THE PROBLEM IN PROTECTING THE RIGHT TO FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF FOR THE MINORITY IN COURT OF LAW

PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN

Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

THE PROBLEM IN PROTECTING THE RIGHT TO FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF FOR THE MINORITY IN COURT OF LAW

Endra Wijaya

Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640 E-mail: endra.wijaya333@yahoo.co.id

An Analysis of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG

Naskah diterima: 1 Juli 2017; revisi: 16 Agustus 2017; disetujui 16 Agustus 2017

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.

Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, termasuk dalam hal agama dan keyakinan. Keberagaman agama dan keyakinan yang ada di masyarakat tidak selamanya mudah untuk diharmoniskan, karena ada kalanya hal tersebut justru menjadi pemicu terjadinya ketegangan antaranggota masyarakat. Untuk merespons kemajemukan dalam masyarakat Indonesia, para tokoh pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila menjadi falsafah negara yang dianggap paling sesuai sebagai pemersatu seluruh anggota masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besar beragama Islam. Hal yang demikian secara implisit menginformasikan bahwa Pancasila itu pada dasarnya tidak bertentangan, tapi sejalan dengan ajaran-ajaran Islam (Ahmad, 2011: 278).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, semboyan Bhinneka Tunggal Ika lantas dipilih sebagai spirit pedoman yang mengingatkan dua hal penting kepada seluruh bangsa Indonesia, yaitu: pertama, bangsa Indonesia mengandung (memiliki) keberagaman di dalamnya (poin faktual sosial), dan kedua, untuk dapat menjadi suatu bangsa besar dan kuat, maka masyarakat Indonesia yang beragam itu harus mampu bersatu serta merasa saling senasib sepenanggungan (poin nasionalisme) (Lestari, 2015: 35; Shofa, 2016: 37-38; Widiatmaka, 2016: 27). Selain

Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dalam level yang lebih konkret telah terdapat juga jaminan dalam bentuk pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 bagi keberagaman dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal agama dan keyakinan (Kadarudin, 2015: 8). UUD NRI 1945 melalui beberapa pasalnya telah mengupayakan jaminan bagi penegakan hak asasi manusia secara konstitusional dalam hal kebebasan untuk memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan tertentu. Pasal-pasal itu ialah Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, yang mana keberadaannya dimaksudkan untuk menjamin sekaligus menjaga agar keberagaman agama dan keyakinan dalam masyarakat Indonesia dapat berjalan harmonis (Abdullah & Wijaya, 2014: 67).

Jaminan secara konstitusional melalui pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 tersebut lalu diterjemahkan lagi ke dalam produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian terhadap kemungkinan munculnya persoalan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut memandang persoalan agama sebagai salah satu potensi konflik, baik melalui perseteruan antarumat beragama maupun interumat beragama (Wahyudi, 2013: 3-4). Memang dalam praktiknya, hidup yang harmonis dalam keberagaman merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam Jaminan secara konstitusional melalui pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 tersebut lalu diterjemahkan lagi ke dalam produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian terhadap kemungkinan munculnya persoalan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut memandang persoalan agama sebagai salah satu potensi konflik, baik melalui perseteruan antarumat beragama maupun interumat beragama (Wahyudi, 2013: 3-4). Memang dalam praktiknya, hidup yang harmonis dalam keberagaman merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam

mata hanya merupakan bagian akhir dari proses memeriksa dan mengadili (menyelesaikan)

Kesulitan (kendala) mengelola dan perkara hukum. Lebih dari itu, putusan

mewujudkan kehidupan harmonis dalam pengadilan dapat pula dipahami sebagai salah

keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat satu wujud konkret dari upaya menegakkan

Indonesia dapat diindikasikan, antara lain, dari hak asasi manusia, sebagaimana telah dijamin

masih adanya praktik diskriminasi (intoleransi) oleh konstitusi, melalui tangan para aparat di

terhadap kelompok agama dan keyakinan tertentu lingkungan kekuasaan yudikatif. Peran dari

sampai dengan saat ini. Terkait dengan hal para aparat di lingkungan kekuasaan yudikatif,

tersebut, menurut laporan Setara Institute yang dalam hal ini melalui putusan pengadilan yang

dirilis pada tanggal 29 Januari 2017, sepanjang dijatuhkannya, tentunya bisa dipahami pula

tahun 2016 terjadi 208 peristiwa pelanggaran sebagai upaya aktif yang penting untuk dilakukan

kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan dalam rangka memperkuat komponen-komponen

270 bentuk tindakan, yang tersebar di 24 provinsi. pembentuk bangunan negara hukum Indonesia.

Sebagian besar pelanggaran terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu dengan 41 pelanggaran,

Sebagaimana diungkapkan dalam kajian peristiwa serupa dengan angka tinggi juga terjadi Djafar mengenai negara hukum Indonesia, di Jakarta dengan 31 pelanggaran, dan Jawa bahwa beberapa komponen pembentuk bangunan Timur dengan 22 pelanggaran (Setara Institute, negara hukum Indonesia terindikasikan masih 2017).

berada dalam keadaan yang lemah, terutama komponen-komponen yang berkaitan dengan isu

Kesulitan tersebut di atas merupakan hak asasi manusia. Dalam kajiannya, dipaparkan

masalah yang tentunya perlu diupayakan antisipasi bahwa gambaran mengenai situasi negara hukum

dan solusinya oleh banyak pihak. Dalam konteks Indonesia dapat dijelaskan keadaan komponen-

bidang hukum, pihak-pihak seperti para pembuat komponennya sebagai berikut:

peraturan perundang-undangan ( law and policy maker) maupun para aparat penegak hukum 1. Jaminan konstitusional: kuat. ( law and policy executor) sudah melakukan

2. Pembatasan kekuasaan: sedang. beberapa upaya untuk dijadikan sebagai solusi

bagi mengatasi masalah mewujudkan kehidupan 3. Perlindungan hak asasi manusia: lemah. harmonis dalam keberagaman agama dan

4. Akses terhadap keadilan: lemah (Djafar, keyakinan di masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh aparat Masih menurut Djafar (2010: 170) yang

penegak hukum, sebagaimana yang akan menjadi terjadi dalam konteks saat ini ialah negara,

fokus dalam tulisan ini, ialah upaya (tindakan) yang salah satunya melalui cabang kekuasaan

penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim dalam yudikatifnya, justru melakukan kebijakan “over

perkara pidana yang kasusnya berkaitan dengan kriminalisasi” yang telah menyeret ribuan

permasalahan karena adanya keberagaman rakyat dari kelompok marginal (kelompok

agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia.

