54680 ID kios pasar sebagai objek jaminan kredit

(1)

252 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.6 Nurul Masfuhah

Kantor Notaris PPAT Suie Ethika, SH. Jl. KH. Wahid Hasyim 76 Jombang Email: nurulmasfuhah@gmail.com

Abstract

This journal aims to identify and analyze the market stalls as the object of credit guarantees. This research is a normative juridical research (Normative Legal Research) by using the conceptual legislation approach, assisted with legal materials that will be described, and analyzed in relation to one another. Guarantee intimately is related to loans. Good guarantee should be able to provide a sense of security, provide legal certainty and to provide legal protection for creditors. There are various forms of guarantees given debtors, including in the form of a market stall. Market stall in law collateral material can not be categorized as immovable, for to be categorized as “things” it has not met the elements contained in Book II of the Civil Code and market stalls only permits the use of the place alone where they do not deliver relations material, therefore there is no direct relationship between traders as the object (the market stalls are used). So that when the market stalls used as a guarantee of legal protection for the loan, the creditor itself is weak because the market stall can not be bound by the guarantee institution in Indonesia.

Key words:creditor,collateral, market stall

Abstrak

Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kios pasar sebagai objek jaminan kredit. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif (Normatif Legal Research) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang bersifat konseptual. Kemudian dibantu dengan bahan-bahan hukum yang akan diuraikan, dideskripsikan, dan dianalisis keterkaitan satu sama lain. Jaminan berkaitan erat sekali dengan pemberian kredit. Jaminan yang baik haruslah yang dapat memberikan rasa aman, memberikan kepastian hukum dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi kreditor. Ada berbagai macam bentuk jaminan yang diberikan debitor, diantaranya berupa kios pasar. Kios pasar di dalam hukum jaminan kebendaan tidak bisa dikategorikan sebagai benda tidak bergerak karena kios pasar untuk dapat dikategorikan sebagai “benda” belum memenuhi unsur yang ada dalam Buku II KUHPerdata, yang mana kios pasar hanya merupakan ijin pemakaian tempat semata dimana tidak melahirkan hubungan kebendaan, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara pedagang dengan bendanya (kios pasar yang dipakainya). Sehingga apabila kios pasar dijadikan suatu jaminan kredit maka perlindungan hukum untuk kreditor itu sendiri lemah karena kios pasar tidak dapat diikat dengan lembaga penjamin yang ada di Indonesia.


(2)

Latar Belakang

Jaminan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan perkreditan di bank karena pemberian pinjaman modal dari lembaga keuangan (baik bank maupun non bank) mensyaratkan adanya suatu jaminan yang harus dipenuhi oleh debitor selaku pencari modal kalau ingin mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan tersebut.

Berkenaan dengan jaminan, hal ini berkaitan erat dengan pemberian kredit. Karena jaminan merupakan sesuatu yang diberikan oleh Debitor kepada Kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa Debitor akan memenuhi prestasi atau kewajiban yang timbul dari suatu perikatan, yang mana kewajiban tersebut dapat dinilai dengan uang sehingga fungsi jaminan dalam hal ini sangatlah penting.

Bagi Kreditor, jaminan yang baik haruslah yang dapat memberikan rasa aman dan memberikan kepastian hukum sehingga kredit yang telah diberikan kepada Debitor dapat diperoleh tepat pada waktu seperti yang tertuang dalam perjanjian pokoknya. Sedangkan bagi Debitor, jaminan yang baik adalah suatu bentuk jaminan yang tidak akan mengganggu jalannya usaha yang mereka lakukan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1131 dan Pasal 1132 serta Pasal 8 UU Perbankan tercantum kata “jaminan.” Pengertian jaminan ini juga terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tentang

Jaminan Pemberian Kredit tertanggal 28 Pebruari 1991 menyebutkan bahwa, “suatu bentuk keyakinan kreditor atas kesanggupan Debitor dalam pelunasan kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya.”

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan, bahwa, “segala suatu kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Ketentuan tersebut, jelaslah merupakan suatu bentuk ketentuan yang memberikan perlindungan kepada Kreditor dalam perjanjian kredit. Hal mana juga lebih detail di jelaskan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi kreditor atau yang mengutangkan kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk di dahulukan.”

Ketentuan yang termuat dalam KUHPerdata tersebut diatas merupakan suatu bentuk jaminan umum yang lahir dari undang-undang dimana ketentuan tersebut berlaku untuk semua kreditor. Kreditor disini mempunyai kedudukan antara kreditor yang satu dengan kreditor yang lain (asas paritas creditorum). Sehingga apabila seorang debitor cidera janji atau wanprestasi, maka hasil


(3)

penjualan kekayaan debitor dibagikan secara seimbang menurut besarnya utang masing-masing kreditor, kecuali kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang tepat dan sah untuk mendapat pelunasan yang didahulukan.1

Didalam Pasal 8 UU Perbankan, ada dua macam jaminan, yaitu: jaminan pokok yaitu suatu barang, suatu surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dananya dibiayai dengan kredit yang diperoleh debitor pada umumnya berupa seperti barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dan dibiayai dengan kredit tersebut dan jaminan tambahan yaitu kebalikan dari jaminan pokok yang mana jaminan tersebut tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai oleh kredit tersebut yang ditambah dengan dengan agunan.

Saat ini banyak ragam atau macam jaminan yang diberikan oleh Debitor kepada Kreditor sehingga pemerintah mengatur hak jaminan dalam undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang mana sering disebut Undang-undang Hak Tanggungan. Undang-undang Hak Tanggungan ini berlaku sebagai pengganti lembaga jaminan hipotik dan creditverband, dan untuk sementara ini ketentuan mengenai gadai masih tetap merujuk pada KUHPerdata.

