AGAMA DAN BUDAYA : STUDI TENTANG TRADISI PERKAWINAN BERBASIS PITUNGAN PADA MASYARAKAT ISLAM DESA TAMAN PRIJEK LAREN LAMONGAN.

(1)

AGAMA DAN BUDAYA

(Studi Tentang Tradisi Perkawinan Berbasis

Pitungan

Pada Masyarakat

Islam Desa Taman Prijek Laren Lamongan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Perbandingan Agama

Oleh :

LESWONO NIM: E02212006

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 201


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

LESWONO 2016, Skripsi dengan judul “Tradisi Perkawinan Masyarakat Islam (Studi Kasus Di Desa Taman Prijek Laren Lamongan)”.

Upacara adat perkawinan merupakan serangkaian kegiatan tradisional turun-temurun yang mempunyai maksud dan tujuan agar sebuah perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan di kemudian hari. Kebudayaan Jawa telah berinteraksi dengan norma-norma agama sehingga perkawinan adat Jawa merupakan suatu upacara tradisional keagamaan yang sangat sakral dan di dalam pelaksanaannya terdapat norma-norma agama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebudayaan masyarakat Jawa yang memiliki pola-pola kebudayaan berupa ide-ide, cita-cita, adatistiadat, kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dijadikan pedoman dalam mencapai tujuan bersama untuk kelangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata upacara perkawinan masyarakat Taman Prijek terdiri dari tata upacara perkawinan pranikah, tata upacara perkawinan menjelang pernikahan dan tataupacara pasca nikah. Hantaran di berikan pada 3 tahapan yaitu pada tahap pranikah yaitu saat lamaran, berupa alat sholat oleh calon mempelai wanita kepada mempelai laki-laki yang bermakna supaya calon mempelai laki-laki rajin beribadah, sedangkan makanan yang rekat bermakna agar merekatkan kedua belah pihak. Calon mempelai laki-laki membalas lamaran dengan hantaran berupa pakaian“sakpengadek” yang merupakan simbolis keikhlasan lahir batin untuk member pada calon istri. Pada tahap menjelang pernikahan yaitu prosesi srah-srahan, hantaran berupa bahan makanan. Sedangkan pada tahap pasca nikah diberikan pada saat temu manten yaitu tikar dan bantal.


(6)

DAFTAR ISI

[

HALAMANJUDUL ... i

ABSTRAK………... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SEKRIPSI……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN………. v

MOTTO………... vi

DAFTAR TRANSLITERASI………. vii

KATA PENGANTAR………. ix

DAFTAR ISI………... xi

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah………... 1

B.Rumusan Masalah………... 5

C.Tujuan Penelitian………... 5

D.Manfaat Penelitian………... 6

E.Alasan Memilih Judul………... 6

F. Penegasan Judul………... 6

G.Tinjauan Pustaka………... 8

H.Metode Penelitian………... 12

I. Sistematika Pembahasan………... 17

BAB II: RELASI AGAMA DAN BUDAYA A.Agama dan Budaya………... 19

1. Pengertian Agama………... 19

2. Pengertian Budaya………... 21

3. Akulturasi Agama dan Budaya………... 22

B.Seputar Tradisi Perkawinan di Jawa………... 26

1. Pengertian Perkawinan………... 26

2. Perkawinan di Jawa………... 30

3. Tata Cara Perkawinan di Jawa…….………... 31

C.Penggunaan Pitungan Jawa Dalam Tradisi Perkawinan... 37

BAB III: PROFIL LOKASI PENELITIAN A.Sejarah Singkat Desa Taman Prijek………... 49

B.Keadaan Geografis………... 50

C.Keadaan Demografis………... 51

1. Keadaan Penduduk………... 51

2. Keadaan Sumber Daya Alam………... 53

3. Tingkat Pendidikan ………... 55

4. Keadaan Pembangunan………... 56

5. Kondisi Sosial Keagamaan ………... 58

6. Kondisi Pemerintahan Desa ………... 59

BAB IV: TRADISI PERKAWINAN DI DESA TAMAN PRIJEK A.Prosesi Pelaksanaan Perkawinan di Desa Taman Prijek ...…….. 61


(7)

C.Upacara Perkawinan………... 67 D.Penggunaan Pitungan Jawa Dalam Trdisi Perkawinan………... 73 E.Cara Menentukan hari baik untuk Pernikahan... 75 F. Simbol-Simbol Dalam Upacara Perkawinan di Desa Taman Prijek.. 77

BAB V: ANALISA DATA

A.

Makna Tradisi Perkwinan Masyarakat Islam Jawa…………... 87 B.Tata Cara Perkawinan Masyarakat Islam Jawa ………... 95

BAB VI: PENUTUP

A.Kesimpulan ... 97 B.Saran-Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia berkembang dan melahirkan keturunan demi kelestariannya. Untuk menjalani bahtera rumah tangga, masing-masing pihak harus siap lahir dan batin untuk melakukan perannya dengan positif dalam mewujudkan suatu tujuan pernikahan.1Islam

menjelaskan bahwa dengan menikah Allah akan memberikan kehiduan yang cukup, menghilangkan kesulitan-kesulitanya dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.2

Firman Allah dalam QS:An-Nuur : 32.





































Artinya: Dan kawinilah orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.3

1Saekan dan Irniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Surabaya:

Arkola Surabaya, 1997), 76.

2 Syaikh Sayyid, Fiqih as- Sunnah, (Bandung: al- Ma’arif 1997), 9.

3Departemen Agama Ri, Al-Qur’an dan Terjemah, (Sumedang: Rohis IPDN, 2008), 32.


(9)

2

Pernikahan adalah sebuah pertalian seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja pertalian antara suami istri dan keturunanya, melainkan antara kedua keluarga.Sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan saling tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsu.4 Sabda Rasulullah SAW:

ْ

ْ

ْ

ْ

ْﻮ

د

ر

ْ

لﺎ

ر ﺎ

ْﻮ

ل

ْ ﮫ

و

.

ةءﺎ ْ ا ﻜْ عﺎﻄﺘْ ا بﺎ ﱠﺸ ا ﺮﺸْ ﺎ

،ْج ﱠوﺰﺘ ْ

ﱠ ﮫ

ا

ْ

و ا

ْﺣ

ْ

ْﺮ

ج

،

ﮫْ ْ ﻄﺘْ ْ ْ و

م ْﻮﱠ ْ ﺎ

ﮫ ْ

ٌ ﱠﺘ

.

ٌءﺎﺟو ﮫ ﮫﱠ ﺈ

5

Artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: “wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu berkeluarga hendaklah ia kawin, karena ia dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia apat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.

Di bulan Dzulhijjah atau bulan Besar (dalam kalender jawa) banyak masyarakat yang mempunyai hajat atau gawe baik itu hajat kelahiran anak (walimatul aqiqoh), hajatan khitan (walimatul khitan), atau hajatan pernikahan (walimatul

4 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islami, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), 374.

5

Al-Imam Abu AbdilLah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Al-Mughiro Ibnu Bardiz al- Bukhari, Sahih Al Bukhari, juz III, (Bairut Lisabon: Dar al-Fikri 1401 H/ 1981 M), 134.


(10)

3

ursy).6Pernikahan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua

jaringan keluarga luas, tetapi yang dipentingkan adalah pembentukan sebuah rumah tangga sebagai unit berdiri sendiri.Istilah yang lazim untuk “kawin” ialah omah-omah, yang berasal dari kata omah atau rumah.7Pernikahan dalam masyarakat Jawa

merupakan suatu peristiwa yang dilakukan pada kehidupan seseorang yang sudah cukup matang umurnya.Pada dasarnya pemilihan pasangan hidup untuk menjadi keluarga itu menjadi sebuah permasalahan pribadi, keluarga, dan kerabat.Karena pada pandangan masyarakat Jawa, pernikahan merupakan suatu peristiwa yang sakral. Oleh karena itu, orang tua seorang gadis ketika anaknya dilamar atau ingin dipersunting oleh seorang laki-laki pasti akan menanyakan pitungan weton

(perhitungan hari lahir), begitu pula sebaliknya dari pihak laki-laki juga akan menanyakan hari kelahiran dari gadis yang akan dipersunting.Weton adalah hari kelahiran. Dalam bahasa Jawa, wetu bermakana keluar atau lahir, kemudian mendapat akhiran-anyang membentuknya menjadi kata benda. Dimaksud weton adalah gabungan antara hari dan pasaran saat bayi dilahirkan ke dunia.8

Pada zaman dahulu, masyarakat kejawen menggunakan petungan weton

sebagai dasar hari pernikahan serta nasib ke depan bagi mempelai dalam kelanjutan kehidupanya. Apabila weton calon suami dan weton istri tidak cocok, maka pernikahan tersebut tidak bisa dilakukan. Karena apanila dipaksakan akan terjadi hal

6 Abu Yazid, Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. (Cet. I.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 247.

7 P. Haryono, Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, cet ke-2 (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1974), 46.

8 Room RDS Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini, (Jakarta: Bukune, 2009), 17.


(11)

4

buruk pada kehidupan rumah tangganya.Fenomena tradisi perhitungan hari kelahiran dalam pernikahan banyak ditemukan pada masyarakat Jawa khususnya pada masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY.Salah satunya di Desa Taman Prijek Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan. Pada masyarakat Desa Taman Prijek, banyak masyarakatnya ketika akan melangsungkan perkawinan anakanya, terlebih dahulu dicocokkan hari kelahirannya dengan calon mempelai, agar kelak setelah menikah dalam kehidupannya akan mudah dalam menjalankannya.

