Happy Idul Fitri 1422 H Selamat Natal 2001 Merry Christmas 2001 Selamat Tahun Baru Imlek 2553 Happy Imlek 2553

Edi si Januar i 20 0 2

E d i t o r i a l

  Baru saja kita melewati hari-hari yang bersejarah bagi umat beragama, khususnya bagi mereka yang beragama Kristen dan Islam.

  Newsletter interfidei

Penanggungjawab

Pemimpin Program

Pemimpin Redaksi

Redaksi

  F o r t h e M o s l e m s , u n de r g o i n g f as t i n g an d celebrating Idul Fitri Day are the most impressiv e spirit ual experience. Friends will ask each other: have you undergone the fasting month to the fullest? How happy one would be had he undergone his fasting as a form of preaching well, and been able to celebrate Idul Fitri holiday together with his friends, families, neighbors, and the society around him.

Desain/Layout

Keuangan

Sekretaris

Distributor

  Demikian halnya dengan saudara-saudara yang beragama Kristen. Hari Raya Natal, adalah p eng alam an sp iritu al y ang memberikan makna tersendiri dalam kehidupan. Natal, yang bukan saja sekedar memperingati k e l a h i r a n Y ESU S, t e t a p i

  B a g i u m a t I s l a m , menjalani ibadah PUASA serta merayakan hari raya Idul Fitri merupakan pengalaman spiritual yang sangat mengesankan. Di antara sesama teman sering saling bertanya, apakah ibadah PUASA d ap at d ijalani d eng an baik, penuh? Betapa senangnya ketika m ereka d ap at m enjalankan ibadah PUASA dengan baik, dan bisa merayakan hari Raya Idul Fitri b ersam a- sam a d eng an teman, keluarga, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya.

Institut DIAN/Interfidei

  For the Christians as well: Christmas is a spiritual experience that gives certain meaning to the life of the Christians. It does not only celebrate the birth of Jesus, but it i s a l s o a m o m e n t o f “ contemplation” , “ reflection” of

  Fokus / Focus

  Natal: Pengenangan, Perayaan dan Penghadiran Kembali Tindakan Kasih Allah Dalam Diri Yesus Kristus / Christmas: The Memorizing, Celebrating, and Re-presenting of the Affectionate Action of God in Jesus

  Th. Sumartana

  Christ

  Idul Fitri: Momen Otokritik dan Rekonsiliasi / Idul Fitri: The Moment of Self-Criticism and Reconciliation

  Opi ni / O pinion

  Catatan Perjalanan Ke Poso / A Journal from The Journey to Poso

  Pr of i l / Profiles

  Sejarah Khong Hu Cu di Indonesia / The History of Confucianism in Indonesia Komunitas Pluralis Medan / Medan Pluralistic Community

  Elga Sarapung

  E-mail: profide@yogya.wasantara.net.id

  Noegroho Agoeng

  Wiwin St. Aminah, Samuel A. Bless Zuli Qodir, Haryandi

  Ryo Emanuel

  Eko Putro

  Wiwin Siti Aminah

  Wayan Suweta, Sarnuji Newsletter ini diterbitkan oleh:

  Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149,

  W e have just passed momentous days for religious people, especially for Christians and M oslems.

  Editorial interfidei new sletter

  merupakan momen “ perenungan” , “ refleksi” , apa makna kehadiran YESUS yang diperingati atau dirayakan itu, dalam kehidupan konkrit sehari-hari.

  Ya, tentunya, baik PUA SA , Idul Fitri maupun Natal bila dihayati secara benar, bukanlah sekedar peristiwa sejarah, atau tradisi agama yang dengan begitu saja harus dirayakan, dijalankan sesuai dengan penanggalan. Melainkan merupakan pengalaman spiritual yang selamanya memberi kesempatan kepada setiap umat beragama untuk melakukan refleksi, perenungan, autokritik, apa makna konstruktif dan visioner dari PUASA, Idul Fitri serta Natal bagi kehidupan konkrit sehari-hari? Edisi kali ini, memuat beberapa tulisan. Untuk FOKUS, para pembaca diajak mengikuti tulisan dari Romo Noegroho Agoeng tentang Natal, dan tulisan Mbak Wiwin St. Aminah tentang Idul Fitri. Sebagai bahan perenungan dan refleksi makna Idul Fitri dan Natal bagi kita semua, kami memuat catatan Perjalanan teman-teman, team investigasi dari Jogja ke Poso dan Tentena dalam OPINI. Dua w ilayah yang sangat memprihatinkan, karena kekerasan yang berkecamuk, dan memberi korban serta kehancuran, justru menjelang waktu-waktu dilaksanakannya ibadah PUASA, Idul Fitri serta Natal. PROFIL kali ini, kami ingin share kepada para pembaca untuk mengenal sebuah Komunitas antar- iman yang ada di Medan, namanya Komunitas

  Pluralis M edan

  . Selain itu, kami juga menshare pengalaman sejarah umat Kho ng Hu Cu di Ind o ne sia. Se hu b u ng an d e ng an itu kam i mengucapkan SELAMAT Hari Raya Imlek 2553 bagi seluruh umat Khong Hu Cu yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2002.

