Makalah Tanggung Jawab Orang Tua

Makalah Tanggung Jawab Orang Tua
Dalam al-Qur’an dinyatakan hidup berpasangan-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri
segala makhluk Allah termasuk manusia. “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah Swt” Al-Zaariyat : 49 Dari makhluk
yang diciptakan Allah SWT yang berpasang-pasangan inilah Allah menciptakan manusia
menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur
manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya
dirumuskan dalam ujud aturan-aturan yang disebut dengan Hukum Perkawinan Islam.
Pada dasarnya Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan
maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun akhirat. Kesejahteraan
manusia akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang sejahtera, karena keluarga merupakan
lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung
kepada kesejahteraan keluarga. Demikian juga kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh
kesejahteraan hidup keluarganya.
Islam mengatur keluarga bukan hanya secara garis besar saja, tetapi sampai terperinci. Yang
demikian itu menunjukan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga
terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang
telah mempunyai kemampuan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda :
“Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka
kawinlah….”
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu

sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam surat al-Ra’ad ayat
38.
“Dan sesungguhnya kami tela mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan
kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka
mendirikan kelurga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia, dan bahagia. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan
lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan.
Sementara itu manusia diciptakan Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada khaliknya
dalam segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri mahasiswi manusia tujuan kejadiannya, Allah
SWT mengatur manusia dengan aturan perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat
perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk

memenuhi petunjuk agama, sehingga kalau diringkas sebenarnya ada dua tujuan orang
melangsungkan perkawinan, yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama[1].
Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan
dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu

norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masingmasing orang yang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan
menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan
kewajiban.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan diatas dapat tercapai hanya dengan
prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
Karena prinsip itulah, maka Islam tidak membenarkan akad nikah yang mengandung ketentuan
pembatasan waktu perkawinan, seperti halnya nikah Mut’ah.
Meskipun demikian fakta menunjukan bahwa tidak sedikit perkawinan yang awalnya dibangun
dengan cinta dan kasih sayang pada akhirnya bubar dan berakhir dengan perceraian, karena
kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut banyak
menimbulkan masalah, diantaranya adalah masalah anak yang terlahir dari perkawinan itu. Tidak
sedikit anak yang dilahirkan Dari perkawinan itu menanggung derita yang berkepanjangan.
Adanya perbedaan keinginan dari orang tua anak tersebut menimbulkan berbagai masalah
hukum antara lain, masalah penguasaan anak, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak
mereka, hak-hak apa saja yang diperoleh anak dari orang tua mereka yang telah bercerai, dan
lain-lain. Dengan putusnya perkawinan tentu saja ada dampakanya bagi anak, terutama bagi
anak-anak yang masih dibawah umur. Biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa dan
fisik sang anak, dan pengurusan kepentingann anak.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan
dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang

menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak
suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
isteri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang
terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami dan isteri dalam
memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa[2].
Sa’id Hawa mengatakan bahwa hak-hak anak dari orang tuanya adalah memperoleh pakaian,
makanan, pendidikan, perlakuan yang baik, adab, memberik nama yang baik-baik, serta
membekali mereka untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka[3].
Demikian juga dalam perundang-undangan kita, yaitu Undang-undang perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, bab VII pasal 41 sub a,b, dan c dinyatakan :
Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihat dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;

Bapak yang bertanggung jawab terhadap semua biaya pemelihatan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut.
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya. Ia membutuhkan seorang ayah yang

memberikan nafkah, perlindungan dan pendidikan. Ia membutuhkan seorang ibu yang akan
merawat, memperhatikan dan mengayominya. Anak yang sehat psikologisnya adalah anak yang
berkembang dalam keluarga utuh, tak bercerai berai, terjalinnya interaksi diantara anggota
keluarganya dengan cinta dan kasih sayang, yang masing-masing anggotanya memperhatikan
perasaan anggota yang lain. Tetapi setiap rumah tangga tentu mempunyai problematikan yang
adakalanya berakhir dengan perceraian. Ditengah problematika dan konflik-konflik itu
tumbuhlah anak-anak kecil yang mudah terwarnai[4]. Melihat betapa pentingnya pemeliharaan
anak, Mustafa Hasan Wadong menyatakan bahwa :
“Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial dalam
kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak
yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai
cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebutkan sebagai proses edukasional terhadap
ketidak pahaman dan ketidak mampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial
kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis,
melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan sholat, permainan, dan
dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan
anak.” [5].
Dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat suku Melayu Kedai Sianam banyak
dijumpai ketidak jelasan dalam pelaksanaan tanggung jawab dari orang tua terhadap anak setelah
terjadi perceraian, sehingga masih dijumpai anak-anak yang tidak mendapatkan nafkah maupun

pendidikan yang layak, yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tuanya. Beberapa kasus
ditemui setelah terjadi perceraian seorang ayah tidak lagi peduli dengan anak yang ikut dengan
ibunya. Sedangkan sang ibu tidak ambil pusing dengan tindak si ayah meskipun untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri amatlah sulit.
Penelitian ini kiranya akan dapat memberikan gambaran untuk setiap orang tua agar dapat
memahami pentingnya ketentraman dan ketenangan bagi anak-anak. Juga dapat memahami
bahayanya perceraian serta berupaya untuk mencari cara terbaik untuk meminimalkan pengaruh
perceraian terhadap jiwa anak jika perceraian itu tidak dapat dihindarkan. Dan itu dapat
dilakukan apabila orang tua menyadari tanggung jawabnya terhadap anak.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan
ini adalah bagaimana sebenarnya tanggung jawab orang tua terhadap anaknya setelah terjadi
perceraian bagi Masyarakat Melayu ?

Untuk lebih jelasnya dapat diajukan beberapa pertanyaan ?
Bagaimanakah status anak dalam sebuah keluarga ?
Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak bagi Masyarakat Melayu
Kedai Sianam ?
Sesuaikah hal tersebut dengan hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian

Dari pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
Untuk mengetahui status anak dalam sebuah keluarga
Untuk mengetahui tanggung jawab orang tua terhadap anaknya setelah terjadi perceraian bagi
Masyarakat Melayu Kedai Sianam. Dari sini akan diketahui faktor penyebab orang tua
melaksanakan atau tidak melaksanakan tanggung jawabnya setelah terjadi perceraian, juga
diketahui sikap ibu terhadap Bapak yang melalaikan tanggung jawabnya setelah terjadi
perceraian, serta diketahui bentuk-bentuk sanksi yang akan diberikan kepada orang tua yang lari
dari tanggung jawabnya, jika memang ternyata sanksi itu ada.
Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang tanggung jawab orang tua terhadap anaknya
bagi Masyarakat Melayu setelah terjadi perceraian.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang akurat atas dasar analisis
yuridis mengenai pelaksanaan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian,
khususnya di Kecamatan Lima Puluh, Desa Kedai Sianam, orang tua yang bercerai dapat
menyadari dan tidak melalaikan tanggung jawabnya selaku orang tua terhadap anaknya.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan pikiran
kepada :
Seluruh Masyarakat, khususnya Masyarakat Melayu Kedai Sianam agar dalam memberikan

keputusan untuk bercerai dapat memperhatikan kepentingan-kepentingan dan hak-hak anak.
Pihak lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dalam permasalahan yang sama.
E . Batasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penulisan ini, penulis perlu menjelaskan
beberapa istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini, diantara yang perlu dijelaskan adalah
:
Orang tua yang dimaksud adalah seseorang yang menyebabkan sang anak lahir, yaitu ayah dan
ibu.
Pemeliharaan Anak (Hadhanah) adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,
baik laki-laki maupun perempuan, dengan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya.
Perceraian yang dimaksud disini adalah thalak yaitu melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami isteri[6]. Selain itu juga, dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berakhirnya
hubungan suami isteri yang disebabkan oleh kematian.

Masyarakat Melayu Kedai Sianam adalah Masyarakat suku Melayu yang mendiami pesisir
pantai utara Sumatera, beragama Islam dan menggunakan adat istiadat serta berbahasa Melayu
Hukum Islam yang dimaksud disini adalah hukum figh Islam, yaitu yang terdapat dalam kitabkitab figh, baik yang terdapat dalam kitab figh klasik atau kontemporer.
F. Kajian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran penelitian di beberapa Perguruan Tinggi di Medan diantaranya IAIN

dan USU, maka penelitian mengenai Pelaksanaan Tanggung Jawab Orang Tua terhadap
Pemeliharaan Anak (Hadhanah) Setelah terjadi perceraian bagi Masyarakat Melayu menurut
Hukum Islam (Studi Kasus di Kecamatan Lima Puluh) Desa Kedai Sianam belum pernah
dilakukan. Adapun beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Kecamatan Lima Puluh, Desa
Kedai Sianam, khususnya dalam bidang hukum Islam bagi masyarakat Melayu di Kecamatan
Lima Puluh, Desa Kedai Sianam
Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Terhadap Anak Angkat pada Suku Melayu Kecamatan Lima
Puluh, Desa Kedai Sianam oleh balai Penelitian IAIN Sumatera Utara tahun 1995
Kedudukan Anak Angkat dalam Waris bagi Masyarakat Melayu Kedai Sianam Menurut
kompilasi Hukum Islam dan KUH. Perdata oleh majdah Sitompul, Mahasiswa Pascasarjana
Univesitas Sumatera Utara program studi Ilmu Hukum.
G. Kerangka Pemikiran
Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang pertama berlaku dan merupakan
percerminan kesadaran hukum masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Untuk jangka waktu
yang cukup lama hukum adat ini, sebagai suatu norma hukum, bersama-sama dengan normanorma sosial lainnya, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama Hijriyah telah membawa sistem
nilai baru berupa aqidah dan syari’at. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah tertata
lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan adat masyarakat setempat.
Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu diterima dengan penuh kedamaian
tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan

nilai-nilai aqidah dan syari’at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu-adat dan Islam berlaku
dengan wajar tanpa menimbulkan banyak konflik antara kedua sistem nilai tersebut[7].
Sehubungan dengan berlakunya hukum Adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi
masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori Reception in
Complexu, teori Receptio (Resepsi), teori Receptie Exit, teori Receptio a Contrario, serta teori
Eksistensi. Dua teori pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori
terakhir muncul setelah Indonesia merdeka[8].
1. Teori Reception in Complexu
Menurut toeri Reception in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masingmasing. Bagi orang Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Toeri Reception in
Complexu ini dikemukakan dan diberi nama oleh Lodewijk. Willem Christian van Den Berg

(1845-1925) seorang ahli hukum Islam, politikus penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk
bahasa timur dan hukum Islam.
2. Toeri Reception (Resepsi)
Menurut teori Resepsi hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam
berlaku bagi orang Islam kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum dapat
mereka. Jadi yang berlaku bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum Adat. Teori ini
dikemukakan oleh Cornelis Van Volenhoven dan Christian Snouck Hurgronje.
3. Toeri Reception Exit
Menurut teori Reception exit pemberlakuan Islam tidak harus didasarkan atau ada

ketergantungan kepada hukum dapat. Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi, antara lain
dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum
Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
instruksi Presiden no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI)
4. Teori Reception a Contrario
Teori ini adalah kebalikan dari teori resepsi, yaitu hukum dapat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
5. Teori Eksistensi
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum
nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum
nasional itu adalah : (1) Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai
yang integral darinya ; (2) Ada, dalam arti adanya kemandiriannya diakui berkekuatan hukum
nasional dan sebagai hukum nasional ; (3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum
Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia ; (4) Ada
dalam hukum Nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia[9].
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis cenderung berpendapat bahwa hukum dapat hukum
Islam, keduanya saling mempengaruhi dalam berlakunya di Indonesia. Karena secara umum
pada setiap daerah di Indonesia, kedua sistem hukum tersebut berlaku sebagai hukum yang hidup
dan diakui ditengah-tengah masyarakat. Namun hukum dapat setempat sering menyatu dan

menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Oleh sebab itu, maka keberadaan hukum Islam dalam
tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih
dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka kerangka pemikiran dalam ruang lingkup
penulisan tesis ini adalah bahwa tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaan anak setelah
terjadinya perceraian bagi masyarakat Melayu dipengaruhi oleh hukum dapat dan hukum Islam.
Dengan melakukan kajian terhadap fakta-fakta empiris dalam pelaksanaan tanggung jawab

pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian di kalangan masyarakat Melayu Kedai Sianam,
yang terjadi secara berulang, serta dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang biasa dan
seharusnya, diharapkan dapat diketahui apa yang menjadi pedoman masyarakat suku Melayu
Kedai Sianam melaksanakan tanggung jawab pemerliharaan anak setelah terjadi perceraian dan
apakah sesuai atau tidak pelaksanaan tanggung jawab tersebut dengan hukum Islam.
H. Hipotesa
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas. Maka dapat diajukan hipotesa
sebagai berikut : diperkirakan hukum Islam lebih dominan diperpegangi oleh, masyarakat suku
Melayu sebagai pedoman dalam melaksanakan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah
terjadi perceraian.
I. Metode Penelitian
1. Sifat dan Materi Penelitian
Sifat dan materi penelitian ini adalah deskritif analisis dengan mengunakan kombinasi metode
pendekatan Yuridis Normatif dan metode pendekatan Yuridis Sosiologis. Pendekatan Yuridis
normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relavan
dengan permasalahan yang akan diteliti. Dengan kata lain pendekatan Yuridis normatif melihat
hukum dalam normatif (law in the book) Pendekatan Yuridis Sosiologis adalah melihat hukum
tampak dalam kenyataan di masyarakat (law in society), dengan kata lain yaitu suatu penelitian
yang bertujuan untuk menggambarkan secara akurat mengenai pelaksanaan tanggung jawab
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian di Kecamatan Lima Puluh Desa Kedai Sianam
dua metode tersebut dalam suatu penelitian oleh Soerjono soekanto disebut juga dengan
penelitian hukum normatif empiris[10].
2. Sumber Data
Secara umum di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan
data primer atau data dasar dan yang kedua diberi nama data sekunder[11].
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan
atau warga masyarakat melayu Kedai Sianam, dengan cara menggunakan tehnik wawancara
terhadap pihak-pihak yang terkait seperti Pajabat Kantor Urusan Agama, kepala desa serta
responden masyarakat.
b. Data Skunder
Data skunder sebagaimana yang telah disebutkan di atas adalah data yang diperoleh melalui
study kepustakaan. Maka dalam penelitian ini yang menjadi data sekundernya adalah kitab-kitab
Fikih yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, termasuk juga Kitab Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan salah satu langkah strategis dalam melakukan penelitian ilmiah.
Secara teoritis ada empat macam alat pengumpulan data yang biasa dilakukan, yaitu studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, wawancara dan kuesioner. Dalam
penelitian ini akan digunakan seluruh alat pengumpulan data tersebut.
a. Studi Dokumen
Dokumen yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan pemeliharaan anak dalam kitab-kitab figh, diantaranya figh al-sunnah oleh
Sayyid Sabiq, figh al-Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Zulhaili dan kitab-kitab fiqih lainnya.
b. Observasi
Obsevasi atau pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati
dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki[12]. Dalam hal ini, praktek dan cara
pandang masyarakat Melayu Kedai Sianam diamati secara sistematik dan mendalam, untuk
selanjutnya dicatat dan dijadikan data primer dalam penelitian ini.
c. Wawancara
Karena penelitian ini berkaitan langsung dengan praktek pelaksanaan yang mau diteliti, maka
wawancara dengan responden atau orang tua yang telah bercarai dan memiliki tanggung jawab
dalam pemeliharaan anaknya juga dijadikan sebagai data primer, serta dengan para pemuka
masyarakat, baik ulama atau tokoh adat
d. Kuesioner
4. Analisis Data
Setelah data-data primer dan data-data sekunder diperoleh, selanjutnya data-data tersebut
diperiksa untuk mengetahui validitasnya. Terhadap data primer diadakan pengelompokan
sebagai berikut, yaitu dari responden yang terlibat dalam penelitan ini diadakan tabulasi.
Mengenai data yang bersifat kuantitatif, seperti umur responden, pekerjaan responden, tingkat
pendidikan responden, dan seluruh jawaban responden yang sifatnya tertutup. Setelah masingmasing data kuantitatif dikelompokkan dan diolah, selanjutnya dianalisa secara deskriptif.
Sedangkan data yang bersifat kualitatif, dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan
persamaan jawaban dari para responden. Setelah masing-masing data kualitatif dikelompokkan
dan olah, kemudian dianalisa secara induktif.
Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber,
yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan dan dokumen.
Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya ialah mengadakan reduksi data

yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat
rangkuman inti, kemudian seluruh rangkuman itu dikategorisasikan menurut jenis atau kelompok
data. Tahap akhir dari analisa data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data[13].
Barulah setelah itu penulis mulai memberikan penafsiran dan kesimpulan secara induktif.
Setelah seluruh data-data tersebut selesai dianalisa maka akan diperoleh suatu kesimpulan yang
akan diuraikan secara deskriptif tentang bagaimana sebenarnya menurut hukum Islam tentang
pelaksanaan tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian
bagi masyarakat suku Melayu di Kecamatan Lima Puluh, Desa Kedai Sianam.
J. Sistematika Penulisan
Kajian yang dilakukan adalah menelaah secara khusus masalah pelaksanaan tanggung jawab
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian yang ada bagi masyarakat Melayu di Kedai
Sianam, dan secara umum sangat terkait dengan masalah pemeliharaan anak menurut hukum
Islam karena orang Melayu umumnya beragama Islam. Untuk memudahkan pembahasannya
disusunlah sistematika sebagai berikut :
Bab satu tentang pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, batasan istilah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua mengenai gambaran umum dari lokasi penelitian yang meliputi : letak geografis,
kehidupan social ekonomi, kehidupan beragama, dan sistem kekeluargaan.
Bab ketiga tentang tinjauan umum tentang perceraian, anak dan pemeliharaan anak (Hadhanah)
yang meliputi : pengertian perceraian dan anak, status anak dalam sebuah keluarga, pengaruh
perceraian terhadap anak, pengertian Hadhanah dan dasar hukumnya, orang yang berhak
melakukan Hadhanah dan syarat-syaratnya, dan masa Hadhanah.
Bab keempat tentang tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak setelah terjadi
perceraian bagi masyarakat Melayu menurut Hukum Islam, yang meliputi : tanggung jawab
orang tua terhadap anak bagi masyarakat Melayu Kedai Sianam, menurut Hukum Islam, dan
analisis penulis.
Bab kelima tentang penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran