444648f9512fe3bda8c9a01b1c61673a

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

ISSN 2085-028X

PERBEDAAN KEPADATAN LALAT YANG HINGGAP PADA FLY GRILL YANG
BERBEDA WARNA DI PASAR SRIMANGUNAN
Zufra Inayah**), Hermanta **), Diah Fidayanti*)
**) Dosen Prodi Kesehatan MasyarakatSTIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :The fly isone of the insect ordodiphtera, the insect as apair of wing-shaped
membrane. all parts of the body may play a rolein spreading the disease. for it is necessary to
control flies that can be based on the biological aspects of flies. Fly like insectsin general
have asensitivity to different light wave lengths (colors). The purpose of this studyis to
determine the differences in the density of flies that settle on the flya different grille colors.
Method :This type of research is the field experiments, including experiments and
pseudoscience. Market research conducted in polling stations Srimangunan for 7 days and
every day carried out two times of measurement. The data collection is done by counting the
number of flies that settle on the fly a different grille colors (blue, green, yellow and red) for
30 seconds, do 10 times the calculation of the highest and 5 averaged calculations. The data
obtained were analyzed using ANOVA test with the degree of α error of 0.05.
Result :The results showed that there are differences in the density of flies that settle on the

fly a different grille colors. Based on measures ANOVA test results obtained, which means p
= 0.004 p 20 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan
pengamanan terhadap tempat-tempat
berbiaknya
lalat
dan
tindakan
pengendalian lalat(sangat tinggi atau
padat).
Warna adalah corak rupa seperti merah,
putih, hijau dan sebagainya. Warna merah,
jingga, kuning, hijau, biru, nila dan unggu
yang sebetulnya merupakan komponen
daricahaya/sinar putih yang terurai pada
peristiwa dispersi cahaya dan distribusi
dari pada lalat selain tergantung pada
temperatur
dan
kelembaban
juga

tergantung pada warna dan tekstur dari
permukaan serta reaksi mereka terhadap
cahaya kerena lalat merupakan serangga
yang bersifat fototropik yaitu tertarik pada
sinar.
Cahaya yang dapat dilihat oleh manusia
disebut cahaya terlihat/tampak dan lalat
merupakan serangga yang aktif pada siang
hari dan tidak aktif pada malam hari tanpa
adanya sinar/cahaya buatan. Biasanya
cahaya
terlihat/tampak
merupakan
campuran dari cahaya yang mempunyai
berbagai panjang gelombang dari 400 nm
hingga 700 nm seperti kita ketahui bila
melihat pelangi.

3


Vol. 4, No. 1 Juni 2012

Tabel 1. Warna dan Cahaya Terlihat
Panjang Gelombang
No
Warna
(nm)
1
400 – 435
Ungu
2
435 – 480
Biru
3
500 – 560
Hijau
4-5
580 – 595
Kuning
6

595 – 610
Jingga
7
610 – 680
Merah
Sumber : Sastrohamidjojo, 1991
(Dalam Chory Masitoh, 2003)
Di Kabupaten Sampang, diare yang
ditularkan lalat rumah melalui kontaminsi
makanan masih berada dalam 10 besar
penyakit tahun 2011 pada urutan ketiga
dengan jumlah penderita 32.277 jiwa yang
merupakan 11,08% dari jumlah penderita
10 besar penyakit. Jumlah ini meningkat
dibanding angka kejadian tahun 2010
dengan jumlah penderita 8.035 jiwa (
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Sampang). Berdasarkan angka tersebut
pengendalian populasi lalat sangat penting,
mengingat lalat, terutama lalat rumah

merupakan vector yang membawa
penyakit melalui kontaminasi makanan
dari
faeces
manusia
dengan
kemampuannya terbang 6-9 km.
Di
pasar
Srimangunan
Sampang,
khususnya di TPS pasar, setiap hari
sampah dihasilkan dari kegiatan pasar.
Populasi lalat terbanyak adalah lalat rumah
(musca domestica). Kepadatan lalat
menjadi perhatian karena lokasi pasar juga
dekat dengan pemukiman penduduk.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan
bahwa
di

TPSPasar
Srimangunan
Sampang diketahui banyak lalat yang
berkerumun di tempat sampah dan
berdasarkan uji coba ternyata lalat tidak
menyukai warna biru, terbukti hasil
pengukuran pada fly grill warna biru yaitu
6 ekor per block grill, sedangkan fly grill
warna lain lebih besar dari warna biru.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
tertarik melakukan penelitian untuk
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya

ISSN 2085-028X

mengetahui perbedaan kepadatan lalat
yang hinggap pada fly grill yang berbeda
warna di pasar srimangunan sampang
tahun 2012.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian ini di TPS Pasar
Srimangunan sebagai tempat untuk
melakukan pengukuran kepadatan lalat
yanghinggap pada fly grill yang berbeda
warna, dimana di TPS Pasar Srimangunan
terdapat 1 kontainertempat sampah dan
pengangkutan sampah dilakukan setiap
sore setelah pasar dibersihkan.
Penelitian ini merupakan eksperimen
lapangan dan termasuk eksperimen semu
dengan rancangan sebagai berikut:[7]
1. Untuk pengukuran di pagi hari jam
06.00 desain penelitiannya:
X1
Y1
a.
Y2
b. X2
X3
Y3

c.
Y4
d. X4
Keterangan:
X= Warna
Y= Kepadatan lalat pada pengukuran
pagi
2. Untuk pengukuran di siang hari jam
12.00 desain penelitiannya:
X1
Z1
a.
Z2
b. X2
X3
Z3
c.
Z4
d. X4
Keterangan:

X= Warna
Y= Kepadatan lalat pada pengukuran
siang
Populasinya adalah lalat yang hinggap
adalahsemua species lalat yang hinggap
pada fly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah. Sampel yang diteliti
adalahfly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah. Cara pengambilan
sampel yang digunakan adalah dengan
memasang fly grill di TPS pasar
Srimangunan.