  Kiranya edisi kali ini memberi inspirasi baru kepada para pembaca untuk melanjutkan tugas dan tanggungjawab di tahun yang baru, 2002. Perjalanan kita masih panjang, tanggungjawab kita masih banyak. Marilah, kebersamaan kita jangan luntur! Selamat Idul Fitri, dan Selamat Natal! what the meaning of the birth of Jesus that is celebrated in the real daily life is.

  Yes, of course fasting, Idul Fitri, or Christmas if comprehended appropriately are not merely historical occasions, or religious traditions that have to be celebrated just like that, or undergone according to the calendar. Instead, they are spiritual experiences that will forever give the opportunity for every religious community to do reflection, contemplation, and self-criticism of what the constructive and visionary meanings of fasting, Idul Fitri, and Christmas for real daily life.

  This edition of Newsletter presents to you a number of writings. Through FOCUS section, the readers will be asked to follow the writings of Romo Noegroho Agoeng on Christmas, and M s.W iwin St. Aminah on Idul Fitri. As material for contemplation and reflection, of the meaning of Idul Fitri and Christmas for us all, we present the journal of our friends from the investigation team from Jogja to Poso and Tentena in the OPINION section. These are the two very apprehensive areas, for the riots and violence that took place exactly before fasting month, Idul Fitri, and Christmas. In our PROFILE section, we would like to share with you about an inter-faith community in M edan, called the M edan Pluralistic Community . Apart from that, we would also like to share with the readers about the experience of Confucians in Indonesia. W e would also like to wish all Confucians a Happy Imlek (Chinese New Year) 2553, on February 12 2002.

  Hopefully this edition would give the readers a new inspiration to continue the duties and responsibilities in this new year, 2002. Our journey is still long before us, our responsibilities are getting heavier. Let's keep our togetherness!

Happy Idul Fitri, and M erry Christmas!

  Sel amat I dul Fit r i 1422 H / Happy I dul Fit r i 1422 H Sel amat Nat al 2001 / Mer r y Chr ist mas 2001

Sel amat Tahun Bar u I ml ek 2553 / Happy I ml ek 2553

  Fokus interfidei new sletter

Natal: Pengenangan, Perayaan dan Penghadiran Kembali Tindakan Kasih Allah Dalam Diri Yesus Kristus

  Merayakan Natal berarti kita mengenangkan

  kembali tindakan Allah dalam diri Yesus Kristus . Yesus

  Kristus yang meskipun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraanNya dengan A llah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba (Flp 2:5-6). Kristus merelakan nilai dirinya yang begitu tinggi dan mengambil bagian yang begitu rendah dalam kehidupan manusia, yaitu h a m b a m i s k i n , s e o r a n g a n a w i m , y a n g mengandalkan Allah dalam hidupnya.

  Kiranya peristiwa ini bisa menjadi bahan permenungan untuk mensikapi kehidupan kita secara mendalam. Dalam jaman kita sekarang ini banyak manusia hanya menggembalakan dirinya sendiri, banyak menuntut supaya kepentingannya terpenuhi, tanpa peduli dengan kepentingan mereka yang ada di sekitarnya. Manusia cenderung mau merengkuh harkat diri yang tinggi, bahkan jauh melebihi kodratinya. Mereka men-Tuhankan dirinya dengan segala bentuk aplikasinya, entah benda, waktu, uang, jabatan dan kuasa. Bahkan tidak jarang manusia meng atasnamakan p erintah Tuhan melakukan suatu tindakan yang merusak relasi antar manusia atau pun dengan Tuhan sendiri. Maka kiranya hari Natal, hari kelahiran Yesus Kristus, bisa menggugah jiwa kita untuk membangun kembali dunia ini menjadi suatu dunia yang indah, aman dan nyaman untuk dihuni umat manusia.

  Merayakan natal juga berarti merayakan

  tindakan Allah yang mau menyapa, berdialog dengan manusia dalam kemanusiaannya

  . Maka Sang Firman mengambil rupa manusia. Dalam rupa manusia inilah Dia berperan sungguh-sungguh sebagai manusia. Ia lahir dari seorang perempuan, besar dalam suatu keluarga dan masyarakat. Sebagai manusia, hatiNya selalu tergerak saat melihat orang lain menderita. Ia mempunyai rasa belas kasih, iba, mencintai, sedih sebagaimana dimiliki manusia. Maka bisa dikatakan Yesus sungguh-sungguh profesional dalam menjalankan perutusannya ini.

  Pertany aan reflektif y ang b isa kita kemukakan disini adalah, apakah kita sungguh- sungguh sudah menjadi pribadi-pribadi yang menyadari tugas perutusan kita. Apakah kita lebih mementingkan mencari jatah kuasa atas yang lain atau memperhatikan kebutuhan sesama dengan seksama? Apakah kita telah membantu orang-orang

  Christmas : The Memorizing, Celebrating, and Re- presenting of the Affectionate Action of God in Jesus Christ

  Celebrating Christmas means that we are memorizing the actions of God in the form of Jesus Christ. Jesus Christ who is in the image of God, does not think that His equal position with God is a possession to be maintained. Instead, He has emptied Himself and taken the image of a servant. (Flp 2:5-6). Christ lets go of His very high value and takes such low part in the life of human, i.e. a poor servant, an anawim, who depends on God in His life.