Pengaturan jaminan selain yang tertuang dalam Undang-undang tentang Hak

Tanggungan dan KUHPerdata tersebut diatas, terdapat pula undang-undang lain mengenai jaminan, yaitu tentang idusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditor lainnya.2

Semakin ramainya roda perekonomian di sektor mikro yakni pasar tradisional menimbulkan perputaran uang dan usaha dalam pasar tradisional turut melaju pesat dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Fenomena ini yang kemudian dimanfaatkan oleh dunia perbankan dalam menyalurkan kreditnya.

Akan tetapi, kendala penyaluran kredit oleh lembaga keuangan perbankan terhadap pelaku usaha di pasar tradisional adalah mengenai jaminan. Para pelaku usaha di pasar tradisional yang menginginkan tambahan modal usaha tidak semuanya mempunyai jaminan berupa benda atau barang yang lembaga penjaminannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tidak jarang para pelaku usaha atau calon Debitor ini hanya

1 Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


(4)

mempunyai jaminan berupa tempat mereka berdagang atau berjualan yang mereka sebut dengan kios pasar.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kios sendiri merupakan kata benda yang memiliki arti rumah kecil (tempat berjualan buku, koran, dsb).3 Sedangkan pengertian kios

pasar lebih banyak dimuat dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Pelayanan Pasar di daerah-daerah seluruh Indonesia.4

Keberadaan kios pasar yang memiliki nilai ekonomis tersebut, dapat diterima oleh Kreditor atau pihak bank sebagai jaminan idusia. Padahal kios pasar yang dimiliki oleh para pedagang adalah milik pemerintah daerah setempat dan bukan milik pedagang. Akan tetapi, pemerintah daerah setempat memberi ijin kepada para pedagang untuk menempati kios pasar tersebut untuk berdagang atau berjualan. Ijin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada para pedagang itu diwujudkan dalam bentuk tertulis. Nama ijin tertulis atas penggunaan kios beraneka ragam dan tidak ada yang baku. Hal ini dikarenakan disesuaikan dan merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan nama ijin.

Sebagai contoh ada beberapa nama ijin penggunaan kios pasar pada beberapa

Perda tentang Retribusi Pelayanan Pasar di Indonesia yakni misalnya Perda Kabupaten Berau Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 1 Angka 17 menyebut “Kartu Bukti Pedagang yang selanjutnya disingkat KBP adalah bukti diri bagi pedagang yang diberi hak penggunaan kios atau los.” Sedangkan Perda Kabupaten Bengkayang Nomor 6 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 16 menyebutkan, “Surat Penunjukan Tempat Usaha selanjutnya disingkat SPTU adalah surat izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah atas pemakaian kios/ios dan/atau bangunan darurat milik pemerintah,” serta Perda Kabupaten Jombang Nomor 25 tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar Pasal 1 Angka 20 menyatakan, “Bukti Pemakaian Tempat Usaha (BPTU) adalah bukti diri yang diberikan kepada pedagang untuk memakai tempat berjualan pada ruko, toko, kios/bedak”. Seperti yang tertera didalam sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah didalam KBP, SPTU, atau BPTU, tersebut juga memuat data-data tentang kios tersebut seperti nama pemilik kios, luas kios, lokasi kios serta jangka waktu berakhirnya kios tersebut.

Padahal secara teori kios pasar bukanlah merupakan objek jaminan menurut hukum kebendaan yang berlaku di Indonesia karena

3 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 442.

4 Misalnya saja pada beberapa Perda tentang Retribusi Pelayanan Pasar mengenai pengertian kios atau kios pasar

sebagai berikut, PerDa Kab. Jombang Nomor 25 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 15, PerDa Kab. Kotawaringin Barat Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 1 Angka 8 dan Perda Kota Bengkulu Nomor 7 Tahun 2013, Pasal 1 Angka 13, “Kios pasar adalah bangunan semi permanen di dalam Pasar yang beratap dan dipisahkan satu dengan yang

lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit yang dipergunakan untuk usaha

berjualan.” Serta Perda Kab. Berau Nomor 13 Tahun 2011, “Kios adalah lahan dasaran berbentuk bangunan tetap, beratap dan dipisahkan dengan dinding pemisah mulai lantai sampai dengan langit-langit serta dilengkapi


(5)

undang-undang tentang jaminan yang ada selama ini belum ada yang mengaturnya secara jelas karena kios pasar hanya merupakan ijin memakai bangunan saja. Meski demikian banyak pemerintah daerah di Indonesia yang memberikan regulasi tentang kios pasar ini dimana regulasi tersebut menyatakan kios pasar dapat dipindahtangankan kepada pihak lain setelah mendapat persetujuan dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk yang mana hal tersebut adalah pemerintah daerah.

Kreditor, disamping melihat sisi ekonomis dari kios pasar itu sendiri, regulasi pemerintah daerah inilah yang membuat kreditor yakin bahwa kios pasar dapat di jadikan jaminan kredit. Meskipun Pedagang mempunyai ijin berupa surat keterangan hak pemakaian tempat berjualan dalam bentuk KBP, SPTU, BPTU atau jenis ijin penggunaan kios pasar lainnya dari pemerintah daerah akan tetapi bukti ini bukan merupakan bukti hak pakai sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mana dalam undang-undang tersebut hak pakainya jelas menggunakan Lembaga jaminan berupa Hak Tanggungan.

Menurut Pasal 41 Ayat 1 UUPA menyebutkan bahwa “Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat

yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.” Maka sangat jelas hak pakai yang dimaksud dalam pasal diatas adalah hak pakai atas tanah.

Alasan mendasar permasalahan ini adalah kekaburan dan ketidakpastian mengenai pengikatan jaminan berupa kios pasar dikarenakan ketidak jelasan status hak yang melekat pada kios pasar itu sendiri. Kekaburan norma mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekaburan norma dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekaburan norma terhadap hal-hal yang telah atau belum diatur tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada


(6)

tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif (Normatif Legal Research) yang mempunyai suatu pendekatan dengan mengkaji implementasi keterangan hukum positif (peraturan perundang-undangan) antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. “Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, penelitian hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.”5

Penelitian yuridis normatif dilakukan untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan kios pasar sebagai objek jaminan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan UU (Statute Approach) dengan menelaah semua UU dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum dan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum untuk menemukan ide yang melahirkan konsep-konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah semua bahan hukum terkumpul, akan diolah dan dianalisa dengan menghubungkan antara teori dengan hasil penelitian, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode interpretasi restriktif, yaitu suatu metode penafsiran yang memberikan batas-batas jelas dalam memaknai suatu frase yang terdapat dalam pasal maupun dalam penjelasan perundang-undangan dan bahan hukum terkait. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier dianalisis dengan menggunakan instrument teori untuk membahas dan menjawab permasalahan, yang kemudian diharapkan memperoleh kejelasan dari permasalahan mengenai status hak dari kios pasar dan bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor selaku pemegang jaminan berupa kios pasar tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan jurnal ini adalah sebagai berikut: Apakah kios pasar bisa dikategorikan sebagai benda dalam hukum kebendaan yang berlaku di Indonesia? Dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah kios pasar itu bisa dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dalam hukum kebendaan yang berlaku di Indonesia.

Pembahasan

Sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang tersebut diatas, jaminan kebendaan pada dasarnya memberikan kedudukan


(7)

yang lebih baik kepada kreditor pemegang jaminan tersebut daripada kreditor-kreditor lainnya. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah apakah kios pasar bisa dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dan dijadikan objek jaminan serta diikat dengan lembaga penjaminan yang ada? Penulis mencoba menganalisis hal tersebut satu persatu.

Benda didalam hukum perdata diatur dalam Buku II KUHPerdata, tidak sama dengan benda didalam bidang disiplin ilmu isika, dimana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa). Sedangkan dalam pengertian hukum perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak/belum ada yang (dapat) memilikinya.

Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata ini menggunakan sistem “tertutup”, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang-undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan.

Deinisi mengenai kebendaan tercantum dalam pasal 499 KUHPerdata sebagai berikut: “menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.” Dari deinisi tersebut,

ditemukan dua istilah yaitu, kebendaan (zaak) dan barang (goed). Ini berarti istilah “benda” pengertiannya masih bersifat luas dan abstrak karena tidak saja meliputi benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Sedangkan barang mempunyai pengertian yang lebih sempit karena bersifat konkret dan berwujud artinya dapat dilihat dan diraba. Adapun hak, menunjuk pada pengertian benda yang tidak berwujud (immaterieel) misalnya, piutang-piutang atau penagihan-penagihan seperti piutang atas nama (vordering opnaam), piutang atas bawa/kepada pembawa (vordering aan toonder) dan piutang atas tunjuk (vordering aan order) atau berupa hak milik intelektual seperti hak pengarang (auteursrecht), hak paten (octrooirecht) dan hak merek (merkenrecht).6 Namun berkaitan

dengan istilah benda dan barang, KUHPerdata tidak secara konsekwen membedakannya karena seringkali mencampuradukkan kedua pengertian tersebut.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pengertian kebendaan dalam pasal 499 KUHPerdata adalah kata “dapat” yang tercantum dalam pasal tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kata tersebut mempunyai arti yang penting karena membuka berbagai kemungkinan yaitu pada saat-saat tertentu “sesuatu” itu belum berstatus objek hukum, namun pada saat-saat lain merupakan objek hukum, seperti aliran listrik. Adapun untuk menjadi objek hukum harus memenuhi

6 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Cetakan Ke-III, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2002), hlm. 19-20.


(8)

syarat-syarat tertentu yaitu, penguasaan manusia, nilai ekonomis dan karenanya dapat dijadikan objek (perbuatan) hukum.7

Unsur yang tidak kalah pentingnya adalah dari deinisi kebendaan mengenai “dikuasai oleh hak milik”, yang mana pengertian hak milik dalam pasal 570 KUHPerdata adalah: “Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

Dengan demikian, “sesuatu” dapat dianggap sebagai kebendaan apabila “sesuatu” itu (pada dasarnya) dapat dikuasai oleh hak milik. Pengertian dapat menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya bisa diartikan dalam dua arti. Pertama adalah dalam arti dapat memperlainkan (vervreem den), membebani, menyewakan dan lain-lain yang mana intinya dapat melakukan perbuatan hukum terhadap sesuatu benda (zaak). Kedua adalah dalam arti dapat memetik buahnya, memakainya, merusak, memelihara dan lain-lain yang mana

intinya dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang materiil8.

Perumusan mengenai pengertian benda para sarjana berpendapat dan mengemukakan pengertian tersebut antara lain sebagai berikut9:

a. Menurut H.F.A Vollmar, benda dalam arti dapat diraba atau berwujud adalah di dalamnya termasuk segala sesuatu yang mempunyai harga, yang dapat ditundukkan dibawah penguasaan manusia dan yang merupakan suatu keseluruhan.

b. Menurut Paul Scholten, “zaak is ieder deel

der stofelijke natuur, dat vor uitsluitende

heerschappij van den mensch vatbaar en voor hem van waarde is en dat door het recht al seen geheel wordt beschouwd”. Terjemahan bebasnya kira-kira adalah: Benda ialah setiap bagian dari alam yang berwujud yang semata-mata dapat dikuasai manusia, berharga untuknya dan yang oleh hukum dipandang sebagai satu kesatuan.

c. Menurut Sardjono, benda adalah segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang setidak-tidaknya mempunyai nilai efektif, berdiri sendiri dan merupakan satu keseluruhan, bukan merupakan bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya.

7 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 35. 8 Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 42. 9 Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hlm. 27-28.


(9)

Dari pengertian yang dikemukakan para ahli hukum tersebut diatas, “sesuatu” dapat disebut benda jika dapat dikuasai manusia, dapat diraba maupun tidak, dapat dinilai dengan uang atau setidak-tidaknya mempunyai harga perasaan (afeksi) dan merupakan satu kesatuan serta bersifat mandiri.

Benda didalam KUHPerdata di bedakan menjadi beberapa macam, antara lain 10:

a. Benda-benda bertubuh/berwujud (lichamelijke zaken) dan benda tak bertubuh/tak berwujud (onlichamelijke zaken) diatur dalam pasal 503 KUHPerdata.

b. Benda-benda yang jika dipakai dapat habis (verbruikbaar) dan benda-benda yang dipakai tidak dapat habis (onverbruikbaar) diatur dalam pasal 505 KUHPerdata.

c. Benda yang sudah ada (tagenwoordige zaken) dan benda-benda yang masih aka nada (toekomstige zaken).

d. Benda di dalam perdagangan (zaken in de handel) dan benda diluar perdagangan (zaken buiten de handel).

e. Benda yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan benda-benda yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken).

f. Benda-benda yang dapat diganti

(wisseling zaken) dan benda-benda yang tidak dapat diganti (onwisseling zaken). g. Benda-benda bergerak (roerend zaken)

dan benda-benda tidak bergerak (onroerend zaken).

Untuk kebendaan tidak bergerak, menurut pasal-pasal 506, 507 dan 508 KUHPerdata di bagi kedalam tiga golongan, yaitu11:

a. Barang yang bersifat (uit haar aard) tak bergerak karena sifatnya. Barang ini dapat diklasiikasikan menjadi:

1. Tanah,

2. Segala sesuatu yang bergandengan dengan tanah secara tumbuh disitu, yaitu secara berakar atau bercabang (wortel of takvast) seperti tanaman-tanaman, buah-buahan yang belum dipetik,

3. Segala sesuatu yang bergandengan dengan tanah secara didirikan disitu dengan mempergunakan tanah (cement) atau paku (aard-of nagelvast);

b. Barang yang ditujukan supaya menjadi, oleh karena dipakai terus menerus, dengan barang-barang tak bergerak (door bes temming), seperti:

1. Dari suatu pabrik segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat-alat lain, yang dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik,

2. Dalam suatu rumah tempat tinggal, segala kaca, lukisan dan lain-lain yang alat-alatnya untuk menggantungkan barang-barang itu, merupakan bagian dari dinding,

10 Ibid.


(10)

3. Dari suatu perkebunan, segala sesuatu yang dipergunakan selaku rabuk bagi tanah, burung-burung merpati yang secara besar-besaran dikumpulkan di tanah itu (duivenvlucht), sarang-sarang burung senlowo (eetbare vogenestjes) selama belum dipetik, ikan-ikan ditambak.

4. Barang-barang runtuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu;

c. Beberapa hak-hak atas barang-barang tak bergerak tersebut diatas, seperti:

1. Hak memetik hasil (vruchtgebruik) atau hak memakai (gebruik),

2. Hak pemilikan pekarangan terhadap pekarangan tetangga (erfdienstbaarheden).

3. Hak “opstal” yaitu hak mempunyai bangunan diatas tanah milik orang lain.

4. Hak “erfpacht” yaitu hak menguasai tanah seperti pemilik sendiri dengan membayar sejumlah uang “canon” selaku pengakuan hak milik sejati. 5. Hak atas “grondrente” yaitu hasil

tanah dalam wujud buah-buahan atau uang.

6. Hak menuntut didepan hakim supaya barang-barang tak bergerak diserahkan pada penggugat.

Adapun untuk benda bergerak, dalam pasal-pasal 509, 510 dan 511 KUHPerdata digolongkan sebagai berikut 12:

1. Barang-barang yang bersifat bergerak dalam arti, barang-barang itu dapat dipindahkan tempat (verplaatsbaar), 2. Beberapa hak atas barang bergerak,

seperti:

a. Hak memetik hasil (vruchtgebruik) dan hak memakai (gebruik),

b. Hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang;

c. Hak menuntut di depan hakim supaya uang tunai atau barang-barang bergerak diserahkan pada penggugat, d. Saham-saham dari perseroan dagang, e. Tanda-tanda pinjaman suatu negara,

baik negara sendiri maupun negara asing.

Pembedaan-pembedaan tersebut diatas mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam hukum karena berkaitan dengan cara penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluwarsa (verjaring) dan pembebanan (bezwaring) atas benda-benda tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Mengenai bezit misalnya terhadap barang bergerak berlaku asas seperti yang tercantum dalam pasal 1977 KUHPerdata yaitu bezitter dari barang bergerak adalah sebagai eigenaar dari barang tersebut. Sedangkan kalau mengenai barang bergerak tidak demikian halnya.

2. Mengenai levering terhadap benda bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan nyata, sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama.


(11)

3. Mengenai verjaring ini juga berlainan. Terhadap benda-benda bergerak itu tidak dikenal verjaring sebab bezit disini sama dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedang untuk benda-benda tak bergerak mengenal adanya verjaring.

4. Mengenai pembebanan (bezwaring) terhadap benda bergerak harus dilakukan dengan pand sedang terhadap benda tak bergerak harus dilakukan dengan pand sedang dan bisa dilakukan dengan Hipotik13.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, didalam bukunya juga mengatakan betapa pentingnya membedakan antara zaak dalam hukum benda dan zaak dalam hukum perikatan. Zaak dalam hukum benda terhadap itu dapat dilakukan penyerahan dan umumnya dapat menjadi objek dari hak milik. Tetapi apabila sesuatu bukanlah zaak dalam arti demikian, maka itu tidak berarti bahwa tidak dapat menjadi objek daripada hukum perutangan. Apakah kamar atau tingkat kedua (loteng) dari rumah yang bertingkat itu merupakan suatu zaak sendiri?

Jika dianggap sebagai rumah, dan dikatakan bukan zaak tersendiri, maka berarti bahwa terhadap bagian-bagian tersebut tidak dapat dilakukan penyerahan; bagian-bagian itu tidak dapat dijadikan objek dari eigendom. Sehingga yang dapat dijadikan objek dari eigendom adalah rumahnya.

Bagian-bagian itu bukan zaak dalam arti zakenrecht, akan tetapi bagian tersebut dapat disewakan dengan kata lain dapat dijadikan objek verbintenis. Bagian-bagian itu adalah zaak juga tapi dalam lapangan verbintenissenrecht14.

Dengan demikian yang dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak mutlak atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga15. Jadi hak kebendaan

itu adalah hak mutlak (hak absoluut). Dalam hukum perdata hak mutlak, terdiri atas:16

a. Hak kepribadian, misalnya: hak atas namanya, kehormatannya, hidup, kemerdekaan dan lain-lain.

b. Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yaitu hak-hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami isteri, karena adanya hubungan antara orang tua dan anak

c. Hak mutlak atas sesuatu benda, inilah yang disebut hak kebendaan.

Adapun ciri-ciri dari hak kebendaan, yaitu17:

1. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas.

13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit., hlm. 22-23.

14 Ibid., hlm. 17. 15 Ibid., hlm. 24.

16 Ibid.


(12)

3. Hak kebendaan itu mempunyai hak yang mengikuti. Artinya hak it uterus mengikuti bendanya dimana barang itu berada. Hak it uterus saja mengikuti orang yang mempunyainya. Jika ada beberapa hak kebendaan diletakkan atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.

4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri.

Di dalam buku II KUHPerdata diatur adanya macam-macam hak kebendaan. Akan tetapi dalam membahas macam-macam hak kebendaan tersebut harus mengingat berlakunya Undang-undang pokok Agraria dan harus mengetahui mana hak-hak kebendaan yang masih ada dan yang sudah dicabut berlakunya dari Buku II itu. Hak-hak kebendaan yang sudah dicabut itu tidak lagi termasuk di dalam lapangan keperdataan melainkan menjadi objek dari hukum yang lain yaitu agraria.

Hubungan antara hak kebendaan dengan lembaga penjaminan yang ada di Indonesia sangat erat sekali, karena dengan melihat hak yang melekat pada suatu benda dapat menentukan lembaga penjamin yang tepat untuk mengikat benda yang menjadi objek jaminan kredit. Lembaga penjaminan di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu:

1. Gadai

Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, yang dimaksud dengan gadai adalah: “sesuatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripadanya orang-orang berpiutang lainnya…”

Selanjutnya Pasal 1152 KUHPerdata mengatur sebagai berikut:

“Hak Gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh pihak kedua.

Tidak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang. Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai.”

Pasal 1153 KUHPerdata mengatur kemungkinan gadai atas piutang atas nama sebagai berikut:

“Hak Gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat-surat tunjuk atau surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang


(13)

izinnya si pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam rangka gadai adalah sebagai berikut:

a. Obyek yang dapat dijaminkan dengan gadai adalah berupa benda-benda bergerak, baik yang bertubuh (berwujud) ataupun tidak bertubuh.

b. Benda yang dijaminkan dengan gadai harus diserahkan kepada kreditur atau kepada pihak ketiga yang disetujui oleh para pihak. Benda yang masih dalam penguasaan si pemberi gadai akan mengakibatkan perjanjian gadai menjadi batal demi hukum.

Memperhatikan unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam rangka gadai, penulis berpandangan bahwa kios pasar sangat sulit diterima sebagai objek yang dapat dijaminkan dengan gadai.

2. Hipotik

Ketentuan pasal 1162 KUHPerdata merumuskan pengertian Hipotik sebagai berikut: “Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.”

Dengan kata lain Hipotik adalah hak kebendaan yang memberi kekuasaan langsung atas benda tak bergerak, yang mana benda itu dapat dijadikan jaminan pelunasan sejumlah utang.

Adapun obyek yang dapat dijadikan jaminan hipotik adalah benda-benda tetap/ tidak bergerak dengan mengambil tanah sebagai pokok dan berdasarkan asas accessie meliputi pula bangunan-bangunan, tanaman-tanaman yang melekat atau tertanam dan beberapa benda yang lain berdasarkan peruntukkannya. Lebih jelasnya pasal 1164 KUHPerdata mengatur sebagai berikut: “Yang dapat dibebani dengan Hipotik hanyalah: 1. Benda-benda tak bergerak yang dapat

dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya, sekadar yang terakhir ini dianggap sebagai benda tak bergerak; 2. Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut

beserta segala perlengkapannya;

3. Hak menumpang karang dan hak usaha; 4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar

dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah dalam ujudnya; 5. Bunga sepersepuluh;

6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya.

Namun sejak berlakunya undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah, ketentuan Hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi18.

Selain objek-objek yang dimaksud dalam Buku II KUHPerdata, benda-benda bergerak

18 Ketentuan Bab IX Ketentuan Penutup, Pasal 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah.


(14)

yang karena undang-undang ditetapkan sebagai benda yang dijaminkan dengan Hipotik, yaitu:

1. Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 M3 (dua puluh meter

kubik) isi kotor, yang dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang19.

2. Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia20.

Ketentuan pasal 1168 KUHPerdata menyebutkan bahwa Hipotik tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. Ketentuan ini mensyaratkan adanya hubungan kepemilikan dan kedudukan berkuasa untuk memindahkan objek jaminan hipotik oleh pemberi hipotik. Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa kios pasar tidak dapat dijadikan objek jaminan hipotik.

3. Hak tanggungan

Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan). Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Indang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Adapun hak-hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan adalah21:

a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan; dan d. Hak Pakai atas tanah negara.

Selain yang disebut diatas, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sudah jelas bahwa kios pasar tidak dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan karena kios pasar bukan merupakan bentuk hak atas tanah.

4. Jaminan idusia

Banyak bank atau kreditor yang membebankan kios pasar pada lembaga

19 Ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang). 20 Ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan. 21 Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan.


(15)

penjamin ini, oleh sebab itu penulis merasa perlu untuk menganalisis lebih dalam tentang lembaga penjamin idusia ini terkait jaminan kios pasar yang diterima oleh kreditor.

Pranata jaminan idusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Pranata ini sebelumnya muncul atas dasar adanya kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan barang bergerak tanpa (secara isik) melepaskan barang yang dijadikan jaminan.

Fidusia berasal dari kata “Fides”, yang berarti kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan pemberi idusia (debitor) dengan penerima idusia (kreditor) merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan.22 Pemberi

Fidusia percaya bahwa kreditor penerima idusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitor melunasi hutangnya. Sebaliknya, kreditor juga percaya bahwa pemberi idusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan mau memelihara barang tersebut selaku “bapak rumah yang baik”. Konstruksi idusia yang demikian sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Asser bahwa:”Orang berbicara mengenai suatu hubungan hukum atas dasar ides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak

atas suatu barang sedang barang itu secara social ekonomis dikuasai oleh orang lain.”23

Ada dua macam bentuk jaminan idusia yaitu idusia cum creditore dan idusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum iduciae yang kemudia diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.24

Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya idusia cum creditare contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas25.

Fidusia lahir dalam praktek hukum yang dituntun oleh yurisprudensi di negeri Belanda maupun yurisprudensi di Indonesia. Sebagai pranata hukum yang lahir dari praktek, dan tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak terdapat pengaturan dari segi prosedural dan proses. Karena itu, tidak mengherankan jika kewajiban pendaftaran sebagai salah satu mata rantai dari prosedur lahirnya idusia tidak diatur, sehingga tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan idusia.

22 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001), hlm. 113. 23 Nova Faisal, “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15 Maret 2005”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36, No. 4, (Oktober-Desember 2006): 421.

24 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 114.


(16)

Ketidakadaan kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktek sebagai kelemahan bagi pranata hukum idusia, sebab disamping menimbulkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan idusia tersebut menjadikan jaminan idusia tersebut tidak memenuhi unsure publisitas, sehingga sulit dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya idusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang idusia tanpa sepengetahuan kreditor, dan lain-lain26.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum baru terkait dengan jaminan idusia. Berdasarkan Lembaran Negara nomor 168 tahun 1999, tertanggal 30 September 1999, telah diundangkan di dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-undang Fidusia), yang terhitung sejak saat diundangkannya, maka secara yuridis formal pranata jaminan idusia yang kita kenal selama ini dimasyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dikenal dengan sebutan “Fiduciaire Eigendoms Overdracht” atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi masuk dalam hukum positif di Indonesia dengan sebutan Undang-undang Fidusia.

Sebagaimana dijelaskan dalam angka 3 Penjelasan Umum Undang-undang Fidusia,

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Sebelum undang-undang idusia dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini obyek Jaminan Fidusia diberikan pengertian luas. Hal mana disebutkan pada Pasal 1 Undang-undang Fidusia, yaitu: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hipotik”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Fidusia tersebut diatas dapat diketahui bahwa objek jaminan idusia adalah:

1. Benda bergerak yang meliputi berwujud dan tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hipotik Mengenai pengaturan benda idusia ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 3

Undang-26 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis-Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada,


(17)

undang Fidusia. Dalam ketentuan mengenai benda idusia juga ditegaskan, bangunan diatas orang lain yang tidak dapat di bebani dengan hak tanggungan berdasarkan undang-undang Hak Tanggungan nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek idusia.

Terhadap benda jaminan idusia ini hal penting yang perlu dicermati adalah menyangkut prinsip dari benda idusia itu sendiri yang mana haruslah merupakan benda milik pemberi idusia dan bukan merupakan benda yang berada dalam status kepemilikan orang lain.

Dari pengertian tersebut diatas jelaslah sudah bahwa kios pasar yang di pakai oleh para pedagang tradisional tidak dapat dibebani idusia jika ditinjau dari pengertian benda dalam Pasal 1 Undang-undang Fidusia karena kios baik bangunan maupun tanahnya bukan milik para pedagang akan tetapi milik pemerintah daerah setempat yang di pergunakan oleh para pedagang untuk berjualan berdasarkan ijin tertulis yang bisa berupa Kartu Bukti Pedagang (KBP), Surat Penunjukan Tempat Usaha (SPTU) maupun Bukti Pemakaian Tempat Usaha (BPTU).

Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit Security, Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum itu adalah Sircherkeit des Rechts Selbst ( kepastian tentang hukum itu sendiri), ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum:27

a. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa ia adalah peraturan perundangan

b. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Taatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”

c. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan.

d. Hukum positif itu boleh sering berubah-ubah.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa di jawab secara normatif. Kepastian hukum secara normatif merupakan suatu peraturan yang dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur jelas dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan dan menimbulkan konlik norma.

Persoalan kepastian hukum masih menjadi hambatan dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas sehingga terjadi multitafsir.

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Soerjono Soekanto dan Peter Makmud Marzuki sebagaimana telah disebutkan dan dijelaskan dalam kerangka teori, dimana intinya bahwa kepastian hukum akan tercapai apabila tersedia aturan-aturan hukum


(18)

yang jelas dan aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Jika melihat dari pengertian maupun penjelasan hukum kebendaan bahkan pendapat para sarjana hukum sekalipun kios pasar belum bisa dikategorikan sebagai “benda” apalagi benda tidak bergerak karena seperti yang telah di jelaskan diatas pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata ini menggunakan sistem tertutup dan bersifat memaksa (dwingend recht).

Dengan kata lain bahwa hubungan hukum antara pedagang dengan kios pasar yang dipakainya tidak melahirkan hubungan kebendaan, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara pedagang dengan bendanya (kios pasar yang dipakainya). Meskipun pedagang memegang ijin tertulis dari pemerintah daerah setempat tidak menyebabkan para pedagang tersebut menjadi pemilik kios pasar yang dipakainya. Pemberian ijin tertulis kepada pedagang tersebut tidaklah memberikan suatu hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang (droit de suite).

Terkait kios pasar yang dijadikan objek jaminan dan diterima sebagai jaminan oleh kreditor maka akibat hukum yang timbul adalah kreditor tidak dapat melakukan pengikatan jaminan terhadap objek kios

pasar tersebut dengan menggunakan lembaga penjamin apapun karena kios pasar belum bisa dikategorikan sebagai benda dan hanya merupakan ijin memakai bangunan saja dengan kata lain kios pasar bagi pedagang tidak ada hak pemilikannya.

Simpulan

Kios pasar ditinjau dari hukum kebendaan belum bisa dikategorikan sebagai benda karena kios pasar hanya merupakan ijin memakai bangunan saja tidak dapat melahirkan hubungan kebendaan meskipun debitor memiliki ijin berupa surat keterangan hak pemakaian tempat berjualan dalam bentuk KBP, SPTU, BPTU atau jenis ijin penggunaan kios pasar lainnya dari pemerintah daerah setempat, tetapi tidak secara otomatis akan memberikan suatu hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang (droit de suite) karena pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata menggunakan sistem “tertutup”, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam KUHPerdata tersebut dan sifat dari hukum benda itu sendiri yang mana bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan.


(19)

Buku

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan Jilid I. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001.

_________________. Seri Hukum Bisnis-Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2000.

Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni, 1983.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1985.

Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press, 2006. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata

Tentang Hak Atas Benda. Jakarta: Intermasa, 1979.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang

jaminan idusia.

Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Perda Kabupaten Berau Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Perda Kabupaten Bengkayang Nomor 6 Tahun

2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Perda Kabupaten Jombang Nomor 25 tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Jurnal

Faisal, Nova. “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15

Maret 2005”. Jurnal Hukum dan

Pembangunan Tahun Ke-36 No. 4. (Oktober-Desember 2006).


(1)

yang karena undang-undang ditetapkan sebagai benda yang dijaminkan dengan Hipotik, yaitu:

1. Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 M3 (dua puluh meter kubik) isi kotor, yang dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang19.

2. Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia20.

Ketentuan pasal 1168 KUHPerdata menyebutkan bahwa Hipotik tidak dapat diletakkan selainnya oleh siapa yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. Ketentuan ini mensyaratkan adanya hubungan kepemilikan dan kedudukan berkuasa untuk memindahkan objek jaminan hipotik oleh pemberi hipotik. Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa kios pasar tidak dapat dijadikan objek jaminan hipotik.

3. Hak tanggungan

Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan). Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Indang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Adapun hak-hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan adalah21: a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan; dan d. Hak Pakai atas tanah negara.

Selain yang disebut diatas, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sudah jelas bahwa kios pasar tidak dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan karena kios pasar bukan merupakan bentuk hak atas tanah.

4. Jaminan idusia

Banyak bank atau kreditor yang membebankan kios pasar pada lembaga

19 Ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang). 20 Ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan. 21 Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan.


(2)

penjamin ini, oleh sebab itu penulis merasa perlu untuk menganalisis lebih dalam tentang lembaga penjamin idusia ini terkait jaminan kios pasar yang diterima oleh kreditor.

Pranata jaminan idusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Pranata ini sebelumnya muncul atas dasar adanya kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan barang bergerak tanpa (secara isik) melepaskan barang yang dijadikan jaminan.

Fidusia berasal dari kata “Fides”, yang berarti kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan pemberi idusia (debitor) dengan penerima idusia (kreditor) merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan.22 Pemberi Fidusia percaya bahwa kreditor penerima idusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitor melunasi hutangnya. Sebaliknya, kreditor juga percaya bahwa pemberi idusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan mau memelihara barang tersebut selaku “bapak rumah yang baik”. Konstruksi idusia yang demikian sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Asser bahwa:”Orang berbicara mengenai suatu hubungan hukum atas dasar ides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak

atas suatu barang sedang barang itu secara social ekonomis dikuasai oleh orang lain.”23

Ada dua macam bentuk jaminan idusia yaitu idusia cum creditore dan idusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum iduciae yang kemudia diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.24

Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya idusia cum creditare contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas25.

Fidusia lahir dalam praktek hukum yang dituntun oleh yurisprudensi di negeri Belanda maupun yurisprudensi di Indonesia. Sebagai pranata hukum yang lahir dari praktek, dan tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak terdapat pengaturan dari segi prosedural dan proses. Karena itu, tidak mengherankan jika kewajiban pendaftaran sebagai salah satu mata rantai dari prosedur lahirnya idusia tidak diatur, sehingga tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan idusia.

22 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001), hlm. 113. 23 Nova Faisal, “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15 Maret 2005”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36, No. 4, (Oktober-Desember 2006): 421.

24 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 114. 25 Ibid.