4

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

Variabel bebasnya adalah Fly Grill yang
berwarna biru, hijau, kuning dan
merah.Variabel terikat pada penelitian ini

adalah jumlah lalat yang hinggap. Data
yang diperoleh darihasil pengukuran
kepadatan lalat di TPS Pasar Srimangunan
Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang.Alat
pengumpulan data yang digunakan adalah:
a) fly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah; b) stop watch; c)
phsycrometer; d) thermometer; e) counter;
f) alat tulis; dan g) formulir pengukuran
kepadatan lalat.
Cara pengukuran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menghitung
jumlah lalat yang hinggap pada fly grill
yang
berbeda
warna.
Pengukuran
dilakukan 2 kali dalam 1 hari, dilakukan
pada pagi hari pukul 06:00 dan siang hari
pada pukul 12:00 untuk setiap harinya dan

dilakukan pengulangan selama 7 hari. Uji
Statistik menggunakan uji Anova (Analisis
Varians) dengan α = 0,05, untuk
mengetahui perbedaan kepadatan lalat
yang hinggap pada fly grill yang berbeda
warna.
HASIL PENELITIAN
Pada Tabel 2, hasil pengukuran kepadatan
lalat yang hinggap pada fy grill di TPS
Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid
Hasyim Sampang:

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya

ISSN 2085-028X

1. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna biru yaitu pada
pukul 06:00 WIBberkisar 5-16,6
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 8,8 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 3,8-11 (ekor/blok
grill)dengan hasil rata-rata sebesar 7,1
(ekor/blok grill).
2. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna hijau yaitu
pada pukul 06:00 WIB berkisar 6-16
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 11,4 (ekor/blok grill)dan pukul
12:00 WIB berkisar 5-12,6 (ekor/blok
grill) dengan hasil rata-ratasebesar 8,9
(ekor/blok grill).
3. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna kuning yaitu
pada pukul 06:00 WIBberkisar 7,8-16,8
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 12,6 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 8,4-31,6(ekor/blok
grill) dengan hasil rata-rata sebesar16,2
(ekor/blok grill).
4. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna merah yaitu
pada pukul 06:00 WIBberkisar 6,4-13,6
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 10 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 5,6-13,2 (ekor/blok
grill) dengan hasil rata-ratasebesar 9,7
(ekor/blok grill).

5

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

ISSN 2085-028X

Tabel 2. Rata-rata Pengukuran Kepadatan Lalat Yang Hinggap Pada FlyGrill di TPS Pasar
Srimangunan Sampang Tahun 2012
Pengamatan
Hari Ke
1
2
3
4
5
6
7
Kisaran
Total
Total

Biru
06:00
12:00
WIB
WIB
5
5,4
6,2
3,8
16,6
7,8
10,4
9,4
9,8
6,4
5
11
8,8
6
5-16,6
3,8-11
61,8
49,8
8,8
7,1
111,6
7,9

kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Hijau
Kuning
Merah
06:00
12:00
06:00
12:00
06:00
12:00
WIB
WIB
WIB
WIB
WIB
WIB
9
7,8
7,8
8
6,4
7
16
5
12
9
10,8
5,6
8
6,2
11
11
7
9,6
11,2
10,6
15,6
13
13,6
12,4
14,2
7,8
15,8
11
13,6
8,6
6
12,6
9,4
27
9
13,2
16
12,4
16,8
31
9,6
11,4
6-16
5-12,6 7,8-16,8 8,4-31,6 6,4-13,6 5,6-13,2
80,4
62,4
88,4
113,6
70
67,8
11,4
8,9
12,6
16,2
10
9,7
142,8
202
137,8
10,2
14,4
9,8
p = 0,004

Berdasarkan Tabel 2 juga menunjukkan
bahwa
hasil
rata-rata
pengukuran
kepadatan lalat pada fly grill warna biru
yaitu pada pukul 06:00 WIB dan pukul
12:00 WIB sebesar sebesar 7,9 (ekor/blok
grill), fly grill warna hijau sebesar 10,2
(ekor/blok grill), fly grill warna kuning
14,4 (ekor/blok grill) dan fly grill warna
merah sebesar 9,8 (ekor/blok grill).Dari
data hasil uji ANOVA dengan α = 0,05
menunjukkan p=0,004 yang berarti p α(0,05) bahwa
tidak ada hubungan antara suhu dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,139, hijau p=0,279,
kuning p=0,136 dan merah p=0,134.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kepadatan
Lalat Berdasarkan Suhu di TPS
Pasar Srimangunan Sampang
Tahun 2012
Hari Ke

Kepadatan lalat (ekor/blok grill)