  M ay this ev ent be a material of contemplation to give respond to our lives profoundly. In this era, there are many men who only serve themselves, demand too much to get what they want, without regards to the needs of those around them. M en tend to want a high dignity, even higher than their destiny. They make themselves gods in all forms of applications: through goods, time, money, position, or power. Even, men often do damaging actions toward their relations with others or even with God Himself in behalf of God's commands. Hence, hopefully the Christmas day, the day when Jesus was born, could kindle our souls to rebuild this world to be a beautiful, safe, and comfortable world for human kind to live in.

  Celebrating Christmas also means celebrating the action of God,i.e. willing to greet, to have a dialogue with human kind in his humanity. So, the W ords take form in a human. It is in this form of human that He really plays the role as a human. He is born of one virgin, brought up in one family and society. As a human, His heart is always moved when He sees someone suffered. He has the feeling of affection, compassion, love, as well as sadness as humans do. So, it really could be said that Jesus is a real professional in performing His role in the mission.

  One reflective question that we could ask here is whether we really have been the individuals who realize our missions. Do we put as priority the seeking of power over others or do we really care about the needs of others? Have we helped the people around us to be human, or do we hinder, or

  interfidei new sletter

  di sekitar kita menjadi pribadi-pribadi yang sungguh manusiawi. Atau kita malah menghambat atau bahkan 'membunuh' perkembangan mereka. Kalau kita lanjutkan, akan muncul sederetan pertanyaan. Kunci pokoknya adalah kalau kita merayakan tindakan Allah yang mau menyapa manusia dalam kemanusiaannya, apakah kita juga bergembira dan merayakan kemanusiaan kita karena mampu menyapa dan berdialog dengan sesama manusia sebagai manusia?

  Merayakan natal juga berarti menghadirkan

  kembali cinta Allah

  pada manusia. Dalam diri Yesus, Allah yang mencintai manusia mau merengkuh kembali manusia dalam pelukan kasihNya. Allah tidak ingin membiarkan umatNya terpisah-pisah dan tercerai berai. Maka perayaan natal selalu mengajak kita untuk menghadirkan cinta Allah dalam suatu gerakan kasih yang resiprok, timbal balik di antara banyak pribadi demi terwujudnya kesatuan umat manusia sebagai citra Allah.

  Semoga di perayaan natal yang lalu kita diinspirasikan oleh makna pengosongan diri Yesus. Kiranya cinta kasih Yesus mampu diwujudkan di dalam dan melalui diri kita masing-masing, bagi kepentingan orang banyak. (nasp) even 'kill' their development? If we kept on going, series of questions would pop up. The main key is that if we are celebrating the act of God that is willing to greet human beings in their humble humanity, will we also rejoice and celebrate our humanity for we are able to greet and have a dialogue with our fellow humans as human beings?

  Celebrating Christmas also means re- presenting the love of God to human being. In the form of Jesus, God who loves human will pull at human in His loving embrace. He does not wish His people to be separated and divided one from the other. Therefore Christmas celebration always asks us to present the love of God in one reciprocal love movement, one mutual relations among a number of individuals for the sake of the unity of human being as the image of God.

  H opefully in t he last C hrist mas celebration, we were inspired by the meaning of the self-emptying of Jesus. M ay the love of Jesus be transformed in and through each of us for the need of many people. (nasp)

  Setelah berpuasa selama sebulan penuh, kaum muslimin di manapun mereka berada menyambut dengan suka cita Hari Raya 'Idul Fitri'. Mereka merayakan Hari Raya Kecil ('Id al-Shagir) ini dengan beragam ekspresi dan tradisi. Tradisi terp enting yang melekat d alam mo men ini diantaranya tradisi silaturrahmi baik antar keluarga, kerabat, tetangga, bahkan “ silaturrahmi nasional” . Sehingga satu sama lain bisa saling memaafkan atas semua kesalahan yang dilakukan, paling tidak selama kurang lebih setahun.

  Dalam konteks ini, silaturrahmi sejatinya dimaknai secara lebih luas. Artinya memaafkan tidak hanya dalam konteks personal kemudian selesai begitu saja. Namun dalam situasi konfliktual seperti yang sedang dialami oleh bangsa kita ini, bagaimana momen ini juga dijadikan ajang saling memaafkan secara sosial, untuk kemudian menjadi

  After fasting for one full month, the M oslems wherever they are, welcomed with joy the 'Idul Fitri' holiday. They celebrate this Small Holiday ('Id al-Shagir) with various expressions and traditions. The most important tradition that goes along with this moment among others is the tradition of silaturrahmi (friendship/relative bonds) whether it is among families, relatives, neighbors, even “ national silaturrahmi” . W ith this tradition, we could forgive one another over the mistakes we have done, at least for more and less one year.

  In this context, real silaturrahmi has a wider meaning. It means to forgive not only in the personal context, and then it's all over. Instead, in the conflictive situation that our nation is experiencing, the important thing is how to make this moment as the arena to forgive each other

  Fokus

IDUL FITRI: MOMEN OTOKRITIK DAN REKONSILIASI

Idul Fitri: The Moment of Self-Criticism and Reconciliation

  interfidei new sletter entry point bagi sebuah proses rekonsiliasi.

