat yang membentuk sebuah jaringan makna yang dinamis melalui proses negosiasi yang intensif dan berkelanjutan.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, keragaman individual dapat memahami karakteristik kebudayaannya sendiri, serta kontak dan komunikasi dengan kelompok etnik lain. Wujud perubahan itu dapat terjadi dalam bentuk penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Perubahan kebudayaan bergantung pada kelenturan dan kebutuhan kebudayaan itu pada waktu tertentu, dankesesuaian antara unsur-unsur baru dan matrik, kebudayaan yang ada. Perubahan itu biasanya berlangsung seiring dengan pertumbyhan dan perkembangan masyarakatnya sesuai dengan kemajemukan realitas yang dihadapinya. Kebudayaan sebagai aspek kehidupan manusia bukan merupakan sistem terbuka sehingga tidak imun dari perubahan, yang bersumber dari dalam lingkup kehidupan masyarakatnya sendiri (faktor internal) dan dari luar (faktor eksternal), yakni pengaruh kontak dengan kebudayaan dan kelompok masyarakat lain. (Haviland, 1988: 252-253).

Menurut Tylor (dalam Pals, 2001: 30-31), tidak semua bentuk dan aspek-aspek kebudayaan mengalami perkembangan dalam fase yang sama. Perkembangan beberapa bentuk kebudayaan dalam masa tertentu dapat saja tertinggal jauh. Seperti yang disingkapnya dalam “doktrin keberlangsungan hidup”, berbicara tentang kemajuan dalam setiap peradaban tidak dapat mengesampingkan hal-hal yang beada dalam kondisi keterbelakangan. analisis perubahan kebudayaan harus mengacu pada realitas masa lalu ketika masih berada dalam tingkatan sederhana (primitif), karena dalam semua kebudayaan, setiap generasi belajar dari generasi sebelumnya serta memiliki kemampuan sosial intelektual sendiri untuk mengembangkan apa yang sudah dicapai generasi sebelumnya.

Perubahan kebudayaan, selain berdampak positif berupa kemajuan dam pembaruan, juga berdampak negatif berupa pergeseran nilai yang selama ini menjadi sumber rujukan bersama bagi para pendukung kebudayaan tersebut dalam menata sikap dan pola perilakunya. Hal ini selaras dengan pandangan Wallace (dalam Kaplan dan Albert, 1999:191) yang menyatakan bahwa pengaruh kondisi perubahan budaya yang begitu pesat dan kontak budaya yang begitu intensif menyebabkan struktur kelembagaan yang ada cenderung mengalami kemacetan. Hal itu terjadi karena skemata bbudaya lama yang memuat gambaran cara pandang mereka tentang dunia sudah tidak lagi berfungsi secara optimal sebagai penuntun yang memadai dalam mendekati realitas yang ada.

Situasi dan kondisi ketidakselarasan itu mendorong mereka melakukan penataan ulang terhadap pengalaman menjadi satu kesatuan yang utuh dan lebuh berarti, yang pada taraf budaya disebut revitalisasi. Revitalisasi adalah suatu bentuk gerakan sosial untuk memberi arti pada sesuatu yang untuk masyarakat bersangkutan sudah menjadi sebuah dunia yang tercerai-berai dan kehilangan makna. Sasarannya bermuara pada penghidupan


(9)

kembali perangkat makna bdaya yang sudah mengalamii kekeroposan, baik dalam kandungan ajaran maupun dalam jumlah dan intensitasnya, demi penciptaan kembali suatu tatanan kehidupan masyarakat yang serasi, selaras, dan seimbang (Sudikan, 2001:55).10

10 Sumtri, Ni Wayan. 2016. Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sasatra, dan Budaya Etnik Rongga,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


(1)

a. Perubahan kultural, yaitu perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, sikap-sikap, serta norma-norma sosial masyarakat.

b. Perubahan struktural, yaitu perbahan yang sangat mendasar dan menimbulkan terorganisasi dalam masyarakat.

c. Perubahan proses, yaitu perubahan yang tidak mendasar dan biasanya merupkan penyempurnaan dari perubahan sebelumnya.

d. Perubahan yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam suatu sistem masyarakat.7

2. Teori-Teori Perubahan Sosial

Seperti diketahui bahwa sifat masyarakat ialah dinamis dan berubah. Masyarakat selalu berkembang dari tahap yang sangat sederhana menuju masyarakat yang kompleks. Para ahli mencoba membuat klasifikasi teori umum atau teori besar tentang perubahan masyarakat atau yang dalam istilah sosiologi teori perubahan sosial. Ahli-ahli sosiologi itu, misalnya “bapak sosiologi”, Auguste Comte dan para perintis sosiologi lainnya, seperti Herbert Spencer, Karl Marx, dan Marx Weber. Dari para ahli sosiologi ini kemudian dikenal beberapa teori dalam melihat peruubahan yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu teori evolusioner, teori siklus, teori fungsional, dan konflik.

a. Teori Evolusioner

Teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat, dari yang paling awal menuju ke tahap perkembangan akhir. Di samping itu, perubahan teori-teori evolusioner menyatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai maka pada saat itu perubahan pun berakhir. Teori ini dianut oleh Auguste Comte, Herbert Spencer, Karl Marx, dan Lewis Henry Morgan.

1) Auguste Comte (1798-1857) merupakan seorang sarjana Prancis dan lebih dikenal sebagai “bapak sosiologi”. Dalam melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat ia menyimpulkan bahwa masyarakat berubah melalui tiga tahap perkembangan sebagai berikut:

a) Tahap teologis (theological stage). Pada tahap ini perubahan masyarakat diarahkan oleh nilai-nilai yang dialaminya. Pada tahap teologis manusia memohon pada kekuatan ghaib (supernatural) dan segala kejadian di dunia ini dianggap sebagai kehendak kekuatan ghaib. Manusia menyembah pada semangat atau roh yang terdapat di dunia luar, seperti pohon-pohon dan binatang (animinsme). Kemudian mempercayai sejumlah Tuhan yang diyakini bertanggung jawab atas berbagai fase kehidupan (politheisme). Terakhir menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa.

b) Tahap metafisik (methaphysical stage), yaitu tahap peralihan dimana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (Tuhan) digeser oleh prinsip-prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan budaya. Dalam tahap ini, gagasan tentang kedaulatan serta kekuasaan hukum dan pemerintahan berdasarkan hukum dominan dalam kehidupan politik.

c) Tahap positif atau tahap ilmiah (positive atau scientific stage), tahap ini tercapai segera setelah manusia menyerahkan diri pada hukum yang berdasarkan bukti impiris, pengamatan, perbandingan, dan eksperimen. Tahap

7 Sumtri, Ni Wayan. 2016. Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sasatra, dan Budaya Etnik Rongga,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


(2)

ini disebut abad ilmu pengetahuan dan industrialisme. Segera setelah tahap positif tercapai, perkembangan berlanjut tanpa henti, ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga tingkat yang makin luas. Namun tidak pernah mencapai kebenaran terakhir dan sempurna yang hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.

2) Herbert Spencer (1820-1903) adalah seorang sarjana Inggris yang tertarik pada teori evolusi organisnya Charles Darwin. Spencer berpandapat bahwa ada persamaan antara evolusi Darwinisme dan evolusi sosial peralihan masyarakat, yang berawal dari tahap keolmpok suku yang homogen dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer menerapkan “yang terkuatlah yang akan menang” atau survival of the fittest-nya Darwin terhadap masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang-orang yang cakap dan bergairah (energetik) akan memenangkan perjuangan hidup, sedangkan orang-orang yang malas dan lemah akan tersisish. Pandangan ini muali dikenal dengan “Darwinisme Sosial” dan banyak dianut oleh golongan kaya.

a) Tahap kebuasan rendah (lower status of savagery), yaitu sejak manusia ada di permukaan bumi sampai ia mengenal bahasa.

b) Tahap kebuasan menengah (middle status of savagery), yaitu ditandai adanya kemampuan membuat api dan berakhir dengan adanya kemampuan manusia membuat busur dan panah.

c) Tahap kebuasan tinggi (upper status of savagery), yaitu dimulai membuat busur dan panah sampai menemukan peralatan tembikar.

d) Tahap barbarisme rendah (lower status of barbarism), yaitu dimulai dari kemampuan membuat tembikar smapai mengenal bedidaya tumbuhan dan pemeliharaan hewan ternak.

e) Tahap barbarisme menengah (middle status of barbarism), yaitu dimuali dari pengenalan budidaya tanaman dan hewan sampai kemampuan bertani secara menetap dan mengenal sistem irigasi.

f) Tahap barbarisme tinggi (upper status of barbarism), yaitu dimuali dari kemampuan membuat irigasi smapai pengolahan besi dan sistem alfabet (huruf).

g) Tahap peradaban (status of civilization), yaitu ditandai dengan penggunaan bahasa tulisan dan pencetakan samapsi sekarang.

3) Karl Marx (1813-1883) adalah seorang ahli filsafat Jerman penganut teori konflik. Marx memandang bahwa perubahan sosial sangat jelas bersifat evolusioner. Ia melihat adanya serangkaian tahap perubahan yang kompleksitas teknologinya semakin meningkat, dari tahap masyarakat pemburu primitif ke masyarakat industrialis modern.setiap tahap memiliki “metode produksi” yang cocok untuk tahap tersebut, dan unsur-unsur budaya lainnya diselaraskan dengan cara tersebut. Dalam setiap tahap terkandung “benih perusak dirinya sendiri”, karena setiap tahap tidak dapat menghindarkan terciptanya kondisi yang merusakkan tahap itu untuk menuju ke tahap berikutnya. Oleh karena itu, Marx menilai kapitalisme sebagai sesuatu yang kejam dan eksploitatif. Namun, dilain pihak merupakan persiapan yang diperlukan dalam peralihan menuju komunisme. Ia berkeyakinan


(3)

bahwa pada akhirnya keruntuhan kapitalisme dan kemunculan komunisme akan menjadi kenyataan yang sama sekali tidak bisa ditolak, terlepas dari adanya upaya apapun yang dilakukan oleh para kapitalis untuk menghindari terjadinya kenyataan tersebut.

b. Teori Siklus

Sama halnya seperti para penganut teori evolusi, para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh masyarakat menuju suatu perubahan. Akan tetapi mereka berpandangan bahwa proses peralihan masyarakat bukannya berakhir pada tahap “terakhir” yang sempurna, melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya. Penganut teori ini antara lain Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, dan Arnold Toynbee.

1) Oswald Spengler (1880-1936), seorang ahli filsafat Jerman, berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami poses pentahapan, yaitu kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. pendapat Spengler menarik perhatian karena ramalan hari kiamatnya yang memukau dan dituangkan dalam karyanya The Decline of The West (Keruntuhan Dunia Barat)

2) Pitirim Sorokin (1889-1968), adalah seorang ahli sosiologi Rusia yang melarikan diri ke Amerika Serikat setelah meletusnya Revolusi Bolshevik. Ia berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir sebagai berikut.

a) Kebudayaan ideasional (idetional culture) yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supernatural). Kebudayaan kultur ideasional ditandai oleh dasar pemikiran berikut:

 Realitas adalah bersifat spiritual, nonmaterial, dan tersembunyi di bawah permukaan material (misalnya, Tuhan, Nirwana, Tao, dan Brahma). Realitas itu abadi dan tidak berubah.

 Kebutuhan tujuan akhir terutama bersifat spiritual. Cara mencapai tujuan itu dipusatkan pada upaya peningkatan jasmani dan rohani, keinginan, keyakinan, keseluruhan kepribadihan agar terhindar dari godaan hawa nafsu dan melepaskannya dari kehidupan duniawi.

 Kebenaran hanya dicapai dengan mengalami sendiri (modifikasi, ilham, dan kegembiraan luar biasa).

b) Kebudayaan idelistis (idelistic culture) dimana kepercayaan terhadap unsur adikodrati dan rasionalistis yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.

c) Kebudayaan sensasi (sensate culture) dimana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

Selanjutnya Sorokin menilai bahwa peradaban barat modern sebagai peradaban yang rapuh dan tidak lama lagi akan runtuh, dan selanjutnya akan berubah menjadi kebudayaan ideasional yang baru.


(4)

3) Arnold Toynbee (1889-1975), sejarawan Inggris ini menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan kematian. Toynbee dalam karyanya A Study of History (12 jilid) membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Pertumbuhan ialah proses tantangan dan jawaban, dan keberhasilan masyarakat tergantung pada bagaimana mereka menjawab tantangan kemanusiaan dan lingkungan.

c. Teori Fungsional dan Teori Konflik

Baik teori fungsional maupun teori konflik tidak termasuk dalam salah suatu teori besar yang disinggung terdahulu. Para penganut teori fungsional menerima perubahan sebagai suatu yang konstan, sesuatu yang tetap dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh karena itu, perubahan dapat dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan itu berhenti pada saat perbahan yang bermanfaat (fungsional) akan diterima dan yang tidak berguna (disfunsional) akan ditolak.

Penganut teori konflik mengikuti pola tersendiri, teori ini menilai bahwa yang konstan adalah konflik sosial, bukannya perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya koonflik tersebut. Karena konflik berlangsung secara terus-menerus, maka perubahan pun demikian adanya. Perubahan menciptakan kelompok baru dan kelas sosial baru. Konflik antarkelompok dan antarkelas sosial melahirkan perubaham berikutnya. Setiap perubahan tertentu menunjukkan keberhasilan kelompok atau kelas sosial pemenang dalam melaksanakan kehendaknya terhadap kelompok atau kelas sosial lainnya.8

3. Pengertian Perubahan Kebudayaan

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat ada yang dapat diamati dengan mudah dan ada pula yang sukar diamati. Tidak ada masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana dinyatakan filosof Yunani Heraclitus bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dalam keadaan yang terus berubah. Begitu melekatnya gejala perubahan sosial di dalam kehidupan masyarakat sampai muncul anggapan yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal saja, yaitu perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendirilah yang tidak pernah mengalami perubahan, tidak pernah surut atau berhenti.

Menurut Robert H. Lauer, perubahan sosial budaya adalah gejala yang normal dan berkelanjutan. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar ,anusia itu sendiri. Manusia selalu berubah dan menginginkan perubahan dalam hidupnya. Manusia merupakan makhluk yang dinamis, aktif, kreatif, inovatif, dan agresif, yang selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar atau di lingkungan budaya mereka.9

4. Teori Perubahan Kebudayaan

Pengkajian masalah mekanisme pewarisan wacana tradisi lisan vera berpedoman pada teori perubahan kebudayaan. Menurut Geertz (1973:89) dan Bourdieu (1977:83),

8 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.

9 Sukanti, Dwi., et al. 2007. Geografi dan Sosiologi Pelajaran IPS Terpadu untuk SMP Kelas IX. Jakarta: Ganeca Exact.


(5)

perubahan kebudayaan berlangsung sesuai dengan perguliran waktu dan kemajukan realitas sosial budaya yang diahadapi pendunkungnya. Kebudayaan, selain dipahami sebagai proses sosial, juga merupakan produk sosial yang dibentuk dan dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial tersebut. Sebagai produk yang dikonstruksi secara sosial, dalam kebudayaan terpancar beraneka kepentingan agen sosial yang terlibat yang membentuk sebuah jaringan makna yang dinamis melalui proses negosiasi yang intensif dan berkelanjutan.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan, keragaman individual dapat memahami karakteristik kebudayaannya sendiri, serta kontak dan komunikasi dengan kelompok etnik lain. Wujud perubahan itu dapat terjadi dalam bentuk penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Perubahan kebudayaan bergantung pada kelenturan dan kebutuhan kebudayaan itu pada waktu tertentu, dankesesuaian antara unsur-unsur baru dan matrik, kebudayaan yang ada. Perubahan itu biasanya berlangsung seiring dengan pertumbyhan dan perkembangan masyarakatnya sesuai dengan kemajemukan realitas yang dihadapinya. Kebudayaan sebagai aspek kehidupan manusia bukan merupakan sistem terbuka sehingga tidak imun dari perubahan, yang bersumber dari dalam lingkup kehidupan masyarakatnya sendiri (faktor internal) dan dari luar (faktor eksternal), yakni pengaruh kontak dengan kebudayaan dan kelompok masyarakat lain. (Haviland, 1988: 252-253).

Menurut Tylor (dalam Pals, 2001: 30-31), tidak semua bentuk dan aspek-aspek kebudayaan mengalami perkembangan dalam fase yang sama. Perkembangan beberapa bentuk kebudayaan dalam masa tertentu dapat saja tertinggal jauh. Seperti yang disingkapnya dalam “doktrin keberlangsungan hidup”, berbicara tentang kemajuan dalam setiap peradaban tidak dapat mengesampingkan hal-hal yang beada dalam kondisi keterbelakangan. analisis perubahan kebudayaan harus mengacu pada realitas masa lalu ketika masih berada dalam tingkatan sederhana (primitif), karena dalam semua kebudayaan, setiap generasi belajar dari generasi sebelumnya serta memiliki kemampuan sosial intelektual sendiri untuk mengembangkan apa yang sudah dicapai generasi sebelumnya.

Perubahan kebudayaan, selain berdampak positif berupa kemajuan dam pembaruan, juga berdampak negatif berupa pergeseran nilai yang selama ini menjadi sumber rujukan bersama bagi para pendukung kebudayaan tersebut dalam menata sikap dan pola perilakunya. Hal ini selaras dengan pandangan Wallace (dalam Kaplan dan Albert, 1999:191) yang menyatakan bahwa pengaruh kondisi perubahan budaya yang begitu pesat dan kontak budaya yang begitu intensif menyebabkan struktur kelembagaan yang ada cenderung mengalami kemacetan. Hal itu terjadi karena skemata bbudaya lama yang memuat gambaran cara pandang mereka tentang dunia sudah tidak lagi berfungsi secara optimal sebagai penuntun yang memadai dalam mendekati realitas yang ada.

Situasi dan kondisi ketidakselarasan itu mendorong mereka melakukan penataan ulang terhadap pengalaman menjadi satu kesatuan yang utuh dan lebuh berarti, yang pada taraf budaya disebut revitalisasi. Revitalisasi adalah suatu bentuk gerakan sosial untuk memberi arti pada sesuatu yang untuk masyarakat bersangkutan sudah menjadi sebuah dunia yang tercerai-berai dan kehilangan makna. Sasarannya bermuara pada penghidupan


(6)

kembali perangkat makna bdaya yang sudah mengalamii kekeroposan, baik dalam kandungan ajaran maupun dalam jumlah dan intensitasnya, demi penciptaan kembali suatu tatanan kehidupan masyarakat yang serasi, selaras, dan seimbang (Sudikan, 2001:55).10

10 Sumtri, Ni Wayan. 2016. Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sasatra, dan Budaya Etnik Rongga,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.