Pukul

Biru Hijau Kuning Merah
(Suhu)
1 (28oC)
5
9
7,8
6,4
2 (28oC)
6,2
16
12
10,8
3 (28oC)
16,6
8
11
7
06:00 4 (28oC)
10,4
11,2
15,6
13,6
5 (28oC)
9,8
14,2
15,8
13,6
o
6 (28 C)
5
6
9,4
9
7 (28oC)
8,8
16
16,8
9,6
Suhu sama tidak mempengaruhi hasil kepadatan warna
1 (32oC)
5,4
7,8
8,4
7
2 (31oC)
3,8
5
9,6
5,6
3 (31oC)
7,8
6,2
11,8
9,6
12:00 4 (31oC)
9,4
10,6
13,2
12,4
5 (32oC)
6,4
7,8
11,4
8,6
6 (30oC)
11
12,6
27,6
13,2
7 (31oC)
6
12,4
31,6
11,4
p=
p=
p=
p=
Uji Anova
0,139 0,279
0,136
0,134

Tabel 5. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di TPS Pasar
Srimangunan Sampang Tahun 2012
Hari Ke

Kepadatan lalat (ekor/blok grill)

Waktu

06:00

Biru

Hijau

Kuning

5
6,2
16,6
10,4
9,8
5
8,8

9
16
8
11,2
14,2
6
16

7,8
12
11
15,6
15,8
9,4
16,8

6,4
10,8
7
13,6
13,6
9
9,6

p =0,709

p =0,465

p =0,251

p =0,549

5,4
3,8
7,8
9,4
6,4
11
6

7,8
5
6,2
10,6
7,8
12,6
12,4

8,4
9,6
11,8
13,2
11,4
27,6
31,6

7
5,6
9,6
12,4
8,6
13,2
11,4

p =0,292

p =0,276

p =0,280

p =0,111

(Kelembaban)
1 (83oC)
2 (86oC)
3 (87oC)
4 (81oC)
5 (85oC)
6 (86oC)
7 (81oC)
Uji Anova
1 (64oC)
2 (71oC)
3 (70oC)
4 (76oC)
5 (67oC)
6 (72oC)
7 (73oC)

12:00

Uji Anova

Pada
Tabel
5,
menunjukkan
bahwakelembaban yang diukur pada
penelitian ini juga tidak berpengaruh
terhadap kepadatan lalat yang pada fly
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya

Merah

grill yang berbeda warna berdasarkan hasil
pengkuran sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran kelembaban pada
pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87%
7

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

pada fly grill warna biru berkisar 5-16,
6 (ekor/blok grill), hijau berkisar 616(ekor/blok grill), kuning berkisar 7,816,8 (ekor/blok grill) dan merah
berkisar
8,4-31,6
(ekor/blok
grill).Berdasarkan dari hasil uji korelasi
product moment pearson dengan α =
0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada
hubungan antara kelembaban dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,709, hijau p=0,465,
kuning p=0,251 dan merah p=0,549.
2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00
WIB kelembaban berkisar 64%-76%
pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11
(ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok
grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill)
dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill).
Berdasarkan dari hasil uji korelasi
product moment pearson dengan α =
0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada
hubungan antara kelembaban dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,292, hijau p=0,276,
kuning p=0,280 dan merah p=0,111.

PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan
fly grill warna biru, hijau, kuning dan
merah. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dilapangan diketahui
bahwa tingkat kepadatan lalat yang
hinggap berbeda pada setiap warnanya.
Tingginya jumlah lalat yang hinggap
menyatakan bahwa warna tersebut
merupakan warna yang disukai oleh lalat.
Hasil uji ANOVA dengan derajat
kesalahan α= 0,05 memperoleh hasil p=
0,004, sehingga nilai p α sehingga
dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara suhu dengan tingkat kepadatan lalat.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya

ISSN 2085-028X

Suhu pada saat penelitian masih
merupakan
suhu
optimum
lalat
berkembangbiak.
Sehingga
dapat
dikatakan bahwa suhu bukan merupakan
faktor yang mempengaruhi tingkat
kepadatan lalat dalam memilih warna pada
fly grill.
Kelembaban erat hubungannya dengan
keaktifan lalat. Kelembaban optimal yang
dimiliki lalat agar dapat beraktifitas adalah
50%-90%. Pada penelitian yang dilakukan
mulai hari ke-1 hingga hari ke-5 pada
pukul 06.00 WIB diperoleh hasil 81%87%, pada pukul 12.00 WIB diperoleh
hasil 64%-76%.Hasil uji korelasi product
moment pearson dengan α= 0,05
memperoreh hasil p >αsehingga dapat
diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara kelembaban dengan tingkat
kepadatan lalat. Kelembaban pada saat
penelitian masih merupakan kelembaban
optimum lalat berkembangbiak. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kelembaban bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi
tingkat kepadatan lalat dalam memilih
warna pada fly grill.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari perbedaan kepadatan
lalat yang hinggap pada fly grill yang
berbeda
warna,
maka
diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:1) Pengukuran
kepadatan lalat pada fly grill warna biru
dengan hasil rata-rata sebesar 7,9
ekor/blok grill, warna hijau dengan hasil
rata-rata sebesar 10,2 ekor/blok grill,
warna kuning dengan hasil rata-rata
sebesar 14,4 ekor/blok grill, warna merah
dengan hasil rata-rata sebesar 9,8
ekor/blok grill, 2) Hasil pengukuran suhu
diperoleh pengukuran pada suhu pukul
06:00 WIB yaitu 28oC dan pukul 12:00
WIB yaitu berkisar 30oC-32oC, sedangkan
hasil pengukuran kelembaban pukul 06:00
WIB berkisar antara 81%-87% dan pukul
9

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

12:00 WIB yaitu berkisar 64%-76%, 3)
Ada perbedaan kepadatan lalat yang
hinggap pada fly grill yang berwarna biru,
hijau, kuning dan merah berdasarkan uji
ANOVA dengan α(0,05) menunjukkan
p=0,004 yang berarti p < α(0,05), warna
yang paling disukai lalat adalah kuning
dan yang tidak disukai adalah biru, 4) Dari
hasil pengukuran suhu, dengan uji korelasi
product moment pearson didapat p >
α(0,05) sehingga tidak ada hubungan suhu
dengan kepadatan lalat yang berwarna
biru, hijau, kuning dan merah, 5)
Sedangkan dari hasil uji korelasi product
moment
pearson
terhadap
hasil
pengukuran kelembaban p > α(0,05)
sehingga tidak ada hubungan kelembaban
dengan kepadatan lalat yang berwarna
biru, hijau, kuning dan merah.
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka
dapat dikemukakan saran–saran sebagai
berikut:
1)
masyarakatsebaiknya
menggunakan penutup makanan atau
minuman dan tempat sampah warna biru;
2) Badan Lingkungan Hidupsebaiknya
memberikan warna cat biru pada bangunan
tempat sampah, countainer dan truk
pengangkut sampah; 3) mengembangkan
penelitian ini lebih lanjut dengan
menggunakan alat lain selain fly grill dan
dilakukan di tempat yang lain selain di
TPS Pasar Srimangunan Sampang; 4)
pengukuran kepadatan lalat sebaiknya
menggunakan alat pengukur fly grill warna
kuning
untuk
mengetahui
tingkat
kepadatan lalat.
KEPUSTAKAAN

ISSN 2085-028X

penggunaan Pestisida, Denpasar:
Pemberantasan Serangga dan Binatang
Pengganggu, Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat
Departemen Kesehatan RI.
2. Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu
Kesehatan. Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya.
3. Depkes RI. 2002. Pengendalian Vektor
dan Binatang Pengganggu. Surabaya.
4. Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis
Tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta:
Ditjen PMM dan PLP.
5. Iskandar,
Adang.
1985.
Pemberantasan
Serangga
dan
Binatang Pengganggu. Jakarta: Proyek
Pengembangan Pendidikan Tenaga
Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan
RI.
6. Masitoh, Chory. 2003. Perbedaan
Jumlah Lalat Yang Hinggap Pada
Tempat Sampah Yang Berbeda Warna.
Surabaya:
Politeknik
Kesehatan
Depkes Surabaya.
7. Notoatmodjo,
Soekidjo.
2010.
Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
8. Sastrohamidjojo. 1991. Spektroskopi.
Yogyakarta: Liberty.
9. Wardoyo, dkk. 1981. Pemberantasan
Serangga dan Binatang Mengerat.
Surabaya: SPPH.
10. Widoarti, Rizky. 2007. Hubungan
Antara Kepadatan Lalat dan Faktor–
Faktor Yang Mempengaruhinya di
Instalasi Gizi RSUD. Surabaya:
Politeknik
Kesehatan
Depkes
Surabaya.
11. ________________. 2009. UndangUndang
Kesehatan.
Bandung:
Fokusmedia.

1. Adnyana.
I
Made
E,
1985.
Pemberantasan Serangga Penyebab
Penyakit
Tanaman
Liar
dan

Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya

10

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

ISSN 2085-028X

GAMBARAN PENYEMBUHAN LUKA SECTIO CAESAREA BERDASARKAN
STATUS GIZI PADA IBU NIFAS DI R.S. BHAKTI RAHAYU SURABAYA
Diah Fauzia Zuhroh**) Endah Mulyani*)
**) Dosen Prodi Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Caesarean Section (SC) is a method of delivering baby by surgical procedure
through the womb and abdominal wall of the mother. SC wound healing at risk of infection at
the surgical incision of 15-60% this is increased in women who have poor nutrition status.
Infections accounted for 15% of the Maternal Mortality Rate (MMR).This research aims to
know the description of wound healing based on the nutrition status on the parturition
mothers in Bhakti Rahayu Hospital of Surabaya.
Method : This research was the non experimental research with the cross sectional
approach. The numbers of population were 48 persons with the sample taking technique in
form of total sampling in which the research subjects were taken from the entire population.
Data analysis used was data analysis as univariate.
Result : The results shows 92,85% parturition mothers with good nutrition had good wound
healing.
Conclusion : The conclusion that mothers with good nutrition status had good wound
healing and those with the poor nutrition status had poor wound healing. The midwifes are
expected to more improve their attention to the nutrition status of the post SC parturition
mothers and to improve their knowledge on the treatment of post SC parturition mother. The
provision of counseling about the SC wound to mothers and families felt as necessary to
improve mother’s health.
Keywords : Sectio, nutrition
PENDAHULUAN
Sectio Caesareamerupakan persalinan
buatan di mana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan
utuh serta berat janin diatas 500
gram.[28]Luka operasi SC adalah gangguan
dalam kontinuitas sel akibat dari
pembedahan yang dilakukan untuk
mengeluarkan janin dan plasenta, dengan
membuka dinding perut dengan indikasi
tertentu.
Penyembuhan Luka Operasi Sectio
Caesarea (SC) adalah proses pergantian
dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak
akibat dari pembedahan yang dilakukan
untuk mengeluarkan janin dan plasenta,
dengan jalan membuka dinding perut
dengan indikasi-indikasi medis tertentu.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