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

beragama dan berkeyakinan, khususnya bagi kelompok minoritas di Indonesia, masih harus

Memperhatikan bahwa sudah kuatnya menempuh “perjalanan panjang yang berliku.”

jaminan yang diberikan melalui konstitusi, namun belum dibarengi dengan kuatnya praktik

B. Rumusan Masalah

perlindungan hak asasi manusia serta akses terhadap keadilan, maka yang diperlukan

Kajian terhadap suatu putusan pengadilan kemudian ialah upaya untuk membuat kedua bisa diarahkan kepada beberapa hal yang ada

poin yang masih lemah tersebut menjadi lebih pada putusan tersebut. Apabila merujuk pada kuat. Pada poin itulah perihal aktivitas hakim kajian yang dilakukan oleh Susanto (2005: 144- memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan 145) maupun oleh Komisi Yudisial Republik menjadi penting pula untuk diperkuat dalam Indonesia (2014: 8), maka ada tiga hal yang dapat rangka untuk menegakkan hak asasi manusia diamati dari suatu putusan pengadilan. Ketiga hal secara lebih maksimal.

itu ialah berhubungan dengan soal efektivitas, Sehubungan dengan paparan tersebut di atas, efisiensi, dan kejujuran yang terkandung dalam

putusan pengadilan. Dalam tulisan ini, dengan maka perkara pada Pengadilan Negeri Sampang

mempertimbangkan beberapa hal teknis, maka dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut menjadi menarik untuk dicermati. Latar belakang

hanya akan dibatasi pada hal-hal yang termasuk peristiwa dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/

dalam lingkup soal efektivitas dari suatu putusan PN.SPG berkaitan erat dengan peran pengadilan

pengadilan. Dan, poin efektivitasnya tersebut yang sebenarnya juga potensial untuk mendorong

juga akan dibahas secara terbatas, yaitu hanya tegaknya hak asasi manusia dalam beragama

dalam konteks upaya penegakan hak asasi dan berkeyakinan. Dengan bertempat di sekitar

manusia untuk beragama dan berkeyakinan. wilayah yang menjadi wewenang Pengadilan

Negeri Sampang, perkara ini mendudukkan TM Kajian Susanto (2005: 144-145) dan sebagai terdakwa dari tindak pidana penodaan Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8)

agama. TM merupakan tokoh agama bermazhab memaparkan bahwa yang dimaksud dengan Syiah, yang keyakinan mazhabnya itu termasuk persoalan efektivitas pengadilan ialah persoalan

ke dalam kategori kelompok minoritas.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

1. Semakin diperolehnya pemahaman mencapai tujuan untuk apa ia didirikan. Persoalan

yang lebih komprehensif terhadap objek efektivitas ini lantas berhubungan erat dengan

Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, kemampuan pengadilan untuk menjadi pilar

yang untuk beberapa pihak, seperti para hukum, yaitu kemampuannya untuk benar-benar

pemerhati isu-isu hak asasi manusia, menjawab kegelisahan masyarakat.

menarik untuk dicermati. Hal tersebut mengingat Putusan Nomor 69/PID.B/2012/

Berdasarkan pembatasan tersebut, pokok PN.SPG berhubungan erat dengan isu

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut perlindungan hak untuk beragama dan

dalam kajian ini adalah: berkeyakinan bagi kelompok minoritas di

1. Bagaimanakah substansi Putusan Nomor

Indonesia.

69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari

2. Melengkapi kajian yang sudah ada perspektif penegakan hak asasi manusia,

sebelumnya yang objeknya juga berupa khususnya hak asasi manusia untuk secara

Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu

sebagaimana nanti akan dijelaskan lebih agama dan keyakinan?

lanjut dalam tulisan ini.

2. Sudahkan putusan tersebut ikut

3. Memberikan sedikit tambahan pengetahuan berkontribusi secara positif dalam upaya mengenai bagaimana substansi Putusan penegakan hak asasi manusia, terutama bagi Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG jika dilihat kelompok agama dan keyakinan minoritas? dari perspektif penegakan hak asasi manusia,

khususnya hak asasi manusia untuk secara

C. Tujuan dan Kegunaan

bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama Jika dihubungkan dengan rumusan

dan keyakinan, terutama bagi kelompok masalah, maka tujuan yang hendak dicapai

minoritas.

melalui pembahasan dalam tulisan ini ialah untuk

mendapatkan pengetahuan dan pemahaman D. Tinjauan Pustaka

mengenai substansi Putusan Nomor 69/ Dua variabel yang akan dielaborasi

PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif keterkaitannya dalam kajian ini ialah variabel

penegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk putusan pengadilan dan hak asasi manusia,

memeluk suatu agama dan keyakinan. Termasuk, khususnya hak-hak untuk beragama dan

diharapkan pula akan diketahui apakah putusan berkeyakinan. Oleh karena itu, kajian terdahulu

tersebut sudah atau belum berkontribusi secara yang akan dipaparkan adalah beberapa kajian

positif terhadap upaya penegakan hak asasi yang materinya mengenai kedua variabel

manusia, khususnya bagi kelompok agama dan

dimaksud.

keyakinan minoritas. Putusan pengadilan sudah tidak bisa lagi

Kajian dalam tulisan ini juga diharapkan dipahami hanya sebagai tahap akhir dari suatu

akan membawa kegunaan (manfaat), antara lain, sengketa hukum yang terjadi. Tetapi lebih dari

berupa:

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

melalui asas erga omnes.

