Peranan Wanita Jepang Pada Zaman Meiji Dan Sesudah Zaman Meiji Chapter III IV

BAB III
PERANAN WANITA JEPANG PADA ZAMAN MEIJI DAN SESUDAH
ZAMAN MEIJI
3.1 Peranan Wanita Jepang pada Zaman Meiji

33
Universitas Sumatera Utara

Seiring dengan perkembangan zaman,kehidupan manusia dari generasi ke
generasi mengalami perubahan.Kebudayaan,peradaban, adat istiadat dan tradisi,
serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pun berubah. Nilai-nilai dan
pandangan lama yang bersifat tradisional, yang berlaku dalam masyarakat pada
masa lalu di zaman sekarang ini telah mengalami pergeseran. Adat istiadat dan
tradisi yang dulu mengikat masyarakat telah mengalami perubahan dan
pelaksanaannya

disesuaikan

dengan

perkembangan


zaman.

Dengan

berkembangnya paham-paham kebebasan, manusia secara individu dapat lebih
bebas dalam memilih dan memutuskan sendiri kehidupannya. Masing-masing
negara memiliki adat tradisi dan ciri khas tersendiri. Begitu juga dengan negara
Jepang.
Konsepperanan

(gender)bagiJepang
Menurut

sendirisangatdipengaruhiolehajaranKonfusianisme.

IkenodalamHandayani(2006:65)menyebutkanseorangwanitaJepangyangmasih
berfikirtradisional,
kebahagiaanbagimerekaadalahberadadiantararumahdankeluarga,
atauyanglebihdikenaldenganryousaikenbo.Pada masyarakat Jepang di zaman

Meiji, wanita dituntut untuk menjadi ryousaikenbo

良妻賢母

. Ryousai

artinya istri yang baik, sedangkan Kenbo adalah ibu yang bijaksana. Tugas utama
Ryousai Kenbo adalah mendidik anak dengan baik dan berbakti kepada suaminya.
Cara mereka untuk berbakti kepada suami yaitu dengan menghargai dan
menghormati suami dengan baik, dapat menjaga dan merawat diri, bertindaktanduk tanpa cela, dan selalu bersedia untuk setia dalam mendampingi suami.

34
Universitas Sumatera Utara

Pandangan

ryousaikenbo

secara


tidak

langsung telah

mempengaruhi

pendidikan wanita dimana mereka hanya mendapat pendidikan yang berkaitan
dengan kerumah tanggaan, seperti menyulam dan menjahit. Pada masa ini
partisipasi wanita Jepang dalam dunia kerja cukup tinggi, tetapi tempat di mana
mereka dapat pekerjaan masih dibatasi. Sebagian besar dari mereka bekerja
dibidang pertanian, industri kerajinan tangan, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang
tidak memerlukan keahlian dan keterampilan khusus. Adapun pekerjaan yang
mereka lakukan adalah jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan tetap
mengawasi anak-anak mereka dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Iwao,
1993. 154).
Pada saat itu kehidupan jepang mulai dipengaruhi budaya barat, bagi wanita
rambutnya mulai dikeritingkan, kimononya mulai di lepas, berganti dengan gaungaun besar. Jepang dari xenophobia (takut orang asing) berubah menjadi
xenophilia (menyenangi budaya asing). Jepang sebagai negara didikan konfusius
yang terkuat pada masa itu mempunyai cara agar barat tidak menguasai kehidupan
masyarakat mereka sepenuhnya. Karena itu,agar masyarakat tetap memegang adat

jepang yang kuat, pemerintah jepang membuat “Undang-Undang Minpo”.
Pada Undang-Undang Minpo mengatur nasib wanita jepang, serta pengaruh era
Shogun Tokugawa sebelumnya yang masih kental dengan driskriminasi gender.
Adapun isi dari undang minpo yang mengatur tentang wanita saat itu, yaitu :
a. Wanita dalam Keluarganya (sistem ie)
1. Sebagai wanita, mustahil untuk mendapat warisan, apalagi kalau masih ada
anak laki-laki di keluarga itu
35
Universitas Sumatera Utara