Masalah utama setelah pembedahan adalah
proses penyembuhan luka hal ini
disebabkan karenaibu yang melahirkan
melalui operasi SC mempunyai resiko 530x lebih besar untuk mengalami infeksi
pada masa nifas hal ini meningkat pada ibu
dengan gangguan gizi.[15]
Infeksi pada luka bisa menjadi tanda
bahwa luka tersebut mengalami kegagalan,
hambatan ataupun gangguan dalam proses
penyembuhan lukanya. Sebagian besar
tanda dan gejala infeksi luka merupakan
perburukkan fisiologi penyembuhan luka
normal, yang meliputi:[4]
1. Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi
lebih panas dari sekelilingnya, sebab
terdapat lebih banyak darah yang
disalurkan ke area terkena infeksi/
fenomena panas lokal karena jaringan11

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

jaringan tersebut sudah mempunyai
suhu inti dan hiperemia lokal tidak
menimbulkan perubahan.
2. Dolor (rasa sakit)
Dolor
dapat
ditimbulkan
oleh
perubahan PH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung saraf. pengeluaran zat kimia
tertentu seperti histamin atau zat kimia
bioaktif lainnya dapat merangsang saraf
nyeri.
3. Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat
didaerah
yang
mengalami
peradangan.Kapiler-kapiler
yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja
meregang, dengan cepat penuh terisi
darah. Keadaan ini yang dinamakan
hiperemia atau kongesti,
4. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena
pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah kejaringan interstitial.
5. Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara
superfisial bagian yang bengkak dan
sakit disertai sirkulasi dan lingkungan
kimiawi lokal yang abnormal, sehingga
organ tersebut terganggu dalam
menjalankan fungsinya secara normal.
6. Rabas atau adanya sedikit cairan serosa
mungkin normal pengeluaran cairan
atau nanah berlebih pada daerah luka
merupakan tanda abnormal.
7. Biakkan mikrobiologi dapat positif,
tidak hanya ketika terdapat infeksi,
tetapi juga karena kontaminasi atau
kolonisasi.
Idealnya luka akan sembuh dengan
baik bila dilakukan perawatan dan
pengobatan yang sesuai dengan program.
Akan tetapi ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka, faktorfaktor tersebut secara umum adalah usia,
paritas, gizi, perawatan terhadap luka
pembedahan, penyakit berat, teknik bedah
yang tidak halus dan baik, kondisi mental
ibu, terkontaminasinya sayatan dan
pelaksanaan operasi itu sendiri. Gizi
berperan penting dalam fase penyembuhan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

ISSN 2085-028X

suatu luka karena penyembuhan luka akan
terganggu apabila seorang ibu mengalami
malnutrisi.[15]
Status gizi sangat memiliki pengaruh
terhadap penyembuhan luka karena status
gizi yang kurang berpotensial terjadinya
infeksi. Status gizi pada seseorang dapat
dinilai dengan metode-metode ilmiah salah
satunya dengan pengukuran lingkar lengan
atas yang memberikan gambaran status
protein dan energi pada saat pengukuran.
Namun pada kenyataannya nutrisi ibu pada
masa nifas banyak yang mengalami
penurunan karena banyak dari ibu tersebut
melakukan pantangan atau tarak terhadap
zat gizi tertentu. Tarak adalah kebiasaan,
budaya atau anjuran yang tidak
diperbolehkan untuk mengkonsumsi jenis
makanan tertentu, misalnya ikan, sayuran,
dan buah yang berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik yang nantinya
dapat mempengaruhi proses penyembuhan
luka.
Penyembuhan luka operasi dengan
status
gizi
mempunyai
hubungan
bermakna.[24]Status gizi yang buruk dapat
mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi
post
operasi
dan
mengakibatkan pasien menjadi lebih lama
dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah infeksi post
operasi, dehisiensi (luka terbuka), demam
dan penyembuhan luka yang lama. Pada
kondisi yang serius pasien dapat
mengalami
infeksi
yang
bisa
mengakibatkan kematian.
Faktor gizi sangat berperan penting dalam
penyembuhan luka karena dalam proses
penyembuhan luka dibutuhkan zat gizi
mikro maupun makro. Pada penyembuhan
luka fase proliferatif (masa regenerasi)
terjadi puncak pembentukan kolagen,
kolagen sendiri adalah substansi protein
yang bermanfaat untuk penutupan luka.
Dalam penyembuhan luka protein sangat
berperan penting mengingat fungsi protein
adalah sebagai zat yang berperan aktif
12

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

dalam mengganti sel-sel yang telah rusak
pada tubuh
manusia. Dan pada
penyembuhan
luka
energi
sangat
diperlukan dalam masa pemulihan karena
kondisi ibu yang sehat akan berpengaruh
postif dalam proses penyembuhan luka.
Beberapa zat-zat gizi mikro seperti vitamin
A sangat berperan dalam proses
reepitalisasi dan memproduksi sel
makrofag, vitamin K membantu sintesis
protombin yang berfungsi sebagai zat
pembekuan darah, vitamin B sendiri
sebagai kofaktor pada sistem metabolisme
tubuh. Tidak berbeda vitamin C juga
memiliki peran yang besar dalam
penyembuhan luka yaitu antara lain
dikarenakan vitamin C berfungsi sebagai
fibroblas yang pada masa proliferatif
menjadi aktivitas utama vitamin C juga
mencegah
adanya
infeksi,
serta
[6]
membentuk kapiler-kapiler darah.
Status gizi ibu sangat berpengaruh dalam
proses penyembuhan, pada orang yang
mengalami kekurangan energi dan protein
akan memakan waktu yang cukup lama
dalam proses penyembuhan. Dan pada ibu
yang mengalami status gizi yang berlebih
(obesitas) akan mengalami gangguan
dalam penyembuhan luka karena pasokan
darah jaringan adipose tidak adekuat. Pada
masa
penyembuhan
menempatkan
penambahan pemakaian gizi pada tubuh
sehingga pada keadaan khusus seperti pada
ibu yang status gizinya kurang akan lebih
membutuhkan
perhatian
khusus.Ibu
menyusui merupakan keadaan rentan gizi.
Jadi perlu diperhatikan status gizi ibu
tersebut agar dapat diperbaiki dan dapat
dicegah komplikasi akibat gizi.
Pada penelitian ini peneliti memilih
menggunakkan
metode
pengukuran
lingkar lengan atas untuk mengetahui
status gizi ibu post SC.Pengukuran
Lingkar Lingan Atas (LILA) adalah suatu
cara untuk mengetahui resiko kekurangan
Energi Protein (KEP) pada wanita usia
subur (WUS). Sasaran WUS sendiri adalah
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

ISSN 2085-028X

wanita yang berusia 15-45 tahun baik
dalam keadaan remaja, ibu hamil maupun
ibu
menyusui.
Pengukuran
LILA
digunakan karena pengukurannya cepat,
mudah dan murah.Ambang batas LILA
WUS dengan resiko KEK di Indonesia
adalah 23,5 cm apabila ukurana LILA
kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah
pita artinya wanita tersebut mempunyai
resiko KEK. Dengan mengukur LILA
maka
peneliti
akan
mendapatkan
gambaran status nutrisi sekarang atau pada
saat pengukuran.
Berdasarkan hasil Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
Angka Kematian Ibu (AKI) terbilang
masih tinggi yaitu sebesar 228/100.000
kelahiran jumlah ini masih jauh dibawah
target Millenium Developmeant Goal’s
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000
kelahiran hidup. Salah satu langkah efektif
yang diambil untuk menurunkan AKI
adalah dengan meningkatkan cakupan
persalinan dengan tenaga kesehatan.
Dengan pertimbangan untuk mencegah
trauma persalinan bagi ibu dan bayi maka
terjadi peningkatan angka kejadian
pembedahan perabdominal atau SC.
Di samping itu SC tidak hanya dapat
meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayi
namun juga dapat membahayakan
kesehatan ibu karenaangka kejadian
infeksi post SC sebesar 15-60% terjadi
pada sayatan bedah atau luka setelah
pembedahan.[15]Berdasarkan data awal
yang didapat dari peneliti di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan
Januari-Maret 2012 terdapat ibu bersalin
dengan SC sebanyak 441 orang sehingga
dapat ditarik kesimpulan rata-rata dalam
tiap bulannya ibu nifas post SC sebanyak
147 orang, namun jumlah pasien yang
berkunjung kembali untuk melakukan
pemeriksaan luka jahitan rata-rata
perbulan hanya 41 orang dan dari jumlah
tersebut terdapat 12 orang atau sebesar
29% ibu yang mengalami gangguan
penyembuhan luka operasi SC. Presentase
13

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

ISSN 2085-028X

29% ini dapat dikatakan cukup tinggi
karena
luka
bersih
terkontaminasi
kemungkinan timbulnya infeksi adalah 311%.[18]

Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah proses penyembuhan luka SC pada
ibu nifas dan variabel independen dari
penelitian ini adalah status gizi.

Berdasarkan uraian diatas bahwa, hanya
sebanyak 27% ibu yang melakukan
kunjungan ulang. Hal ini berdampak
negatif terhadap pemantauan kondisi luka
ibu oleh tenaga kesehatan yang apabila
tidak terpantau dengan baik akan
mengganggu fase penyembuhan luka
bahkan berpotensial terjadi infeksi. Oleh
karena itu peneliti tertarik untuk meneliti
tentang gambaran penyembuhan luka
operasi SC berdasarkan status gizi pada
ibu nifas di RSBhakti Rahayu Surabaya
dengan harapan proses penyembuhan luka
operasi SC tidak mengalami gangguan
atau keterlambatan.

Sumber data pada penelitian ini diperoleh
dari data primer dan sekunder. Data primer
adalah data didapat dengan cara
wawancara serta pengukuran langsung
kepada responden. Data sekunder adalah
data yang didapat denganmelihat rekam
medis pasien.Instrumen yang digunakan
untuk pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah pedoman wawancara, lembar
observasi berupa ceklist serta pita ukur
lingkaran lengan atas.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya. Jenis penelitian
ini adalah penelitian deskriptif. Desain
penelitian ini adalah Non Eksperimental
dan
menggunakan
pendekatanCross
Sectional, yakni rancangan penelitian
dengan melakukan pengukuran atau
pengamatan pada satu kali waktu.
Populasi
dalam
penelitian
ini
adalahseluruh ibu nifas post SC diRS
Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan Juni
tahun 2012 yang berjumlah 48 orang.Besar
sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
dari anggota populasi yaitu ibu nifas post
SC pada bulan Juni 2012 di R.S. Bhakti
Rahayu Surabaya sebanyak 48 orang yang
melakukan kunjungan ulang hari ke 521dengan jenis SC transversal yaitu
insisinya ada pada segmen bawah uterus.
Metode pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalahnon
probability (non random) sampling
berupatotal sampling yaitu semua anggota
populasi dijadikan sampel.[8]

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

Penelitian ini dianalisis dengan cara
univariat yaitu analisis yang dilakukan
terhadap
variabel
penelitianmelalui
distribusi frekuensi dan presentase.
Dimana dilakukan untuk mendiskripsikan
gambaran penyembuhan luka operasi ibu
post SC berdasarkan dari status gizi ibu.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1,
menggambarkan karakteristik ibu nifas
post SCyang melakukan kunjungan ulang
di RS Bhakti Rahayu Surabaya sebagai
berikut:
1. Tidak ada ibu nifas post SC yang
berumur < 16 tahun, 33 ibu (68,75%)
berumur 16-34 tahun dan sebanyak 5
ibu (31,25%) yang berumur ≥ 35 tahun.
2. Terdapat 17 ibu nifas post SC (35,41%)
primipara, 26 ibu (54,17%) multipara
dan terdapat 5 ibu (10,42%) yang
grandemulti.
3. Terdapat 1 ibu nifas post SC (2,08%)
yang menjadi pegawai negeri, 18 ibu
(37,5%) bekerja swasta, 2 ibu (4,17%)
bekerja sebagai wiraswasta dan 27 ibu
(56,25%) yang tidak bekerja atau
menjadi ibu rumah tangga.
4. Terdapat 5 ibu nifas post SC (10,42%)
tamat SD/sederajat, 4 ibu (8,33%) tamat
SMP/sederajat, 35 ibu (72,92%) tamat

14

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

ISSN 2085-028X

SMA/sederajat dan 4 ibu (8,33%) yang
tamat perguruan tinggi.
5. Sebagian besar penyembuhan luka ibu
nifas post SC di Rumah Sakit Bhakti
Rahayu Surabaya adalah baik yaitu
sebanyak 39 ibu (81,25%), dan ibu
nifas yang penyembuhan luka tidak
baik sebanyak 9 ibu (18,75%).
6. Sebagian besar ibu nifas post SC di
R.S. Bhakti Rahayu Surabaya memiliki
status gizi baik yaitu sebanyak 42 ibu
(87,5%) dan terdapat 6 ibu (12,5%)
memiliki status gizi buruk.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Ibu Nifas Post SC
di RS Bhakti Rahayu Surabaya
Bulan Juni 2012.
No
1

2

3

4

5

6

Variabel
Umur
a. < 16 tahun
b. 16 – 34tahun
c. ≥ 35 tahun
Paritas
a. Primipara (1 anak)
b. Mutipara (2-4 anak)
c. Grandemulti (≥ 5 anak)
Pekerjaan
a. Pegawai Negeri
b. Swasta
c. Wiraswasta
d. Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
a. SD/sederajat
b. SMP/sederajat
c. SMA/sederajat
d. Perguruan Tinggi
Penyembuhan Luka
a. Baik
b. Tidak baik
Status Gizi
a. Baik
b. Buruk

n

%

0
33
15

0
68,75
31,25

17
26
5

35,41
54,17
10,42

1
18
2
27

2,08
37,5
4,17
56,25

5
4
35
4

10,42
8,33
72,92
8,33

39
9

81,25
18,75

42
6

87,5
12,5

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC terdapat
39 ibu (92,85%) status penyembuhan
lukanya baik dengan status gizi baik, 3 ibu
nifas (7,14%) status penyembuhan lukanya
tidak baik dengan status gizi baik dan
terdapat 6 ibu (100%) yang penyembuhan
lukanya baik dengan status gizi buruk.

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Fase
Penyembuhan Luka SC Dengan
Status Gizi di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya Bulan
Juni 2012.
No
1
2

Penyembuhan
Luka
Baik
Tidak baik
Total

n
39
0
39

Status Gizi
Baik
Buruk
%
n
%
92,85 3
7,15
0
6
100
81,25 9 18,75

PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC di
RSBhakti Rahayu Surabaya, sebagian
besar penyembuhan lukanya baik yaitu
sebanyak 39 ibu (81,25%) yang ditandai
dengan tidak adanya tanda-tanda infeksi
serta telah memasuki fase proliferatif
penyembuhan luka. Hasil penelitian
tersebut mendukung teori Boyle (2009)
yang menyatakan bahwa penyembuhan
luka sendiri adalah proses pergantian selsel atau jaringan yang telah rusak dan
proses penyembuhan luka terbagi menjadi
3 fase yaitu pertama fase inflamasi
berlangsung pada saat pembedahan sampai
hari ketiga post operasi, kedua adalah fase
proliferatif dimulai sejak berakhirnya fase
inflamasi sampai dengan 21 hari post
operasi dan terakhir adalah fase maturasi
berlangsung dari 21 hari post operasi
hingga 1 atau 2 tahun post operasi, ia juga
menyatakan bahwa penyembuhan luka
secara fisiologis dan normal akan melewati
3 tahapan fase sesuai dengan tahapan
waktu yang ada pada teori namun apabila
penyembuhan
luka
mengalami
kemunduran dan terdapat adanya tandatanda infeksi maka penyembuhan luka
dikategorikan tidak baik.
Penyembuhan luka dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang secara umum adalah
usia, paritas, gizi, perawatan terhadap luka
pembedahan, penyakit berat, teknik bedah
yang tidak baik, kondisi mental ibu,
terkontaminasinya
sayatan
dan
pelaksanaan operasi itu sendiri.[15]Hasil
15

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

penelitian tersebut mendukung teori Oxorn
(2010) yang menyatakan bahwa teknik
insisi SC transversal atau melintang ini
menimbulkan resolusi dalam pelaksanaan
bedah
obstetrik
sehingga
semakin
memperluas indikasi SC karena teknik
insisi transversal memungkinkan kelahiran
perabdominan yang aman hal ini
dikarenakan teknik insisi ini mampu
menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas ibu. Namun hasil penelitian
diatas bertentangan dengan teori Sinaga
(2009) yang menyatakan bahwa luka
bersih
terkontaminasi
kemungkinan
timbulnya infeksi adalah (3-11%).

ISSN 2085-028X

penelitian yang menyebutkan bahwa jenis
insisi ini menurunkan angka kejadian
perdarahan dan jenisi insisi ini proses
penyembuhan lukanya cepat dan dalam
perawatan lukanya juga mudah. Saat ini
jumlah bedah SC semakin tinggi hal ini
disebabkan karena SC merupakan langka
kedaruratan yang diharapkan mampu
membantu
mengurangi
AKI
dan
menurunkan angka kejadaian traumatis
pada janin.

Sebagian besar penyembuhan luka ibu
nifas post SC adalah baik hal ini karena
ibu telah memasuki fase proliferatif
penyembuhan luka yang ditandai dengan
mulai tumbuh jaringan granulasi pada
tepian luka dan juga ditandai dengan tidak
adanya
perburukkan
fisiologi
penyembuhan luka seperti rasa panas pada
daerah luka, rasa sakit yang berlebihan,
tampak kemerahan, adanya pembengkakan
pada daerah luka yang biasanya diikuti
eksudat. Terkadang terdapat gangguan
fungsi normal pada daerah luka bahkan
biasanya diikuti adanya cairan atau nanah
pada daerah luka. Observasi sendiri
dilakukan pada ibu yang melakukan
kunjungan ulang untuk memantau kondisi
ibu, bayi dan luka, Observasi juga
dilakukan pada ibu yang terlalu lama
dirawat di ruang nifas karena adanya
gangguan penyambuhan lukanya.

Luka ibu yang baik ini juga bisa
disebabkan karena banyaknya jumlah
responden yang berumur antara 16–34
tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang ada
tolerir trauma jaringan pada usia muda
lebih
efektif
sehingga
proses
penyembuhan luka ibu berlangsung baik.
Hasil penelitian juga sesuai dengan teori
yang berkembang bahwa penyembuhan
luka dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang apabila terjadi gangguan pada salah
satu faktor maka penyembuhan luka akan
menjadi terganggu atau penyambuhan luka
tidak baik. Namun, kenyataan diatas juga
menunjukkan masih rendahnya tingkat
pengetahuan ibu nifas tentang luka SC dan
perawatannya sehingga ibu melakukan hal
yang
dapat
mengganggu
proses
penyembuhan seperti ibu yang takut untuk
melakukan gerakan sehingga terjadi
penekanan berlebih pada daerah luka
sehingga penyembuhan luka tidak baik dan
status gizi ibu yang juga menyumbang
angka terjadinya penyembuhan luka tidak
baik.

Presentase yang tinggi pada ibu yang
mengalami penyembuhan luka baik
kemungkinan besar disebabkan karena
adanya
peningkatan
pada
teknik
pembedahan atau insisi tampak jelas dari
seluruh responden ibu melahirkan melalaui
jenis SC dengan teknik insisi transversal
menurut teori yang berkembang jenis insisi
seperti ini menyebabkan meluasnya
indikasi persalinan SC karena jenis insisi
ini mampu untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas ibu serta banyak

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RS
Bhakti Rahayu Surabaya, sebagian besar
memiliki status gizi baik yaitu sebanyak
42 ibu (87,5%) dengan ukuran LILA ≥
23,5cm. Hasil penelitian ini didukung oleh
teori Supariasa (2002) yang menyatakan
bahwa ambang batas LILA WUS dengan
resiko KEK di Indonesia adalah apabila
ukurannya ≤ 23,5cm. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat

Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya

16

Vol. 4, No. 1 Juni 2012

gizi.[22]Penyembuhan luka menempatkan
pemakaian yang lebih pada zat gizi
sehingga harus dipantau status gizi ibu
guna memperlancar proses penyembuhan
luka.[4]
Sebagian besar status gizi ibu nifas post
SC adalah baik hal ini karena ibu
memilliki ukuran LILA ≥ 23,5cm yang
menunjukkan bahwa ibu telah mampu
mencukupi kebutuhan dirinya terhadap
protein dan karbohidrat. Observasi sendiri
dilakukan pada ibu yang melakukan
kunjungan ulang untuk memantau kondisi
ibu, bayi dan luka, Observasi juga
dilakukan pada ibu yang terlalu lama
dirawat di ruang nifas karena adanya
gangguan penyambuhan lukanya.
Pengetahuan ibu tentang pentingnya zat
gizi bag