Pertama, putusan pengadilan dapat Asas erga omnes dalam sistem peradilan dipahami sebagai tahap akhir dari suatu tata usaha negara adalah asas yang menyatakan sengketa hukum, terutama bagi putusan yang bahwa putusan pengadilan juga memiliki daya telah berkekuatan hukum tetap (Latifiani, 2015: berlaku dan mengikat secara publik, di samping 20). Tumpa berpendapat bahwa putusan hakim mengikat para pihak yang bersengketa (Tjandra, merupakan bagian akhir dari suatu sengketa yang 2009: 73; Marbun, 2011: 233-234; Abdoellah, diperiksa melalui serangkaian acara di muka 2016: 115; Suwito, 2016: 87). Hal yang serupa persidangan di pengadilan. Putusan hakim itu juga juga diterapkan dalam sistem pengujian undang- sekaligus menjadi titik tumpu dari suatu eksekusi undang oleh Mahkamah Konstitusi, di mana yang tujuannya akan menyudahi sengketa yang Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara terjadi antara para pihak (Tumpa, 2010: 1 dan 6). pengujian undang-undang mengikat semua Pengertian putusan pengadilan seperti ini dapat komponen bangsa, baik penyelenggara negara dipahami sebagai pengertian yang “klasik” dan maupun warga negara (Gumbira, 2016: 116). cenderung “sempit.”

Kedua, putusan pengadilan dapat pula Salah satu alasan mengapa pengertian dipahami sebagai instrumen yang potensial putusan pengadilan yang memosisikannya memberikan perlindungan terhadap hak hanya sebagai hasil akhir sengketa hukum asasi manusia. Dalam penelitian yang telah dikatakan sempit ialah karena pengertian seperti dipublikasikan dalam bentuk buku yang itu menempatkan putusan pengadilan hanya berjudul “Pancasila dalam Putusan Mahkamah berpengaruh terhadap para pihak yang terlibat Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah langsung dengan sengketa hukum yang terjadi. Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan Hal seperti ini lazimnya berlaku dalam sistem Perlindungan Hak Kelompok Marjinal,” Arizona, hukum acara pada peradilan umum untuk perkara Wijaya, & Sebastian (2014: 106) menyimpulkan perdata (Tjandra, 2009: 79). Mengenai dampak bahwa putusan pengadilan, yang dalam penelitian putusan pengadilan tersebut di luar para pihak mereka tertuju pada Putusan Mahkamah yang terlibat, misalnya kepada pihak masyarakat Konstitusi, sesungguhnya memiliki peran yang umum, yang berarti ini juga ialah berdampak sangat potensial untuk dapat melindungi hak asasi sosial, pendapat yang pertama ini tidak manusia. Walaupun memang dalam praktiknya memperhatikannya. Padahal, dalam praktiknya, belum bisa diwujudkan secara maksimal Jaminan memperlihatkan pula bahwa suatu putusan hak asasi manusia yang sudah diberikan oleh pengadilan yang awalnya hanya ditujukan konstitusi sebenarnya belumlah bisa dikatakan langsung bagi para pihak yang bersengketa, cukup untuk dapat benar-benar melindungi hak setelah putusan tersebut diputus justru ternyata asasi manusia setiap warga negara. Sebagaimana membawa pengaruh (berdampak) juga kepada kajian dari McGann, ia menjelaskan bahwa pihak lain di luar sengketa (memiliki dampak konstitusi belum bisa secara pasti dan nyata

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

65) dalam kajiannya yang berjudul “Analisis asasi manusia masih memerlukan tindakan nyata Yuridis Tindak Pidana Penodaan Agama lainnya, seperti tindakan nyata dari lembaga- (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: lembaga pemerintah atau pengadilan (McGann, 69/PID.B/2012/PN.SPGg)” menyoroti perihal 2006: 104-105). Pada poin inilah kemudian peran bagaimana perkara tindak pidana penodaan dari hakim di pengadilan akan memiliki arti yang agama dengan terdakwa TM diselesaikan secara penting pula untuk ikut menegakkan nilai-nilai yuridis prosedural, dan dihubungkan pula dengan hak asasi manusia yang telah dijamin melalui persoalan tujuan pemidanaan. Namun demikian, konstitusi (Isra, 2014: 426; Eddyono, 2015: 144). analisis kajian dari para peneliti tersebut belum

menggali lebih jauh keterkaitan antara isu hak asasi Sejalan dengan penjelasan di atas, Ginsburg

manusia dengan perkara pada Putusan Nomor 69/ (2003: 32-33) dalam kajiannya mengenai peran

PID.B/2012/PN.SPG. Celah pada pembahasan Mahkamah Konstitusi di beberapa negara di Asia,

mengenai isu hak asasi manusia itulah yang coba dalam salah satu bab pada kajiannya tersebut,

diangkat oleh penulis melalui tulisan kali ini. juga menyimpulkan (mengungkapkan) bahwa

lembaga (mekanisme) judicial review benar- Kajian dari Jufri (2016: 102-110) dengan benar dapat menjadi salah satu tumpuan kelompok judul “Analisis Putusan Pengadilan Negeri minoritas untuk melindungi kepentingan Sampang Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. mereka yang sebenarnya telah dijamin secara Perspektif Hak Kebebasan Beragama di Indonesia” konstitusional. Melalui kajian Ginsburg, secara membahas mengenai apakah Putusan Nomor implisit, dapat dipahami bahwa melalui aktivitas 69/PID.B/2012/PN.SPG mengenyampingkan memeriksa, mengadili, dan memutus melalui prinsip-prinsip hak kebebasan dan berkeyakinan. putusannya, hakim di pengadilan bisa berperan Melalui kajian itu, penulis sudah mencoba sebagai semacam aktor “penjamin (asuransi)” menghubungkan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ hak-hak konstitusional dari minoritas. Ginsburg PN.SPG dengan persoalan mengenai hak asasi (2003: 25) menyebut hal tersebut dengan istilah manusia, dan dengan menggunakan metode “ insurance model of judicial review.”