Sedangkan Tathayyur (menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar.Itu hanyalah perilaku masyarakat setempat yang mengikuti faham atau kepercayaan nenek moyang. Apabila pada tabiat seseorang terdapat cacat, hingga orang beranggapan bahwa nasib sial itu disebabkan oleh beberapa hal atau sebab-sebab tertentu, maka tidak seharusnya ia menyerahkan pada nasibnya itu, khususnya lagi bila sudah sampai pada tataran aktivitas konkrit.

Pitungan biasanya diperoleh dari dukun-dukun Jawa atau kadang diperoleh dari para nenek moyang orang itu sendiri.Kebanyakan masyarakat Jawa mengadakan akhad nikah bersamaan dengan upacara walimah atau pesta pernikahan, dengan mengundang teman, kerabat, keluarga dan juga tetangga.Namun masih banyak masyarakat Jawa menentukan pelaksanaan akhad nikah dan walimah dengan mendatangi paranormal atau dukun yang dianggap mengetahui kapan hari yang baik untuk mengadakan acara tersebut.


(12)

5

Dari uraian-uraian tersebut serta minimnya data dan bahan yang akan dibutuhkan dalam pembahasan AGAMA DAN BUDAYA (Studi Tentang Tradisi Perkawinan Berbasis Pitungan Pada Masyarakat Islam Desa Taman Prijek Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan), maka penulis bermaksud untuk meneliti dan membahas lebih lanjut tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan pitungan masyarakat Jawa muslim dalam ritual perkawinan atau meyakini hari-hari yang dianggap baik dalam melangsungkan ritual perkawinan.

B. Rumusan Masalah

Sebagai basic Question atau pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tradisi perkawinan masyarakat Islam Desa Taman Prijek?

2. Bagaimana deskripsi pitungan sebagai tradisi perkawinan di desa Taman Prijek?

C. Tujuan Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi perkawinan masyarakat Jawa menentukan calon mempelai yang cocok dengan menggunakan pitungan weton.

2. Untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan dalam upacara perkawinan dan seperti apa proses perkawinan.


(13)

6

3. Untuk mengetahui bagaimana cara menentukan hari baik dalam kepercayaan masyarakat Jawa untuk melangsungkan perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini di harapkan dapat di jadikan salah satu wacana keIslaman dalam kaitan ilmu antropologi maupun sosiologi.

2. Penelitian ini di harapkan dapat menambah kazanah ilmu Perbandingan Agama terutama dalam kaitan studi agama-agama di Indonesia.

3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penelitian dalam membentuk kebudayaan sosial kemasyarakatan.

E. Alasan Memilih Judul

Adapun alasan penulis memilih judul tradisi perkawinan masyarakat Islam Jawa desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamongan sebagai berikut:

1. Karena adat perkawinan di desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamonganmerupakan fenomena yang terkait dengan Studi Agama-Agama terutama materi Perbandingan Agama

2. Karena belum ada yang membahas tentang tradisi perkawinan masyarakat Islam Jawa desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamongan

F. Penegasan Judul

Penelitian ini berjudul AGAMA DAN BUDAYA (Studi Tentang Tradisi Perkawinan Berbasis Pitungan Pada Masyarakat Islam Desa Taman Prijek


(14)

7

Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan).Untuk menghindari kekurangan ataupun kesalahan dalam memahami, berikut penulis jelaskan beberapa kosa kata dari judul diatas:

Tradisi perkawinan : Upacara adat yang diselengarakan dalam rangka menyambut peristiwa perkawinan.

Masyarakat Islam : Masyarakat terbuka yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa memandang aal usul suku banga dan perbedaan agama.

Perkawinan : Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi9

Islam : Nama Agama yang disampaikan oleh Muhammad10 Budaya : Sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia dengan belajar.

Pitungan: sebuah perhitungan weton (pasaran) dan neptu (hari) untuk mencari hari baik.

Taman Prijek : Nama desa yang berkecamatan Laren di Lamongan

9 Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

2008), 698.

10 Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

2008), 625.


(15)

8

Dari pengertian secara etimologi maka penulis akan mengadakan penelitian tentang Tradisi Perkawinan Masyarakat Islam Jawa di desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamongan, yang terkait dengan tradisi tersebut secara luas bahwa suatu penelitian ilmiah dilakukan secara teliti dan sistematis dalam upaya memperoleh suatu data tentang prosesi atau tata cara pelaksanaan perkawinan masyarakat Islam Jawa di desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamongan dan lingkup pembahasan ini dibatasi oleh hal-hal yang perlu diketahui dalam rangka fase hidup keluarga (nikah), baik tujuan maupun faktor-faktor yang mendorong masyarakat melakukan tradisi atau tata cara perkawinan adat Jawa dalam agama Islam.

G. Tinjauan Pustaka

Tradisi merupakan suatu kara cipta manusia. Sepanjang ia tidak bertentangan dengan ajaran agama, tentunya Islam akan menjustifikasi (membenarka)-nya. Kita dapat bercermin bagaimana walisongo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.11 Konsep penggunaan pitungan weton ini menjadi bahasan yang tidak membosankan, banyak sekali situs-situs di internet dan buku-buku yang membahas tentang konsep ini.

Penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap praktek Pitungan Weton Dalam Pernikahan Jawa Di Kelurahan Patihan Kecamatan Kraton

11 Abu Yazid. Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet. I.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 249.


(16)

9

Yokyakarta”.12Dalam skripsi ini membahas tentang perhitungan weton pada

masyarakat Jawa untuk melangsungkan pernikahan.Pada masyarakat Jawa menggunakan hukum adat sebagai dasar untuk melangsungkan pernikahan. Di sisi lain mencoba mengisi ruang kosong, dimana skripsi yang penulis susun menerangkan tentang tradisi pemilihan calon pasangan dengan konsep weton dan tradisi Jawa lainya dari sudut pandang hukum Islam.

Penelitian yang dilakukan Arnis Rachmadani (2011) tentang “Local Wisdom Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu Sebagai Perekat Kerukunan Masyarakat Bayan”.Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif.Data dikumpulkan melalui penelusuran dokumen tertulis baik berupa buku, artikel maupun naskah-naskah yang dimiliki oleh masyarakat setempat serta wawancara dan pengamatan (observasi).Sedangkan beberapa uraian berdasarkan hasil pengamatan dengan pendekatan antropologi budaya tidaklah diberi catatan rujukan secara khusus oleh penelitinya.Hasil temuan dalam penelitian itu bahwa Wetu Telu sangat kuat memegang prinsip-prinsip ketentuan agama, adat, dan pemerintah.13

Penelitian yang dilakukan oleh Mohamad Ride’i (2011) tentang “Relasi Islam dan Budaya Lokal: perilaku Keberagamaan Masyarakat Muslim Tengger di

12 Zubas Arif Rahman Hakim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Pitungan Weton Dalam

Pernikahan Jawa Di Kelurahan Patihan Kecamatan Kraton Yokyakarta”, Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan AL-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.

13 Lihat Arnis Rachmadani,“Local Wisdom Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu Sebagai Perekat

Kerukunan Masyarakat Bayan” Harmoni; Jurnal Multikultural & Multireligius, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. X. No. 3 (Juli- September 2011), 662-680.


(17)

10

Sapikerep-Sukapura-Probolinggi-Jawa Timur”. Pendekatan yang dipakai adalah fenomenologi, yaitu mempelajari bagaimana kehidupan sosial berlangsung dan melihat tingkah manusia (yang meliputi apa yang dikatakan dan diperbuat) sebagai hasil bagaimana manusia mendefinisikan dunianya. Hasil temuan dari penelitian itu menyatakan bahwa terdapat 3 pola dialektika masyarakat Muslim Tengger dengan budaya lokal.Pertama adalah dialektika ritual humanis, kedua dialektika sosio-religius, ketiga dialektika sosio-ekonomi.Dari pola dialektika tersebut ditemukan pula faktor sosioantropologis yang melatarbelakangi pola dialektika masyarakat Muslim Tengger dengan budaya setempat. Pertama adalah mitos Tengger tentang makna tayub dalam upacara Karo, kedua yaitu perilaku keberagamaan kelompok militanisme Islam maupun misionaris Kristen dan pengaruhnya terhadap hubungan Islam dengan kearifan lokal, dan yang ketiga yaitu perkawinan beda agama dalam hubungan sosial keagamaan masyarakat Tengger.14

Yusroni pada tahun 2008 mengangkat judul dalam skripsinya “Pelaksanaan Pernikahan Pada Bulan Muharam Dalam Pandangan Hukum Islam di Kabupaten Wonogiri”. Sejak dahulu masyarakat Jawa telah pandai meramal dengan berpedoman pada neptu dino dan neptu pasaran, neptu bulan serta neptu tahun, sebagaimana orang Yunani dan Romawi kuno pandai meramal sengan menggunakan pedoman planet-planet, maka ramalan itu wajar jika ada yang benar dan ada yang salah.

14 Mohamad Ride’i, “Relasi Islam Dan Budaya Lokal: Perilaku Keberagamaan Masyarakat Muslim

Tengger Di Sapikerep-Sukapura-Probolinggo-Jawa Timur” (Tesis UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011.


(18)

11

Kepandaian tersebut didapat karena mereka tekun dalam penelitian dan mencatat peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, maka penelitian itu dianggap patokan.Lalu patokan-patokan itu dihubungkan dengan penanggalan-penanggalan Jawa.15

Selain itu juga ada buku Betaljemur Adammakna yang disalin dari tulisan Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat dan di terbitkan oleh Soemodidjojo Mahadewa di dalam buku ini membahas sangat kompleks sekali segala sesuatu yang menggunakan pitungan weton. Dalam buku ini diuraikan warisan nenek moyang untuk meraba masa depan serta induk dari kumpulan-kumpulan catatan pemikiran orang jawa, yaitu tentang penanggalan hari, pasaran, weton, neptu, paringkelan, dan

pawukan.16Kemudian selain itu, di dalam buku ini juga membahas tentang berbagai

pitungan serta makna-makna dari kehidupan untuk mendapat ketentraman.

Perbedaan penelitia yang terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada praktek penggunaan pitingan weton itu sendiri yang menjadi acuan untuk menentukan sebuah perjodohan, apakah mereka cocok perhitunganya atau tidak, dan apakah boleh untuk melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius yakni sebuah perkawinan. Dalam penelitian ini juga disertakan tata cara menentukan pasangan apakah cocok atau tidak dengan menggunakan perhitungan jawa. Dan disini diterangkan juga perlengkapan untuk acara perkawinan dan prosesi dari awal sampai pasca perkawinan juga diterangkan dalam penelitian ini dengan secara lengkap.

15Yusroni, mengangkat judul dalam skripsinya Pelaksanaan Pernikahan Pada Bulan Muharam Dalam

Pandangan Hukum Islam, Wonogiri, 2008.

16 Soemodidjojo Mahadewa, Betaljemur Adammakna, (Yogyakarta: Bukune,1978), 5.


(19)

12

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian field research (penelitian lapangan) yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana tata cara seseorang menentukan hari-hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan dan mengetahui persepsi di masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan secara menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.17

Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi yaitu untuk mengetahui bagaimana ritual pernikahan masyarakat Jawa muslim khususnya di Desa Taman Prijek kecamatan Laren kabupaten Lamongan dan tata cara penentuan hari baik yang dipraktekkan di dalam masyarakat serta bagaimana akibat-akibat yang ditimbulkan pasca pernikahan. Yang dimaksud dengan pendekatan antropologi adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat.18

2. Lokasi Penelitian

17Moleong.Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 6. 18 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.(Jakarta: UI-Press, 1988), 4-5.


(20)

13

Penelitian ini dilakukan di wilayah desa Taman Prijekkecamatan Larenkabupaten Lamongan.Peneliti memilih lokasi ini karena diwilayah desa Taman Prijek mayoritas beragama Islam.Namun di wilayah tersebut masih banyak yang meminta bantuan kepada paranormal bahkan dukun untuk memilihkan hari yang baik untuk melangsungkan upacara pernikahan bagi anak-anaknya maupun kerabat-kerabatnya. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk diteliti ketika di wilayah desa Taman Prijek yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan kalangan pesantren ternyata masih percaya terhadap hal-hal yang berbau magis dan tradisi kejawen.

3. Sumber Data

Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi:

a. Data primer yang merupakan data yang pokok atau utama yang digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data diperoleh dari para pelaku yang melangsungkan pernikahan dengan memilih hari yang baik untuk upacara akad nikah yang terjadi di desa Taman Prijek. Selain itu data diperoleh dari pasangan yang melangsungkan pernikahan dan juga dari orang tua calon mempelai nikah.

b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan untuk melengkapi data primer. Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini peneliti menggunakan buku-buku primbon, horoskop Jawa atau buku-buku kejawen sebagai sumber data resmi dan juga buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder


(21)

14

dalam penelitian ini dapat juga diperoleh dari tokoh agama, tokoh masyarakat maupun masyarakat umum di sekitar tempat tinggal pelaku pasangan nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan memilih hari baik.

4. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian.19 Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Metode Observasi

Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.20Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui situasi serta kondisi mengenai objek penelitian. Dan metode ini digunakan untuk menggali data tentang tradisi perkawinan yang ada di Masyarakat Desa Taman Prijek.

b. Metode Wawancara

Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap

19 Moh Nazir. Metode Penelitian.(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 211. 20 Moh Nazir. Metode Penelitian.(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 212.


(22)

15

berhadapan muka dengan orang itu.21 Wawancara merupakan kegiatan atau metode

pengumpulan data yang dilakukan dengan bertatapan langsung dengan responden, sama seperti penggunaan daftar pertanyaan.22 Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya.

Dalam hal ini wawancara dilakukan terhadap para pelaku nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan cara memilih hari yang dianggap baik, keluarga pelaku maupun para tokoh agama dan tokoh mayarakat serta masyarakat umum di desa Taman Prijek. Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap masyarakat dengan cara mengambil sampel dari masing-masing RT (Rukun Tetangga) di desa Taman Prijek. Metode ini juga digunakan untuk mengetahui sejarah adat perkawinan waktu dulu oleh masyarakat Jawa dan juga pada masa sekarang.

c. Metode Dokumentasi

Metode ini dapat berbentuk gambar atau foto-foto saat penentuan hari baik untuk melangsungkan pernikahan ataupun foto saat dilangsungkannya upacara/ ritual pernikahan.Metode ini sebagai gambaran bukti nyata dalam pengumpulan data yang di butuhkan dalam penelitian.

21Koentjaraningrat.Metode-Metode Penelitian Masyarakat.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986),

129.

22 Daniel, Mochtar. Metode Penelitian Sosial Ekonomi.(Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 143.


(23)

16

5. Analisis Data

Data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisalah, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.23

Dalam menganalisis data-data yang ada, diguanakan metode analisis kualitatif

dengan menggunakan cara berfikir dedukatif, yaitu metode untuk menganalisis data-data umum, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dengan metode dedukatif, penyusun mencoba menganalisis fenomena secara sistematis terhadap beberapa pandang atau persepsi masyarakat tentang Penggunaan “Petungan” Masyarakat Jawa Muslim dalam Ritual Pernikahan di Desa Taman Prijek Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan yang kemudian ditarik menjadi satu kesimpulan khusus.

6. Tahap-tahap Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap.Pertama pra lapangan, dimana peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada tidaknya praktik pernikahan yang dilangsungkan dari hasil penentuan hari baik. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mencari data informan dan pelaku serta melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan cara menentukan atau memilih hari baik, keluarga, tokoh agama/masyarakat dan tetangga pelaku. Tahap akhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan

23 Moh Nazir. Metode Penelitian.(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 405.


(24)

17

caramenganalisis data atau temuan dari penelitian kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi. Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir.

Pada bagian awal skripsi berisi tentang: sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar gambar,dan daftar lampiran. Bagian inti skripsi ini menguraikan lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan yang didalamnya menguraikan tentang: latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang agama dan budaya, akulturasi agama dan budaya, seputar pernikhan adat Jawa, Pengertian Pernikahan, Pernikahan di Jawa, Persiapan Acara Pernikahan di Jawa.


(25)

18

Bab III menguraikan tentang lokasi penelitian, keadaan penduduk, keadaan sumber daya alam, keadaan pembangunan desa, kondisi sosial keagamaan, kondisi pemerintahan desa.

Bab IV menguraikan tentang hasil penelitian yaitu prosesi perkawinan dari awal sampai selesai dan penggunaan pitungan untuk menentukan cocok tidaknya mempelai berdua, bagaimana cara menentukan hari baik untuk pelaksanaan pernikahan dan juga peralatan apa saja yang di butuhkan dalam upacara pernikahan.

Bab V menguraikan tentang analisa makna tradisi perkawinan masyarakat Islam Jawa khususnya desa Taman Prijek dan analisa tata cara perkawinan masyarakat Islam Jawa di desa Taman Prijek.

Bab VI Penutup menguraikan tentangkesimpulandan saran Pada bagian akhir skripsi ini berisi tentang; daftar rujukan, lampiran-lampiran, dan riwayat hidup penulis.


(26)

BAB II

RELASI AGAMA DAN BUDAYA

A. Agama dan Budaya

1. Pengertian Agama

Pengertian Agama dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia.Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama.Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran- ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.1

Karena inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka agama-agama yang dianut manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Karena kondisi seperti inilah Mukti Ali mengatakan: Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistik… Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama… maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi

1 Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas

Muhammadiyah, 1989), 26.


(27)

20

tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.2

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasasansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.3 Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin”

(dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata

diin dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.4

Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan

agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan “agama”.5Kata agama selain disebut dengan kata

diin dapat juga disebut syara, syari’at atau millah. Terkadang syara' itu dinamakan juga addiin atau millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut ad-din

dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.6

a. Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu: Pengakuan

2 Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, (Bandung: Badan Penerbit IKIP,

1971), 4. Lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), 117-118.

3 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin Razak,

Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, 76.

4 Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan agama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994),

1.

5 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ,(Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 63. 6 Taib Thahir Abdul Mu’in, Op.cit, 121.


(28)

21

terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

b. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. c. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung

pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

d. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.

e. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.

f. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.

g. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.

h. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.7

2. Pengertian Budaya

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal.Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya: “Primitive Culture”, bahwa

7 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Jilid I, UI Press, 1985), 10.


(29)

22

kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat bahwailmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia dengan belajar. Dia membagi kebudayaan atas 7 unsur: sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian. Kesemua unsur budaya tersebut terwujud dalam bentuk sistem budaya/adat-istiadat (kompleks budaya, tema budaya, gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial, pola sosial, tindakan), dan unsur-unsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan).

3. Akulturasi Agama dan Budaya

Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi semua sepaham bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli.8 Akulturasi dalam lapangan itu sendiri merupakan kata pinjaman bagi “kontrak kultural”. Ia memiliki pengertiannya sendiri yang amat spesifik yang tidak bisa diberikan secara mudah atau tepat melalui formulasi ini.