(3)

Ketidakadaan kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktek sebagai kelemahan bagi pranata hukum idusia, sebab disamping menimbulkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan idusia tersebut menjadikan jaminan idusia tersebut tidak memenuhi unsure publisitas, sehingga sulit dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya idusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang idusia tanpa sepengetahuan kreditor, dan lain-lain26.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum baru terkait dengan jaminan idusia. Berdasarkan Lembaran Negara nomor 168 tahun 1999, tertanggal 30 September 1999, telah diundangkan di dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-undang Fidusia), yang terhitung sejak saat diundangkannya, maka secara yuridis formal pranata jaminan idusia yang kita kenal selama ini dimasyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dikenal dengan sebutan “Fiduciaire Eigendoms Overdracht” atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi masuk dalam hukum positif di Indonesia dengan sebutan Undang-undang Fidusia.

Sebagaimana dijelaskan dalam angka 3 Penjelasan Umum Undang-undang Fidusia,

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Sebelum undang-undang idusia dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini obyek Jaminan Fidusia diberikan pengertian luas. Hal mana disebutkan pada Pasal 1 Undang-undang Fidusia, yaitu: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hipotik”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Fidusia tersebut diatas dapat diketahui bahwa objek jaminan idusia adalah:

1. Benda bergerak yang meliputi berwujud dan tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hipotik Mengenai pengaturan benda idusia ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 3

Undang-26 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis-Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2000), hlm. 5.


(4)

undang Fidusia. Dalam ketentuan mengenai benda idusia juga ditegaskan, bangunan diatas orang lain yang tidak dapat di bebani dengan hak tanggungan berdasarkan undang-undang Hak Tanggungan nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek idusia.

Terhadap benda jaminan idusia ini hal penting yang perlu dicermati adalah menyangkut prinsip dari benda idusia itu sendiri yang mana haruslah merupakan benda milik pemberi idusia dan bukan merupakan benda yang berada dalam status kepemilikan orang lain.

Dari pengertian tersebut diatas jelaslah sudah bahwa kios pasar yang di pakai oleh para pedagang tradisional tidak dapat dibebani idusia jika ditinjau dari pengertian benda dalam Pasal 1 Undang-undang Fidusia karena kios baik bangunan maupun tanahnya bukan milik para pedagang akan tetapi milik pemerintah daerah setempat yang di pergunakan oleh para pedagang untuk berjualan berdasarkan ijin tertulis yang bisa berupa Kartu Bukti Pedagang (KBP), Surat Penunjukan Tempat Usaha (SPTU) maupun Bukti Pemakaian Tempat Usaha (BPTU).

Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit Security, Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum itu adalah Sircherkeit des Rechts Selbst ( kepastian tentang hukum itu sendiri), ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum:27

a. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa ia adalah peraturan perundangan

b. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Taatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”

c. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan.

d. Hukum positif itu boleh sering berubah-ubah.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa di jawab secara normatif. Kepastian hukum secara normatif merupakan suatu peraturan yang dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur jelas dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan dan menimbulkan konlik norma.

Persoalan kepastian hukum masih menjadi hambatan dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas sehingga terjadi multitafsir.

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Soerjono Soekanto dan Peter Makmud Marzuki sebagaimana telah disebutkan dan dijelaskan dalam kerangka teori, dimana intinya bahwa kepastian hukum akan tercapai apabila tersedia aturan-aturan hukum


(5)

yang jelas dan aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Jika melihat dari pengertian maupun penjelasan hukum kebendaan bahkan pendapat para sarjana hukum sekalipun kios pasar belum bisa dikategorikan sebagai “benda” apalagi benda tidak bergerak karena seperti yang telah di jelaskan diatas pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata ini menggunakan sistem tertutup dan bersifat memaksa (dwingend recht).

Dengan kata lain bahwa hubungan hukum antara pedagang dengan kios pasar yang dipakainya tidak melahirkan hubungan kebendaan, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara pedagang dengan bendanya (kios pasar yang dipakainya). Meskipun pedagang memegang ijin tertulis dari pemerintah daerah setempat tidak menyebabkan para pedagang tersebut menjadi pemilik kios pasar yang dipakainya. Pemberian ijin tertulis kepada pedagang tersebut tidaklah memberikan suatu hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang (droit de suite).

Terkait kios pasar yang dijadikan objek jaminan dan diterima sebagai jaminan oleh kreditor maka akibat hukum yang timbul adalah kreditor tidak dapat melakukan pengikatan jaminan terhadap objek kios

pasar tersebut dengan menggunakan lembaga penjamin apapun karena kios pasar belum bisa dikategorikan sebagai benda dan hanya merupakan ijin memakai bangunan saja dengan kata lain kios pasar bagi pedagang tidak ada hak pemilikannya.

Simpulan

Kios pasar ditinjau dari hukum kebendaan belum bisa dikategorikan sebagai benda karena kios pasar hanya merupakan ijin memakai bangunan saja tidak dapat melahirkan hubungan kebendaan meskipun debitor memiliki ijin berupa surat keterangan hak pemakaian tempat berjualan dalam bentuk KBP, SPTU, BPTU atau jenis ijin penggunaan kios pasar lainnya dari pemerintah daerah setempat, tetapi tidak secara otomatis akan memberikan suatu hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang (droit de suite) karena pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUHPerdata menggunakan sistem “tertutup”, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam KUHPerdata tersebut dan sifat dari hukum benda itu sendiri yang mana bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan.


(6)

Buku

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan Jilid I. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001.

_________________. Seri Hukum Bisnis-Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2000.

Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni, 1983.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1985.

Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press, 2006. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata

Tentang Hak Atas Benda. Jakarta: Intermasa, 1979.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang

jaminan idusia.

Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Perda Kabupaten Berau Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Perda Kabupaten Bengkayang Nomor 6 Tahun

2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Perda Kabupaten Jombang Nomor 25 tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Jurnal

Faisal, Nova. “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15 Maret 2005”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36 No. 4. (Oktober-Desember 2006).