2. Tidak diperkenankan memilih jodohnya sendiri, karena riwayat cintanya
ditentukan oleh Kepala Keluarga. Pernikahannya pun semata-mata hanya demi
kepentingan dua keluarga yang menikahkan. Bisa dikatakan sebuah bisnis bagi
keluarga
3. Tidak boleh berpendapat, apalagi membantah kepala keluarga
4. Satu-satunya pendidikan yang didapat wanita jepang adalah Kasei (sekolah
manajemen keuangan rumah tangga).
b. Wanita dalam Pernikahannya
1. "Oyome ni nareba, tanin no hajimari" [




他人



]

yang artinya, ketika seorang wanita menjadi istri orang lain, dia akan menjadi
orang asing bagi keluarganya sendiri. Misalnya, ada wanita bernama Kaneko
yang marganya Tanaka, dia akan menikah dengan keluarga Murasaki, maka
namanya berubah menjadi Kaneko Murasaki. Sejak namanya berubah itu, si
wanita tidak boleh curhat soal masalah keluarganya pada orangtuanya di
keluarga Tanaka, bahkan tidak boleh lagi masuk ke rumah keluarga Tanaka
dengan mengucapkan "tadaima" (aku pulang). Eksistensi wanita itu sudah
dianggap hilang oleh keluarga Tanaka
2. Dalam sistem ie (sistem kekeluargaan jepang tradisional), oyome atau menantu,
adalah orang dengan kedudukan paling rendah. Dia harus bangun paling pagi,
bekerja paling keras, makan paling belakangan, dan tidur paling malam


36
Universitas Sumatera Utara

3. Ketika si wanita ini hanya bisa melahirkan anak cewek, sang suami berhak
mengambil selir sampai dia punya anak laki-laki sebagai ahli waris. Ironisnya,
anak laki-laki dari selir lebih tinggi kedudukannya dibandingkan anak
perempuan dari istri sah
4. Kalau si wanita ini sakit, suaminya dapat dengan mudah menceraikan dia.
Bahkan, kalau si wanita mandul, ketahuan selingkuh, dan sebagainya. Pada
saat ini, perceraiannya hal yang mudah
5. Sebaliknya, kalau si pihak wanita tidak bahagia karena suaminya selingkuh, dia
harus bisa membuktikan perselingkuhan itu di hadapan pengadilan Jepang.
Prosesnya rumit dan berbelit-belit. Dalam hal ini cerai bukan perkara yang
mudah
6. Misalnya si wanita adalah ahli waris dari keluarga asalnya, seluruh hartanya
akan dikontrol oleh sang suami. Wanita tidak mendapatkan sepeserpun dari
hartanya.

c. Kehidupan Setelah Cerai
1. Ketika diceraikan, sang wanita tidak diperkenankan untuk kembali ke keluarga

lamanya. Dalam kasus ini, contoh si Kaneko Murasaki, tidak boleh kembali ke
keluarga Tanaka, dan tidak boleh lagi memakai marga Murasaki

37
Universitas Sumatera Utara

2. Tidak boleh membawa anaknya keluar dari rumah suaminya. Jadi si Kaneko ini
harus pergi sendirian
3. Semua harta ditinggalkan di rumah suaminya.
Jadi bisa dikatakan, kemungkinan si wanita ini mendapat jodoh lagi sangat sulit.
Apalagi jodoh hanya bisa didapatkan melalui perantara kepala keluarga. Jadi,
kebanyakan para wanita ini hidup dengan menjadi pelacur, atau kalau cantik bisa
direkrut menjadi geisha.
Pada kehidupan Jepang yang masih berada di zaman tradisonal ini, umumnya
wanita pada waktu kecil patuh pada ayahnya. Kemudian pada waktu dewasa,
wanita patuh pada suaminya. Saat menua dan renta, wanita harus patuh pada anak
sulungnya. Tugas wanita seumur hidupnya hanyalah kaji (rumah tangga), ikuji
(mengurus anak) dan kaigo (mengurus orang tua). Satu-satunya pihak yang harus
menjaga kehormatannya pada masa itu hanyalah wanita. Wanita baru dianggap
berhasil ketika dia menjadi ryousaikenbo (Ibu yang baik dan bijaksana), yang

dengan kata lain, ibu yang berhasil bertahan dari penderitaan batin dan kelakuan
buruk suaminya dan mertuanya. Menurut falsafah Meiji, wanita hanyalah alat
untuk kebangkitan negara.
Menurut Fujimura (1995) sejak Restorasi Meiji (1868), banyak terjadi
perubahan peran perempuan baik sebagai istri maupun ibu di dalam masyarakat
Jepang. Pada masa ini, kaum perempuan di lingkungan domestic dibekali dengan
pengetahuan serta pendidikan yang lebih baik untuk menjalankan perannya. Dan
pemerintah Meiji menjadikan paham ”Ryosai Kenbo” yang diadaptasi dari

38
Universitas Sumatera Utara

paham ”good wife, wise mother” yang muncul di Eropa pada masa sesudah
zaman pertengahan sebagai dasar pendidikan perempuan Jepang pada masa itu.
Sebagai seorang istri yang baik, wanita Jepang melayani suaminya dengan setia
dan patuh, menangani ekonomi rumah tangga, serta melaksanakan segala urusan
rumah tangga dengan baik. Dan sebagai ibu yang bijaksana, wanita Jepang
membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik sehingga dapat
menghasilkan anak-anak yang pandai, patuh, dan cinta terhadap tanah airnya.
Pada masa sebelum Perang Dunia II (PD II), pemerintah membatasi peran

ryosaikenbo hanya dalam lingkungan domestik saja, namun seiring dengan Perang
Dunia II (1930), paham ryosaikenbo mengalami sedikit perubahan. Pada saat itu,
negara Jepang membutuhkan banyak tenaga untuk berperang sehingga para
ryosaikenbo dituntut untuk melahirkan banyak anak dan menggantikan kaum lakilaki untuk bekerja di bidang industri. Dengan kata lain, selain perempuan harus
melaksanakan perannya di bidang domestik, ia juga diharapkan berpartisipasi
dalam bidang publik melalui perannya dalam perekonomian negara.
Setelah perang dunia (1945), negara Jepang mengalami banyak perkembangan
baik di bidang ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Seiring dengan
perkembangan yang kian meningkat (1980), kompetisi di berbagai bidang,
khususnya pendidikan pun tidak dapat dihindari sehingga menjadikan masyarakat
Jepang merupakan masyarakat yang mengutamakan pendidikan (Gakurei Shakai)
dimana status sosial seseorang dalam masyarakat Jepang dilihat bukan
berdasarkan latar belakang keluarga saja, melainkan juga pendidikannya. Seperti

39
Universitas Sumatera Utara

pernyataan yang dikutip oleh Fujimura (1995:96) dari Morosawa (1978:23-24)
yang mengatakan:
“ The fundamental basis for an enriched country lies with education, whose basis

is with women’s education. The success orfailure of the countrydepends upon
women’s education. This must not be forgotten. In the process of educating girls
and women, we must put across the idea ofserving and helping their country. The
models for women are a mother nurturing her child; a mother teaching her child.”
Terjemahan :
“Dasar pokok untuk sebuah negara maju terletak pada pendidikan, dimana
dasarnya adalah dengan pendidikan wanita. Sebuah kesuksesan atau kegagalan
dari negara itu tergantung pada pendidikan wanita. Hal ini tidak boleh dilupakan.
Dalam proses mendidik anak perempuan dan wanita, kita harus memupuk ide
tentang melayani serta membantu negara mereka. Bentuk bagi para wanita adalah
dengan seorang ibu mengasuh anaknya;seorang ibu mendidik anaknya.”
Pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa bagi orang Jepang, anak-anak
merupakan investasi jangka panjang untuk kemajuan negara dan ibu menjadi
aspek yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan.
Alasan itulah yang mendorong kaum ibu Jepang untuk memprioritaskan rumah
tangganya saja, terutama pendidikan anak. Banyak diantara mereka yang memilih
berhenti dari pekerjaan demi pendidikan anaknya. Berdasarkan peran ibu yang
mengutamakan pendidikan anak-anak inilah menimbulkan suatu pemikiran baru
tentang kaum ibu dalam masyarakat Jepang yakni konsep kyouiku mama. Pada


40
Universitas Sumatera Utara

awalnya, apabila diartikan secara harfiah, kyouiku mama(教育ママ) berasal dari
教育

penggabungan dua kata yakni kyouiku

dan mama

ママ

. Kyouiku

memiliki arti pendidikan dan pengajaran. Namun, pasca perang dunia II
pengertian kyouiku mamapun mengalami perubahan.
Menurut Cummings (1984:555) kyouiku dalam pengertian kyouiku mama ini
lebih dekat pada istilah yang terdapat dari dua kanji dalam kata kyouiku yakni (教




) oshieru sodateru koto yang berarti mendidik dan membesarkan.

Istilah ini biasanya digunakan dalam rangka pembentukan karakter anak yang
dilakukan oleh ibu diluar pendidikan sekolah. Adapun pendidikan yang diberikan
yaitu menanamkan serta mensosialisasikan kebudayaan dan nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat Jepang. Salah satunya yakni kesadaran berkelompok
dan berkompetisi untuk mencapai keberhasilan hidup. Sedangkan mama

ママ

yang berarti ibu merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris. Makna yang
terkandung dalam kata mama
dalam kata okaasan (
Kata mama

ママ



ママ

berbeda dengan makna yang terkandung

) yang juga berarti ibu dalam bahasa Jepang.

memiliki makna lebih umum yang menggambarkan peran

ibu sama pentingnya dengan peran ayah dalam keluarga. Sedangkan kata okaasan
(



)memiliki makna yang terhormat dalam kebudayaan Jepang.

3.2 Peranan Wanita Jepang Sesudah Zaman Meiji
Pada tahun 1947, dituliskan dalam Undang-Undang yang melindungi martabat
individu dan kesamaan gender diantara pria dan wanita, maka “sistem Ie” di

41
Universitas Sumatera Utara

hapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami-isteri dihapuskan.Undang-Undang
yang merendahkan martabat wanita pun secara drastis berubah.
Konstitusi Jepang yang mulai berlaku pada tahun 1947, mendukung
prinsippersamaan antara pria dan wanita. Pasal 14 dari Undang-undang Dasar
dimulaidengan: “Semua orang sama menurut undang-undang dan tidak akan
adadiskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial dikarenakan
ras,kepercayaan, jenis kelamin, status sosial ataupun asal keluarga.”Sesuai dengan
Konstitusi, Hukum Perdata telah direformasi untukmenghapus status hokum dari
ie , sistem keluarga yang merupakan unit dasar darimasyarakat tradisional Jepang,
dan menjamin persamaan antara suami dan istridalam hak-hak harta benda,
warisan, perkawinan, dan perawatan anak.
Undang-Undang Pokok Pendidikan juga telah diamandemen untuk memberi
kesempatan pendidikan yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan. UndangUndangStandar Ketenagakerjaan kini menetapkan bahwa pria dan wanita harus
mendapatupah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Pria dan wanita
dewasa inimempunyai hak yang sama untuk memberi suara dan untuk dipilih
memegang jabatan. Dalam reformasi Hukum Perdata yang dibuat pada tahun
1979 disebutkanbahwa bagian istri atas sebuah warisan dinaikkan dari sepertiga
menjadi separoh.Secara hukum, persamaan antara pria dan wanita hampir tercapai
semua.
Kira-kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang tidak
memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai

42
Universitas Sumatera Utara

perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tahun 55 showa ( 1980 )
setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan
perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin.
Meningkatnya perkawinan pada tahun ini menurut Martha ( 1995 : 4 ) adalah
meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri
serta kemajuan ilmu kedokteran. Seiring berjalannya waktu, saat perekonomian
Jepang mengalami apa yang mereka sebut dengan bubble economy, banyaknya
tersedia pekerjaan bagi wanita. Angkatan kerja wanita ini berharap lebih berperan
di tempat kerjanya dari pada dirumah. Tahun 1985 parlemen Jepang
mengeluarkan UU yang menjamin kesamaan gender di lapangan kerja. Walaupun
dibandingkan 10 tahun yang lalu sudah semakin banyak wanita yang bekerja
penuh. Dari masa ke masa grafik pekerja wanita (usia menikah 27 tahun) Jepang
yang keluar dari lapangan kerja terus meningkat. Kemudian di usia 40 tahun
keatas grafik wanita memasuki lapangan kerja mulai meninggi lagi. Hal ini
dikaitkan dengan adanya kelahiran dan masa membesarkan anak –anak oleh ibuibu Jepang.
Tenaga Kerja dan Kesejehteraan Jepang, dari wanita karir yang menikah,
setelah melahirkan anak ternyata hanya 30% yang kembali bekerja karena tidak
mampu menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagi Jepang ini
adalah hal yang mengkhawatirkan dan Jepang terdesak dalam 2 pilihan yaitu
apakah tetap memperjuangkan kesamaan gender atau sama sekali melupakannya.
Kenyataan harus memilih pekerjaan atau anak bagi kaum wanita di Jepang telah
menciptakan semacam mimpi buruk demografis.
43
Universitas Sumatera Utara

Tahun fiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang
sebanyak 25.5 juta yang 41.4% (9.3 juta) adalah pekerja wanita paruh waktu,
bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan dari seluruh total lapangan kerja
paruh waktu, 77.4 persen diduduki oleh tenaga kerja wanita (Japan A Pocket
Guide 2004, Foreign Press Centre Japan).
Munculnya paham feminisme juga menyebabkan banyak wanita Jepang yang
semakin berkurang keinginnya untuk menikah, karena tidak mau terikat tradisi
dengan menjadi ibu rumah tangga dan prosedur pernikahan yang merepotkan serta
memakan banyak biaya. Seorang penulis Jepang, Sumiko Iwao dalam bukunya
yang berjudul "Japanese Women: Traditional Image and Changing Reality"
menjelaskan beberapa penyebab berkurangnya jumlah pasangan yang menikah di
Jepang yaitu kemajuan di bidang ekonomi sehingga para wanita mampu hidup
mandiri secara finansial meskipun tidak bersuami.
Dari beberapa alasan itu terlihat bahwa perkembangan ekonomi telah menjadi
alasan utama bagi wanita Jepang untuk menunda pernikahannya. Hal ini secara
tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi di Jepang
memiliki peranan besar dalam perubahan pola pikir masyarakat Jepang terhadap
pernikahan, khususnya bagi wanita Jepang modern.
Menurut Sumiko Iwao, bagi wanita yang berorientasi pada karir, perkawinan
dianggap penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Pernikahan bagi
wanita Jepang modern telah menjadi beban karena harus mengorbankan keinginan
pribadi mereka masing-masing untuk kepentingan keluarga. Untuk bisa

44
Universitas Sumatera Utara

mempertahankan gaya hidup mereka, para wanita Jepang modern rela hidup
dengan tetap melajang dan menikmati kebebasannya.
Dibanding yang pria, wanita Jepang setelah lulus SMU lebih banyak yang
melanjutkan ketingkat pendidikan yang lebih tinggi ke kolese junior dan
perguruan tinggi, 48.8%. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah,
profesionalisme. Saat seorang wanita memilih menjadi ibu rumah tangga, bekerja
sebagai pendidik bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai

kekangan,

melainkan bersifat utama, strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita
seperti itu tidak dianggap rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Peran
ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap
sebagai chuto hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang. Bagi orang Jepang,
setelah menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu menjadi ibu rumah tangga atau tidak
sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang.
Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan
mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban. Bagi wanita pekerja
Jepang (wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak), bisa mencapai
jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu.
Pasca Perang Dunia II, kaum wanita Jepang mulai bangkit untuk meningkatkan
peranannya dalam bidang sosial dan politik. Peranan kaum ibu telah banyak
berubah, walaupun dibandingkan dengan negara-negara industri yang lain
termasuk belum begitu luas. Kaum wanita sudah mulai meninggalkan adat lama
yang berasal dari ajaran Confusianisme. Menurut Okamura “Zaman wanita yang
cerdas sudah tiba”. Pendidikan kaum wanita sudah berkembang dan wanita karier
45
Universitas Sumatera Utara

mengalami peningkatan. Wajib belajar telah berubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Walaupun wanita yang sampai ke tingkat pendidikan tinggi presentasenya sangat
kecil, dan banyak yang berguguran, namun wanita terdidik telah mengalami
peningkatan.
Perubahan sosial yang tajam terjadi seiring dengan perkembangan industri
yang cepat, situasi itu mempengaruhi kedudukan dan fungsi wanita dalam
masyarakat. Kesamaan hak antara pria dan wanita dalam hubungannya dengan
politik, ekonomi dan sosial dijamin undang - undang yang berlaku sejak 1947.
Diskriminasi tidak dibenarkan UU, dan wibawa kaum wanita diberikan lebih
besar daripada sebelumnya. UU memberikan persamaan hukum bagi kaum wanita
secara sepenuhnya, yaitu meliputi soal perkawinan, perceraian, hak milik, warisan,
pilihan tempat tinggal, dan soal keluarga yang lain. Kaum wanita tidak lagi
terkekang di dalam urusan rumah tangga, mereka sudah mulai mengerjakan
pekerjaan di luar rumah tangga, seperti di bidang industri, pertanian, perikanan,
dan kehutanan.
Di kota-kota besar Jepang, wanita mengerjakan pekerjaan industri rumah di
rumah mereka sendiri. Pembatasan-pembatasan terhadap wanita memang masih
dapat dijumpai pada pola pengupahan, kenaikan pangkat dan masa kerja. Pada
perusahaan swasta, dalam pekerjaan yang sama upah wanita tidak sampai 50%
dibandingkan pekerja pria. Wanita yang menangani manajemen atau pekerjaan
yang bertanggung jawab sangat sedikit, ini dipakai sebagai alasan untuk memberi
gaji rendah kepada pekerja wanita. Pegawai negeri wanita dinilai lebih lamban
dalam kenaikan pangkat dan dianjurkan pensiun pada usia muda dibandingkan
46
Universitas Sumatera Utara

pegawai pria. Titik terang peranan wanita bagaimanapun sudah tampak, kaum
wanita telah hadir di bidang-bidang yang sebelumnya tertutup; di bidang seni
melahirkan seniwati-seniwati kelas dunia, dan di bidang akademik bermunculan
ilmuwan-ilmuwan wanita.
Keadaan itu tidak terlepas dari adanya UU tentang persamaan hak dan semakin
banyaknya peluang yang tersedia, termasuk waktu bagi kaum wanita untuk
mengerjakan pekerjaan di luar rumah tangga. Beban tugas rumah tangga menjadi
semakin ringan setelah Revolusi Konsumsi, sebab terdapat kecenderungan untuk
menggunakan barang-barang industri tahan lama. Ikatan istri dengan mertua
semakin kendor setelah adat tinggal bersama mertua istri diabaikan oleh pasangan
suami-istri, dan mereka bebas menentukan tempat tinggal di luar keluarga.
Perkawinan didasarkan saling cinta dan semakin banyak pernikahan
dilaksanakan lewat aturan hukum sipil yang berlaku, bukan melalui hukum adat.
Otoritas istri di dalam keluarga bertambah besar, bahkan kadang ada yang
melampaui otoritas suami. Namun, seorang istri akan kehilangan otoritasnya jika
tidak dapat melahirkan anak. Keluarga Jepang modern berpusat pada ibu dan
didominasi oleh ibu.
Wanita mempunyai daya kemauan dan kekuatan psikologis daripada pria.
Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga dilakukan oleh ibu. Di luar
lingkungan keluarga, kaum wanita melakukan berbagai aktivitas di organisasiorganisasi sosial dan politik. Perkumpulan-perkumpulan kaum ibu yang didirikan,
antara lain : Konperensi Kaum Ibu dan Liga Kaum Istri. Organisasi yang

47
Universitas Sumatera Utara

bergabung di dalam gerakan yang menyebut Konperensi Kaum Ibu adalah
organisasi buruh wanita, organisasi wanita dan kelab-kelab wanita. Gerakan ini
bersifat nasional dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Tujuan gerakan
adalah untuk perdamaian dunia dan perlindungan anak, karena itu gerakannya
meliputi anti percobaan senjata nuklir, anti persenjataan kembali dari Jepang,
pemberantasan folio, dan pornografi.
Liga Kaum Istri melancarkan gerakan perlindungan konsumen, pendirian
koperasi dan sebagainya. Kaum wanita sudah berani mengkritik pemerintah
daerah dalam penganggaran pembangunan kota. Persamaan hak di bidang politik
sudah ada sejak tahun 1946, yaitu kaum wanita memiliki hak memilih dan dipilih
dalam pemilihan umum. Hasil pemilihan umum tahun 1946 ada 39 wanita yang
dipilih dari 83 calon wanita. Mereka itu juga menjadi anggota parlemen dan
dewan-dewan perwakilan rakyat daerah serta dalam tiap tingkat administrasi
pemerintahan. Partisipasi wanita mengalami penurunan sehingga tahun 1971
hanya terdapat 8 wanita yang duduk dalam House of Representatives dan 13
wanita yang ada dalam House of Counsillors. Dasawarsa berikutnya baru
diketemukan seorang Duta Besar wanita dan kepala departemen di universitas
yang dijabat oleh seorang wanita. Namun secara umum kesadaran politik wanita
masih rendah, dan partisipasi wanita belum menggembirakan terutama dalam
pengambilan keputusan pada taraf nasional.

48
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai
Peranan Wanita Jepang Pada Zaman Meiji Dan Sesudah Zaman meiji berdasarkan
pendekatan sosiologis
1. Dalam perspektif historis, wanita Jepang mengalami perubahan kedudukan dan
peranannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

49
Universitas Sumatera Utara

2. Peranan kaum wanita itu mengalami perubahan sebagai akibat pengaruh
budaya Cina, khususnya ajaran Confusianisme.
3. Munculnya sistem feodal bersama-sama dengan ajaran Confusianisme
menyebabkan kedudukan dan fungsi kaum wanita sangat terpuruk, baik dalam
bidang sosial, ekonomi maupun politik.
4. Wanita Jepang khususnya wanita di zaman Meiji di dalam program
industrialisasi pemerintah perannya dianggap rendah dan tidak dihargai.
5. Kedudukan sosial dan politik kaum wanita baru ditingkatkan dengan lebih baik
setelah Perang Dunia II.
6. Perubahan dalam lapangan pekerjaan memberikan akses kepada wanita untuk
menerima upah sebagai tenaga kerja.Pendayagunaan tenaga kerja wanita
sangat tinggi dan perbedaan upah dibandingkan pria berada di tingkatan
terbawah.
7. Jiyuminken menciptakan perundang-undangan (Dai-nippon Teikokukenpo dan
Meijiminpo) mengandung maksud memperbaiki status wanita, kenyataannya
hanya pada hal tertentu dan terbatas. Penyebab dari rintangan bagi wanita
perangkat hukum Meijiminpo mempertegas pembatasan kedudukan wanita dan
sistem sebagai dasar dari Meijiminpo menekan pembagian kerja di dalam
rumah tangga. wanita dari shakaishugi (faham sosialis) menampilkan akibat
dari sistem le dan kapitalisme yang membentuk kondisi tidak sama bagi wanita.

50
Universitas Sumatera Utara

8.Wanita ditekankan memiliki sebagian besar tanggung jawab di lingkungan
keluarga dan pemeliharaan anak.
9.Menjadi wanita ryosaikenbo sangat penting, semua wanita berlaku sebagai isteri
yang baik dan ibu yang bijaksana di dalam rumah tangga, tempat kerja dan
masyarakat.
4.2 SARAN
Dalam penelitian ini, hipotesa peneliti bahwa terdapat perbedaan dan
perubahan kedudukan wanita jepang pada zaman meiji dan sesudah zaman meiji.
Keterbatasan dalam pembahasan ini adalah data yang terkumpul sangat terbatas
sehingga penelitian ini masih banyak kekurangan. Untuk peneliti selanjutnya
disarankan untuk memperbanyak data untuk dijadikan bahan membahas peranan
wanita jepang. Peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya menggunakan
teknik wawancara tatap muka agar bisa memperoleh jawaban yang lebih
mendalam.

51
Universitas Sumatera Utara