8 Abdurrahmat Fathoni, M.Si. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2006), 30.


(30)

23

Dengan demikian akulturasi merupakan fenomena modern, sedangkan pada umumnya tidak dapat di pungkiri. Semua itu merupakan hasil dari “akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus budaya). Akulturasi sendiri bisa dinamai “syncrotisme” (perpaduan antara dua kepercayaan), dengan budaya lokal setempat.9 Dalam buku “Pengantar Antropologi”, Harsojo mengartikan akulturasi sebagai fenomena yang timbul sebagai hasil, jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola-pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.10

a. Budaya dan Tradisi Islam di Jawa

Agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW dari Makkah hingga ke Madinah adalah Islam yang sejati. Islam yang syar’i yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengauhi oleh unsur-unsur budaya lokal, akan tetapi justru akan mengubahbudaya Arab Zaman Jahiliyyah. Budaya Arab Jahiliyyah yang menyembah berhala itu oleh Nabi SAW dinamakan musyrik, sedangkan agama Islam memperkenalkan agama tauhid yang hanya menyembah satu tuhan yaitu Allah SWT.

Agam Islam yang asli adalah yang bersumber pada Qur’an dan al-Hadith serta pengalaman yang dicontohkan oleh Rosululloh SAW.Pemahaman agamayang utuh melipuati tiga aspek yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Islam menganut paham yang rasional dan jernih yang menolak setiap bentuk kuasa

9http://www.geogle.akulturasi+budaya.co.id. Diakses: 5 juni 2016. 10 Sapardi, Antropologi Agama, (Surakarta: LPP UNS, 2006), 178-179.


(31)

24

rohani, selain Allah SWT.11Islam datang ke Indonesia dan khususnya di Jawa

terpaksa harus berhadapan dengan dua lingkungan budaya Jawa tersebut di atas. Diluar Jawa Islam tidak berhadapan dengan lingkungan kebudayaan kehinduan yang telah berkembang dan canggih. Oleh karena Islam tidak diterima begitu saja tanpa kecurigaan dari kalangan budayawan istana.Maka Islam terpaksa harus tersuruk-suruk memulai dakwahnya di daerah pesisir Jawa. Akhirnya Islam berhasil juga menyulap daerah-daerah pesisir Utara pulau Jawa untuk menjadi pusat-pusat masyarakat baru yaitu masyarakat pesantren. Keberhasilan Islam ini menciptakan tradisi besar yang baru di Jawa yang mau tidak mau menjadi tandingan tradisi besar lingkungan budaya istana.Berdasarkan perkembangan penyebarab Islam di Jawa inilah yang kemudian munculnya teori tiga varian dalam bentuk umat Islam yaitu santri, abangan dan Islam Kejawen (priyai).Ketiga varian inilah yang mewarnai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia pada umumnya dan Jawa khusunya.12Puncak keberhasilan dakwah Islam ditandai

dengan berdirinya kerajaan Demak.Rajanya yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar.Memegang pemerintahan selama 43 tahun.Sejak zaman kerajaan Demak yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Jawa-Islam.

Berikutnya masih mempertahankan tatanan tradisi Kejawen yang sudah disesuaikan dengan Islam. Kehadiran agama Islam membangkitkan semangat hidup kerohaniaan dan sastra Jawa. Kecenderungan karya sastra para pujangga Jawa menonjolkan aspek mistik, etika, hikayat yang merupakan pengolahan Jawa

11 Samidi Khalim, Islam dan Spiritual Jawa, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), 7.

12 Kuntowijoyo, Ruh Islam Dalam Budaya Islam, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1996), 233-234.


(32)

25

atas Islam. Meskipun kerajaan Demak sebagai simbol keberhasilan kerjaan dakwah Islam dengan menempatkan syari’at Islam dan al-Qur’an sebagai sumber hukumnya, namun bukan berarti tradisi dan peradaban Jawa musnah. Bahkan yang terjadi juga tidak jauh beda dengan kerajaan Jawa sebelumnya (ketika masa dominasi Hindu Budha).

Pengaruh ajaran Islam sejak abad ke-16 menjadi warna baru dalam sistem kerajaan di Jawa. Oleh karena itu kesuksesan ini merupakan upaya atau perrjuangan yang dilakukan oleh Wali Songo dengan sistem dakwah multikulturalnya. Bahkan praktek dakwah para Wali Songo tersebut dapat dikatakan mengadopsi sistem dakwah Hindu-Jawa. Sehingga nilai-nilai Islam yang sesungguhnya belum dapat dicerna oleh masyarakat Jawa, meskipun Islam telah menjadi kerajaan dan bagian dari masyarakat Jawa.13Sedangkan pergaulan Jawa dengan tradisi kehidupan masyarakat Jawa hingga kini masih sangat kuat.Orang-orang pedesaan yang telah di Islamkan oleh para guru agama atau Kiyai sebenarnya sudah sangat terbiasa dengan kepercayaan terhadap roh bersifat aktif dalam animisme dan dinamisme.Kepercayaan pada roh orang-orang yang telah meninggal dunia yang konon tetap hidup sebagai wadag halus. Dalam hal ini Koentjaraningrat menjelaskan keyakinan agama Jawi terhadap kematian dan alam baka sebagai berikut:

Orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal jiwanya akan berubah menjadi mahkluk halus (roh) yang disebut lelembut yang berkeliaran disekitar tempat tinggalnya. Mahkluk itu lama

13 Kuntowijoyo, Ruh Islam, 10.


(33)

26

kelamaan akan pergi dari tempat itu dan pada saat-saat tertentu keluarganya mengadakan selamatan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh itu menuju alam roh tempatnya yang abadi kelak. Namun roh dapat dihubungi oleh kaum kerabat serta keturunannya setiap saat bila diperlukan. Diantara selamatan yang dilaksanakan karena adanya salah seorang anggota keluarganya yang meninggal dunia adalah upacara selamatan Surtamah (hari kematian atau penguburan jenazah) tiga hari setelah kematian, selamatan hari ke tujuh, upacara selamatan 40 hari, seratus hari, setahun (satu tahun dari kematian) dan seterusnya hingga seribu harinya. Sinkritisme dalam upacara-upacara tradisional lainnya cukup banyak, misalnya: perkawinan, selamatan kelahiran bayi dan upacara tradisional sehubungan dengan hari-hari besar lainnya. Tradisi Kejawen yang berkaitan dengan tradisi animisme dan dinamisme ternyata bersinkretis antara tradisi lama dengan unsur-unsur Islam dengan Doa dari mudin atau bahkan dengan tradisi zikiran masyarakat pesantren.14

B. Seputar Tradisi Perkawinan di Jawa

1. Pengertian Perkawinan

Sebelum menjelaskan mengenai pernikahan di Jawa maka perlu dijelaskan Dalam undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentukkeluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YangMaha Esa.15Pernikahan adalah dimana

sepasang mempelai atau sepasangcalon suami-istri dipertemukan secara formal

14 Simuh, Islam dan Pergumpulan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Teraju, 2003), 86. 15 Tualaka, Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), 12.


(34)

27

dihadapan penghulu, para saksi dan semua orang yang ikut menghadiri pernikahan tersebut, untuk disahkan dengan resmi sebagai suami-istri dengan berbagai upacara dan ritus-ritus tertentu.Pernikahan pada umumnya dirayakan secara meriah, diiringi dengan upacara-upacara, peristiwa menyajikan makanan dan minuman dan perayaan atau beberapa keramaian.16Pernikahan merupakan salah satu peristiwa besar dan penting dalam sejarah kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, peristiwa demikian biasanya tidak dilewatkan orang begitu saja sebagaimana mereka menghadapi peristiwa sehari-hari.Peristiwa pernikahan dirayakan dengan serangkaian upacara yang mengandung nilaibudaya luhur dan suci.17Pernikahan adat jawa terkenal dengan kerumitan acaranya.Akan tetapi, pernikahan merupakan suatu upacara yang sangat penting dalam masyarakat Jawa.Karena makna utama dari upacara pernikahan adalah pembentukan keluarga baru yang mandiri. Selain makna tersebut, pernikahan juga dimaknai sebagai tali persaudaraan.18

Pertama-tama setelah membahas mengenai pengertian pernikahan pada suku jawa, disini akan menjelaskan dalam masalah pemilihan jodoh, yang harus dilandaskan atas dasar pertimbangan. Yaitu bibit, bebet, bobot.Faktor bibit memperhitungkan benih asal keturunan.Yaitu memilih sumber bibit keluarga yang sehat jasmani dan rokhaninya, bersih dari penyakit keturunan atau penyakit mental tertentu. Dalam hal ini akan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat pula. Bebet berarti keluarga, keturunan, asal benih keluarga.Pada umumnya

16 Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 (Bandung: Mandar Maju, 2006), 207.

17Sri Supadmi murtiadji, Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta, (Yogyakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1993), 1.

18 http://hooillands-obralkata.blogspot.com/2012/06/eksistensi-budaya-perkawinan-adat- jawa.html

di unduh pada tanggal 13 april 2016, Pukul 21:35 wib.


(35)

28

seseorang mengharapkan seorang calon suami atau isteri yang mempunyai keturunan bangsawan. Keturunan darah satri, kelak diharapkan bisa menurunkan anak-anak yang memiliki sifat-sifat perwira, luhur, dan utama, akan menghasilkan keturunan sarjana sudira betah atapa, kang patitis waskita ing nala artinya mencari keturunan orang yang cerdik, pandai, mempunyai martabat yang baik, berani dan suka mesu diri dengan jalan bertapa. Patitis artinya tepat, teliti, akurat dalam menjalankan ibadah dan hukum, serta berkepribadian terpuji.Waskita ing nala berarti waspada, ingat, awas batinnya, dan tajam wawasan hatinya.Dengan mempunyai keturunan yang unggul itu diharapkan sepasang suami-isteri memiliki sifat-sifat terpuji, untuk selanjutnya mampu membina keluarga bahagia, dan mendapatkan anak keturunan yang baik.