  Idul Fitri yang baru saja kita rayakan bersama mestinya menjadi ajang untuk melakukan refleksi kritis terhadap diri kita sendiri (otokritik), sudahkah kita mampu menghargai dan tidak egois terhadap sesama umat beragama? Bagaimana kita mampu mengungkapkan penghargaan itu, paling tidak dalam bentuk ucapan selamat? Apalagi tahun ini antara hari raya Idul Fitri dan hari Natal saling berdekatan. Mengekspresikan ucapan selamat itu, pada dasarnya merupakan hak asasi setiap manusia, sehingga tidak pada tempatnya dilarang, apalagi oleh sebuah institusi negara.

  Idul Fitri niscaya merupakan hari di mana secara individual dan sosial manusia kembali ke k e s u c i a n l a h i r d a n b a ti n n y a , k e s u c i a n kemanusiaannya. Hari di mana manusia seperti bayi yang baru lahir, yang belum terkotori dengan segala penyakit sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, penyakit yang sekarang sedang melanda bangsa Indonesia sedemikian parahnya.

  K e - f i tri an m an u s i a p ad a h ari i tu disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah. Kewajiban itu mestinya tidak hanya dimaknai sebagai kewajiban ritual belaka, akan tetapi harus juga dimaknai dalam kerangka solidaritas terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Sehingga zakat fitrah yang asasinya merupakan wahana penyucian individu, akan mempunyai makna yang lebih fungsional. Kefitrahan jiwa kita harusnya dapat menggiring kita untuk melihat realitas (realitas bertetang g a, bermasy arakat, berbang sa d an bernegara) di sekitar kita dengan lebih bersih, lebih jernih, dan lebih arif, sehingga diharapkan kita akan bersikap, bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan hati nurani kita, suatu hal yang sangat mahal untuk saat ini.

  Idul Fitri sama sekali tidak ditandai dengan baju baru, penampilan baru atau apapun yang baru, tetapi idul fitri lebih ditandai dengan hati dan pikiran yang jernih dan tercerahkan. Bukankah Innallaha la

  yandzuru ila suwarikum walakin yandzuru ila qulubikum

  (Tuhan tidak akan melihat bajumu akan tetapi melihat pada hatimu).

  Ketika kaum muslimin mampu memaknai Hari Raya Idul Fitri dengan pemaknaan serta aplikasinya seperti yang disebutkan di atas, maka tidak menutup kemungkinan akan lahir “ kearifan individual dan sosial” yang sangat dibutuhkan dalam kondisi dan situasi krisis multidimensional socially, to then be the entry point for a reconciliation process.

  Idul Fitri that we have just celebrated together supposedly be an arena to do a critical reflection for ourselves (self-criticism): have we been able to appreciate and been unselfish toward fellow religious communities? How do we express this appreciation, at least in the form of wishing others all the goodness? M oreover, this year two religious communities celebrated Christmas and Idul Fitri almost at the same time. Expressing this wishing greeting is basically the human right of every man, so that it is not to be banned, moreover by a state institution.

  Idul Fitri is the day when humans individually and socially return to their mental and spiritual purity, their human purity. This is the day when a man is like a newborn, when he has not been polluted by all social, economic, political, and other diseases that are at the moment invading Indonesian nation very terribly.

  The holiness of humans on this day is perfected by giving tithe. This obligation should not be taken as merely a ritual one, but should also viewed within the frame of solidarity toward fellow human beings without regard to their position, class, etc. Hence, the tithe that is basically a means of the purification of individuals will have a more functional meaning. The holiness of our souls should be able to guide us to see the reality (of being neighbors, being in the society, in one nation, and in one country) around us more cleanly, clearly, and wisely, so that it is expected that we will act and behave according to our conscience, one very expensive thing for this moment.

  Idul Fitri should not only marked by new clothes, appearance, or anything new. Instead, it should be marked with clear and brightened mind. Is not this statement is true: Innalaha la yandzuru ila

  suwarikum walakin yandzuru ila qulubikum? (God will

  not look at your clothes, but into your heart) W hen the M oslems are capable of viewing

  Idul Fitri holiday with the meaning and application above, it will not close the possibility of the delivery of “ individual and social wisdom” that is extremely needed in a condition and situation of multi-dimensional crisis that we are experiencing together.(win)

  Fokus

  interfidei new sletter Kronik

  Workshop in the Land of Rafflesia

  seperti yang sedang kita alami bersama. (win)

Semiloka di Bumi Rafflesia

  The efforts to socialize the ideas on pluralism and peace this time was conducted in the Land of Upaya untuk mensosialisasikan gagasan

  Raflessia, on September 4-9 2001 at the Health tentang pluralisme, dan perdamaian kali ini

  Training Center (Bapelkas) in Bengkulu. This dilaksanakan di Bumi Rafflesia. Tepatnya tanggal 4-9 workshop was followed by 19 participants of various

  September 2001 di Balai Pelatihan Kesehatan elements of Non-Governmental Organizations,

