BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra - Analisis Pengaruh Kombinasi Gaussian Noise dan Speckle Noise pada Citra Terhadap Kinerja Metode Deteksi Tepi

 

 

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Citra
Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dan suatu obyek.
Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto,
bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau
bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan[14].
Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan N
kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat
(x,y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila
(x,y) dan nilai ampiltudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit
maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital[12].
Dalam dunia sehari-hari dapat banyak dijumpai berbagai macam bentuk citra,
baik itu citra analog ataupun citra digital. Citra analog yaitu seperti foto yang tercetak
di kertas foto, gambar sebuah lukisan di kanvas atau ketas, dan lain sebagainya. Citra
analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi, foto

sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemnadangan alam, hasil CT scan,
gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya. Citra analog tidak
dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses di komputer
secara langsung.
Sedangkan Citra Digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer yang
memiliki jenis dan ukuran file dari citra tersebut. Citra digital merupakan citra yang
tersusun dalam bentuk raster (grid / kisi). Setiap kotak (tile) yang terbentuk disebut
pixel (picture element) dan memiliki koordinat (x,y). Sumbu x (horizontal) : kolom
(column), sample Sumbu y (vertikal) : baris (row,line).

Universitas Sumatera Utara


 

Setiap pixel memiliki nilai (valu
ue atau nu
umber) yanng menunju
ukkan
intensitas keabuan paada pixel teersebut. Deerajat keabu

uan merepreesentasikan
n grey
level atauu kode warn
na. Kisarann nilai diten
ntukan oleh bit yang ddipakai dan akan
menunjukkkan resolussi aras abu-aabu (grey leevel resolution).
1 bit –2 warna:
w
[0,1]
4 bit –16 warna:
w
[0,15
5]
8 bit –2566 warna: [0,2
255]
24 bit –166.777.216 warna
w
(true ccolor)
Kanal Merrah -Red (R
R): [0,255]

Kanal Hijaau - Green (G):
(
[0,255]]
Kanal Biruu - Blue (B)): [0,255]

Gaambar 2.1 Pixel
P
Matriks
yak bit :
Nilai Digiital dan bany
M = banyaak pixel perr baris (panjjang)
N = banyaak pixel per kolom (lebbar)
b = banyakk / besar bitt pada suatuu citra
Coontoh dari citra
c
digitall yaitu foto yang tersim
mpan dalam
m komputerr atau
telepon geenggam.
Beerdasarkan format

f
penyyimpanan nilai
n
warnan
nya, citra teerdiri atas empat
e
jenis, yaituu[15]:

Universitas Sumatera Utara


 

1. Citra biner atau monokrom
Pada citra jenis ini, setiap titik atau piksel hanya bernilai 0 atau 1.Dimana
setiap titik membutuhkan media penyimpana sebesar 1 bit. Gambar 2.2
merupakan contoh citra biner.

Gambar 2.2 Citra Biner


2. Citra skala keabuan
Citra skala keabuan mempunyai kemungkinan warna antara hitam
(minimal) dan putih (maksimal). Jumlah maksimum warna sesuai dengan
bit penyimpanan yang digunakan.
Misal:
Suatu citra dengan skala keabuan 4 bit, memiliki jumlah kemungkinan
warna 24 = 16 warna.
Gambar 2.3 memperlihatkan citra skala keabuan 4 bit.

Gambar 2.3 Citra Skala Keabuan

3. Citra warna (true color)
Setiap titik (piksel) pada citra warna mewakili warna yang merupakan
kombinasi dari tiga warna dasar yaitu merah, hijau dan biru yang dikenal

Universitas Sumatera Utara


 


sebagai citra RGB (Red, Green, Blue). Setiap warna dasar mempunyai
intensitas sendiri dengan nilai maksimum 255 (8 bit).
Red

= warna minimal putih, warna maksimal merah

Green = warna minimal putih, warna maksimal hijau
Blue

= warna minimal putih, warna maksimal biru

Setiap titik pada citra warna membutuhkan data 3 byte
Jumlah kemungkinan kombinasi warna untuk citra warna adalah 224 =
lebih dari 16 juta warna, disebut true color karena dianggap mencakup
semua warna yang ada. Gambar 2.4 memperlihatkan contoh citra warna.

Gambar 2.4 Citra Warna (True Color)

4. Citra warna berindeks
Setiap titik (piksel) pada citra warna berindeks mewakili indeks dari suatu

tabel warna yang tersedia (biasanya disebut palet warna). Keuntungan
pemakaian palet warna adalah kita dapat dengan cepat memanipulasi
warna tanpa harus mengubah informasi pada setiap titik dalam citra.
Keuntungan yang lain, penyimpanan lebih kecil. Contoh citra warna
berindeks diperlihatkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Citra Warna Berindeks

Universitas Sumatera Utara


 

2.2.1. Pengolahan Citra
Pengolahan citra (image processing) merupakan proses untuk mengolah pixelpixel dalam citra digital untuk tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukan
pengolahan citra digital adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan citra asli dari citra yang sudah rusak karena pengaruh noise
yang bercampur dengan cira asli dalam suatu proses tertentu. Poses pengolahan
citra bertujuan untuk mendapatkan citra yang mendekati citra asli.
2. Untuk mendapatkan citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual

yang dibutuhkan dalam proses lanjut dalam pemrosesan analisis citra.

Operasi pengolahan citra dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis
sebagai berikut:
1. Image Enhancement (Perbaikan kualitas citra)
2. Image Restoration (Pemugaran Citra)
3. Image Compression (Pemampatan Citra)
4. Image Segmentation
5. Image Analysis
6. Image Recontruction (Rekontruksi Citra)

Operasi-operasi tersebut bertujuan untuk membentuk objek dari beberapa
citra hasil proyeksi. Pada citra digital, dengan tipe bitmap tipe warna pada titiktitik piksel dibentuk dari sebuah data numerik. Tinggi dan rendahnya keabuan
piksel dinyatakan dalam bentuk intensitas atau derajat keabuan. Satuan lebar
intensitas merupakan lebar memori (bit) citra yang disebut dengan format piksel.

2.2.2. BMP
Citra bitmap sering disebut juga dengan citra raster. Citra bitmap menyimpan data
kode citra secara digital dan lengkap (cara penyimpanannya adalah per piksel).
Citra bitmap direpresentasikan dalam bentuk matriks dan dipetakan dengan

menggunakan bilangan biner atau sistem bilangan lain. Citra ini memiliki

Universitas Sumatera Utara

10 
 

kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek lebih sulit.
Tampilan bitmap mampu menunjukkan kehalusan gradasi bayangan dan warna
dari sebuah gambar. Oleh karena itu, bitmap merupakan media elektronik yang
paling tepat untuk gambar-gambar dengan perpaduan gradasi warna yang rumit,
seperti foto dan lukisan digital. Citra bitmap biasanya diperoleh dengan cara
scanner, kamera digital, video capture, dan lain-lain[14]. Contoh gambar dengan
format .bmp sebagai berikut:

Gambar 2.6 mangga.bmp
2.2. Noise
Noise merupakan gangguan yang disebabkan oleh menyimpangnya data digital
yang diterima oleh alat penerima data gambar yang mana dapat menggangu
kualitas citra. Derau (noise) dapat disebabkan oleh gangguan fisis (optik) pada

alat penangkap citra misalnya kotoran debu yang menempel pada lensa foto
maupun akibat proses pengolahan yang tidak sesuai. Berikut merupakan beberapa
jenis noise[13].
2.2.1. Gaussian Noise
Gaussian Noise atau juga dapat disebut Gaussian White Noise. Noise ini memiliki
intensitas yang sesuai dengan distribusi normal yang memiliki rerata (mean) dan
varian tertentu[16].
Gaussian noise merupakan model noise yang mengikuti distribusi normal
standart dengan rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1. Efek dari gaussian noise ini
pada gambar adalah munculnya titik-titik berwarna yang jumlahnya sama dengan
persentase noise[13].

Universitas Sumatera Utara

11 
 

Untuk menambahkan noise ini pada MatLab memerlukan input tambahan
berupa rata-rata dan variansi. Rata-rata dan variansi merupakan suatu konstanta
real. Nilainya bisa positif maupun negatif. Makin besar rata-rata dan variansinya

maka citra akan semakin kabur, sebaliknya makin kecil konstantanya efek pada
citra makin tidak terlihat. Nilai default adalah 0 untuk rata-rata dan 0.01 untuk
variansi. Disebut white noise karena pada saat nilai rata-rata dan variansinya besar
maka citra seolah-olah hanya terlihat seperti citra putih saja[7].
Berikut merupakan rumusan dari gaussian noise:

f(i,j) = g(i,j) +p.a

(1)

Keterangan : f (i,j) = nilai citra terkena noise
g (i,j)

= nilai citra sebelum terkena noise

a

= nilai bilangan acak berdistribusi gaussian

p

= persentase noise

Berikut merupakan contoh citra tanpa dan dengan gaussian noise:

Gambar 2.7 Citra tanpa noise

Gambar 2.8 Citra dengan gaussian noise

2.2.2. Speckle Noise
Speckle Noise merupakan model noise yang memberikan tanda berwarna hitam
pada bagian yang berupa titik yang terkena noise. Noise ini muncul pada saat
pengambilan citra tidak sempurna karena alasan cuaca, perangkat pengambil citra

Universitas Sumatera Utara

12 
 

dan sebagainya. Sifat noise ini mutlipikatif, artinya semakin besar intensitas citra
atau semakin cerah citra, semakin jelas juga noise[16].
Pada beberapa pengolahan citra, terkadang untuk menguji suatu algoritma
untuk dapat mereduksi noise, maka noise dapat dihasilkan dari proses
pembangkitan noise yang sering disebut sebagai noise generator. Untuk
membangkitkan noise pada umumnya dibangkitkan dengan cara mengambil suatu
bilangan acak yang kemudian ditempatkan pada citra secara acak pula[13].
Berikut merupakan rumusan dari noise speckle:

v(x,y) = u(x,y)s(x,y)

(2)

Keterangan : v (x,y) = nilai citra terkena noise
u (x,y) = nilai citra sebelum terkena noise
s (x,y) = intensitas dari speckle noise [2]

Berikut merupakan contoh citra tanpa dan dengan speckle noise:

Gambar 2.9 Citra tanpa noise Gambar 2.10 Citra dengan speckle noise

2.3. Deteksi Tepi
Tepian dari suatu citra mengandung informasi penting dari citra bersangkutan.
Tepian citra dapat merepresentasikan objek-objek yang terkandung dalam citra
tersebut, bentuk, dan ukurannya serta terkadang juga informasi tentang teksturnya.

Universitas Sumatera Utara

13 
 

Tepian citra adalah posisi dimana intensitas piksel dari citra berubah dari nilai
rendah ke nilai tinggi atau sebaliknya. Deteksi tepi umumnya adalah langkah awal
melakukan segmentasi citra[12].
Deteksi tepi adalah proses untuk menemukan perubahan intensitas yang
berbeda nyata dalam sebuah bidang citra. Sebuah operator deteksi tepi merupakan
operasi bertetangga, yaitu sebuah operasi yang memodifikasi nilai keabuan sebuah
titik berdasarkan nilai-nilai keabuaan dari titik-titik yang ada di sekitarnya
(tetangganya) yang masing-masing mempunyai bobot tersendiri. Bobot-bobot
tersebut nilainya tergantung pada operasi yang akan dilakukan, sedangkan
banyaknya titik tetangga yang terlibat biasanya adalah 2x2, 3x3, 3x4, 7x7, dan
sebagainya[14].
Secara umum tepi dapat didefinisikan sebagai batas antara dua region (dua
piksel yang saling berdekatan) yang memiliki perbedaan intensitas yang tajam
atau tinggi. Tepi dapat diorientasikan dengan suatu arah, dan arah ini berbedabeda, tergantung pada perubahan intensitas. Untuk lebih memahami defenisi tepi,
Gambar 2.11 memperlihatkan model tepi dalam ruang satu dimensi[15].
jarak

perubahan intensitas 
α = arah tepi

α

Gambar 2.11 Model Tepi Satu Dimensi

Ada tiga macam tepi yang terdapat di dalam citra digital, yaitu[15]:
1. Tepi curam
Jenis tepi ini terbentuk karena perubahan intensitas yang tajam, berkisar
900.

Universitas Sumatera Utara

14 
 

2. Tepi landai
Tepi lebar, sudut arah kecil. Terdiri dari sejumlah tepi-tepi lokal
yang lokasinya berdekatan.

3. Tepi yang mengandung noise
Untuk mendeteksi tepi jenis ini, biasanya dilakukan operator image
enhancement terlebih dahulu. Misalnya Operator Gaussian yang berfungsi
untuk menghaluskan citra.

Perbedaan ketiga macam tepi tersebut, diperlihatkan pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Jenis-jenis Tepi

Deteksi tepi merupakan langkah pertama untuk melingkupi informasi di
dalam citra. Tepi mencirikan batas-batas objek dan karena itu tepi berguna untuk
proses segmentasi dan identifikasi objek di dalam citra. Deteksi tepi pada suatu
citra memiliki tujuan sebagai berikut[15]:
1. Menandai bagian yang menjadi detil citra.
2. Memperbaiki detil citra yang kabur karena error atau efek proses akuisisi.

Universitas Sumatera Utara

15 
 

Gambar 2.13 memperlihatkan bagaimana tepi dari suatu citra dapat
diperoleh dengan operasi pendeteksian tepi.

Gambar 2.13 Proses Deteksi Tepi Citra

2.3.1 Operator The Marr-Hildreth
Metode The Marr-Hildreth atau yang biasa disebut Canny edge detector
ditemukan oleh Marr dan Hildreth yang meneliti pemodelan persepsi visual
manusia. Dalam memodelkan pendeteksi tepi, dia menggunakan ideal step edge,
yang direpresentasikan dengan fungsi sign satu dimensi. Pendekatan algoritma
canny dilakukan dengan konvolusi fungsi image dengan operator gaussian dan
turunan-turunannya[3].
Metode The Marr-Hildreth ini memiliki banyak kesamaan dengan metode
canny, tetapi ada sedikit perbedaan antara kedua metode ini yaitu jika metode The
Marr-Hildreth menggunakan turunan pertama untuk melakukan deteksi tepi,
sedangkan metode canny menggunakan turunan kedua untuk melakukan proses
deteksi tepi. Gambar 2.14 adalah contoh penerapan metode deteksi tepi dengan
operator Marr-Hildreth.

Universitas Sumatera Utara

16 
 

Gamba
ar 2.14 Prooses Deteksi Tepi Metode The M
Marr-Hildreeth

2.3.2 Opeerator Lapllacian Of G
Gaussian
Operator laplacian
l
saangat sensitiif terhadap noise yang terletak padda titik-titik
k tepi.
Jadi, sebeelum detek
ksi tepi diilakukan, filter
f
yang dapat meelemahkan noise
diperlukann. Operator laplacian of Gaussia
an merupakan kombinaasi dari opeerator
gaussian dan
d operator laplacian..
Caara kerja operator ini aadalah sebag
gai berikut : pertama, ccitra dikonv
volusi
dengan opperator gausssian bertujjuan untuk mengaburkan dam meelemahkan noise.
n
Namun, pengaburan ini mengakkibatkan pellebaran tepi objek. Kem
mudian, opeerator
laplacian diterapkan
d
untuk
u
meneemukan titik
k potong dengan sumbuu x dalam fungsi
f
turunan kedua
k
yang bersesuaiann dengan puncak
p
dalaam fungsi tu
turunan perrtama.
Kemudiann, lokasi tep
pi diperolehh dari resolu
usi subpikseel menggunnakan interp
polasi
linier[14].
Meetode ini mendeteksi
m
teepi lebih ak
kurat khususnya pada ttepi yang cu
uram.
Pada tepi yang curam, turunann keduanya memiliki zero-crosssing (persilaangan
nol), yaituu titik dimana terdapatt pergantian
n tanda nilai turunan ke
kedua, sedan
ngkan
pada tepi yang
y
landaii tidak terdaapat persilan
ngan nol (Gonzalez et aal, 2005).

Beerikut ini fu
ungsi LoG 22-D yang beerpusat padaa titik 0 dann dengan deeviasi
standard Gaussian
G
:
(3)                

Universitas Sumatera Utara

17 
 

Representasi turunan kedua dalam bentuk kernel operator Laplacian
diperlihatkan pada Gambar 2.15.


‐1 



 ‐1 



‐1 

 0 

‐1 



Gambar 2.15 Kernel Konvolusi Laplacian

Gambar 2.16 menunjukkan contoh penerapan metode deteksi tepi dengan
operator Laplacian of Gaussian (LOG).

Gambar 2.16 Proses deteksi tepi metode LOG [8]

2.3.3 Operator Prewitt
Operator Prewitt digunakan dalam pengolahan gambar, terutama dalam deteksi
tepi algoritma. Secara teknis, itu adalah operator diferensial diskrit, menghitung
perkiraan dari gradien dari fungsi intensitas citra.

Operator ini lebih sensitif terhadap tepian horisontal dan vertikal dari pada
tepian diagonal. Metode Prewitt merupakan pengembangan metode Robert
dengan menggunakan filter HPF (High Pass Filter) yang diberi satu angka nol
penyangga. Metode ini mengambil prinsip dari fungsi laplacian yang dikenal
sebagai fungsi untuk membangkitkan HPF (High Pass Filter).

Universitas Sumatera Utara

18 
 

Berikut adalah kernel filter yang digunakan dalam metode Prewitt dalam
matriks 3 x 3.[12]
1
0
1

1
0
1

1
0
1

atau

1 0
1 0
1 0

1
1
1

Gambar 2.17 adalah contoh penerapan metode deteksi tepi dengan
operator Prewitt.

Gambar 2.17 Proses Deteksi Tepi Metode Prewitt

2.4. Konvolusi

Deteksi tepi merupakan salah satu proses pengolahan citra yang menggunakan
filter atau penapis. Selain pada proses pendeteksian tepi, proses lain pada
pengolahan citra yang juga menggunakan filter atau penapis adalah perbaikan
kualitas citra (image enhancement), penghilangan derau (noise reduction),
mengurangi erotan, penghalusan atau pelembutan citra (image smoothing), dan
lain-lain.

Untuk mengaplikasikan penapis pada citra, digunakan metode konvolusi.
Konvolusi bisa dinyatakan dalam matriks, dimana setiap elemen matriks penapis
tersebut

dinamakan

koefisien

konvolusi.

Operasi

konvolusi

bekerja

dengan menggeser kernel piksel per piksel, yang hasilnya kemudian disimpan
dalam matriks baru. Konvolusi 2 fungsi f(x) dan g (x) diperlihatkan dengan rumus
berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

19 
 

(4)
Atau fungsi diskritnya:
(5)
Dimana α = peubah bantu.
Pada konvolusi 2D, fungsi malarnya dapat dihitung dengan persamaan:

(6)

Sedangkan fungsi diskritnya dihitung dengan persamaan:

(7)

g(x) merupakan convolution mask / filter / kernel atau template. Gambar 2.18
memperlihatkan ilustrasi terjadinya konvolusi.

Gambar 2.18 Proses Konvolusi

Dimana:
(8)
Untuk lebih jelasnya, berikut contoh konvolusi yang terjadi antara citra
f(x,y) berukuran 5x5 dengan sebuah kernel berukuran 3x3 yang diperlihatkan
pada Gambar 2.19.

Universitas Sumatera Utara

20 
 

Gambar 2.19 Matriks Citra dan Kernel Sebelum Konvolusi
Tanda • menunjukkan posisi (0,0) dari kernel
Tahapan untuk mendapatkan hasil konvolusi yang terjadi antara citra dan kernel
diatas dapat dilihat pada Gambar 2.20.

(i)

(ii)

(iii)
.
.
.
dan seterusnya

Gambar 2.20 Tahapan Proses Pembentukan Konvolusi

Universitas Sumatera Utara

21 
 

Sehingga diperoleh hasil akhir dari proses konvolusi tersebut, yang ditunjukkan
pada Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Hasil Konvolusi Citra dan Kernel
Dalam konvolusi terdapat dua kemungkinan yang jika ditemukan, diselesaikan
dengan cara berikut, yaitu:
1. Untuk hasil konvolusi dengan nilai negatif, nilainya dijadikan nol (0).
2. Jika hasil konvolusi lebih besar (>) derajat keabuan maksimum, maka nilai
diubah menjadi derajat keabuan maksimum.

2.5. MSE dan PSNR
2.5.1 Mean Square Error
Mean Square Error (MSE) adalah kesalahan kuadrat rata-rata. Nilai MSE didapat
dengan membandingkan nilai selisih pixel-pixel citra asal dengan citra hasil pada
posisi pixel yang sama. Semakin besar nilai MSE, maka tampilan pada citra hasil
akan semakin buruk. Sebaliknya, semakin kecil nilai MSE, maka tampilan pada
citra hasil akan semakin baik. Satuan nilai dari MSE adalah dB (deciBell)
Perhitungan MSE dilakukan dengan menggunakan rumus[9]:

1 M 1
MSE 

MN i 0

N 1

 (( x[i, j]  y[i, j]) )
2

(9)

j 0

Keterangan : M dan N adalah ukuran panjang dan lebar citra
x[i,j] = adalah citra asal dengan dimensi M x N

Universitas Sumatera Utara

22 
 

y[i,j] = adalah citra hasil yang telah mengalami proses.
Untuk menghitung nilai MSE dari citra yang memiliki noise:
x[i,j] adalah citra asli, dan
y[i,j] adalah citra yang telah mengalami proses pembangkitan noise.

2.5.2 Peak Signal to Noise Ratio
Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) adalah sebuah perhitungan yang menentukan
nilai dari sebuah citra yang dihasilkan. PSNR adalah perbandingan antara nilai
maksimum dari sinyal yang diukur dengan besarnya noise yang berpengaruh pada
sinyal tersebut. PSNR biasanya diukur dalam satuan desibel. Nilai PSNR
ditentukan oleh besar atau kecilnya nilai MSE yang terjadi pada citra. Semakin
besar nilai PSNR, semakin baik pula hasil yang diperoleh pada tampilan citra
hasil. Sebaliknya, semakin kecil nilai PSNR, maka akan semakin buruk pula hasil
yang diperoleh pada tampilan citra hasil. Satuan nilai dari PSNR sama seperti
MSE, yaitu dB (deciBell). Jadi hubungan antara nilai PSNR dengan nilai MSE
adalah semakin besar nilai PSNR, maka akan semakin kecil nilai MSE-nya.
Perhitungan PSNR dilakukan dengan menggunakan rumus[9]:

PSNR  10 log

2552
MSE

(10)

Keterangan : M dan N adalah ukuran panjang dan lebar citra
x[i,j] = adalah citra asal dengan dimensi M x N
y[i,j] = adalah citra hasil yang telah mengalami proses.

Universitas Sumatera Utara