Bobot disini diartikan sebagai timbangan yang berbobot.Berbobot berarti mempunyai harkat, martabat, ilmu pengetahuan yang lengkap, memiliki harta kekayaan, kekuasaan dan status social yang cukup, sehingga dihargai oleh masyarakat. Berbobot itu tidak hanya diartikan sebagai berbobot kekayaan dan kekuasaan duniawi saja, akan tetapi juga berbobot dengan memiliki kekayaan spiritual dan nilai-nilai rokhaniah serta akhirat.

Persyaratan-persyaratan yang cukup berat dan sangat normatif ini dipegang teguh oleh kebanyakan keluarga jawa, untuk kelestarian dan kebahagiaan kedua calon mempelai yang akan membina rumah tangga. Akan tetapi, pebraturan tradisional yang sangat ketat itu mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Anak-anak muda mulai mendapatkan kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Hal tersebut disebabkan oleh karena orang tua semakin


(36)

29

banyak disibukkan oleh macam-macam urusan kerja dan kesulitan hidup sehari-hari, yang terasa semakin berat. Sehubungan dengan hal ini, orang tua beranggapan bahwa masalah pernikahan dan memilih jodoh itu bukan hanya merupakan pertanggungjawaban orang tua saja, akan tetapi harus dipikul badan dipertanggungjawabkan juga oleh anak-anak muda sendiri. Dengan begitu anak muda mulai mendapatkan luang untuk memilih calon pasangannya.19

Dengan demikian pemilihan pasangan dalam zaman sekarang, pernikahan hanya menjadi urusan kedua calon mempelai. Mereka semakin mengutamakan rasa yang saling tertarik secara emosional (cinta).Dasar untuk menjalin pernikahan ini memungkinkan rasa at home yang lebih mendalam dan personal. Mereka berhubungan lebih akrab, intim dan mendalam sebagai pribadi yang sama derajatnya. Rumah tangga dipandang sebagai bidang privat, bebas tekanan masyarakat, adat politik.Tetapi dilain pihak ideal ini membuat persatuan suami istri lebih rapuh dan terancam bila menghadapi krisis.Masyarakat dan agama tidak memberi dukungan tidak lagi melarang atau mencela perceraian. Jadi seni berhubungan dan komunikasi antara suami istri dan cara mengatasi konflik secara damai dan sungguh-sungguh, semakin penting. Cara efisien sebaiknya dilatih sebelum menikah seperti juga potensi psikis yaitu kemampuan membina, mengungkapkan serta menerima rasa kedekatan.20

2. Perkawinan di Jawa

Menurut sejarah, adat istiadat tata cara pernikahan jawa itu berasal dari keraton. “Tempo doeloe” tata cara adat kebesaran pernikahan jawa itu, hanya bisa

19 Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 (Bandung: Mandar Maju, 2006), 199.

20 Adolf Hauken, Ensiklopedi Gereja Jilid VI (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), 236


(37)

30

atau boleh dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih keturunan atau abdi dalem keraton, yang di Jawa kemudian dikenal sebagai priyayi. Ketika kemudian Islam masuk di keraton-keraton di Jawa, khususnya di keraton Yogya dan Solo, sejak saat itu tata cara adat pernikahan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan Islam. Paduan itulah yang akhirnya saatini, ketika tata cara pernikahan adat jawa ini menjadi primadona lagi. Khususnya tata acara pernikahan adat jawa pada dasarnya ada beberapa tahap yang biasanya dilalui yaitu tahap awal, tahap persiapan, tahap puncak acara dan tahap akhir. Namun tidak semua orang yang menyelenggarakan pesta pernikahan selalu melakukan semua tahapan itu. Beberapa rangkaian dari tahapan itu saat ini sudah mengalami perubahan senada dengan tata nilai yang berkembang saat ini. Di zaman dahulu setiap pasangan yang ingin mencari jodoh, tahap awal mereka biasanya mengamati dan melihat lebih dulu calon pasangannya. Akan tetapi pada saat ini sudah tidak diperlukan lagi. Sebelum pernikahan anak-anak pada umumnya mereka sudah mengenal satu sama lain dan berteman sudah cukup lama. Zaman dahulu acara lamaran dimaksudkan untuk menanyakan apakah wanita tersebut sudah ada yang memiliki atau belum, kini acara lamaran hanyalah sebuah formalitas sebagai pengukuhan, bahwa wanita itu sudah ada yang memesan untuk dinikahi. Saat ini juga sangat jarang bagi kedua calon mempelai untuk menjalani upacara pingitan.

Semakin hari semakin lama zaman sudah sangat berubah dimana laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk berkarir. Sebagai insan karir mereka tentu tidak mungkin berlama-lama cuti hanya untuk menjalani


(38)

31

pingitan, atau tidak saling bertemu di antara kedua mempelai. Selain itu, sebagai calon pengantin yang menjadi “pelaku utama” dalam “drama” upacara pernikahan itu, mereka tidak mungkin hanya berpangku tangan dan menyerahkan semua urusan kepada kedua orang tua, panitia, ataupun organisasi pernikahan. Mereka juga ingin agar pestanya itu berjalan sukses,sehingga mereka pun harus turut aktif membantu persiapan yang sedang dilaksanakan. Tapi bukan berarti rangkaian tata cara pernikahan tradisional yang kini marak lagi itu hanyalah sebuah tata cara formalitas saja. Hingga saat ini masih banyak orang yang tertarik menyelenggarakan tahapan-tahapan upacara ritual pesta pernikahan gaya “tempo doeloe” secara utuh dan lengkap.21

3. Tata Cara Perkawinan di Jawa

a. Menerima dan melaksanakan lamaran

Lamaran adalah tahapan awal yang harus dilalui dalam suatu pernikahan yang umumnya dilakukan oleh kaum pria untuk menyampaikan niat dan kesungguhannya untuk menikah serta meminta restu atau persetujuan orang tua dari pihak wanita.22 Inilah awal dari pertemuan dua keluarga besar yang nantinya

diharapkan terjalin menjadi satu keluarga baru. Sebagai pertemuan pertama yang diharapkan mempunyai kesan manis dan mendalam bagi kedua keluarga besar yang akan saling berbesanan, maka acara lamaran ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga bisa berlangsung dengan sukses. Selain menentukan waktu (jam, hari, tanggal, bulan, tahun) pelaksanaan lamaran sebelumnya harus dibicarakan

21 Artati Agos, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 2001), 2.

22http://panduan-seputar-pernikahan.blogspot.com/p/lamaran.html pada tanggal 13 April

2016.pukul21:40 wib.


(39)

32

yakni sebagai tuan rumah yang akan menerima tamu istimewa, sebaiknya pihak keluarga calon pengantin wanita mempersiapkan hidangan yang pantas bagi tamu. Agar jumlah oleh-oleh yang dibawakan untuk keluarga calon pengantin pria bisa berimbang, tidak ada salahnya jika ditanyakan seberapa banyak bingkisan oleh-oleh yang dibawa oleh-oleh rombongan keluarga calon pengantin pria.

Dari pihak keluarga calon mempelai pria ada baiknya mempersiapkan buah tangan sebagai tanda kasih sayang, untuk saling mengakrabkan.menghitung tamu dari calon pengantin pria, karena jumlah itu pula yang sebaiknya disiapkan oleh pihak yang berhajatan. Rangkaian acara, Perlu dibicarakan sebelumnya apakah acara yang berlangsung hari itu hanya lamaran saja, atau ada acara lain. Bagaimanapun sederhananya acara ini sebaiknya dipersiapkan dengan matang sehingga acara itu bisa berlangsung dengan sukses.23

b. Pembentukan Panitia

Usai lamaran itu berlangsung, pihak keluarga calon pengantin wanita yang paling sibuk mempersiapkan semua rangkaian acara atau upacara perhelatan akbaritu. Selain menentukan hari pernikahan lalu mempersiapkan gedung, undangan, menyewa pakaian, dan menyiapkan makanan, semua urusan inilah yang dikerjakan para panitia, mereka bisa terdiri dari keluarga dekat seperti paman atau bibi atau kerabat dekat dari kedua orang tua mempelai calon pengantin wanita.

c. Tahapan-Tahapan Waktu

23 Artati Agos, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 2001), 2.


(40)

33

Sebagai peristiwa yang banyak dilimpahi perhatian, banyak hal yang harus difikirkan dalam menyongsong perhelatan yang merupakan bagian dari wibawa keluarga ini.Karena itu tahapan-tahapan waktu yang terus berjalan yang akhirnya bisa dimanfaatkan secara efektif dan seifisien mungkin. Dalam waktu sekitar Sembilan bulan itu sejumlah tugas besar harus diselesaikan antara lain, menentukan hari H, mencari tempat atau gedung, menentukan tema acara, mencari perias pengantin, ahli dekor, catering, membuat undangan, menyiapkan cenderamata, menyiapkan MC, hiburan, video atau foto, dan mobil pengantin, agar semua rangkaian acara maupun upacara perkawinan itu berlangsung dengan sukses, maka orang tua calon mempelai wanita maupun panitia sudah menyusun jadwal tersebut.

d. Serah-Serahan Peningset

Ketika kesepakatan antara kedua orang tua kedua calon mempelai menyetujui acara selanjutnya yaitu srah-srahan peningset (penyerahan bingkisan sebagai pengikat) biasanya berupa pakaian lengkap, buah-buahan, dan uang.24

e. Pasang Tarub

Tarub berasal dari kata benda yang artinya bangunan secara darurat yang dipakai untuk sementara waktu selama acara berlangsung. Tarub dibangun khusus di sekeliling bangunan rumah orang yang akan mempunyai hajatan dengan tujuan menghindari panas dan hujan. Biasanya seminggu sebelum upacara perkawinan dimulai, pihak calon pengantin putri memasang tarub. Namun biasanya jika di kota-kota besar dua hari sebelum upacara pernikahan dimulai.

24 Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2000), 17.


(41)

34

Setelah pemasangan tarub kemudian pemasangan tratak yaitu memasang hiasan-hiasan dengan macam-macam daun-daun dan buah-buahan. Adapun tempat-tempat yang perlu dipasang tarub yaitu bagian depan rumah, tempat-tempat pentas untuk macam-macam hiburan, di kanan kiri samping rumah. Tarub-tarub tersebut biasanya dibuat dari anyaman janur tua (daun kelapa) yang dianyam khusus dan khas.25

f. Upacara Akad Nikah

Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing. Bagi agama islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau mendatangkan penghulu di kediaman mempelai wanita.

g. Upacara Penyerahan Pengantin Pria

Menjelang upacara panggih pengantin putra secara resmi diserahkan kepada orang tua mempelai wanita di iringi oleh para keluarga dan rekan-rekan terdekat.Di antaranya di tunjuk menjadi wakil dari pihak keluarga pengantin pria untuk menyerahkan. Dalam upacara penyerahan pengantin pria wakil dari keluarga pengantin pria berdiri agak jauh dari depan pintu yang disambut oleh wakil dari keluarga pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita telah menantikan di dalam dan pengantin pria berdiri di belakang wakilnya.

h. Upacara Panggih

Upacara panggih dalam pernikahan adat jawa menjadi puncak dari rangkaian adat yang mendahuluinya.26 Upacara panggih atau temu pengantin

adalah pertemuan antara dua calon kedua mempelai laki-laki dan wanita. Upacara

25 Ibid, 23.

26 Sri Supadmi murtiadji, Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1993), 19.


(42)

35

ini mengandung makna bahwa usaha untuk mencari tingkatan kehidupan yang paling sempurna itu sangatlah banyak rintangan dan halangan. Mengenai sesaji atau tingkah laku dan perlengkapan panggih bisa diuraikan sebagai berikut:

a). Daun sirih yang warnanya hijau yang melambangkan kesuburan.

b). Benang lawe yang berwarna putih dipergunakan sebagai pengikat gantal berfungsi sebagai pengikat antara suami-istri.

c). Memecah telur. Hal ini dilakukan oleh pengantin laki-laki dengan menggunakan kaki kirinya yang mengandung arti sikap tegas dari suami untuk menurunkan keturunan melalui rahim istrinya dan menerima dengan kesucian hati, kedua pasangan suami istri harus mempunyai tujuan yang sama untuk membangun rumah tangganya kelak, setelah menikah bisa hidup sendiri sehingga lepas dari tanggung jawab kedua orang tua masing-masing, dan kedua pengantin sejak itu telah terikat dengan suatu pernikahan yang sah, sehingga sudah bukan sebagai seseorang yang bebas seperti ketika masih sendiri.

d). Membasuh kaki. Hal ini dilakukan oleh pengantin putri dengan cara jongkok dihadapan suaminya. Kaki kiri pengantin laki-laki disiram dengan air kembang setaman yang ditempatkan pada bokor.Yang mengandung arti bahwa kesetiaan istri harus ikhlas dan mengandung suatu harapan bahwa kesetiaan istri harus ikhlas menerima datangnya suami dengan segala kasih sayang.Diharapkan pikiran-pikiran yang


(43)

36

kotor bisa segera dilenyapkan dengan disiramnya kaki pengantin laki-laki dengan air kembang setaman tersebut.

e). Saling bersuapan. Kedua pengantin saling bersuapan nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. Prilaku ini mengandung makna bahwa kedua calon pengantin kelak bisa bekerja sama dalam menghadapi segala tantangan dalam hidup. Disamping itu juga melambangkan suami akan selalu bertanggung jawab untuk menghidupi istri dan anak-anaknya kelak.

f). Sungkeman. Setelah melaksanakan ijab kabul kedua pengantin lalu melakukan sungkem kepada kedua orang tuanya. Tindakan ini melambangkan sebagai pernyataan bahwa terimakasih mereka atas segala asuhan dan bimbingannya sampai saatnya kedua pengantin harus berdiri-sendiri, serta memohon doa restu agar hidupnya bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.27

i. Upacara Resepsi

Resepsi ialah pertemuan atau jamuan yang di adakan untuk menerima tamu pada pesta pernikahan, pelantikan dan lain sebagainya.Resepsi pernikahan dapat dilaksanakan di rumah sendiri ataupun di gedung pertemuan.Di kota-kota besar seperti di Jakarta dilangsungkan di gedung-gedung pertemuan.Hal ini

27 Moertjipto, Pengetahuan, Sikap, Keyakinan, Dan Perilaku Di Kalangan Generasi Muda

Berkenaan Dengan Perkawinan Tradisional Di Kota Semarang Jawa Tengah, (Yogyakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradidional Yogyakarta Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002), 47.


(44)

37

dikarenakan rumah tidak dapat menampung para tamu yang berdatangan di samping rumahnya sendiri sempit dan tidak mempunyai halaman yang luas.28

A. Penggunaan Pitungan Jawa Dalam Trdisi Perkawinan

1. Sejarah Kalender Jawa

Kalender atau penanggalan Jawa tidak muncul baru-baru ini namun kalender Jawa telah ada sejak zaman nenek moyang orang Jawa dulu.Kalender Jawa telah digunakan sejak pada zaman kerajaan-kerajan Hindhu-budha khususnya dipulau Jawa untuk berbagai keperluan, baik untuk menentukan waktu bercocok tanam maupun untuk menentukan waktu-waktu peringatan keluarga kerajaan atau warga masyarakat itu sendiri.Di daerah Tengger, tanah Badui dan mungkin kelompok orang Samin mengikuti kalender kuno, yaitu kalender saka. Kalender saka ini merupakan warisan zaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Banyak orang dan banyak kalender yang beredar membuat kesalahan, dengan keterangannya, bahwa kalender Jawa sama dengan kalender saka, padahal amat berbeda. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan sebagai berikut:

Pertama, kalender saka dimulai pada tahun 78 Masehi.Permulaan kalender itu konon pada saat mendaratnya Ajisaka di pulau Jawa.Adapula yang mengabarkan, bahwa permulaan adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka naik tahta di India. Ajisaka adalah tokoh mitologi yang konon mencipta abjad huruf Jawa:

ha na ca ra ka. Kalender yang tahunnya disebut Saka, dimulai pada tanggal 15 Maret tahun Masehi 78.Tahun Masehi dan tahun Saka, dua-duanya berdasarkan

28 Thomas Wiyasa Bratawidjaja,Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

2000), 53.


(45)

38

hitungan solair yaitu mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari.Dalam bahasa Arab disebut syamsiyah.

Kedua, sebelum bangsa Hindu datang, orang Jawa sudah memiliki kalender sendiri yang kita kenal sekarang sebagai Petangan Jawi, yaitu perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa bermacam-macam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lain-lainnya. Sistem Pranata Mangsa itu adalah solair (Syamsiyah) seperti halnya kalender Saka dan Masehi.29

Ketiga, seperti dalam bukunya Purwadi dan Siti Maziyah yang mengutip dari bukunya Kamajaya menjelaskan tentang kalender Saka dan Pranata Mangsa bahwa Kalender Saka membagi satu tahun dalam 12 bulan dan Pranata Mangsa membagi satu tahun dalam 12 mangsa.

a. Kalender Saka

Nama-nama bulan dan umurnya

1) Srawana (12 Juli-12 Agustus) 32 hari 2) Badhra (13 Agustus-10 September) 29 hari 3) Asuji (11 September-11 Oktober) 31 hari 4) Kartika (12 Oktober-10 November) 30 hari 5) Posya (1 November-12 Desember) 32 hari 6) Margasira (13 Desember-10 Januari) 29 hari 7) Magha (11 Januari-11 Februari) 32 hari 8) Phalguna (12 Februari-11 Maret) 29 hari

29Purwadi dan Siti Maziyah, Horoskop Jawa. Cet. I. (Yogyakarta: Media Abadi, 2010), 1.


(46)

39

9) Cetra (12 Maret-11 April) 31 hari 10) Wasekha (12 April-11 Mei) 30 hari 11) Jyesta (12 Mei-12 Juni) 32 hari 12) Asadha (13 Juni-11 Juli) 29 hari b. Pranata Mangsa

Nama-nama mangsa dan umurnya:

1) Kasa (Kartika) (22 Juni-1 Agustus) 41 hari 2) Karo (Pusa) (2 Agustus-24 Agustus) 23 hari 3) Katelu (25 Agustus-17 September) 24 hari 4) Kapat (Sitra) (18 September-12 Oktober) 25 hari 5) Kalima (Manggala) (13Oktober-8November) 27 hari 6) Kanem (Naya) (9 November-21 Desember) 43 hari

7) Kapitu (Palguna) (22 Desember-22 Februari) 43 hari 8) Kawolu (Wasika) (3 Februari-28 Februari) 26/27 hari 9) Kasanga (Jita) (1 Maret-25 Maret) 25 hari

10) Kasapuluh (Srawana) (26 Maret-18 April) 24 hari 11) Dhesta (Padrawana) (19 April-11 Mei) 23 hari 12) Sadha (Asuji) (12 Mei-21 Juni) 41 hari

Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di Pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa itu dapat dikatakan kalendernya kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja. Pada mulanya Pranata Mangsa hanya memiliki 10 mangsa sesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa


(47)

40

pertama (Kasa atau Kartika), yaitu pada tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama sehingga akhirnya ditetapkan mangsa kesebelas (Destha atau Padrawana) dan mangsa kedua belas (Sadha atau Asuji). Maka genaplah satu tahun menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22 Juni. Kalender saka berjalan bersama Pranata Mangsa.30

Purwadi dan Siti Maziyah masih mengutip dalam bukunya Kamajaya menjelaskan bahwa meskipun Pranata Mangsa yang sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa, namun pembakuannya baru diadakan pada waktu yang memerintah kerajaan Surakarta Sri Paku Buwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 Masehi. Kecuali untuk pedoman kaum tani, Pranata mangsa pun merupakan perhitungan yang membawakan watak atau pengaruh kepada kehidupan manusia seperti halnya perhitungan Jawa lainnya. Jadi sejarah perhitungan-perhitungan dalam kalender Jawa termasuk didalamnya hitungan weton yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat khususnya di Jawa ini telah digunakan terlebih dahulu oleh para nenek moyang di zaman kerajaan Hindu-Budha. Begitu juga pada saat pemerintahan kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Sri Paku Buwana ke- VII.

2. Fungsi Dari Penggunaan Pitungan Jawa

Buat orang Jawa mengetahui weton amatlah sangat penting, karena weton sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang paling penting kegunaan mengetahui weton adalah sebagai hitungan saat akan melangsungkan pernikahan, untuk membangun rumah atau pindah rumah maupun

30Purwadi dan Siti Maziyah, Horoskop Jawa. Cet. I. (Yogyakarta: Media Abadi, 2010), 3.


(48)

41

untuk menentukan waktu khitanan. Jumlah weton dapat diketahui dari hari lahir serta pasaran, rata-rata orang Jawa tahu hari lahir serta pasaran bahkan sampai ke yang lebih detail biasanya dicatat oleh orang tuanya.Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui.Demikian pula agama, seperti suatu harmoni adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni.Sistem Petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam Disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan.31

Menurut keyakinan masyarakat Jawa menggunakan sistem Petungan adalah untuk mencari keuntungan dalam pelaksanaan suatu perkawinan. Mereka percaya dengan menentukan atau mencari hari-hari baik dengan Petungan semua hajat dalam pesta Perkawinan akan mendapatkan keberuntungan, baik keberuntungan dalam kelancaran acara hajatan, keberuntungan dalam hal rezeki maupun keberuntungan yang lain bagi calon kedua pengantin. Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari tanggal dan hari keagamaan seperti terdapat pada kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa yang disebut Petangan jawi, yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu Hari, Tanggal, Bulan, Tahun, Pranata mangsa, Wuku dan lainnya. Semua itu

31 Geertz, Clifordz.,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1960), 39.


(49)

42

warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya.

Pitungan Jawa sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi penerusnya.32Dalam sistem Petungan atau Primbon tidak selalu mutlak dalam kebenaran, kadang kala telah dilakukan sistem Petungan namun masih ada Sengkala atau halangan ketidak beruntungan yang dialami oleh seseorang dalam melangsungkan pesta hajatan perkawinan.Namun, setidaknya dengan sistem Petungan atau Primbon seseorang yang mempunyai hajat memperoleh kemantaban dan kenyamanan dari segala Sengkala ataupun marabahaya. Purwadi dan Siti Maziyah yang mengutip dari bukunya Kamajaya mengatakan bahwa pada hakikatnya Primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarannya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir batin. Primbon hendaklah tidak diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran mutlak.Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalaman leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa maha pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya.33

Sistem Petungan juga digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah kalau ingin mencuri tanpa ketahuan, untuk menentukan di

32Purwadi dan Siti Maziyah, Horoskop Jawa. Cet. I. (Yogyakarta: Media Abadi, 2010), 14. 33Purwadi dan Siti Maziyah, Horoskop Jawa. Cet. I. (Yogyakarta: Media Abadi, 2010), 14.


(50)

43

sebelah mana orang harus duduk dalam arena adu ayam supaya menang dalam taruhan, untuk meramalkan apakah orang akan untung atau rugi dalam perdagangan di hari tertentu, untuk memilih obat yang tepat bagi suatu penyakit, untuk menentukan hari baik buat khitanan dan perkawinan (biasanya sampai kepada jam yang tepat dimana upacara harus dilangsungkan), dan untuk meramalkan apakah suatu perkawinan yang direncanakan bisa terlaksana atau tidak. Untuk hal yang terakhir ini, hari lahir pengantin wanita dan pria akan dijumlahkan, hampir selalu oleh seorang dukun, untuk melihat apakah mereka cocok: kalau tidak perkawinan itu tak akan berlangsung, paling tidak demikianlah dalam kalangan tradisional yang kepercayaan begininya masih kuat. Pada beberapa kasus suatu konflik mungkin timbul bilamana keluarga pengantin wanita atau keluarga pengantin pria atau dukun-dukun mereka menggunakan sistem yang berlainan.34Dalam suatu kasus terkadang terjadi perbedaan pendapat dimana masing-masing pihak keluarga pengantin sama-sama mencari hari baik dengan sistem Petungan. Dalam kedua keluarga pengantin berbeda dalam pelaksanaan hajatan yang mengakibatkan beda pendapat, namun dalam kasus seperti ini biasanya yang digunakan adalah sistem Petungan dari pihak keluarga pengantin wanita, sebab budaya di masyarakat Jawa hajatan pesta perkawinan dan upacara Ijab Qabul dilaksanaan di rumah keluarga pengantin wanita. Jadi fungsi penggunaan Petungan dalam masyarakat Jawa tidak hanya digunakan untuk menentukan waktu pelaksanaan perkawinan, namun juga digunakan untuk

34 Geertz, Clifordz.,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1960), 43.


(51)

44

menentukan waktu khitanan, kematian, pindah rumah ataupun membangun rumah.

3. Cara Menentukan Hari Untuk Perkawinan

Dalam suatu komunitas di masyarakat Jawa tidak semua orang bisa menentukan hari-hari baik untuk melangsungkan berbagai macam hajatan termasuk Perkawinan, namun hanya beberapa orang saja dalam suatu Desa atau Kelurahan itu yang dapat melakukannya.Biasanya orang yang dianggap tua atau yang dituakan yang dimintai pertolongan oleh seseorang yang ingin punya hajat, itupun ada dua golongan.Pertama, bagi orang orang-orang yang kejawennya sangat kuat mereka meyakini dan merasa lebih mantab terhadap hasil hitungan dari orang yang menggunakan sistem Petungan Jawa murni atau asli Kejawen.Kedua, bagi orang-orang yang takut terhadap kemusyrikan dan keimanan terhadap Islamnya kuat mereka meyakini terhadap hitungan para Kyai yang konon katanya ada sebuah kitab yang menjelaskan tentang menentukan hari baik.Dalam ritual Pernikahan pun juga diadakan berbagai macam slametan agar diberi keselamatan dari berbagai Sengkala atau marabahaya.

Slametan kelahiran waktunya ditetapkan menurut peristiwa kelahiran, dan slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu, namun orang Jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan, peristiwa itu dianggap sebagai ditentukan oleh Tuhan, yang menetapkan secara pasti perjalanan hidup setiap orang. Ketika Bratasena, tokoh wayang itu, muncul di surga sesudah mati dengan sengaja dalam suatu kisah yang telah kita sebut dahulu, Batara Guru, raja sekalian dewa, menegur dia karena kelancangannya menghabiskan umur sebelum


(52)

45

saat yang ditetapkan untuknya tiba, Dewa itu lalu mengirimnya kembali ke dunia manusia. Upacara khitanan dan perkawinan-seperti juga pergantian tempat tinggal dan semacamnya-tampaknya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia; tetai disini pun penetapan secara sembarangan harus dihindari dan suatu tatanan Ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut Petungan atau “hitungan”.35

Di dalam sistem Petungan orang Jawa terdapat suatu konsep metafisis orang Jawa yang begitu Fundamental, yaitu: cocok, yang berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya. Dalam menentukan hari baik untuk pernikahan ada hal-hal yang harus diketahui dan dipergunakan, misalnya: neptu hari dan pasaran bulan Jawa calon pengantin berdua waktu lahir. Dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya, kebanyakan orang Jawa dulu mendasarkan atas hari yang berjumlah 7 (Senin-Minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, masing-masing hari dan pasaran mempunyai “neptu”, yaitu “nilai” dengan angkanya sendiri-sendiri.

Perhitungan Hari dan Pasaran: Minggu 5 Pon 7 Senin 4 Wage 4 Selasa 3 Kliwon 8 Rabu 7 Legi 5

35 Geertz, Clifordz.,Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1960), 38.


(53)

46

Kamis 8 Pahing 9 Jumat 6

Sabtu 9

Petungan salakirabi wetone penganten lanang wadon, Neptune dino lan pasaran digunggung, banjur kabagi 4 turah piro.

