LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY

  PROCEEDINGS

  

PROCEEDINGS

The 3 rd ANNUAL INCLE CONFERENCE FOR

  

CLINICAL LEGAL EDUCATION

LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF

ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY

Editor

  

I Lidwina Nurtjahyo

Oce Madril

Maskun

  

UNIVERSITAS HASANUDIN, SULAWESI, INDONESIA

8-10 MAY 2017

  PROCEEDINGS rd

The 3 Annual INCLE Conference For Clinical Legal Education

Penyusun : Presidium INCLE

  1. I Lidwina Nurcahyo

  2. Oce Madril

  3. Fatwa Fadillah

  4. Widati Wulandari

  5. Rosmalinda

  6. Indah Febriani

  7. Maskun

  8. Yeni Rosliani

  9. I. B Surya Dharma

  ISBN : 978-602-51430-0-7 Reviewer : Arip Yogiawan Editor :

  I Lidwina Nurtjahyo Oce Madril Maskun Design/Sampul : Muhammad Riza Anugrah Anugerah Natsir Tata Letak : Wildan Siregar Diterbitkan oleh : Indonesian Network For Clinic Legal Education Kerja Sama dengan : TAF & USAID Alamat : Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta 10320 Website : www.incle.org E-mail : secretariat@incle.org

  

KATA SAMBUTAN

KONFERENSI PENDIDIKAN KLINIK HUKUM INCLE 3RD

"Klinik Hukum dan Pemenuhan Akses terhadap KeadilanSosial bagi Masyarakat"

  Pendidikan hukum memiliki posisi strategis dalam pembenahan dan perbaikan situasi dan perkembangan hukum di Indonesia. Pengajaran Pendidikan Hukum Klinis atau Clinical Legal Education (CLE) merupakan perkembangan terkini dalam pendidikan hukum di Perguruan Tinggi di Indonesia yang diinisiasi oleh The Asia Foundation melalui program E2J yang dikembangankan pada Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Sriwijaya, dan Universitas Sumatera Utara, yang tentunya bermitra dengan beberapa Civil Society Organization (CSO). Pendidikan hukum klinis ditujukan untuk menciptakan seorang sarjana hukum yang mampu serta terampil dan memiliki paradigma keadilan sosial.

  Konferensi ke-3 Indonesian Network Clinical for Legal Education (INCLE) merupakan penyelenggaraan Konferensi yang diselenggarakan INCLE bekerjasama dengan Fakultas Hukum yang menjadi Mitra INCLE., dimana Konferensi pertama di laksanakan di Univeristas Indonesia pada tahun 2015 dan konferensi kedua di Universitas Udayana pada tahun 2016. Kegiatan Konferensi yang dilaksanakan mulai dari Konferensi 1, 2, 3 selalu dirangkaikan dengan kegiatan Training of Trainers (TOT).

  Kehadiran beberapa universitas seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Sriwijaya, Universitas Sumatera Utara, Universitas Nusa Cendana dari Nusa Tenggara Timur, Universitas Andalas dari Sumatera Barat, dan universitas lainnya di wilayah Timur Indonesia diantaranya Universitas Muslim Indonesia, Universitas Islam Negeri Alauddin, Universitas Pattimura, Universitas Darussalam, Universitas Khairun, Universitas cendrawasih, Universitas Musamus Merauke, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Tadulako, Universitas Haluoleo, Universitas Muhammadiyah Kendari, Universitas Sulawesi Tenggara, Universitas Negeri Sulawesi Barat, Universitas Sawerigading, Universitas Indonesia Timur, Universitas Atma Jaya Makassar, Universitas Satria, Universitas 19 November Kolaka, Universitas Bosowa, Universitas Ichsan Gorontalom, Universitas Kristen Indonesia Paulus, Universitas Tomakaka, dan Universitas Madako. Selain itu beberapa perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LBH Bandung, PUSAKA MEDAN, WCC Palembang, LBH Surabaya, LBH APIK, Yayasan Konservasi Laut (YKL), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), dan Anti Coruption Comitte (ACC), pada Konferensi INCLE ke-3 merupakan kontribusi nyata dan atensi yang besar dari berbagai stakeholders dalam mengembangkan pola dan metode pendidikan hukum di Indonesia.

  i Konferensi inipun diharapkan akan menjadi sarana pertukaran gagasan dan pengalaman dalam pengembangan pendidikan hukum klinis termasuk didalamnya sinergitas kerja berbagai stakeholders seperti Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan pihak terkait lainnya

  Akhirnya, terselenggaranya Konferensi INCLE ke-3 tentunya sangat ditentukan komitmen dan kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak demi terselenggaranya Konferensi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada INCLE, USAID-TAF, dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah bahu membahu bagi terselenggaranya Konferensi ini. Jika dalam penyelenggaraan Konferensi ini terdapat beberapa kekurangan maka hal tersebut semata mata bentuk keterbatasan Panitia Pelaksana.

  Makassar, 8 Mei 2017 Dekan Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H.

  ii

  Daftar Isi

  Kata Sambutan

  i

  Daftar Isi

  iii

I. Access To Justice For Marginalized Group Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

  Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum

  1 Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H. Identifikasi Pengembangan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal (Studi Kasus Makassar)

  9 Padma D. Liman Kedudukan Anak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/Puu-VIII/2010

  26 Darul Huda Mustaqim, S.H & Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M Akses Keadilan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Dan Tantangan Kedepan

  32 Irvin Saut Tua Sihombing , Endah Sundari Pemberian Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin Dalam Implikasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kesejahteraan Rakyat (Walfare State) 43 Lidwina Inge Nutjahyo Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak dalam Upaya Mendorong Peningkatan Kesadaran Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan dan Anak di Kampus

  56 II.

   Access To Justice And Anti-Corruption Movement Abdul Fatah, SH, MH Pemberantasan Korupsi Berbasis Organisasi Rakyat

  69 Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M & Darul Huda Mustaqiem, S.H Kaderisasi Mahasiswa Anti Korupsi Yang Berkarakter (Studi Pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruaan Tinggi)

  84 Muhammad Rizaldi S.H. dan Sri Bayuningsih Praptadina S.H Membangun Integritas Mahasiswa Melalui Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Relevansinya dengan Pemenuhan Akses Terhadap Keadilan Sosial

  95 Muh.Afif Mahfud, Yupitasari Saeful Legal Protection For The People On Small Island Mastery 119 Based On Social Justice Ulfa Apriani Hasan, Adzah Rawaeni, Monica Dewi Luqman, Evelyn Lay Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Hak Komunal 135 Wanodyo Sulistyani, S.H.,M.H.,LL.M. Peranan Penting Mahasiswa Dalam Mendorong Akses Terhadap Keadilan 147 iii

  Cok. Istri Diah Widyantari, Putu Ade Hariestha Martana, Kadek Agus Sudiarawan, Kadek Sarna, Nyoman Satyayudha Dananjaya Optimalisasi Peran Kampus dalam Menjawab Isu-Isu Lingkungan di Provinsi Bali melalui Pengembangan Konsep Pembelajaran Clinical Legal Education

  163 III.

   Regional And International Relation To The Fulfillment Of Community Justice Birkah Latif, Prof. SM. Noor, SH., MH., Prof. Juajir Sumardi, SH., MH., Prof. Irwansyah, SH., MH.

  Ketidakadilan Global: Perjanjian Perdagangan Bebas (analisa terhadap Eksistensi Masyarakat Ekonomi ASEAN) 177

  IV. The Latest Clinical Law Governance Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH, MH, LLM, Putu Aras Samsithawrati SH, LLM, I Made Budi Arsika SH, LLM., AA. Gede Duwira Hadi Santosa SH, MHum Menyebarluaskan Social Justice Melalui Klinik Hukum Perancangan Kontrak Dengan Model Street Law: Efektifitasnya Di Fakultas Hukum Universitas Udayana

  186 Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan SH, MHum, LLM, Dr. I Wayan Wiryawan SH, MH, I Nyoman Darmadha SH, MH, Anak Agung Sri Indrawati,SH,MH, I Made Dedy Priyanto,SH,MKn Meningkatkan Nilai-Nilai Pro Bono Melalui Klinik Hukum Perdata DenganModel Street Law

  202 Aflah, SH., M.Hum Keadilan Sosial Bagi Penumpang Angkutan Udara Dalam Memperoleh Ganti Rugi Atas KeterlambatanPenerbangan 212

  V. Access Community For Social Justice Of Land And Economy Fauzia P. Bakti Perjanjian Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Pelaku Perkawinan Campuran (Suatu Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/Puu-Xiii/2015)

  225 Maria Kaban, SH., M.Hum. Eksistensi dan Perkembangan Harta Bawaan dan Harta Bersama Dalam Hukum Adat Karo di Kabupaten Karo

  237 VI.

   Legal Reforms To Social Justice Julandi J Juni, Ridwan A.Mantu, &Moh. Pradipta Duwila Paradoks Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum : Peran Dan Fungsi Paralegal Dalam Penanganan Kasus Secara Litigasi Di Makassar

  250 iv

VII. Access To Justice And Natural Resources Bayu Vita Indah Yanti, Zahri Nasution

  Tinjauan Terhadap Akses Keadilan Sosial Dan Akses Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan: Pembelajaran Dari Penerapan Sistem Lelang Terbuka Dan Tertutup Perairan Lebak Lebung

  257 Lasma Natalia Akses Informasi Bagi Masyarakat Dalam Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Yang Baik Dan Sehat "Studi Terhadap Kasus-Kasus Pendampingan

  268 Lembaga Bantuan Hukum Bandung Wilayah Jawa Barat”

VIII. Access To Justice And Public Policy Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH1, A.A Istri Ari Atu Dewi, SH.,MH, Made Nurmawati, SH.,MH, Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH,M.Kn.,LLM,

  Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Melalui Penyusunan Peraturan Daerah 384

IX. Access To Justice And The Criminal Law System Dr. Nur Azisa

  Konsep Pemenuhan Hak Restitusi Bagi Korban Kejahatan 305 X. Clinic Management, Curriculum, And Methods.

  Sri Wahyuni S., Sitti Syahrani Nasiru, Abdul Muhaimin Rahim Mulsin, Aldy Rinaldy Latif, Fitriani, Fenny Afriyanti Membentuk Karakter Profesional, Handal, Dan Partisipatif Mahasiswa Melalui Clinical Legal Education

  321 Muhammad Zulfan Hakim Sinergitas Pusat Konsultasi Dan Bantuan Hukum Universitas Dan Fakultas Dalam Pembelajaran Klinik Hukum 333 Maria Ulfah, S.H., M.Hum.

  Standar Pendidikan Hukum Klinis melalui Lembaga Bantuan Hukum Kampus 338 Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H. Pengaruh Kerjasama Institusi Bagi Keberlangsungan Street Law Dalam Klinik Anti Korupsi Fh Unpad

  353 Nella Sumika Putri Model Koordinasi Antar Lembaga Dalam Pelaksanaan Model - Street Law Clinic: Refleksi Terhadap Klinik Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad 363 Dr. Ratih Lestarini, SH., MH, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH., M.Si Klinik Hukum Sebagai Sarana Memperluas Akses Masyarakat terhadap Keadilan

  372 M. Irfan Alghifari Upaya Mendorong Akses Terhadap Keadilan Melalui Sekolah Paralegal Berbasis Komunitas Oleh Lembaga Bantuan Hukum 382 v

I. ACCESS TO JUSTICE FOR MARGINALIZED GROUP

  Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

  Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara midahagus@gmail.com

  Abstrak

  — Perempuan bekerja dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial, tanpa kontrak yang jelas, selamanya berstatus pekerja lajang, kesemuanya merupakan kondisi yang mudah ditemukan dalam hubungan kerja perempuan, baik di sektor formal maupun non formal di Indonesia. Tulisan ini mengidentifikasi masih banyaknya ketidakpastian hukum yang membuat maraknya buruh perempuan masuk dalam area marginal. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, data berasal dari literatur dan observasi yang dilakukan dalam kegiatan street law, dimana penulis melakukan komunikasi langsung dengan perempuan bekerja khususnya bekerja di sektor perkebunan (formal), dan sektor pekerja rumahan (non formal). Data sekunder diantaranya dari putusan pengadilan hubungan industrial (PHI). Penelitian ini menemukan bahwa regulasi setengah hati yang menyebabkan perempuan bekerja seolah dalam ruang hampa-tanpa perlindungan dan kepastian hukum.

  

Kata kunci : Kepastian Hukum, Perempuan, Undang-undang

Ketenagakerjaan.

  Pendahuluan Perempuan bekerja di ruang publik semakin lumrah dan diterima sebagai hal yang biasa saat ini. Namun ini tidak diimbangi dengan kenyataan memperlakukan pekerja/buruh perempuan setara dengan laki-laki, meski secara biologis ada perbedaan yang memberi dampak signifikan atas perlakuan khusus bagi perempuan. Perlakuan khusus dimaksud antara lain cuti haid, melahirkan, keguguran kandungan, dan istirahat menyusui bayi yang semuanya ada diatur

  1 dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.

  Perlakuan diskriminatif antara pekerja/buruh laki-laki dan perempuan juga dilarang dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, antara lain dalam hal besaran upah, jabatan dan jenis pekerjaan. Namun pada kenyataannya studi yang dilakukan dalam rangka street law ke perusahaan perkebunan serta dokumen gugatan ke PHI masih ada menyangkut pelaksanaan hak-hak tersebut. Kondisi inilah yang dimaksud dengan perempuan bekerja dalam 1 ketidakpastian regulasi.

  

Bahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (Convention On The Elimination Of All Forms Of

Discrimination Against Women) CEDAW dalam diktum Memperhatikan bahwa sejumlah dokumen seperti resolusi, rekomendasi, deklarasi

dll yag dikeluarkan PBB, namun pada kenyataannya diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih tetap ada, pada Pasal 11 menyatakan

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan

pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia

dalam bentuk UU, yaitu UU No. 7 Tahun 1984.

  1 Masalah yang coba dipecahkan adalah apakah peraturan yang ada telah dijalankan sesuai dengan tujuan dibuatnya aturan tersebut yaitu memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan dari diskriminasi dan marginalisasi. Tujuan yang diharapkan adalah menemukan dan menganalisis peraturan atau regulasi sehingga dapat dicapai perlindungan hukum bagi perempuan bekerja pada masa yang akan datang. Manfaat dari penelitian ini adalah memperkaya literatur sekaligus menjadi masukan bagi stakeholders untuk mengawasi pelaksanaan regulasi sehingga pekerja/buruh perempuan tidak bekerja dalam kevakuman hukum.

  Status lajang buruh perempuan perkebunan Status buruh lajang bagi pekerja berdampak terhadap pendapatan. Pendapatan bagi buruh adalah akumulasi dari gaji pokok, tunjangan tetap dan atau tidak tetap. Status lajang jelas mempengaruhi penerimaan tunjangan tetap yang diterima buruh berstatus kepala keluarga yang menanggung isteri dan anak. Tunjangan tetap itu berupa beras, dan sembako lainnya, tunjangan isteri, dan tunjangan anak. Buruh Perempuan di PT Perkebunan Soc selamanya berstatus lajang, meski sebagian ada yang menjadi kepala keluarga dikarenakan suami telah meninggal dunia.

  Sejarah mencatat praktek diskriminatif yang dihadapi pekerja/buruh perempuan justru dilegalisasi melalui peraturan yang pernah berlaku: pertama, diskriminasi terhadap pekerja laki-laki dan perempuan dalam hal upah dalam PP No. 37 Tahun 1967 - sistem pengupahan bagi tenaga kerja di perusahaan menyatakan bahwa istri dan anak-anak diakui sebagai tanggungan tenaga kerja laki-laki. Oleh sebab itu, tenaga kerja perempuan yang menikah dianggap lajang sedangkan suami dianggap sebagai tanggungan. Kedua, Permen No. 2/P/M/Mining Tahun 1971menyatakan bahwa seluruh perempuan menikah yang bekerja di perusahaan pertambangan negara dan perusahaan pertambangan asing diakui sebagai lajang dan seluruh penghasilan akan diberikan kepada mereka dan bukan kepada keluarganya. Perempuan menikah akan dianggap sebagai pencari nafkah utama hanya bila dinyatakan sebagai janda atau jika suaminya tidak mampu untuk bekerja. Ketiga Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-04/MEN/1988 Tentang Pelaksanaan Larangan Diskriminasi Pekerja Wanita, dalam Point 2 menyatakan: Apabila dalam KKB atau peraturan perusahaan diatur mengenai pemeliharaan kesehatan pekerja dan keluarganya agar hak pekerja wanita disamakan dengan hak pekerja laki-laki kecuali apabila suami pekerja wanita telah memperoleh pemeliharaan kesehatan untuk dirinya maupun keluarganya baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan/instansi yang berbeda. Misal: Perusahaan memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk pekerja beserta keluarganya (seorang istri/suami + orang anaknya). Untuk pekerja wanita dianggap berstatus tidak menikah sehingga jaminan kesehatan hanya berlaku untuk dirinya saja, kecuali dapat dibuktikan dengan surat keterangan resmi bahwa di tempat suami bekerja tidak mendapatkan jaminan kesehatan untuk dirinya dan keluarganya dan pekerja wanita tersebut berstatus janda dan anak-anaknya menjadi tanggungannya. Surat Edaran menyebutkan bahwa pengurus serikat buruh masih bisa berupaya agar para buruh perempuan mendapatkan hak jaminan kesehatan yang sama, apabila diupayakan surat keterangan resmi yang misalnya menyatakan suami tidak mendapatkan jaminan kesehatan

  2

  (untuk istri dan anak-anak) dan apabila buruh perempuan tersebut adalah orang tua tunggal dengan anak- anak. Surat Edaran ini masih kental ―diskriminasi ‖ nya, masih dalam pandangan bahwa perempuan dikatakan ―bukan pencari nafkah utama‖ sehingga upah dan perlindungan nya juga bukan yang utama. Keempat, Pasal 3PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, ditegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat PenjelasanPasal 3 PP 8/1981).

  Peraturan pemerintah terbaru tentang Pengupahan tidak secara eksplisit mengatur larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dalam besaran upah untuk jenis pekerjaan yang sama. Kesempatan dan perlakuan yang sama disebut dalam UU No 13 Tahun 2003

  2 tentang Ketenagakerjaan (UUK).

  Pasal 5 dan Pasal 6 menyebut bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, juga berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

  Dua pasal di atas mengatur perihal larangan perlakuan diskriminasi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik, termasuk penyandang cacat. Dilihat dari kekuatan pasal itu maka keduanya termasuk dalam norma memaksa, sebab disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar, berupa sanksi administratif. Sanksi administratif disebut dalam Pasal 190 ayat (2) UUK, berupa: teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, atau pencabutan ijin.

  Pekerja rumahan (home workers) tanpa status hubungan kerja Pekerja rumahan atau pekerja berbasis rumah dalam produksi di industri disebut sebagai putting out system. Alasan mendasar pelaku usaha menerapkan bentuk subkontrak yaitu meminimalkan ongkos produksi. Cara mudah dan fleksibel untuk memenuhi permintaan yang fluktuatif dan sebagai sarana untuk menggantikan biaya

  overhead ketimbang dengan menggunakan pekerja standar, inilah fleksibilitas tenaga

  kerja itu, mempekerjakan pekerja secara lepas (casualisation of labour), subkontrak dan atau alih daya. Tujuan utama tentu efisiensi, dengan sedapat mungkin bersaing dalam

  3 fluktuasi dan kecenderungan pasar.

  Masalah normative yang dihadapi pekerja rumahan adalah tidak terpenuhinya unsur 2 hubungan kerja (formal) yang diatur dalam UUK. Hubungan kerja dirumuskan dalam

  

ILO memetakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam UU No. 13 Tahun 2003, dapat dilihat dalam

3 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf

Agusmidah, Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan dalam Jangkauan Undang-undang Ketenagakerjaan, Prosiding Seminar Ilmiah

Nasional Dies Natalis USU 64, 2016, hl. 1-8.

  3 Pasal 1 angka 15 UUK sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pekerja rumahan jelas memenuhi unsur adanya pekerjaan, dan pekerjaan yang dilakukan tersebut melahirkan hak dan kewajiban yaitu pembayaran upah, namun tidak memenuhi unsur perintah, dan tanpa diawali perjanjian kerja (tertulis).

  ―Unsur perintah menjadi sangat kabur sehingga menyamarkan hubungan kerja dalam kerja rumahan ini. Kekaburan tersebut memang suatu yang sengaja diciptakan. Lihatlah bahwa lapisan dalam rantai subkontrak sangatlah panjang dan kompleks, pekerja rumahan adalah ujung dari rantai itu. Perantara atau agen dalam sistem ini bukan seperti yang dikehendaki UUK, yang mensyaratkan harus berbadan hukum. Perantara atau agen bisa perorangan, baik memiliki hubungan kerja dengan perusahaan maupun tidak (bahkan di antaranya adalah preman). Berikutnya adalah unsur Perintah yang menjadi ciri khas dalam hubungan kerja majikan-buruh di mana menunjukkan adanya sub ordinasi, hubungan diperatas. Perintah diwujudkan dalam bentuk adanya instruksi kerja (peraturan perusahaan atau standart operasional prosedur) yang harus dipenuhi pekerja atau buruh, konsekwensi dari tidak dijalankannya perintah akan berdampak terhadap hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tanpa ada perintah, seseorang bekerja layaknya pekerja mandiri: bekerja kapan saja saat ia mau, tidak terikat jam kerja, lokasi kerja ditentukan sendiri, namun tidak memiliki akses langsung terhadap pasar, jadi untuk menyamakan

  4

  pekerja rumahan dengan pekerja mandiri juga tidaklah mungkin.‖ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara dalam rapat

  5

  dengar pendapat dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara dan LSM Bitra serta akademisi (penulis) menyampaikan pandangan atas Rancangan peraturan daerah Perlindungan Pekerja Rumahan pada payung hukumnya. Dugaan penulis ranperda ini akan kandas, bukan karena substansi yang akan diatur tidak diperlukan, melainkan payung hukum tempat menggantungkan perda ini belum ada dalam UUK, apalagi di daerah lain juga belum ditemukan perda sejenis.

  Riset yang dilakukan penulis memberi gambaran bahwa pekerja rumahan secara langsung berkontribusi terhadap jalannya produksi dan peningkatan produktifitas perusahaan. Seandainya pekerjaan mereka tidak dilakukan atau dilakukan dengan asal- asalan, maka perusahaan akan menaggung kerugian besar. Di Desa Sei Semayang pekerjaan yang dilakukan pekerja rumahan adalah menjahit dudukan baby walker sebuah produk yang dipasarkan secara luas bahkan diiklankan oleh seorang tokoh anak nasional.

  Upah mereka tidak mencapai upah minimum jika drata-ratakan berdasar hasil kerja 4 sebulannya. Upah tersebut sesungguhnya masuk biaya listrik, biaya perawatan mesin jahit, 5 Ibid.

  RDP di DPRD Provinsi Sumatera Utara, Tanggal 2 Mei 2017.

  4 membeli minyak pelumas mesin, tidak ada sewa tempat penyimpan barang yang ditumpuk di rumah pekerja, sehingga sesungguhnya upah tersebut sangatlah rendah. PHK karena Hamil

  Perselisihan PHK di PHI dalam perkara No. 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN-Tjk antara buruh perempuan yang telah bekerja lebih dari 9 tahun dengan status PKWT. PHK yang diterima buruh perempuan yang menjadi pihak Penggugat dalam perselisihan ini saat dalam keadaan ia hamil, dengan alasan PHK habis masa kontrak. Sebelumnya kontrak (PKWT) selalu diperpanjang. Penggugat menyatakan berhak mendapat pembayaran hak-hak pasca hubungan kerja berakhir berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, ganti kerugian, cuti tahunan, ongkos pulang ke tempat asal, JHT Jamsostek.

  Putusan hakim PHI menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan sebagian, berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak (cuti tahunan, perumahan, serta pengobatan dan perawatan). Atas putusan ini perusahaan sebagai tergugat mengajukan kasasi. Putusan kasasi menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon.

  Kasus jika ditelusuri lebih jauh tidak mengungkap tentang penyebab PHK yang dikarenakan buruh hamil. Justru yang diungkap oleh penggugat pun hanya mengenai persoalan hak purna kerja saja. Ini menunjukkan masih sangat rentannya kedudukan pekerja perempuan dalam hubungan kerja, bahkan di pengadilan sekalipun mereka tidak mempersoalkan tentang keperempuan-an yang telah dikebiri dan berujung PHK. Hakim juga dalam pertimbangan hukumnya tidak membahas tentang perlakuan diskriminatif itu, hanya fokus pada hak purna kerja. Meski hakim memutuskan bahwa pengusaha harus membayar hak-hak purna kerja, namun ada sisi kepastian hukum yang terabaikan, yaitu

  6 tidak boleh ada perlakuan diskriminatif yang disebabkan gender.

  Buruh Harian Lepas (BHL) tidak sesuai aturan Kondisi yang banyak terjadi di perusahaan perkebunan. Perkara dalam Putusan No.

  14/G/PHI/PN.Mdn memperlihatkan sebanyak 26 dari total 41 orang penggugat adalah perempuan yang melakukan pekerjaan terus menerus, setiap hari, mendapat upah tiap bulannya dari perusahaan (tergugat). Umumnya masa kerja mereka antara 7 tahun sampai 30 tahun dengan status BHL. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah menggaruk/ mencangkul piringan tanaman kelapa sawit, bagian penyemprot tanaman kelapa sawit, dan bagian pembibitan tanaman kelapa sawit.

  Perselisihan yang diajukan ke PHI berawal dari peristiwa meningkatnya volume/ target kerja pekerjaan yang dianggap tidak patut atau wajar berupa: 1) bagian Penggarukan/ 6 Mencangkul dari 66 piringan tanaman kelapa sawit setiap harinya menjadi 132 piringan

  

VG. Tinuk Istiarti, Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal (The Policy for Women Labors), Jurnal

Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012, hlm. 103-108, penelitian terhadap responden menyatakan adanya pemotongan upah saat cuti haid.

  5 setiap harinya. 2) bagian pembibitan dari 150 polibet menjadi 250 polibet setiap harinya. 3) bagian penyemprotan dari 2 hektar menjadi 3 hektar setiap harinya. Para pekerja (Penggugat) menyatakan bahwa target sulit tercapai, sehingga mereka tidak lagi bekerja seperti biasanya. Tindakan menaikkan volume kerja/ target secara sepihak dan di luar kemampuan para penggugat dianggap merupakan tindakan PHK sepihak.

  Putusan Hakim menetapkan bahwa hubungan kerja antara para penggugat dengan tergugat (perusahaan) demi hukum berubah dari PKWT menjadi PKWTT, menyatakan hubungan kerja para tergugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi para penggugat mengundurkan diri, menghukum tergugat membayar uang penggantian hak para penggugat.

  Bagi Penulis, amar putusan hakim yang menyatakan demi hukum status hubungan kerja berubah dari PKWT menjadi PKWTT memang tepat. Mengingat ada norma yang tidak dipatuhi oleh pengusaha dalam status hubungan kerja yang dipraktik kan di perusahaan perkebunan tersebut. Status BHL menurut Pasal 10 Peraturan Menteri (Permenakertrans No. 100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) harus memenuhi kondisi tertentu sebagai syarat BHL yaitu: pekerjaan itu berubah-ubah dalam hal volume kerja serta upah didasarkan pada kehadiran. Pekerjaan yang berubah-ubah tersebut dilakukan dalam waktu kurang dari 21 hari dalam sebulan, apabila pekerjaan dilakukan 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT (pekerja tetap).

  Amar putusan berikutnya yang menetapkan bahwa hubungan kerja antara para penggugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi mengundurkan diri menjadi sangat tidak adil bagi para pekerja. Ketika status hubungan kerja mereka dikuatkan sebagai PKWTT pada saat itu juga di PHK dengan hanya menerima penggantian hak yang tentunya nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan kontribusi para pekerja selama 7 sampai 30 tahun di perusahaan tersebut. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan penyebab ketidakhadiran para penggugat yaitu beban kerja atau target kerja yang ditetapkan meningkat sangat tajam, sehingga meskipun para pekerja menggunakan tenaga bantuan (sanak keluarga) tetap tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan perusahaan. Indikasi terjadinya eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan tidak diperhatikan oleh majelis hakim.

  Kevakuman dan ketidakpastian hukum Judul sub bab ini tepat untuk menggambarkan bahwa dari beberapa peristiwa di atas terbukti pekerja/buruh perempuan berada dalam kevakuman hukum dan tentu saja bekerjanya hukum dalam keadaan ini tidak memenuhi prinsip kepastian hukum. Norma atau aturan sesungguhnya telah cukup dituangkan oleh negara dalam peraturan perundangan, utamanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, namun kenyataannya pelaksanaan atas ketentuan tersebut bergantung pada kemauan pengusaha.

  Penelitian yang dilakukan di daerah Tanjung Balai juga menemukan intensitas pelanggaran hak pekerja/buruh perempuan yang cukup tinggi, baik dalam hal penggajian, diskriminasi, dan memperlakukan pekerja perempuan sebagai kelompok yang tidak diperhitungkan, sebab dengan mudahnya mengeluarkan/PHK hanya alasan sepele misal

  6

  7

  seringnya buruh permisi atau cuti karena alasan sakit haid. Perusahaan juga tidak

  8

  memberikan upah saat cuti hamil, melahirkan, haid. Keadaan ini menurut pengakuan responden telah diketahui pihak terkait (dinas tenaga kerja) setempat, namun tidak ada

  9 tindakan/aksi secara tegas terhadap pihak yang melanggar.

  Perempuan dalam bekerja telah dikelilingi oleh sejumlah norma yang mengatur agar fungsi reproduksi kaum perempuan terjaga tanpa merugikan kepentingannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun hasil temuan di atas menunjukkan bahwa perempuan berada tetap dalam ruang hampa hukum (kevakuman hukum) yang jelas menyingkirkan prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu tujuan hukum. atau kepastian hukum ada sejak hukum itu

  Rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid

  dituliskan, dipositifkan, dan mengatur publik. Kepastian hukum lebih pada ‗law being

  

written down‟. Hukum seyogyanya panglima dan memiliki kekuatan penuh untuk mengatur

  agar tercapai tujuan hidup bersama yang tertib dan sejahtera. Jika melihat pada fungsi ini maka sejak terjadinya berbagai peristiwa yang menunjukkan gap antara aturan tertulis dengan peristiwa yang dialami pekerja/buruh perempuan maka kepastian hukum dapat

  10 dipertanyakan keberadaannya.

  kesimpulan Norma yang mengatur perlindungan dan larangan diskriminasi bagi perempuan di tempat kerja telah dimuat dalam UUK No. 13 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaannya akan bergantung pada dimuat atau diatur tidaknya di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama, sehingga manakala perusahaan menerapkan cuti haid dengan menetapkan sejumlah ketentuan yang dirasa buruh justru menyulitkan untuk dilaksanakan atau tidak bermanfaat untuk istirahat di rumah, kepastian hukum bagi perlindungan buruh perempuan dapat dikatakan belum ada.

  Pengakuan terhadap keberadaan buruh non formal seperti pekerja rumahan sudah sangat mendesak, sebab sistem produksi dengan menciptakan rantai yang panjang menjadi trend di kalangan pengusaha untuk meminimalisir resiko kerugian dengan menggunakan pola hubungan kerja formal.

  Putusan hakim dapat membantu pekerja/buruh mendapat kepastian hukum, namun dari beberapa kasus yang dijadikan objek penelitian kepastian hukum berkaitan dengan status hubungan kerja tidak diikuti dengan hak pemulihan status tersebut, melainkan dinyatakan hubungan kerja putus. Lagi-lagi pekerja/buruh mengalami ketidakpastian hukum. 7 Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Kajian Perlidungan Terhadap Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di 8 Sumatera Utara, Draft Laporan Akhir, 2016, hlm. 68 9 Ibid, hlm. 69. 10 Ibid hlm. 70.

  

Dapat dibaca dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, (Jakarta: UI Press, 2006). Juga dalam Achmat Ali, Menguak Teori

Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence)., (Jakarta: Kencana

Pranada Media Group, 2009).

  7

  8 Daftar Pustaka

  Agusmidah. Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan dalam Jangkauan Undang-undang Ketenagakerjaan.

  Medan: Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Dies Natalis USU 64, 2016.

  Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Kajian Perlidungan Terhadap

  Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di Sumatera Utara. Draf Laporan Akhir Penelitian, Medan, 2016.

  ILO.http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--asia/---ro-bangkok/--ilo jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf Putusan Nomor 14/G/2011/PHI.Mdn Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Tjk Tinuk Istiarti, VG. Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal (The Policy for Women Labors). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol.

  11 No. 2 / Oktober, 2012. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

  

IDENTIFIKASI PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM

BAGI MASYARAKAT MARGINAL

(Studi kasus Makassar)

Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H.

  Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

  Email: maskunmaskun31l@gmail.com

Abstrak---- Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum.

  

Hal ini dipertegas dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I

ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan hak-hak warga negara

termasuk didalamnya masyarakat marginal yang berhubungan dengan hukum

harus dipenuhi. Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara

tersebut, Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan

Hukum). Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat,

utamanya masyarakat tidak mampu, ketika berhadapan dengan masalah hukum.

Melalui Undang-undang ini masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum

dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum. Lembaga

Bantuan Hukum (LBH) merupakan lembaga yang mempunyai peran utama

sebagai penyelenggara dan pemberi bantuan hukum di Indonesia. LBH

sebagaimana disebutkan bukan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara,

akan tetapi LBH biasanya dibentuk sendiri oleh para advokat ataupun melalui

instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga pendidikan. Negara

dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan bantuan

hukum. Negara hanya memberi fasilitasi kepada lembaga-lembaga bantuan

hukum untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Oleh karena itu,

perlu dilakukan identifikasi terhadap LBH bagi masyarakat marginal, khususnya

di Kota Makassar. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasikan peran LBH

dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat marginal.

  Kata Kunci: Identifikasi, LBH, dan Masyarakat Marginal

  9

I. PENDAHULUAN

  A. LATAR BELAKANG Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum. Hal ini dipertegas pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal

  28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan hak-hak warga negara yang berhubungan dengan hukum harus dipenuhi di negara Indonesia.

  Indonesia merupakan negara Hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus menunjukkan ciri negara hukum. Menurut Friedrich Julius Stahl, ada 4 unsur/ciri negara hukum yang salah satunya yaitu perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan

  11

  perundang-undangan, serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Oleh karenanya, sebagai negara hukum Indonesia harus mewujudkan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk dalam bidang hukum.

  Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara di bidang hukum tersebut, Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor

  16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat, utamanya masyarakat yang tidak mampu ketika berhadapan dengan masalah hukum. Melalui Undang-undang ini masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum.

  Bantuan hukum dapat dilakukan agar masyarakat yang tidak mampu tetap bisa mendapatkan pendampingan hukum baik di dalam pengadilan atau litigasi maupun dalam upaya-upaya litigasi di pengadilan. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program

  12

  peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial, politik dan hukum. Masyarakat sebagai pencari keadilan dapat menggunakan jasa pemberi bantuan hukum untuk membantu menangani permasalahan hukumnya. Pemberi bantuan hukum di Indonesia dilakukan oleh para advokat atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum (LBH).

  Lembaga Bantuan Hukum merupakan lembaga yang mempunyai peran utama sebagai penyelenggara bantuan hukum di Indonesia. Lembaga bantuan hukum bukan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara. Lembaga bantuan hukum biasanya dibentuk sendiri oleh para advokat ataupun melalui instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga pendidikan. Negara dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum. Negara hanya memberi fasilitas kepada lembaga-lembaga bantuan hukum untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Pemerintah melakukan berbagai macam upaya dalam rangka menjamin berjalannya bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum misalnya dengan pendanaan, pengembangan bahkan sampai akreditasi terhadap LBH.

  Setelah adanya UU Bantuan Hukum, pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia dapat berjalan lebih baik. Masyarakat dapat mendapatkan bantuan hukum melalui LBH secara gratis tanpa perlu memikirkan ataupun mengeluarkan biaya. LBH pun sangat terbantu dengan 11 12 Martiman Prodjohamidjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia: Latar Belakang dan Sejarahnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal. 23.

  Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 3.

  10 adanya UU tersebut karena kini LBH mendapat dana dalam menjalankan program bantuan hukum. Saat ini pun tak hanya terjadi peningkatan kualitas LBH tetapi juga kuantitas LBH, terutama di kota-kota besar yang mempunyai banyak permasalahan hukum, misalnya saja di Makassar.

  Program bantuan hukum di kota makassar dilaksanakan oleh berbagai LBH dan juga advokat-advokat yang menangani perkara prodeo. Tercatat bahwa jumlah LBH yang berada di makassar yang sudah terakreditasi oleh pemerintah (dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM) sebanyak sebelah LBH. LBH tersebut termasuk pula LBH kampus yang bernaung dalam Lembaga Pendidikan. Jumlah ini sebenarnya tergolong banyak, karena di daerah lain di Sulawesi Selatan sangat sulit ditemukan adanya lembaga bantuan hukum. Meskipun demikian, pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH yang telah terakreditasi tersebut juga belum dapat dikatakan efektif dan maksimal. Salah satu LBH yang terakreditasi namun masih belum mampu menjalankan program bantuan hukum secara maksimal adalah Unit Kegiatan dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

  Sejak Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FHUH) dibentuk pada tahun 2013, hanya terdapat lebih kurang 13 (tiga belas) kasus yang telah ditangani melalui proses peradilan. Angka ini terhitung sedikit jika dibandingkan dengan kasus yang dialami oleh warga kurang mampu yang terjadi di lapangan sekitar wilayah hukum UKBH FHUH, dimana UKBH FHUH dapat melakukan pendampingan. Sementara banyak permasalahan hukum yang terjadi di sekitar UKBH FHUH yang masih belum tersentuh oleh bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.

  Selama ini, pelaksanaan bantuan hukum memang sangat jarang mendapatkan perhatian dikarenakan pelaksanaan bantuan hukum selama ini bukanlah hal yang banyak diketahui masyarakat. Bahkan kajian akademik tentang bantuan hukum pun masih jarang ditemukan. Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka optimalisasi dan pengembangan LBH dalam melakukan bantuan hukum serta dalam rangka kurangnya kajian-kajian tentang LBH terutama di Makassar membuat identifikasi terhadap pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum tidak dapat diketahui secara jelas.

  Pelaksanaan bantuan hukum harusnya berjalan efektif dan diperhatikan agar masyarakat dapat mengakses bantuan hukum dan mencari keadilan ketika mempunyai permasalahan hukum. Identifikasi dalam pengembangan bantuan hukum juga seharusnya dilakukan dalam guna mewujudkan pelaksanaan bantuan hukum yang efektif oleh LBH. Oleh karenanya dibutuhkan adanya kajian lebih lanjut dalam rangka identifikasi pelaksanaan dan pengembangan program bantuan hukum di Kota Makassar.

  B. PERMASALAHAN/RUANG LINGKUP 1. Pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH kurang maksimal.

  2. Kurangnya informasi bagi warga negara kurang mampu mengenai proses hukum.

  3. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan warga kurang mampu mengenai pendampingan hukum di dalam maupun di luar pengadilan yang menjadi hak mereka.

  4. Kurangnya informasi mengenai LBH yang belum sampai secara merata kepada warga kurang mampu.

  5. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang LBH.

  11 C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

  1. Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah :

  a. Untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum di Makassar.