“BAHASA, BUDAYA, AGAMA DAN TRADISI PADA MASYARAKAT PERKOTAAN”

LAPORAN STUDI PUSTAKA
“BAHASA, BUDAYA, AGAMA DAN TRADISI PADA MASYARAKAT PERKOTAAN”
Nama : Rofelli Ekawati Tambunan
Nim

: 3143322021

Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unimed
Mata Kuliah Antropologi Perkotaan
A. Tinjauan Empirik
Kota Medan sebagai sebentuk wilayah perkotaan memiliki penduduk yang dapat
digolongkan pada kategori masyarakat heterogen, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai
jenis suku, agama, ras dan golongan. Komposisi masyarakat Kota Medan terdiri atas Melayu,
Batak (Mandailing, Toba, Karo, Pak-pak, Simalungun, Angkola), Jawa, Aceh, Minangkabau,
Tionghoa, India (Tamil, Sikh). Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi
atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah
awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan
merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan
etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Kota Medan. Namun walaupun demikian untuk
memperoleh data yang lebih empirik maka tinjauan khusus yang akan dibahas adalah pada etnis
minangkabau yang ada di kota medan. Hal ini dilakukan untuk lebih mendalami etnis tersebut

termasuk dari segi bahasa, budaya, agama, dan tradisinya.
Oleh karena itu, maka berdasarkan Fenomena yang terjadi di Medan dengan ketiadaan
suatu kebudayaan dominan menurut temuan Edward Bruner (1974) adalah kecenderungan kaum
migran untuk mengelompok bersama dengan sesama warga suku bangsanya, dan memperkuat
posisi kelompok suku bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa dan dalam bersaing untuk
posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Masing-masing kelompok suku
bangsa menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan masyarakat suku bangsanya.
Di tempat-tempat umum mereka saling berkompetisi dengan mengaktifkan kesuku-bangsaannya.
seperti untuk kasus Medan dengan masyarakatnya yang heterogen dari berbagai etnis dengan
pengalaman budaya yang melatarbelakanginya membuat dinamika komunikasi antarbudaya
begitu indah yang acapkali dapat mendatangkan kesalahfahaman, ketidakpastian bahkan konflik
disebabkan masing–masing pihak tidak mencoba untuk saling memahami.
Atas pengertian semacam ini, berdasarkan sumber dari Tulisanterkini.com yang berisi
tentang “Kebudayaan, Etnis dan Identitas Sosial”, maka Raymond William melakukan koreksi
atas pemahaman kebudayaan yang berkembang selama ini. Ia mengembangkan sebuah
pemahaman yang menekankan pada karakter sehari- hari kebudayaan sebagai “keseluruhan cara
hidup”. Karena kebudayaan dimaknai sebagai karakter kehidupan sehari-hari, maka kebudayaan
itu tidak saja bersifat personal, akan tetapi sangat komunal. Pernyataan ini kemudian
ditegaskan kembali oleh Stuart Hall: Dua orang yang berasal dari satu kebudayaan sama artinya
dengan mengatakan bahwa keduanya menafsirkan dunia dengan cara-cara yang kurang lebih

serupa dan dapat mengekspresikan diri mereka, pikiran dan perasaan mereka tentang dunia
1

dalam cara yang bisa dipahami oleh yang lainnya. Dengan demikian, kebudayaan bergantung
pada keserupaan, secara umum, dalam penafsiran secara bermakna oleh para anggotanya
terhadap apa yang terjadi disekitar mereka dan keserupaan dalam “cara memahami” mereka
tentang dunia.
B. Studi-Studi Terdahulu
Berdasarkan Liliweri (2003: 256) yang mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya akan
berkesan apabila setiap orang yang terlibat dalam proses komunikasi mampu meletakkan dan
memfungsikan komunikasi di dalam suatu konteks kebudayaan tertentu. Selain itu, komunikasi
antarbudaya sangat ditentukan oleh sejauh mana manusia mampu mengecilkan salah paham yang
dilakukan oleh komunikator dan komunikan antarbudaya. Sebagaimana beberapa kajian dari
berbagai peneliti yang memberi perhatian kepada komunikasi antarbudaya dan pandangan
budaya coba penulis rekamkan di bawah ini sebagai penguat dasar pemikiran dalam menjalankan
penelitian. Antara lain: penelitian yang dilakukan Arifah Armi Lubis (2010:222) dengan judul
“Identitas Etnis dan Komunikasi Antarbudaya: Studi Kasus Peran Etnis dalam Komunikasi
Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU”, menemukan bahwa;
“Identitas etnis yang muncul pada kebanyakan informan adalah perasaan in-group, stereotip,
sikap etnosentrisme, pengetahuan tentang budaya etnis, rasa kepemilikan serta evaluasi positif

pada kelompok etnis. Para informan berupaya mempertahankan identitas etnis dengan menjaga
nilai Melayu yang difahami. Di segi lain, mencoba untuk mengadakan peleburan dengan
mahasiswa pribumi dengan berusaha agar dapat berbahasa Indonesia. Kesadaran identitas etnis
akan tinggi pada masa etnosentrisme, prasangka dan streotip muncul, pada masa menemukan
adanya perbedaan nilai dan pola perilaku budaya yang sangat jauh”.
Dalam buku yang berjudul “Communication Between Culture”, Samovar, Porter dan Mc
Daniel (2007: 16-17) menggambarkan peristiwa komunikasi antarbudaya dengan pandangan
yang berbeda dari orang-orang berbagai budaya. Seterusnya Samovar, et al. (2006: 12-14) dalam
teorinya mengatakan bahwa ada tiga elemen utama yang membentuk persepsi budaya dan
berpengaruh besar atau langsung terhadap individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang
pertamanya adalah pandangan dunia (sistem kepercayaan atau agama, nilai-nilai budaya dan
perilaku), keduanya sistem simbol (verbal dan tidak verbal) dan ketiganya organisasi sosial
(keluarga dan institusi). Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan prilaku orang lain kita harus
memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antarbudaya yang ideal kita berharap
banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter budaya
berkecenderungan memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama atau
berbeda. Oleh sebab itu ia membawa persepsi budaya yang berbeda-beda pada dunia di luar
budaya sendiri. Dari tulisan tersebut, komunikasi antara manusia terikat oleh budaya,
sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sehingga praktek dan
perilaku komunikasi individu-individu yang dibangun dalam budaya juga akan berbeda. Dapat

dikatakan bahwa melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi dan memandang
dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan simbol-simbol. Selain itu, terkesan
bahwa masing-masing orang dari budaya yang berbeda mempunyai pandangan yang tidak sama
dalam memposisikan satu objek ataupun keadaan, begitu pula sebaliknya.

2

C. Teori Dan Konsep
Kajian tentang etnik sebagai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama,
berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bemuara pada ranah
politik. Kajian aspek sosio-politik tentang etnik ini pula yang belakangan disebut studi etnisitas
(Bahar, 1995). Perhatian dan pandangan terhadap wilayah kajian ini memang cukup berkembang
dalam antropologi fisik maupun antropologi budaya. Namun demikian, telaah bersudut pandang
sosiologis dan politik masih kurang berkembang. Kita bisa menyimak pendapat dari Bahar
(1995), kajian aspek politik dari etnik masih langka dan kurang menarik perhatian ilmuwan
politik. Ada kesan bahwa dari segi politik, masalah etnik adalah masalah lampau.
Sementara menurut Berghe (1981), etnisitas disikapi dan dipandang sebagai gejala pramodern. Sebagai gejala pra-modern, etnisitas merupakan limbah partikularime dan askripsi yang
tidak sesuai dengan kecenderungan ke arah prestasi, univeralisme dan nasionalisme yang
menjadi ciri utama masyarakat industri. Untuk memperjelas pernyataan tersebut Berghe
mengatakan, Ethnicity was seen as pre-modern phenomenon, a residue of particularism and

ascription incompatible with the trend toward achievemnt, universalism and nationality
supposedly exhibited by industrial societies (Berghe, 1981:17). Hal senada juga pernah
dikemukakan oleh Graetz dan McAllister (1984:75). Secara normatif, memang ada
kecenderungan harapan agar sejalan dengan kemajuan teknologi dan integrasi sosio-politik yang
lebih besar, bayang-bayang etnisitas sebagai kekuatan mundur (declining force), secara bertahap
akan menghilang. Walaupun demikian, kecenderungan empirik menunjukkan betapa masih kuat
daya ikat etnik terhadap para anggotanya.
Sehingga untuk memperoleh yang demikian maka, teori yang sesuai juga dapat
digunakan yaitu Berdasarkan Teori Interaksi Simbolik yaitu dengan penggunaan Pendekatan
interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis utama, yaitu:
(1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
bagi mereka
(2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, dan
(3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung
(Kuswarno, 2008: 22).
Interaksi simbolik dalam pembahasannya telah berhasil membuktikan adanya hubungan
antara bahasa dan komunikasi. Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu
sosiolinguistik dan ilmu komunikasi Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama

pada tahun 1950an dan 1960an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.
Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68).

3