Yen torah:

Siji (1) Gentho, larang anak Loro (2) Gembi, akeh anak Telu (3) Sri, sugeh rejekine Papat (4) punggel, mati siji

Ketika perhitungan dari kedua calon pengantin sudah sesuai dengan yang diharapkan, maka tinggal melaksanakan proses pernikahan atau wedding. Dimulai dari seminggu sebelum hari pernikahan mempelai wanita akan di pingit terlebih dahulu, dalam bahasa sederhananya adalah seorang pengantin wanita tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki sampai tiba hari pernikaha. Sedangkan hari yang baik untuk keperluan apa saja misalnya pindah tempat, punya kerja, perkawinan, tukar cincin dan sebagainya.

Bulan Hari Maknanya

Sawal Minggu baik sekali Selo Minggu baik sekali Besar Senin baik sekali

Rabu baik Suro Rabu baik


(54)

47

Selasa baik Sapar Selasa baik sekali

Kamis baik Maulud Rabu baik sekali

Jum’at baik Bakda mulud Kamis baik sekali

Sabtu baik Jumadil awal Jumat baik sekali

Minggu

Jumadil akhir Sabtu baik sekali Rajab Rabu baik sekali

Jum’at baik Ruwah Minggu baik Pasa Minggu baik sekali

Senin baik sekali36 Ala beciking sasi kanggo ijabing panganten.

Sawal : Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak)

Selo : Gering, kerep pasulayan lan mitra. (Aja diterak) Besar : Sugih, nemu suka harja.

Sura : Tukar padu, nemu kerusakan. (Aja diterak) Sapar : Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak) Mulud : Mati salah siji.(Aja diterak)

36

Soemodidjojo, Primbon Betaljemur Adammakna. (Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 2001), 18.


(1)

95

dibungkus daun pisang. Sesaji ini dibawa untuk dilemparkan pada jembatan yang

akan dilalui iring-iringan pengantin.

Cara pelaksanaan sepasaran adalah apabila telah tiba waktunya untuk

sepasaran, pihak besan yaitu pihak keluarga pengatin pria mengirim utusan

kerumah pengantin putri dengan membawa tebusan berupa pisang ayu, suru ayu

sebagai pelambang sedyo rahayu, agar sejahtera. Utusan ini memohon izin pihak

keluarga pengantin putri untuk memboyong kedua mempelai kerumah besan

untuk dirayakan pada hari yang ke lima atau yang disebut sepasaran. Kemudian

kedua mempelai yang telah dirias secara sederhana diantar oleh keluarganya

menuju kerumah besan. Apabila mereka itu melewati jembatan, sesaji yang telah

disiapkan dilempar. Setibanya dirumah besan, pada pintu masuk, kedua mempelai

disambut ibu pengantin pria lalu dilakukan upacara wijik pupuk yang dilakukan

ibu besan. Wijik pupuk adalah mencuci kaki dan memberi pupuk dengan air

bunga setaman dengan maksud agar kedua mempelai yang datang dari jauh hilang

sawannya (hilang semua hal yang kurang baik, rintangan dan sebagainya) yang

orang jawa menyebutnya dengan sawan yang mungkin melekat pada mereka

dalam perjalanan. Kemudian mereka disingepi dengan kain sindur oleh ibu

pengantin pria dalam perjalanan menuju ketempat duduk yang disediakan. Jika

semuannya sudah selesai, dilanjutkan dengan acara ramah tamah dengan hidangan

ala kadarnya hingga selesai perjamuaan.

B. Makna Perkwinan Masyarakat Islam Jawa di Desa Taman Prijek Laren Lamongan


(2)

96

Makna Tradisi Perkawinan Masyarakat Islam Jawa di Desa Taman Prijek

bisa tergolong memiliki banyak makna, karena disitu terdapat akulturasi budaya

dan agama dalam sebuah proses perkawinan. Diantara makana tersebut bisa di

bilang bahwa pernikahan merupakan pertama, melaksanakan perintah Tuhan

untuk menghasilkan keturunan. Kedua, sebagai wujud untuk saling menyayangi,

mengasihi dan mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan antara suami dan

istri, dan ketiga, mempersatukan kedua insan yang saling menyayangi dan

mencintai dan mempersatukan kedua keluarga (menjalin silahturrahmi).

Dalam perkawinan terdapat banyak perlengkapan untuk pernikahan dan

semuanya tersebut melambangkan dalam kehidupan yang diharapkan setelah

menikah. Dalam setiap tahapan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan upacara

perkawinan begitu banyak makna yang dapat kita ambill untuk melangkan

mengarungi bahtera rumah tangga. Tradisi Jawa sangat kental akan makna dan

filosofi yang terkandung dalam setiap prosesi yang di langsungkan dalam


(3)

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan penjelasan mengenai Tradisi Perkawinan Masyarakat

Islam Jawa di Desa Taman Prijek Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan,

penulis memberikan beberapa kesimpulan.

Tradisi perkawinan adat Jawa merupakan salah satu bentuk upacara

tradisional dan merupakan salah satu bentuk ungkapan dimana terdapat lambang

dalam ritual upacaranya memiliki simbol yang mengandung makna dan

mencerminkan norma atau nilai budaya Jawa.

Tradisi penggunaan pitungan untuk menentukah hari baik untuk

melangsungkan perkawinan juga masi terjaga dan masih di pakai oleh masyarakat

desa Taman Prijek Sampai sekarang ini. Ketika temon atau perhitungan calon

laki-laki dan calon perempuan tidak baik, maka hubungan tersebut di usahakan

oleh keluarga kedua bela pihak agar tidak di lanjutkan, karena kita tidak tau besok

kedepannya itu akan seperti apa. Akan tetapi perhitungan jawa adalah salah satu

cara atau jalan yang di bakai oleh masyarakat desa Taman Prijek untuk supaya

terhindar dari malapetaka.

Banyak sekali simbol-simbol dalam tradisi upacara perkawinan

masyarakat desa Taman Prijek yang mana bila kita teliti itu sarat akan makna


(4)

98

adalah Balang Suruh. Daun sirih merupakan perlambang bahwa kedua pengantin

diharapkan bersatu dalam cipta, karsa dan karya.

B. Saran

Untuk masyarakat desa Taman Prijek khususnya para generasi muda.

1. Upacara perkawinan secara tradisional di Desa Taman Prijek, supaya

semua generasi muda tetap berminat untuk melanjutkan apa yang telah

dihayati para leluhur, hendaknya selalu diadakan pembinaan kepada

generasi muda menyadari bahwa upacara perkawinan adat mempunyai

nilai yang luhur dan adiluhung.

2. Upacara perkawinan secara tradisional, hendaknya para orang tua

mengarahkan generasi muda agar jangan sampai karena pengaruh dari luar

lalu cenderung meninggalkanya.

3. Upacara perkawinan secara tradisional, hendaknya tetap dilestarikan agar

kebudayaan daerah yang mempunyai nilai filosofi bagi kehidupan

masyarakat dapat diturunkan kepada generasi muda.

4. Sebuah tradisi lokal dan kepercayaan komunitas adat harus dihargai,

dilestarikan dan diamalkan yang mana tidak bertentangan dengan

keyakinan agama, sehingga nilai luhur yang ada di dalamnya dapat

menjadi alat pemersatu bangsa.

5. Tetap saling menghargai meskipun setiap masing-masing keluarga

memiliki kekuatan ekonomi sendiri-sendiri dalam melaksanakan


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Abu AbdilLah Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Al-Mughiro Ibnu Bardiz al

Bukhari, Sahih Al Bukhari, juz III, (Bairut Lisabon: Dar al-Fikri 1401 H/

1981 M.

Ali Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, Bandung: Badan

Penerbit IKIP, 1971. Al Quran dan Terjemah

Artati Agos. Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa, Jakarta:

Gramedia Pustaka, 2001.

Dahlan Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997.

Endang Syaefudin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002.

Fathoni Abdurrahmat. M.Si. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar, Jakarta:

Rineka Cipta, 2006.

Geertz, Clifordz. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1960.

Geertz, Clifford. Agama sebagai sistem kebudayaan. Jogjakarta: IRCisoD, 2011.

Haryono P. Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, cet ke-2.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1974.

http://www.geogle.akulturasi+budaya.co.id. Diakses: 5 juni 2016.

http// Prosesi & Tatacara pada Pernikahan Adat Jawa Beserta Filosofi dan Maknanya _ULYA OneStopWedding Purwokerto.htm. Diakses 17 juli 2016.

http://hooillands-obralkata.blogspot.com/2012/06/eksistensi-budaya-perkawinan-adat- jawa.html di unduh pada tanggal 13 april 2016, Pukul 21:35 wib.

Kartini Kartono. Psikologi Wanita 1, Bandung: Mandar Maju, 2006.


(6)

Kuntowijoyo. Ruh Islam Dalam Budaya Islam, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1996.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2009.

Mudjahid Abdul Manaf. Ilmu Perbandingan agama, Jakarta: PT.Raja Grafindo

Persada, 1994.

Nasution Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Jilid I, UI Press,

1985.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Purwadi dan Siti Maziyah. Horoskop Jawa. Cet. I. Yogyakarta: Media Abadi, 2010.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandung: Al-Ma‟arif, 1980.

Saekan dan Irniati Effendi. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di

Indonesia, Surabaya: Arkola Surabaya, 1997.

Sayyid, Syaikh. Fiqih as- Sunnah, (tarj). Bandung: al- Ma’arif, 1997.

Sapardi. Antropologi Agama, Surakarta: LPP UNS, 2006.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.

Soemodidjojo. Primbon Betaljemur Adammakna. Yogyakarta: Soemodidjojo

Mahadewa, 2001.

Sri Supadmi murtiadji. Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta, Yogyakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Tualaka. Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: New Merah Putih, 2009.

Yazid, Abu. Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam