BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital - Implementasi dan Perbandingan Metode Alpha-Trimmed Mean Filter dan Adaptive Media Filter untuk Reduksi Noise pada Citra Digital

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.

Citra Digital

Istilah citra biasanya digunakan dalam bidang pengolahan citra yang berarti gambar.
Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi
adalah koordinat spasial, dan amplitudo dari

, di mana

dan

pada sembarang pasangan koordinat

disebut intensitas (Prasetyo, 2011). Ketika ,

dan nilai intensitas dari


adalah

semua terbatas, maka citra tersebut disebut sebagai citra digital. Citra digital
direpresentasikan sebagai citra yang memiliki ukuran
dan

dimana

sebagai baris

sebagai kolom. Sistem koordinat pada citra digital dapat dilihat seperti pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Sistem koordinat pada citra digital
(Gonzalez, Woods & Eddins, 2009)

Universitas Sumatera Utara


7

Citra digital dibentuk oleh kumpulan titik yang dinamakan piksel (Kadir &
Susanto, 2012). Piksel (pixel atau “picture element”) merupakan elemen terkecil dari
sebuah citra dimana satu titik pada citra mewakili satu piksel.
Pada Gambar 2.2, sebuah kotak kecil 5 x 5 piksel diambil dari sebuah citra
berukuran 128 x 128 piksel. Angka-angka pada Gambar 2.2 menunjukkan besar
intensitas pada masing-masing piksel tersebut.

129
65
26
101
67

69
118
21
25
37


120
65
89
28
94

148
70
62
99
145

72
136
134
90
74

Gambar 2.2. Citra digital


Citra digital juga dapat direpresentasikan sebagai matriks

dan setiap

elemen dalam matriks disebut sebagai piksel seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Matriks citra
(Gonzalez, Woods & Eddins, 2009)

Semakin banyak jumlah piksel dan variasi nilai piksel dari suatu citra, maka
semakin tinggi nilai resolusinya. Resolusi merupakan ukuran dari banyaknya titik
untuk setiap satuan panjang. Resolusi citra menggambarkan kedetailan dari sebuah
citra. Citra dengan resolusi rendah (low resolution) adalah citra dengan jumlah piksel
dan variasi nilai piksel rendah dan citra resolusi tinggi (high resolution) adalah citra
dengan jumlah piksel dan variasi nilai piksel tinggi (Abdi, Aisyah & Arnia, 2011).

Universitas Sumatera Utara

8


2.1.1. Jenis-Jenis Citra Digital
1. Citra Biner (Monokrom)
Citra biner direpresentasikan dengan 2 kondisi derajat keabuan yaitu hitam dan
putih dimana warna hitam bernilai 0 dan warna putih bernilai 1. Citra biner
memiliki kedalaman warna 1 bit (McAndrew, 2004).

0

1

Gambar 2.4. Gradasi warna pada citra biner

Berdasarkan Gambar 2.4, maka implementasi citra biner tampak seperti pada
Gambar 2.5.

1
0
0
0

0

1
0
0
0
0

0
1
1
0
0

0
0
0
1
1


0
0
0
0
1

Gambar 2.5. Citra biner

2. Citra Skala Keabuan (Grayscale)
Citra grayscale adalah citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada
setiap pikselnya, dengan kata lain bagian red = green = blue. Nilai tersebut
digunakan untuk menunjukan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah
warna dari hitam, keabuan, dan putih. Tingkat keabuan yang dimaksud
merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati
putih. Citra grayscale memiliki kedalaman warna 8 bit (256 kombinasi warna
keabuan) (McAndrew, 2004). Citra grayscale dapat dilihat seperti Gambar 2.6.

Universitas Sumatera Utara

9


230
237
255
99
222

229
236
255
90
152

232
236
255
67
255

234

234
251
37
129

235
233
230
94
129

Gambar 2.6. Citra grayscale
Untuk menghitung nilai piksel grayscale dari citra RGB adalah nilai
RGB perpiksel dikonversi ke nilai grayscale dengan cara mencari nilai ratarata per piksel.

.............................................. (1)

dengan:
fR adalah nilai komponen red
fG adalah nilai komponen green

fB adalah nilai komponen blue
Berdasarkan persamaan 1, maka dapat diambil contoh perhitungan nilai
grayscale:

f(1,1) = (255, 240, 240) = (255 + 240 + 240) / 3 = 198

3. Citra Warna (True Color)
Jika 2 tipe representasi citra sebelumnya yaitu citra biner dan citra grayscale
menggunakan matriks 2D, maka representasi RGB atau yang disebut juga citra
true color, menggunakan matriks 3D dengan 3 buah layer. Layer 1 untuk
warna merah (red), layer 2 untuk warna hijau (green), dan layer 3 untuk warna
biru (blue). Pemetaan warna RGB pada ruang berdimensi tiga dapat dilihat
seperti pada Gambar 2.7.

Universitas Sumatera Utara

10

B


255

Cyan

Biru

Magenta

Putih

255

0
Hitam

Hijau

G

255
Merah

Kuning

R

Gambar 2.7. Warna RGB pada ruang berdimensi tiga
(Kadir & Susanto, 2012)

Dari Gambar 2.7 terdapat warna-warna lain selain dari ketiga warna
layer. Warna-warna tersebut diperoleh dari perpaduan nilai elemen dari ketiga
layer. Elemen pada masing-masing layer memiliki range 0-255 dan masingmasing elemen memiliki kedalaman warna 8 bit. Karena terdapat 3 buah layer
pada citra RGB sehingga total kombinasi warna yang dapat dihasilkan oleh
citra RGB adalah 256 x 256 x 256 = 16.777.216 kombinasi warna.
Citra grayscale tampak dapat dilihat seperti Gambar 2.8.

Universitas Sumatera Utara

11

49
58
58
83
88

55
60
54
78
91

56
60
53
72
91

57
58
55
69
84

52
55
56
68
83

64 76 82 57
58 60 60 58
111 94 73 55
105 80 78 64
96 103 108 107

83 83 91 94 92
135 128 126 112 107
141 129 129 117 115
95 99 109 108 112
84 93 107 101 105

58
55
56
78
93

Gambar 2.8. Citra true color

2.2.

Citra Digital Berformat JPEG (Joint Photographic Experts Group)

JPG atau JPEG merupakan standar universal untuk format file citra. Hampir setiap
kamera digital dan sistem pencitraan dengan menggunakan komputer mampu
membaca dan menggunakan format file ini dalam menghasilkan gambar. JPEG
mendukung kedalaman warna 24 bit (pada citra RGB terdapat 3 buah layer dimana
kedalaman warna masing-masing layer adalah 8 bit).
Format file JPEG menghasilkan ukuran file kecil, namun memiliki kualitas
gambar yang kurang baik disebabkan oleh algoritma kompresi lossy. Kompresi Lossy
adalah metode memperkecil ukuran file citra dengan membuang beberapa data
(McAndrew, 2004).

Universitas Sumatera Utara

12

2.3.

Noise/Derau

Noise/derau merupakan informasi tidak diinginkan yang mencemari suatu citra.
Dalam citra digital, noise juga disebut sebagai piksel-piksel berintensitas berbeda
yang mengganggu kualitas citra (Montabone, 2010). Dalam praktiknya, kehadiran
derau tidak dapat dihindari. Noise/derau dapat timbul biasanya pada saat akuisisi
citra, misalnya dari kamera saat memotret dan pada scanner saat proses scan.

2.3.1. Uniform Noise
Noise Uniform dapat dibangkitkan dengan cara menggunakan pembangkit bilangan
acak [0,1] dengan distribusi uniform. Lalu, untuk titik-titik yang terkena noise, nilai
fungsi citra ditambahkan dengan nilai noise yang ada.

2.3.2. Speckle Noise
Noise ini muncul pada saat pengambilan citra tidak sempurna karena alasan cuaca,
perangkat pengambil citra dan sebagainya. Sifat noise ini mulipikatif, artinya semakin
besar intensitas citra atau semakin cerah citra, semakin jelas juga noise yang tampak
(Murinto, Aribowo & Syazali, 2007). Speckle Noise merupakan noise yang
memberikan titik berwarna hitam pada citra digital. Titik-titik hitam tersebut dapat
dibangkitkan dengan cara membangkitkan bilangan 0 pada titik-titik yang secara
probabilitas lebih kecil dari nilai probabilitas noise.

2.3.3. Salt & Pepper Noise
Sama seperti namanya, noise ini merupakan model noise yang memiliki warna hitam
yang tampak seperti taburan merica/pepper dan warna putih yang tampak seperti
taburan garam/salt pada titik yang terkena noise.
Jika pada Speckle Noise, yang berupa titik-titik hitam dibangkitkan dengan
cara membangkitkan bilangan 0 pada titik-titik yang secara probabilitas lebih kecil
dari nilai probabilitas noise, maka pada Salt & Pepper Noise, akan membangkitkan
titik-titik berwarna putih dengan membangkitkan bilangan 255 pada titik-titik yang
secara probabilitas lebih kecil dari nilai probabilitas noise.

Universitas Sumatera Utara

13

Citra yang terdegradasi oleh uniform noise, speckle noise dan salt & pepper
noise dapat dilihat pada Gambar 2.9.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 2.9. (a) Citra grayscale (b) Citra yang terdegradasi uniform noise
(c) Citra yang terdegradasi speckle noise (d) Citra yang terdegradasi salt &
pepper noise

Universitas Sumatera Utara

14

2.4.

Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra digital adalah pemrosesan citra yang secara khusus menggunakan
komputer dengan tujuan (McAndrew, 2004):
1. Meningkatkan kualitas informasi dari sebuah citra (gambar) yang digunakan
untuk kepentingan interpretasi manusia.
2. Mengubah citra dari sebuah gambar yang digunakan untuk mempermudah
pemrosesan persepsi mesin autonomous agar lebih mudah dalam mengambil
keputusan.

2.4.1. Teknik-Teknik Pengolahan Citra
Teknik pada pengolahan citra dapat dibagi menjadi (McAndrew, 2004):

1. Perbaikan kualitas citra (image enhancement) dari aspek radiometrik (kontras,
penajaman, pewarnaan semu) dan aspek geometrik (rotasi, translasi, skala,
transformasi geometrik). Penajaman citra pada aspek radiometrik dapat dilihat
pada Gambar 2.10.

(a) citra blurring

(b) citra sharping

Gambar 2.10. Penajaman/sharping pada image enhancement

2. Pemugaran citra (image restoration) berupaya untuk merekonstruksi
(reconstruct) atau mendapatkan kembali (recover) suatu citra yang telah
mengalami penurunan kualitas (degraded).
Gambar 2.11 menunjukkan proses restorasi citra pada suatu citra yang
terdegradasi.

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.11. Proses restorasi citra
(Gonzalez, Woods & Eddins, 2009)

Salah satu cara restorasi pada citra yang terkena noise adalah dengan cara
filtering yang tampak pada Gambar 2.12.

(a) citra dengan noise

(b) citra hasil filtering

Gambar 2.12. Restorasi citra dengan reduksi noise

3. Segmentasi citra (image segmentation) merupakan teknik membagi suatu citra
menjadi wilayah-wilayah yang homogen berdasarkan keserupaan intensitas
atau kesamaan kriteria yang telah didefinisikan (Gonzalez, Woods & Eddins,
2009).
Salah satu contoh segementasi citra adalah deteksi tepi citra yang dapat dilihat
seperti pada Gambar 2.13.

Universitas Sumatera Utara

16

(a) citra asli

(b) citra segmentasi

Gambar 2.13. Segmentasi citra

2.5. Filtering
Filtering merupakan suatu proses pengambilan sebagian sinyal dari frekuensi tertentu,
dan menempatkan sinyal tersebut pada frekuensi yang lain. Filtering pada citra juga
menggunakan prinsip yang sama, yaitu mengambil fungsi citra pada piksel- piksel
tertentu dan mengantikan fungsi citra tersebut pada piksel-piksel tertentu. Teknikteknik filtering pada umumnya bertujuan untuk menghilangkan noise yang terdapat
dalam citra dan juga untuk menghaluskan citra.

2.6. Order-Statistic Filters
Order-statistic filter adalah filter spasial non-linier yang didasarkan pada pengurutan /
perankingan piksel sebuah gambar dan kemudian mengganti nilai pusat piksel dengan
nilai hasil yang ditentukan dari proses perankingan (Gonzalez, Woods & Eddins,
2009). Filter ini bekerja dengan menggunakan konsep sliding window yaitu sebuah
window berupa matriks m x n yang akan bergeser posisi dengan tujuan mengganti
nilai pusat piksel pada window dengan nilai piksel hasil perangkingan. Gambar 2.14
menunjukkan sebuah matriks citra berukuran 6 x 6.

Universitas Sumatera Utara

17

=

5

3

3

7

1

4

4

2

1

6

5

5

6

3

0

1

0

6

2

4

5

7

6

8

3

7

0

5

3

2

4

5

3

3

7

1

Gambar 2.14. Matriks citra ukuran 6 x 6

Dari Gambar 2.14 dapat diambil matriks citra 3 x 3 dari pojok kiri atas. Bagian
citra 3 x 3 dari matriks citra 6 x 6 tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 2.15.

5

3

3

4

2

1

6

3

0

Gambar 2.15. Matriks citra 3 x 3 dari matriks citra 6 x 6

Piksel-piksel tersebut diurutkan secara ascending, sehingga diperoleh hasil
pengurutan nilai pikselnya adalah 0, 1, 2, 3, 3, 3, 4, 5, 6.

2.6.1. Alpha-Trimmed Mean Filter (ATMF)
Alpha-trimmed mean filter pada prinsipnya adalah menghilangkan

/2 buah piksel

dengan nilai gray-level terendah dan /2 buah piksel dengan nilai gray-level tertinggi
dari g (s,t) dalam

. Range nilai d berada di antara 0 sampai

. Ketika

, maka alpha-trimmed mean filter menjadi arithmetic mean filter, dan jika
, maka alpha-trimmed mean filter menjadi median filter.
Formula yang digunakan (Prasetyo, 2011):

̂



.................................... (2)

Universitas Sumatera Utara

18

dengan:
̂

: hasil filtering

mn

: ukuran panjang dan lebar window

g (s,t)

: sub-image
: window daerah yang diliputi oleh filter

Gambar 2.16. Kalkulasi pada metode ATMF
(http://www.librow.com/content/common/images/articles/article-7/fig-1.gif)

Contoh:
Matriks citra 3 x 3 pada Gambar 2.16 yang telah diurutkan, akan di filter dengan d =
4.

[0 1 2 3 3 3 4 5 6]

Kemudian nilai piksel dengan nilai gray-level terendah dan nilai piksel dengan nilai
gray-level tertinggi dihapus sehingga menjadi:

[1233345]

Kemudian lakukan perhitungan dengan menggunakan Persamaan 2, sehingga
diperoleh nilai pusat seperti pada Gambar 2.17.

Universitas Sumatera Utara

19

5

3

3

5

3

3

4

2

1

4

4

1

6

3

0

6

3

0

̂

[

]

Gambar 2.17. Proses ATMF dengan matriks 3 x 3

(a)

(b)

Gambar 2.18. (a) Citra terdegradasi dengan Salt and Pepper Noise (b) ATMF 3 x
3, trimmed size = 4

2.7.

Adaptive Median Filter (AMF)

Adaptive Median Filter yang termasuk didalam adaptive filter merupakan
pengembangan dari Median Filter. Median filter adalah salah satu filtering non-linear
yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok piksel kemudian mengganti nilai piksel
yang diproses dengan nilai tengahnya. Namun dalam pengaplikasiannya, Median
Filter dinilai kurang efektif di dalam mereduksi noise terutama noise dengan
persentase yang tinggi. Perbedaan mendasar dalam diantara Median Filter dan AMF
adalah AMF bekerja dengan

ukuran window yang dapat berubah menyesuaikan

dengan batasan maksimum. Variasi ukuran window ini tergantung pada median dari
piksel dalam window tersebut. Jika nilai rata-rata adalah noise, maka ukuran jendela
akan diperluas.
Adaptive median filter mengklasifikasikan piksel sebagai noise dengan
membandingkan setiap piksel pada gambar dengan piksel tetangga disekitarnya

Universitas Sumatera Utara

20

dengan piksel pusat dari jendela (window) dievaluasi untuk memverifikasi apakah itu
suatu noise atau bukan. Sebuah piksel yang berbeda dari mayoritas tetangganya,
maupun yang tidak selaras secara struktural dengan piksel mereka yang sama, akan
ditandai sebagai noise (Listiyani, 2013).
Tujuan dari algoritma AMF ini adalah mengidentifikasi kandidat noise
kemudian mengganti setiap

dengan nilai tengah dari piksel yang ada pada window

. Algoritma AMF bekerja pada dua bagian, bagian A dan bagian B sebagaimana
terlihat pada persamaan 3 dan persamaan 4 (Prasetyo, 2011):

Bagian A:
𝐴 = 𝑍𝑚𝑒𝑑
𝐴 =𝑍𝑚𝑒𝑑

Jika

AND

𝑍𝑚𝑖𝑛
..................................................................................... (3)
𝑍𝑚𝑎𝑥
, pindah ke bagian B

ELSE naikkan ukuran window
IF ukuran window

, ulangi bagian A

ELSE keluarkan
Bagian B:
𝐵 = 𝑍𝑥𝑦

𝑍𝑚𝑖𝑛

𝐵 = 𝑍𝑥𝑦

Jika

............................................................................. (4)

𝑍𝑚𝑎𝑥

AND

, keluarkan

ELSE keluarkan

Penjelasan untuk algoritma AMF adalah sebagai berikut (Thivakaran &
Chandrasekaran, 2010):
Untuk setiap piksel pada lokasi

:

Langkah 1. Inisialisasi S = 3.
Langkah 2. Hitung

,

, dan

yang merupakan nilai minimum, median,

dan maksimum dari piksel-piksel di dalam window

.

Universitas Sumatera Utara

21

Langkah 3. Lakukan perhitungan pada persamaan 3 yang berfungsi untuk melihat
apakah

. Jika hasilnya bernilai true, dilanjutkan ke langkah 5.

Jika tidak, atur ukuran

hingga mencapai ukuran maksimum dari

Langkah 4. Jika

, ulangi langkah 2. Selain itu, ubah

dengan

.
.

Langkah 5. Lakukan perhitungan pada persamaan 4 yang berfungsi untuk melihat
apakah min

. Jika hasilnya bernilai true, maka

sehingga nilai

tidak perlu diubah, selain itu, ubah nilai

bukan noise

dengan nilai

.

dengan,
: filtering window
: nilai piksel pusat pada window
: nilai minimum pada window
: nilai tengah pada window
: nilai maksimum pada window
: ukuran maksimal window

Contoh: Pada sebuah matriks citra 6 x 6, inisialisasi window

sehingga

membentuk sebuah filtering window 3 x 3.

̂

̂

=

=

5

3

3

7

1

4

4

2

1

6

5

5

6

3

0

1

0

6

2

4

5

7

6

8

3

7

0

5

3

2

4

5

3

3

7

1

5

3

3

4

2

1

6

3

0

𝑍𝑥𝑦

Pada filtering window, dilakukan proses order-statistic untuk mendapatkan
nilai minimum, nilai tengah dan nilai maksimum:

Universitas Sumatera Utara

22

[012333456]

Berdasarkan contoh matriks, diperoleh:

= 2;

= 3;

= 0;

=6

Maka, periksa apakah

=

(true).

Maka, periksa apakah

=

(true).

Dari perhitungan di atas terlihat bahwa ̂

bukan merupakan noise, sehingga nilai

tetap.

(a)

(b)

Gambar 2.19 (a) Citra terdegradasi dengan salt and pepper noise (b) Citra hasil
Adaptive Median Filtering
(Thivakaran & Chandrasekaran, 2010)

Universitas Sumatera Utara

23

2.8.

Penilaian Kualitas Citra

2.8.1. Mean Square Error (MSE)
MSE adalah rata-rata kuadrat nilai kesalahan antara citra asli dengan citra hasil
pengolahan. Semakin kecil nilai MSE, maka semakin bagus kualitas citra hasil filter.
Secara matematis, MSE dapat dirumuskan dengan persamaan 5 (Prasetyo, 2011):



dengan:
M

: lebar citra dalam piksel

N

: tinggi citra dalam piksel



.................... (5)

: citra sebelum reduksi noise
: citra setelah reduksi noise

2.8.2. Peak Signal to Noise Ratio (PSNR)
PSNR adalah perbandingan antara nilai maksimum warna pada citra hasil filtering
dengan kuantitas derau/noise. Semakin besar nilai PSNR citra hasil, maka citra
tersebut akan semakin mendekati citra asli.
PSNR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 6:

(
2.8.3.

) ............................................. (6)

Runtime (Waktu Eksekusi)

Runtime adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan perintah dalam
sebuah proses. Waktu yang dibutuhkan dalam melakukan eksekusi dapat dihitungan
dengan melakukan pengurangan waktu akhir eksekusi dengan waktu awal eksekusi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

0 0 14

iv KATA PENGANTAR - Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Stakeholder - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 2 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 10

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 8

BAB II SALURAN TRANSMISI - Analisis Pengaruh Frekuensi Terhadap Redaman pada Kabel Koaksial

0 2 20

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 31

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi) SKRIPSI

0 0 11