  (Bapelkes) Bengkulu. Semiloka ini diikuti oleh 19 universities, governmental institutions, religious peserta dari berbagai unsur Lembaga Swadaya institutions, as well as of farmer society. Viewed from

  Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, lembaga the ethnic and religion side, there was also quite a pemerintah, lembaga agama dan juga dari kelompok variety: there were participants of different religions: petani. Dipandang dari segi etnis dan agama juga

  Islam, Catholics, and Hinduism; some of them were cukup beragam, ada penduduk asli, ada yang natives, some others were foreigners but had been pendatang tapi sudah berdomisili di Bengkulu staying in Bengkulu for tens of years. puluhan tahun. Sebagian peserta menganut agama As a series of the workshop, on the second day Islam dan beberapa diantaranya beragama Katolik a seminar with the topics of Pluralism, Conflict, and Peace was held. dan Hindu.

  This seminar was S e b a g a i followed by all the sebuah rang kaian participants of the dari semiloka, pada w o rksho p plu s hari kedua digelar invitations from s e m i n a r y a n g v arious c irc les bertajuk: Pluralisme, with the number of

  K o n f l i k d a n almost 100. The P e r d a m a i a n .

  S e m i n a r w a s Seminar ini diikuti divided into two oleh seluruh peserta sections, as the s e m i l o k a d a n sources of the first d itam bah d eng an session were Dr. u n d a n g a n d a r i

  Th. Sumartana berbagai kalangan

  (The Director of y a n g b e r j u m l a h

  D IA N/Interfidei), D rs. Syaifullah M .A g. (A hampir 100 orang. Seminar dibagi menjadi dua sesi,

  Lecturer of the Social and Politics Dept. of UNIB) and sebagai narasumber pada sesi pertama: Dr. Th. A.A. Ari Dwipayana (A Lecturer of the Social and Sumartana (Direktur DIA N / Interfid ei), Drs. Politics Dept. of UGM ). They emphasized more on

  Syaifullah M.Ag. (Dosen Fisipol UNIB) dan A.A. Ari the theoritical review. For the mean time, the second

  Dw ipayana (Dosen Fisipol UGM) yang lebih session was held more to the practical level. The menekankan pada tinjauan teoritisnya. Sedangkan sources were: Father Yohanes Harry Subekti SCJ, di tataran praksis pada sesi kedua, sebagai

  Sekar Ayu Aryani (A Lecturer at IAIN Kalijaga, pembicaranya: Pastor Yohanes Harry Subekti SCJ,

  Jogjakarta) and M r. Hari (A Lecturer at UNIB), who Sekar Ayu Aryani (Dosen IAIN Kalijaga, Jogjakarta) emphasized more on the relevance of inter-faith dan Bapak Hari (Dosen UNIB) yang lebih banyak dialogue in such a pluralistic Indonesian society. menggagas tentang relevansi dialog antar iman

  As the last series of the workshop, an dalam masyarakat Indonesia yang begitu plural. excursion was held, It was different from the past

  Sebagai rangkaian akhir dari semiloka regions as this excursion was centered on a dilaksanakan ekskursi. Berbeda dengan daerah- prostitution complex. The sharing session with our d aerah sebelumnya karena ekskursi kali ini friends, the commercial sex workers, and with all dipusatkan pada sebuah Lokalisasi tengah padang. the elements involved in this community was pengalaman dengan teman-teman pekerja

  Sharing

  facilitated by M s. Titiek (The Director of KPI), and seksual komersial dan seluruh komponen yang

  M r. Ayang (The Director of PKBI Bengkulu). The

  interfidei new sletter Kronik

  terlibat dalam masyarakat itu difasilitasi oleh Mbak situation was warmer and more relaxed when a

  Titiek (Direktur KPI) dan Mas Ayang (Direktur PKBI participant who happened to be an artist of magics

  Bengkulu). Suasana menjadi lebih gerr.. manakala acted as a bridge for this closeness by displaying his keakraban tersebut dijembatani oleh seorang peserta tricks. This series of workshop was closed by the yang kebetulan seorang seniman sulap dengan night of peace performances. (wets) atraksi kebolehannya. Rangkaian semiloka ditutup dengan malam pentas perdamaian. (wets)

  The Workshop in Medan

  The workshop with the topics: Pluralism,

Semiloka di Medan

  Conflict, and Peace has also been held in M edan, at Sumatera Utara Resort Hotel. This workshop that

  Semiloka dengan tema “ Pluralisme, Konflik was held on August 21-26 was attended by 22 dan Perdamaian” juga telah diselenggarakan di participants of different backgrounds. They were the Medan, bertempat di Sumatera Utara Resort Hotel. embracers of Islam, Catholics, Christian, and

  Semiloka yang dilaksanakan tanggal 21-26 Agustus ini dihadiri oleh 22 orang peserta dari berbagai latar Buddhism. They were also of the ethnics of Batak belakang. Dari segi agama, peserta terdiri dari

  (Batak Simalungun, Batak Karo, Batak M andaling, penganut agama Islam, Katolik, Kristen dan Buddha. Batak Toba), the Nias, Javanese, South Tapanuli and

  Sedangkan dari segi etnis, mereka juga sangat North Tapanuli. They were of the elements of Non- beragam. Diantaranya ada etnis Batak (Batak

  G ov ern men t al Simalungun, Batak

  I n s t i t u t i o n s , K a r o , B a t a k s o c i a l

  M and aling , Batak org aniz at ions,

  To ba), suku Nias, c o l l e g e

  Ja w a , T a p a n u l i org aniz at ions,

  Selatan dan Tapanuli a c a d e m i c s ,

  U t a r a . M e r e k a t eac hers, an d b e r a s a l d a r i even from the k a l a n g a n L S M , b u r e a u c r a c y o r g a n i s a s i circle. m a s y a r a k a t ,

  A s a k e m a h a s i s w a a n , ak ad e m i s i , g u ru part of the series of this seminar, a b ahkan kalang an birokrasi. one-day seminar was conducted

  S e b a g a i r a n g k a i a n d a r i on August 23 2001. This seminar was divided into 2 semiloka ini, dilaksanakan seminar sehari tanggal 23 sessions. The first one was facilitated by Erwin Agustus 2001. Seminar ini dibagi menjadi dua sesi. Nasution (an activist of The Society Information Sesi Pertama yang dimo derato ri o leh Erw in

  Vehicle); presenting three sources: Prof. Dr. Ridwan Nasution (aktivis Wahana Informasi Masyarakat) Lubis (The Director of the Post Gradsuate Program menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Prof. Dr. at IAIN South Sumatera ), Drs. Budhy M unawar

  Ridw an Lubis (Direktur Pasca Sarjana IA IN Rachman, M A. (A lecturer of Philosophy at the Sumatera Utara), Drs. Budhy Munawar Rachman, University of Paramadina M ulya Jakarta) and Dr. MA. (pengajar filsafat di Universitas Paramadina

  Th. Sumartana (The Director of Institut DIAN/ Mulya Jakarta) dan Dr. Th. Sumartana (Direktur

  Interfidei). In this occasion, Ridwan Lubi emphasized Institut DIAN/ Interfidei). Dalam kesempatan itu on two important things that have to be developed in

  Ridwan Lubis menekankan dua hal penting yang developing an open society, i.e. developing the p e rl u d i k e m b an g k an d al am m e m b an g u n dialogues concerning practical things as well as masyarakat yang terbuka yakni mengembangkan normative truth for mutua l appreciation, and dialog yang menyangkut hal-hal praktis dan juga developing, empowering, and appreciating local kebenaran-kebenaran normatif untuk dapat saling cultures and wisdoms in order to build local

  interfidei new sletter

  menghargai dan kedua perlu mengembangkan, memberdayakan dan menghargai budaya-budaya dan kearifan-kearifan lokal untuk membentuk ketahanan lokal. A dapun Budhy menyatakan perlunya membangun paradigma baru tentang agama-agama yaitu bahwa semua agama menjadi jalan menuju tujuan yang sama. Sedangkan Th. S u m a r t a n a m e n e k a n k a n p e n t i n g n y a mengembalikan dan menjaga “ otonomi agama” yang sekarang sudah pudar, agar tetap mempunyai semangat profetik.

  Pada sesi kedua tampil tiga orang pembicara yakni: Dr. Hj. Musdah Mulia, MA . (Direktur Lembaga Kajian Agama dan Jender DEPAG-RI), Drs. Paulus Sihombing (Keuskupan Agung Medan) dan Drs. Made Abadi (PHDI Sumatera Utara) dengan moderator Pdt. Rawalfen Saragih (Ketua Young Men

  Christian Association Sumatera Utara). Menurut

  Musdah, ada dua hal penting dalam rangka m em b ang u n m asa d ep an Ind o nesia y ang demokratis. Pertama, setiap agama hendaknya membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal dalam agama masing- masing seperti ketidakadilan dan eksklusivisme. Sedangkan yang kedua, perlu mengatur kembali pola hubungan antara agama dan negara. Dalam uraiannya, Paulus Sihombing menegaskan bahwa dalam rangka mengelola konflik dan menghindari kerusuhan perlu adanya penataan yang berimbang antara budaya damai, adil dan demokratis. (wis)

  nd

  In the second session there were three sources: Dr. Hj. M usdah M ulia, M A. (The D irector of Religion and Gender Review Institution of the Religion Dept.- RI), Drs. Paulus Sihombing (The Archdiocese, M edan) and Drs. M ade Abadi (PHDI North Sumatera). Acting as the moderator was Rev. Rawalfen Saragih (The Chief of The Young M en Christian Association North Sumatera). According to M usdah, there are two important things in developing the democratic Indonesian future. Firstly, every religion should improve and finish first various internal hinders in each religion, such as injustice and exclusivism. Secondly, rearrangement of the patterns of relations between religions and the state need to be conducted. In his presentation, Paulus Sihombing highlighted his statement that in order to manage conflicts and avoid riots, a balance arrangement among the peace, just, and democratic cultures need to be held. (wis)

  resistance power. M eanwhile, Budhy presented the need to build a new paradigm on religions, i.e. all religions are the ways toward one common goal. Th, Sumartana, on the other hand, emphasized the importance of returning and keeping the “ religion autonomy” that has been faded in order to have a prophetic spirit.

The 132 Gandhi Jayanti

Gandhi Jayanti ke-132

  Seperti yang dikatakan oleh Gandhi dan yang selama ini diaplikasi dan direfleksikan oleh Ibu Gedong Bagoes Oka dalam hidup kesehariannya:

  Kali ini diskusi terfokus pada tema “ Wacana d an Pend ekatan A himsa d alam Peneg akan Refo rmasi.” Gus Dur, Daniel Dhakid ae, Th. Sumartana, Esthi Susanti, Franky Sahilatua hadir dalam acara tersebut. Sahabat-sahabat Ibu Gedong dari Jakarta, Surabaya, Bali dan sekitarnya, LSM- LSM, para tokoh agama, dan masyarakat serta keluarga ikut meramaikan perayaan yang sederhana dan bermakna ini.

  Perayaan ini setiap tahun dirayakan oleh warga Ashram. Hanya saja kali ini agak khusus, karena sekaligus dengan perayaan ulang tahun ke-80 Ibu Gedong Bagoes Oka, 3 Oktober 2001.

  Tanggal 2 Oktober 2001, di Ashram Gandhi Candi Dasa, Karangasem-Bali, Ibu Gedong Bagoes Oka beserta seluruh warga Ashram merayakan Gandhi Jayanti (= hari kelahiran Gandhi) ke 132.

  On October 2 2001, at Ashram Gandhi Candi Dasa, Karangasem-Bali, Ibu Gedong Bagoes Oka along with all the members of Ashram nd celebrated the 132 Gandhi Jayanti (the birth of Gandhi). This celebration is held every year by the members of Ashram. Only this time, it was rather th special because it was conducted along with the 80 birthday celebration of Ibu Gedong Bagoes Oka, October 3 2001.

  This time, the discussion focused on the theme “ The Discourse and Approach of Ahimsa in the Upholding of Reformation” . Gus Dur, Daniel Dhakidae, Th. Sumartana, Esthi Susanti, and Franky Sahilatua were present at the occasion. Ibu Gedong's friends from Jakarta, Surabaya, Bali, and other areas, NGOs, religious figures, the society, as well as her family also celebrated this simple yet meaningful event.

  As Gandhi said, that has been applied and reflected all this time by Ibu Gedong Bagoes Oka in her daily life: “I do not w ish any body to follow

  me. Each person should follow his ow n Kronik

  “A ku tidak minta kepada siapa pun untuk

  mengikuti diriku. Setiap orang harus mengikuti suara batinnya sendiri.”

  (M.K. Gandhi). (es)

  interfidei new sletter Kronik

  Dr. M achasin (IAIN-Sunan Kalijaga), Dr. A. M unir M ulkhan (PP. M uhammadiyah) and Dr. St. Sunardi (ThePost Graduate Program of Religion and Culture, USD).

  Institut DIAN/Interfidei cooperating with The Post Graduate Program of Islamic Study of UII Jogja, on October 20 2001 held the seminar on 'Islam Law:Yes, Islamic Law: No'. The seminar presented: Dr. Th. Sumartana (Interfidei), Prof.

  The material presented focused on the promotion of UN Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Basilio, in one of the material, emphasized the importance of placing one person as a human in the treatment given. Do not see him as a member of PKI or OPM or GAM (for instance), but see him as a fellow human. Hence, if someone is proven guilty, then it is his deed that is deemed, while the man is forgiven. In the case of Indonesia, the importance of Folk Schools as conducted in Denmark, more and less 140 years ago was emphasized in order to deliver collective awareness in facing all the problems in Indonesia, such as: democratization, Human Right problem, and the welfare as well as the culture of Indonesia. (sab).

  This program was held by The Asian Human Rights Commission (AHRC), whose headquarter is in Hongkong, cooperating with Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial (YBKS) Solo- Indonesia. The workshop that was facilitated by Timm Gill from Australia, Basilio Fernando and Philip Seetunga (both are from Srilanka) took place from October 7-12 2001. The participants came from a number of regions in Indonesia: Jakarta, Kupang, Aceh, Poso, M aluku, W est Kalimantan , Central Java and Papua, while Interfidei was represented by Samuel A. Bless.

  conscience”. (M .K. Gandhi). (es) Workshop on “Ways to Promote UN Convention Against Torture and Other

Workshop Konvensi PBB Anti Penyiksaan

Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”

  Institut DIA N / Interfid ei bekerjasama dengan Magister Studi Islam UII Jogja, 20 Oktober 2001 lalu menyelenggarakan seminar 'Syariat Islam Yes, Syariat Islam No'. Dalam seminar tersebut menghadirkan pembicara: Dr. Th. Sumartana (Interfid ei), Pro f. Dr. Machasin (IA IN-Sunan K a l i ja g a ) , D r . A . M u n i r M u l k h a n ( P P . Muhammadiyah) dan Dr. St. Sunardi (Magister Religi dan Budaya, USD).

  Basilio, dalam salah satu materi, menekankan p entingnya menemp atkan seseo rang sebagai manusia dalam pemberlakuannya. Jangan melihat ia sebagai PKI atau OPM atau GAM (misalnya), tetapi melihatnya sebagai manusia. Dengan demikian, jika s e s e o ran g y an g te rb u k ti b e rs al ah m ak a perbuatannya yang dikutuk, sedangkan manusianya dimaafkan. Dalam kasus Indonesia, ditekankan pentingnya, Folks Schools ( Sekolah Rakyat Basis ) sebagaimana pernah dilakukan di Denmark, pada kurang-lebih 140 tahun lalu agar melahirkan kesadaran kolektif dalam menghadapi segala persoalan di Indonesia seperti: demokratisasi, persoalan HAM dan kesejahteraan serta kebudayaan Indonesia. (sab).

  Materi yang d iberikan terfo kus pad a Promosi Konvensi PBB tentang anti penyiksaan dan segala bentuk hukuman yang tidak memanusiakan.

  yang bersekretariat di Hongkong bekerjasama dengan Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial (YBKS) Solo-Indonesia. Acara yang difasilitasi oleh Timm Gill asal Australia, Basilio Fernando dan Philip Seetunga (keduanya asal Srilanka) itu berlangsung dari tanggal 7-12 Oktober 2001. Peserta datang dari berbagai daerah di Indonesia: Jakarta, Kupang, Aceh, Poso, Maluku, Kalbar, Jawa Tengah dan Papua, sedangkan dari Interfidei diwakili oleh Samuel A. Bless.

  Rights Commission (AHRC)

  Acara ini diselenggarakan oleh Asian Human

  W orkshop “ on W ays to Promote UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”

The Seminar on “Islamic Law: Yes, Islamic Law: No”

Seminar Syariat Islam Yes, Syariat Islam No

  interfidei new sletter

  D alam c eram ahny a, Th. Su m artana menyatakan bahwa pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia tidak usah memberikan ketakutan yang berlebihan dari kalangan non muslim. Bahkan, p em b erlaku an Sy ariat Islam d i Ind o nesia merup akan hal yang sangat d imungkinkan, mengingat umat Islam Indonesia adalah mayoritas. Namun demikian, menurut Th. Sumartana, Syariat Islam yang hendak diberlakukan haruslah syariat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, toleransi, keterbukaan, pembelaan terhadap kaum pinggiran, pembelaan terhadap kelompok minoritas, dan pembelaan terhadap perempuan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan secara bersama.

  Sem entara, M u n i r M u l kh an , t o k o h Muhammadiyah ini m e l i h a t b a h w a p e m b e r l a k u a n Syariat Islam secara formal di Indonesia a k a n m e n d a p a t dukungan luas dari p u b l i k ( r a k y a t) , k a r e n a r e a l i t a s m a s y a r a k a t , u m u m n y a Is l a m a b a n g a n , b u k a n Islam santri yang b e n a r - b e n a r m e n g e ta h u i a p a sebenarny a Islam . Tetap i, M unir M ulkhan mengkhawatirkan pemberlakuan Syariat Islam akan di manipulasi oleh para politisi muslim, sehingga memungkinkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat luas.

  Senada dengan itu, Machasin, menyatakan bahwa pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia tidak harus digantungkan pada negara (formalisasi). Apalagi dalam al-qur'an dan al-hadits hanya satu kali disebutkan kata-kata syariat. Oleh karena itu, kewajiban menjalankan syariat bukanlah hal penting yang harus formal diatur oleh negara. Yang paling penting, menurut ketua Syuriah NU DIJ ini adalah, bagaimana nilai-nilai universal dari Islam diajarkan kepada dan diamalkan o leh masyarakat. Itu sebenarnya sudah merupakan pengalaman Syariat Islam.

  Se d a n g k a n St . Su n a r d i , m e l i h a t In his presentation, Th. Sumartana claimed that the application of Islamic Law in

  Indonesia should not cause exagerrated fear from the non-M oslems. Even, the application of Islamic Law in Indonesia is a very possible thing, giving in consideration that the M oslem in Indonesia is a majority. However, according to Th. Sumartana, the Islamic Law that will be applied should be the one that upholds the values of humanity such as justice, tolerance, openness, defense of the grass root, defense of the minority group, and defense of women. Therefore, it needs to be formulated together.

  M eanwhil e , M u n i r M ulkhan, a figure o f M uhammadiy ah, s e e s t h a t t h e ap p l i c at i o n o f I s l a m i c L a w formally in the Indonesian society will attain a lot of support from the public, as in the reality, the society is g en erally of Islam abangan, not Islam santri who really understand what Islam is. However, M unir M ulkhan is also worried that the application of Islamic Law will be manipulated by moslem politicians, so that there is a big opportunity for a horizontal conflict totake place in the society.

  Along with that, M achasin said that the application of Islamic Law in Indonesia should not be depended upon the state (formalization). M oreover, in the Qur'an and al-hadits, the word Law only appears once. Therefore, the obligation to apply the Law is not an important thing to be arranged by the state formally. The most important thing, according to this Chief of Syuriah NU DIJ is how these universal values if Islam are taught to and applied by the society. This, actually, has been an experience of Islamic Law.

  On the other hand, St. Sunardi views that the application of Islamic Law in Indonesia should be