pendekatan normatif yang merujuk kepada UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 39

Dari paparan tersebut di atas, dapat tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

dipahami bahwa keberadaan putusan Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan

pengadilan selain memang mengemban fungsi Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta

untuk menyelesaikan sengketa, ternyata juga metode pendekatan konseptual yang difokuskan

memiliki fungsi sebagai salah satu sarana

kepada konsep negara hukum.

untuk menegakkan (mewujudkan) secara nyata jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana

Hal yang belum dieksplorasi lebih jauh di tercantum dalam konstitusi. Sudah ada beberapa dalam kajian dari Jufri tersebut ialah pembahasan kajian yang dilakukan oleh penulis lain yang yang mendudukkan (meletakkan) putusan objek penelitiannya berupa Putusan Nomor pengadilan, dalam hal ini Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, dan berikut ini ialah 69/PID.B/2012/PN.SPG, sebagai salah satu paparan dua kajian tersebut secara singkat:

instrumen untuk menegakkan hak asasi manusia.

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

| 141

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

Pada poin itulah terdapat perbedaan antara kajian yang dilakukan oleh Jufri dengan kajian yang dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini.

II. METODE

Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Sehubungan dengan data sekunder tersebut, penulis kemudian merujuk pada beberapa jenis bahan hukum, terutama bahan hukum primer, yang berupa putusan pengadilan serta beberapa peraturan perundang-undangan, dan bahan sekunder, yang berupa kajian dari para sarjana yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku serta tulisan di jurnal. Untuk melengkapi pembahasan, penulis juga akan mengungkapkan informasi yang sebenarnya telah penulis dapatkan pada tahun 2013 melalui wawancara dengan narasumber yang relevan, yang saat diwawancarai sedang menjabat sebagai salah seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Informasi tersebut belum pernah penulis publikasikan, dan dalam tulisan ini, informasi itu akan penulis hubungkan dengan sebagian poin penjelasan pada bagian analisis.

Objek berupa Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG akan dianalisis secara kualitatif beberapa bagiannya, terutama bagian pertimbangan hukum dengan menghubungkannya pada beberapa peraturan perundang-undangan dan konsep atau pendapat sarjana yang relevan. Jika dicoba dimasukkan ke dalam kategori pembagian metode pendekatan dalam melakukan analisis, maka metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini ialah termasuk dalam kategori metode pendekatan peraturan perundang-undangan ( statute approach) dan pendekatan konseptual ( conceptual approach).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG

Perkara dalam Putusan Nomor 69/ PID.B/2012/PN.SPG terjadi di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Terdakwa dalam perkara ini ialah TM yang merupakan seorang tokoh agama (guru agama) dan bertempat tinggal di Dusun Nangkrenang. TM mempunyai banyak pengikut atau murid (santri) di lingkungan sekitar tempat ia menetap. Mayoritas penduduk di Dusun Nangkrenang dan sekitarnya merupakan orang-orang yang memeluk agama Islam (muslim). Namun, dari sudut mazhab, penduduk daerah tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pemeluk mazhab Sunni dan mazhab Syiah.

Terdakwa TM pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan pasti antara tahun 2003 sampai dengan 29 Desember 2011, atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2011, bertempat di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, dan di Desa Kampung Gedding Laok Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang atau pada tempat di mana Pengadilan Negeri Sampang berwenang memeriksa dan mengadili, didakwa telah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tindak pidana yang didakwakan kepada TM merupakan serangkaian perbuatan yang dapat Tindak pidana yang didakwakan kepada TM merupakan serangkaian perbuatan yang dapat

Perbuatan terdakwa TM tersebut sudah diajarkan oleh TM lambat laun mulai dicurigai

dianggap memenuhi unsur-unsur delik, sehingga oleh beberapa pihak sebagai ajaran yang

TM didakwa dengan ketentuan sebagaimana menyimpang dari agama Islam.

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a Penyampaian ajaran tersebut dilakukan TM Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). di sebuah rumah di Dusun Nangkrenang, Desa Atau, sebagai dakwaan alternatif yang kedua, TM Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten telah didakwa dengan melawan hak memaksa Sampang, yang digunakan untuk belajar mengaji orang lain untuk melakukan, tidak melakukan dan sekaligus sebagai tempat TM menyampaikan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan ajaran-ajarannya di hadapan para pengikut atau kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun santrinya. Selain itu, juga penyampaian ajaran- dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau ajaran TM dilakukan di Masjid Banyuarrum Desa dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan Sampang, pada saat ada perkumpulan dengan perbuatan yang tidak menyenangkan akan para pengikutnya yang biasanya diadakan setiap melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu malam Jumat dan malam Selasa, sedangkan untuk maupun terhadap orang lain. Perbuatan terdakwa kegiatan di luar pondok pesantren TM, biasanya TM tersebut ialah sebagaimana diatur dan pada acara khusus yang dilakukan tiga kali pada diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 setiap tahunnya pada bulan Syuro, Safar, dan KUHP. Dzulhijjah.

Penuntut umum menyusun dakwaan secara Masyarakat di sekitar tempat TM alternatif, yaitu dakwaan kesatu, terdakwa TM menyebarkan ajaran tersebut lalu menjadi resah, didakwa melanggar Pasal 156a KUHP, atau baik para ulama, para kiai, dan tokoh masyarakat, dalam dakwaan kedua, terdakwa TM didakwa sehingga terjadi pertentangan (konflik) antara melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sebagaimana ajaran yang disampaikan TM dengan ajaran lazimnya dalam praktik, terhadap dakwaan yang Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) yang pada bersifat alternatif, majelis hakim dalam perkara umumnya dianut oleh masyarakat Sampang. ini memiliki kebebasan untuk menentukan Para ulama, para kiai dan tokoh masyarakat dakwaan mana yang akan dipertimbangkan yang lalu menganggap bahwa TM telah melukai dipandang paling mendekati dengan fakta hukum perasaan umat Islam karena telah mengajarkan yang terungkap di persidangan. Pada intinya, ajaran yang menyimpang dari agama Islam, hal dalam pertimbangan hukumnya setelah melalui mana sebagaimana dicantumkan dalam Fatwa serangkaian pemeriksaan di muka persidangan, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa TM Nomor A-035/MUI/Spg/I/2012 tanggal 1 telah terbukti dengan sengaja di muka umum

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

kepada TM. Bahkan, pada pemeriksaan tingkat banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi

Berdasarkan pertimbangan hukum yang Surabaya dalam perkara ini menjadikan pidana

telah dirumuskan, maka kemudian pada amar penjara yang dijatuhkan kepada TM menjadi

putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan

empat tahun penjara.

sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa TM alias H. AM

B. Analisis

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah Dari hal-hal yang sudah dipaparkan di

melakukan tindak pidana “melakukan atas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk

perbuatan yang pada pokoknya bersifat dicermati lebih lanjut. Untuk mempermudah

penodaan terhadap agama Islam.” pembahasan, maka analisis akan disajikan, namun

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dibatasi dan diarahkan, kepada hal-hal berikut:

dengan pidana penjara selama dua tahun. Pertama, objek yang dikaji ialah hanya

3. Menetapkan masa penahanan yang telah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Putusan dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya pada tingkat banding dan kasasi dalam perkara dari pidana yang dijatuhkan.

ini tidak akan dibahas secara detil mengingat substansi amar putusan dari kedua putusan

4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada tersebut cenderung sama dengan substansi

dalam tahanan. Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sebagai

5. Memerintahkan agar barang-barang bukti pengadilan tingkat pertama. Sekilas terkesan dalam perkara ini tetap terlampir dalam bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG berkas perkara.

secara prosedural telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi penyelesaian suatu perkara

6. Membebankan biaya perkara kepada pidana melalui mekanisme pemeriksaan di

terdakwa. pengadilan (di muka persidangan). Semua syarat

Perkara yang diperiksa di Pengadilan yang harus dimuat di dalam putusan pengadilan Negeri Sampang yang telah diputus dengan (syarat formal), sebagaimana diatur dalam Pasal Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG itu lalu 197 jo. Pasal 199 KUHAP sudah dipenuhi. dimintakan upaya hukum lanjutannya, yaitu upaya Sebagai bagian dari proses memeriksa dan hukum banding di Pengadilan Tinggi Surabaya, mengadili perkara di pengadilan, pengambilan dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya suatu putusan pengadilan terlebih dulu harus

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

a. Kitab suci Al Quran yang berada di pemeriksaan barang bukti. Dalam perkara ini,

tangan kaum muslimin saat ini tidak majelis hakim telah melakukan pemeriksaan di

otentik (istilahnya aqidah tahrif Al Quran), yang otentik sedang dibawa

muka persidangan, dan sudah juga didukung oleh oleh Imam al-Mahdi al-Muntadhor beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana diatur

yang sekarang ini ghaib; dalam Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP.

b. Dua kalimat syahadat yang ditambah dengan: “ wa asyhadu anna aliyyan

Dalam pemeriksaan, ada beberapa poin waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan dakwaan yang memang terbukti, namun ada pula

hujjatullah”;

yang tidak terbukti dengan mengingat keberadaan

c. Wajib mengkafirkan sahabat-sahabat beberapa alat bukti yang dihadirkan di muka

dan para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW;

persidangan. Poin-poin dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis hakim, antara lain, tertuju

d. Wajib berbohong atau ber- taqiyah terhadap kaum muslimin Ahli Sunnah

kepada persoalan ajaran dari TM mengenai:

Waljama’ah;

1. Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/

e. Rukun Iman ada lima, yaitu: ma’rifatullah, annubuwwah (kenabian), al-

tawhidullah/ma’rifatullah, an- nubuwwah (kenabian), al-imamah

imamah (ke-imamah-an), al-‘adl (keadilan (ke- imamah-an), al-‘adli (keadilan Tuhan), al-ma’aad (hari pembalasan);

Tuhan), dan al-ma’aad (hari pembalasan);

2. Rukun Islam ada delapan, yaitu: shalat,

f. Rukun Islam ada delapan yaitu: puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf sholat, shoum (puasa), zakat, khumus,

nahi mungkar, jihad, dan al-wilayah. haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan al-wilayah;

Mengenai dianggap terbuktinya poin

g. Al-fidha;

dakwaan itu agak sulit untuk ditemukan penjelasan (analisis) dari majelis hakim yang

h. Ar-roji’ah; …

mendalam terhadap hal itu di dalam Putusan Menimbang, bahwa mengenai dakwaan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kedua poin

bahwa terdakwa telah menyampaikan ajaran: “dua kalimat syahadat yang

dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis ditambah dengan “ waasyhaduanna aliyyan hakim tersebut, jika dibaca dari isi Putusan

waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, merupakan

hujjatullah,” wajib mengkafirkan sahabat- sahabat dan para mertua serta beberapa istri

dua poin dakwaan dari rangkaian delapan poin Nabi Muhammad SAW, al-fidha, dan ar- dakwaan yang menyasar ajaran yang dianggap

roji’ah,” majelis hakim memandang tidak cukup bukti, mengingat hal tersebut hanya

diyakini dan diajarkan oleh TM. Mengenai didasarkan pada keterangan saksi RA dan

dakwaan terhadap ajaran TM itu, lengkapnya saksi tersebut tidak disumpah, sehingga ialah berbunyi sebagai berikut (Putusan Nomor

tidak memenuhi ketentuan minimum dua alat bukti yang sah; …” (huruf italic dan

69/Pid.B/2012/PN.Spg: 89-90):

bold dari penulis).

“Menimbang, bahwa dalam surat dakwaannya penuntut umum mendakwa

Jika diamati seluruh isi Putusan Nomor terdakwa telah menyampaikan ajaran yang 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

Kedua, saat majelis hakim membahas sekaligus di sisi lain, “menolak” dakwaan dari

beberapa fakta hukum yang penting untuk dapat jaksa penuntut umum dengan mempertimbangkan

membuktikan bahwa TM memang benar telah keberadaan alat-alat bukti yang dihadirkan di

“melakukan perbuatan yang pada pokoknya persidangan.

bersifat penodaan terhadap agama Islam” terkesan Argumentasi seperti itu tentunya dapat masih terdapat kelemahan pada argumentasi yang dipahami mengingat majelis hakim sedang dibangun oleh majelis hakim. Dalam salah satu menghadapi perkara yang cukup kompleks, bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim baik dari perspektif pengetahuan bidang agama, merumuskan bahwa:

sosial, maupun dari perspektif yuridis. Bahkan “Menimbang, bahwa mengenai ajaran sebagaimana kajian dari Jufri, ia menduga

tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, bahwa dalam rangkaian proses persidangan

majelis sependapat dengan penasihat hukum terdakwa yang mendasarkan pada

perkara ini ada beberapa bentuk upaya untuk keterangan ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir, memengaruhi secara sistematis jalannya proses

M.A., Dr. Umar Shahab, M.A., dan Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., serta barang bukti

persidangan. Jufri (2016: 108) menyebut bentuk- dan surat bukti buku Risalah Ammandan bentuk upaya seperti itu dengan istilah upaya

buku Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! “hegemoni mayoritas.” Dapat diamati pula

Mungkinkah (penulis M. Quraish Shihab) yang pada pokoknya menyatakan bahwa

melalui isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ rumusan lima Rukun Iman dan delapan

PN.SPG ialah masih belum maksimalnya majelis Rukun Islam secara subtansi ada kesamaan hakim mengeksplorasi lebih dalam informasi

dengan rumusan enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam yang secara umum

dari beberapa alat bukti yang dihadirkan dalam dikenal oleh umat Islam Indonesia, persidangan, misalnya yang bersumber dari

perbedaan jumlah tersebut lebih pada pendapat dari para ahli bidang agama dan literatur

perbedaan pandangan dan tafsir atas Al Quran dan Hadis Nabi;

(bahan hukum sekunder), seperti Risalah Amman dan buku “

Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Menimbang, bahwa mengenai perbuatan Mungkinkah,” yang juga menjadi barang-barang terdakwa menyampaikan atau mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak bukti.

asli (tidak orisinil), majelis memandang bahwa perbuatan terdakwa tersebut

Hal yang baru saja dipaparkan di atas telah jelas merendahkan, mengotori dan merusak keagungan Al Quran, mengingat

tampak sejalan dengan pendapat dari Bredemeier, sebagaimana menjadi pengetahuan umum,

yang dikutip dalam kajian Susanto, di mana bahwa Al Quran merupakan kitab suci bagi ia menyayangkan banyaknya hasil penelitian

umat Islam yang terjaga kemurniannya karena sudah dijamin pemeliharaan

yang telah dihasilkan oleh para ahli namun (kemurniannya) oleh Allah SWT, hasil penelitian tersebut “tetap saja tersimpan

sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan tertinggal rapat-rapat dalam tembok kamar

Surat Al-Hijr [15] ayat 9;…” fakultas-fakultas hukum dan di dalam majalah

Kutipan pertimbangan hukum tersebut hukum…” (Susanto, 2005: 148), atau dengan merupakan salah satu bagian di mana majelis

kata lain, bahan-bahan itu tidak dijadikan sebagai

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

Kelemahan selanjutnya yang dapat terjadi (terdapat) banyak mazhab (aliran) yang

dicermati pada pertimbangan hukum yang telah cenderung disalahpahami eksistensinya.

dikutip tersebut di atas ialah berkaitan dengan Sehubungan dengan fakta keberagaman dakwaan bahwa TM sudah menyampaikan atau mazhab dalam umat Islam tersebut, maka mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam tidak asli (tidak orisinil). Terkait dengan hal memahami konsep penodaan dapat berakibat tersebut, majelis hakim kembali tidak melakukan dengan mudahnya mazhab tertentu dianggap elaborasi mengenai poin dakwaan itu, dan negatif (sesat). Penulis mendapat kesan bahwa langsung melompat pada simpulan bahwa TM majelis hakim dalam perkara ini telah pula telah jelas-jelas merendahkan, mengotori, dan melakukan simplifikasi atas konsep penodaan, merusak keagungan Al Quran. bahkan dengan “menyamakan” makna antara

Dasar argumentasi dari majelis hakim konsep penodaan (agama) dan konsep perbedaan

mengenai poin tersebut hanya bersandarkan (mazhab).

pada keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Simplifikasi dengan “menyamakan” makna penuntut umum dan beberapa barang bukti

antara konsep penodaan (agama) dan konsep berupa surat-surat. Lantas, bagaimanakah Al perbedaan (mazhab) tentunya dapat berakibat pada Quran “versi asli” sesuai keyakinannya TM? menafikan fakta adanya perbedaan dalam tubuh Mengenai hal itu, baik majelis hakim maupun umat Islam, bahkan cenderung dapat mengecap penuntut umum, tidak dapat menghadirkannya di salah (sesat) mazhab tertentu. Putusan Nomor muka persidangan. Sehubungan dengan problem 69/PID.B/2012/PN.SPG memperlihatkan hal “keaslian” Al Quran tersebut, yang biasanya yang demikian, di mana pada akhirnya TM yang dilekatkan kepada mereka yang bermazhab bermazhab Syiah dinyatakan telah melakukan Syiah, kiranya menarik untuk dicermati pula penodaan terhadap agama Islam. Jika majelis penjelasan yang penulis peroleh dari wawancara

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

TM, yang mana dakwaannya mengarah kepada tindak pidana penodaan agama sebagaimana

Upaya pihak terdakwa TM untuk diatur dalam Pasal 156a KUHP, dan juga tindak

menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1)

berupa Al Quran dalam menyangkal dakwaan

KUHP.

telah merendahkan, mengotori dan merusak keagungan Al Quran pun tidak dapat diterima oleh

Dari paparan tersebut, dapat dipahami majelis hakim. Al Quran yang diajukan sebagai pula, bahwa perkara pada Putusan Nomor barang bukti oleh TM dianggap oleh majelis 69/PID.B/2012/PN.SPG, mau tidak mau, hakim sebagai “tidak serta-merta dapat menjadi bersinggungan dengan problem hubungan bukti,” sedangkan saksi-saksi yang diajukan antarmazhab yang ada di dalam tubuh umat oleh TM juga dianggap tidak dapat dipercaya Islam, yaitu mazhab Sunni yang pemeluknya keterangannya, karena majelis hakim langsung mayoritas dan Syiah yang pemeluknya minoritas, mengaitkan mereka dengan ajaran taqiyah.

khususnya dalam konteks tempat terjadinya perkara di Sampang.

Ketiga, potensi dampak dikeluarkannya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

Alur pikiran yang terbaca pada beberapa terhadap persoalan penegakan hak asasi bagian dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ manusia, khususnya hak asasi manusia untuk PN.SPG ialah bahwa majelis hakim pun beragama dan berkeyakinan di Indonesia. menggunakan “perspektif mayoritas minoritas” Substansi perkara dalam Putusan Nomor 69/ saat mengadili perkara ini. Hal tersebut dapat PID.B/2012/PN.SPG sangat berhubungan terbaca setidaknya pada rumusan yang ada di dengan persoalan kemerdekaan untuk memeluk dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG agama dan keyakinan, sebagaimana telah diatur yang menyatakan (huruf italic dan bold dari dalam Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal penulis):

29 UUD NRI 1945. Di satu sisi, terdakwa TM “Bahwa akibat perbuatan terdakwa yang merupakan pemeluk mazhab Syiah, karena

menyampaikan ajaran yang berbeda dengan ajaran yang ia pahami dan ia ajarkan kepada para

ajaran umat Islam pada umumnya, telah menimbulkan keresahan dan pertentangan

pengikut dan santrinya, menjadikan ia diadili dan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/ dijatuhi putusan pidana karena dianggap terbukti

Pid.B/2012/PN.Spg: 84).

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa dijatuhkan oleh majelis hakim justru malah mengajarkan ajaran yang berbeda dengan terkesan “menjauh” dari menyelesaikan ajaran umat Islam pada umumnya (khususnya masyarakat sekitar Omben persoalan hubungan antara Sunni dan Syiah di dan Karang Penang), telah menimbulkan Indonesia (Herawati, 2014: 37). Bahkan, bisa keresahan dan pertentangan di masyarakat,

jadi, melalui putusan ini potensi yang sebenarnya …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/

PN.Spg: 88). ada pada pengadilan, melalui putusannya, untuk menjadi salah satu instrumen penegakan hak

“Menimbang, bahwa demikian halnya berdasarkan fakta hukum yang telah asasi manusia, khususnya hak untuk secara diuraikan di atas, majelis hakim memandang bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan bahwa terdakwa sebagai seorang guru

keyakinan, menjadi terhambat perwujudannya. atau kiai patut kiranya mengetahui bahwa

perbuatan yang dilakukannya, yaitu mendakwahkan atau menyampaikan ajaran

Kecenderungan terhambatnya potensi yang berbeda dengan ajaran masyarakat lembaga pengadilan, melalui putusannya, untuk

pada umumnya akan menimbulkan ikut menegakkan hak asasi manusia untuk secara

gangguan ketertiban umum atau

mengganggu kedamaian umat beragama bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama (dalam hal ini umat Islam), …” (Putusan dan keyakinan, antara lain, dapat dilihat dari Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 88).

penggunaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ “Menimbang, bahwa berdasarkan PN.SPG sebagai dasar untuk memberikan

kesesuaian antara keterangan saksi-saksi stigma negatif kepada mazhab Syiah beserta dan bukti-bukti surat di atas, majelis hakim

memperoleh petunjuk bahwa terdakwa telah para pemeluknya di dalam beberapa media yang menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dipublikasikan secara umum. dengan ajaran Islam pada umumnya; …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg:

Kajian dari Afdillah (2016: 70) menjelaskan 91). bahwa gerakan-gerakan “anti-ajaran Tajul”

Penggunaan frase “pada umumnya” secara bahkan semakin menguat setelah adanya Putusan implisit menjelaskan bahwa secara faktual, Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kemudian, memang ada kelompok mayoritas yang dalam putusan tersebut juga pada faktanya membawa perkara ini kepentingannya merasa diganggu dampak negatif lanjutan terhadap upaya oleh TM dengan segala ajarannya (yang berada penegakan hukum hak asasi manusia, antara dalam posisi minoritas). Jadi, dalam perkara ini, lain, yaitu dalam bentuk: pertama, penggunaan tampak ada hubungan ketegangan yang terjadi persoalan hukum (perkara pidana) yang dihadapi antara kelompok Sunni mayoritas dan Syiah yang TM sebagai “barang dagangan politik” untuk minoritas. Memang karena beberapa alasan, mencari dukungan massa saat proses pemilihan hubungan antara kelompok Sunni mayoritas umum kepala daerah berlangsung (Afdillah, dan Syiah yang minoritas merupakan hubungan 2016: 77). yang kompleks, yang telah pula menghasilkan

Hal itu jelas mencerminkan adanya upaya beragam pendekatan untuk merespons atau

untuk kembali menempatkan supremasi hukum “menyelesaikannya.”

di posisi bawah (subordinat) dari politik. Kedua, Perkara pada Putusan Nomor 69/ Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG pada

PID.B/2012/PN.SPG ini, putusan yang akhirnya digunakan pula sebagai “justifikasi”

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

2) No one shall be subject to coercion which para pemeluk Syiah di tempat kejadian perkara,

would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.

yang konkretnya berupa merelokasi mereka secara paksa dari kampung halaman mereka

3) Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as sendiri (Afdillah, 2016: 91). Hal ini tentunya

are prescribed by law and are necessary sekaligus mencabut secara paksa akar sosial dan

to protect public safety, order, health, or sumber ekonomi mereka yang sudah bertahun-

morals or the fundamental rights and freedoms of others.

tahun dibina di kampung halamannya. Substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik

4) The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty juga untuk dicermati dengan menghubungkannya

of parents and, when applicable, legal dengan konsep forum internum dan forum

guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity

externum yang dikenal dalam lingkup pembahasan with their own convictions. hukum hak asasi manusia.

Begitu juga pada level nasional, hak Secara prinsip, sudah jelas tidak boleh ada

beragama dan berkeyakinan sudah dijamin dan perlakuan yang berbeda yang merugikan bagi

diatur dalam beberapa peraturan perundang- para pemeluk agama dan keyakinan, baik bagi

undangan, antara lain, UUD NRI 1945, Undang- mereka yang mayoritas ataupun minoritas. Pada

Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, level hukum internasional, sudah ada beberapa

dan bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun pengaturan mengenai hak asasi manusia untuk 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

beragama dan berkeyakinan. Pada Article 18 dari Universal Declaration of Human Rights 1948,

Dalam konteks hukum hak asasi manusia, ditegaskan bahwa:

hak beragama dan berkeyakinan termasuk ke dalam kelompok non-derogable rights, yang

“ Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right berarti merupakan hak yang bersifat mutlak includes freedom to change his religion (absolut), dan oleh karenanya, tidak dapat or belief, and freedom, either alone or

in community with others and in public ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau or private, to manifest his religion or kondisi apapun. Dengan demikian, segala jenis

belief in teaching, practice, worship and tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya observance.”

hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk Selanjutnya, ada pula International bebas beragama dapat digolongkan sebagai Covenant on Civil and Political Rights 1966 pelanggaran hak asasi manusia (Tim Peneliti yang pada Article 18-nya menegaskan bahwa:

Setara Institute, 2011: 16-17).

1) Everyone shall have the right to freedom Terkait dengan konsep non-derogable of thought, conscience and religion. This rights, dalam perkembangannya, lalu dibentuk

right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, pedoman untuk mengatur hak-hak tersebut

and freedom, either individually or in dengan pertimbangan adanya kepentingan umum. community with others and in public or Secara garis besar, pedoman itu mengandung dua private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and macam lingkup, yaitu forum internum dan forum teaching.

externum.

150 |

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya)

Forum internum (kebebasan internal) adalah kebebasan di mana tidak ada satu pihakpun yang dibolehkan campur tangan (intervensi) terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan kebebasan ini. Yang termasuk dalam rumpun kebebasan internal ialah: hak untuk bebas menganut serta berpindah agama, dan hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17).

Forum externum (kebebasan eksternal) adalah kebebasan, yang dalam situasi khusus, negara diperbolehkan membatasi atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, tapi dengan prasyarat yang ketat dan legitimate berdasarkan prinsip siracusa. Prinsip siracusa menekankan bahwa hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan hanya dapat diberlakukan pada situasi atau kondisi tertentu yang dianggap dapat membahayakan kepentingan umum (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 16). Contoh kebebasan eksternal ialah: kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka, kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah, kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama, kebebasan untuk merayakan hari besar agama, kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama, hak untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran agama, hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan serta mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan, dan hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17-18).

Mencari “titik keseimbangan” di antara forum internum dan forum externum memang

bukanlah urusan yang mudah. Jika dicermati perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/

PN.SPG tersirat bahwa majelis hakim pada akhirnya lebih menekankan kepada pemenuhan (melindungi) forum externum daripada forum internum. Hal itu setidaknya dapat dilihat (tercermin) dari pencantuman frase “menimbulkan gangguan ketertiban umum” di dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya. Tapi, yang patut dikritisi ialah, bahwa sayangnya majelis hakim dalam perkara ini menyandarkan pilihannya yang cenderung untuk melindungi forum externum hanya pada ketentuan Pasal 156a KUHP.

Pasal 156a KUHP tersebut merupakan pasal yang disisipkan melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang oleh beberapa sarjana dianggap cenderung dapat memperlemah upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak untuk beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas. Maria Farida Indrati bahkan pernah mengajukan dissenting opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menyatakan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 seharusnya inkonstitusional, karena dengan tegas mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan akan memaksa individu-individu meninggalkan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas, yang berarti melawan keinginan mereka sendiri (HRW, 2013: 31).

Sehubungan paparan tersebut di atas, dalam kajian yang dilakukan oleh Yonesta et.al., diungkapkan pula fakta-fakta bahwa dalam beberapa peristiwa yang berujung pada penegakan hukum terhadap Pasal 156a KUHP, dalam peristiwa itu selalu didahului (disertai) dengan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti melalui pengerahan massa, terhadap aparat penegak hukum (Yonesta et.al., 2012: 23). Hal mana bisa mengindikasikan bahwa Pasal

156a KUHP merupakan ketentuan yang dapat seperti itulah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/ dengan mudah dijadikan sebagai “alat” untuk PN.SPG ini ditempatkan. membungkam hak-hak kelompok agama dan

Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG keyakinan minoritas di Indonesia.