Catatan Perjalanan Industri Perunggasan id
Catatan Penting Perjalanan Industri Perunggasan Indonesia
Oleh : Dedy Kusmanagandi
Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia
Meskipun tidak berhasil meningkatkan konsumsi daging ayam masyarakat menjadi dua kali
lipat, namun perjalanan industri
perunggasan Indonesia mencatat pertumbuhan yang
mengesankan. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta, pemerataan pendapatan masyarakat
menjadi persoalan sehingga konsumsi daging ayam penduduk Indonesia belum berhasil
mencapai angka dua digit perkapita pertahunnya. Angka 9 kg perkapita pertahun ini tetap berada
dibawah konsumsi penduduk Malaysia, Thailand, dan Singapura. Namun demikian pertumbuhan
produksi pakan yang mencapai 10,4% per tahunnya dalam lima tahun terakhir, memberikan
suatu pertanda bahwa Indonesia memiliki potensi pasar internal yang besar dan menggeliat di
kawasan Asia Tenggara. Ditengah meningkatnya biaya produksi perunggasan karena pembatasan
impor jagung dan meningkatnya harga bahan baku pakan, pasar dalam negeri Indonesia tumbuh
dengan sangat cepat, bahkan merupakan salah satu yang terpesat di dunia. Pertumbuhan ini tentu
harus digaris bawahi, karena optimisme yang begitu tinggi dari stake holder perunggasan
sehingga menyebabkan produksi unggas dan telur dalam kwartal tertentu, melebihi kemampuan
daya serap pasar.
Kenaikan biaya pokok produksi pakan ternyata tidak bisa terhindarkan, meskipun pabrik pakan
berproduksi pada kapasitas terpasang optimal ; 90 sampai 95%. Selain menggerus laba
perusahaan pakan, situasi ini menorehkan luka cukup dalam bagi usaha peternak mandiri yang
mencoba bertahan dengan upaya swakelola pakan (Self Mixing Farm), dimana harga jual telur
sempat terpuruk lebih dari satu kwartal. Bila dihitung dengan sektor peternak mandiri, produksi
pakan nasional diperkirakan mencapai lebih dari 17 juta ton, dengan kontribusi jagung lokal
cukup signifikan. Peran peternak mandiri dalam usaha peternakan ayam petelur masih cukup
dominan meskipun berbagai kesulitan menghadang, termasuk ancaman penyakit Avian Influenza
H9N2 yang menyebabkan produksi telur menurun tajam. Diperkirakan penyerapan pakan pabrik
oleh sektor ayam petelur ini mencapai sepertiga dari produksi nasional atau sekitar 35 persen.
Dari jumlah ini sebagian merupakan pakan jenis konsentrat yang memerlukan tambahan jagung
dan dedak yang diperoleh peternak dengan berbagai upaya, sehingga jumlah penggunaan pakan
ayam petelur yang sebenarnya bisa dua sampai tiga kali dari jumlah yang diperoleh dari pabrik
pakan yang jumlahnya saat ini sekitar 80 pabrik dengan kapasitas produksi 19 juta ton.
Penyebaran peternakan ayam petelur saat ini cukup baik, dimana perkampungan peternak terbagi
cukup merata mengikuti populasi penduduk. Di pulau Sumatera, kota satelit disekitar Medan
mampu memenuhi kebutuhan penduduk Sumatera Utara dan Aceh, meskipun disaat tertentu,
ketika permintaan menurun, ‘Telur Medan’ harus dikirim ke kota-kota lain di Banten dan Jawa
Barat. Kawasan Sumatera bagian tengah, Barat dan Timur, perkampungan peternak terdapat di
Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Kota. Alih generasi peternak berjalan cukup baik, meskipun
memerlukan review dan update dalam teknologi budidaya mengingat telah banyak perbedaan
dan perkembangan antara peternak generasi tahun 1980-an dengan peternak tahun 2000-an.
Namun demikian tingkat produktivitas di kawasan ini termasuk cukup baik, dalam batas-batas
dimana kualitas bahan pakan yang sering kali marginal, infra struktur kandang, peralatan,
biosekuriti yang terbatas, demikian pula dengan kualitas bibit ayam yang diperoleh peternak
yang terkadang tidak stabil.
Dari populasi ayam petelur nasional sekitar 160 juta ekor, hasil produksi telur pada tahun 2016
diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. Dengan populasi penduduk Indonesia 250 juta orang, maka
konsumsi telur ayam ras rata-rata penduduk adalah 6,0 kg perkapita pertahun. Berdasarkan hal
ini sebenarnya apabila konsumsi telur meningkat maka populasi ayam petelur harus ditingkatkan
terutama di luar pulau Jawa yang arealnya masih sangat luas. Sedangkan kawasan padat ternak
seperti Blitar – Kediri – Tulung Agung, Jawa Timur, satu daerah terpadat populasi ayam petelur
di Indonesia adalah dengan kebiajakan proteksi kawasan. Kawasan strategis perunggasan seperti
ini, karena padatnya populasi, jarak kandang yang relative berdekatanan, adanya perbedaan
tingkat pengetahuan peternak, memerlukan proteksi khusus berupa kebijakan perlindungan
terhadap ancaman wabah, aksi ancaman terorisme bioteknologi, serta penguatan ekonomi
kawasan dalam pengadaan input produksi peternakan dan infra struktur pendukung lainnya.
Dengan populasi ayam petelur mencapai 30 juta dan puluhan ribu orang terlibat dalam berbagai
kegiatan produksi hingga pemasaran, maka sangat beralasan jika kebijakan mengenai Biosekuriti
Kawasan juga menjadi prioritas kebijakan pemerintah pusat dengan dukungan penuh pemerintah
daerah. Kawasan Blitar juga menjadi penyangga produksi ayam pedaging bagi Surabaya, karena
kawasan urban yang tadinya merupakan sentra perunggasan kini tergeser oleh kawasan
perumahan, sehingga lokasi peternakan semakin menyebar ke daerah-daerah penyangga ibu kota
Jawa Timur.
Kawasan padat perunggasan seperti ini pernah dimiliki Jawa Barat pada rentang waktu 1980 an
hingga medio 1990 an, yaitu kawasan Bogor – Tanggerang – Bekasi. Belajar dari pengalaman
bahawa ternyata banyak peternak di kawasan ini yang tidak berhasil melewati krisis moneter,
maka pemahaman mengenai manajemen resiko beserta penerapannya merupakan salah satu
upaya memperkuat basis ketahanan pangan nasional untuk subsektor peternakan unggas. Hal ini
juga bercermin dari kejadian yang menimpa peternakan ayam petelur, yaitu munculnya penyakit
Flu Burung varian baru pada kwartal akhir 2016 hingga tahun 2017, yang pengendalian dan
penyebarannya tidak dapat diantisipasi dengan baik, sehingga menyebabkan kerugian peternak
cukup lama.
Kepekaan peternak ayam petelur nasional - yang hingga akhir tahun 2017 masih didominasi oleh
peternak mandiri - dalam melihat suatu ancaman terhadap keberlangsungan usaha ternaknya
merupakan suatu yang wajar terjadi, mengingat semakin terkikisnya jumlah peternak mandiri di
sektor peternakan ayam broiler. Sesungguhnya ancaman tersebut bukan hanya dalam politik
peternakan, berupa keberpihakan pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kebijakan, tetapi
juga dalam keekonomian usaha ternak unggas, dominasi bahan baku pakan oleh pihak-pihak
tertentu, wabah penyakit menular, hingga kebijakan mengenai penggunaan Antimikroba dalam
bidang peternakan-pun oleh peternak dapat diproyeksikan menjadi suatu ancaman.
Manfaat penggunaan antimikroba dalam meningkatkan produksi perunggasan adalah suatu
keniscayaan. Peternak juga meyakini bahwa penggunaan antimikroba membantu mencegah
penyakit, menekan biaya produksi, serta menghasil ayam yang lebih sehat untuk masyarakat.
Masyarakat peternak khawatir apabila penggunaan antimikroba dilarang penggunaannya seperti
yang biasa mereka lakukan, maka akan timbul masalah dalam sistem budidaya ternaknya. Secara
ringkas, ancaman yang timbul dari kebijakan ini adalah bahwa dengan pelarangan penggunaan
antimikroba ini budi daya unggas hanya akan berhasil bila peternak melakukan biosekuriti
dengan sangat ketat dan seksama. Dan hal itu hanya bisa dilaksanakan bila peternak
melakukannya dengan sistem kandang Closed House. Jadi ancaman yang tersembunyinya adalah
permodalan, dan peternak menafsirkannya sebagai upaya seleksi terhadap peternak mandiri.
Sekitar 80 persen peternak di daerah padat ternak ayam petelur Kabupaten Sidrap Sulawesi
Selatan menyatakan tidak mampu jika harus memiliki kandang Close House. Usaha mereka
sesungguhnya merupakan mata pencaharian sehari-hari, dan bukan merupakan aktivitas
korporasi yang bertujuan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan populasi ayam
sekitar 20 ribu ekor yang mereka pelihara, dan beternak selama 20 tahun mungkin mereka dapat
mempunyai kandang Close House, tetapi mereka harus mengorbankan biaya sekolah anak-anak,
mengurangi biaya harian, menurunkan gizi makanan, dan yang lebih tragis lagi bila mereka juga
harus berhenti berderma, bersedekah, atau membantu orang-orang yang kesulitan. Jadi jika ada
kebijakan yang ditafsirkan hanya menguntungkan kelompok kuat modal, kita dapat memaklumi
bahwa para peternak ayam petelur khawatir jika hal ini merupakan titik awal yang akan mereka
alami seperti saudara-saudaranya di sektor ayam broiler.
Jadi bagaimana peternakan ayam broiler di Indonesia saat ini ? Sektor ayam broiler
mengkonsumsi sekitar 52 persen produksi pakan nasional. Kalau produksi pakan tahun 2016
sekitar 13.5 juta ton, maka ayam broiler menyerap sekitar 7 juta ton pakan. Dengan produksi
pakan sebesar ini, maka dengan rata-rata FCR 1,65 sebetulnya pabrik pakan sanggup untuk
menyiapkan pakan untuk kebutuhan ayam broiler hingga jumlah populasi 4 milyar ekor setiap
tahunnya. Pakan unggas merupakan lokomotif industri perunggasan. Ia juga merupakan cash
cow bagi industri pembibitan, pengolahan, budi daya, serta industri pendukung lain yang berada
dalam satu atap sebuah perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Industri komersial ayam pedaging adalah industri hilir seleksi genetik dengan mengoptimalkan
kemampuan tubuh ayam dalam mengkonversi bahan baku nabati menjadi protein hewani. Oleh
karena itu bisnis sebenarnya dari ayam broiler adalah bisnis pakan. Bisnis yang sangat dominan
dipengaruhi oleh harga, kualitas, teknologi, dan benefit pakan ternak.
Jumlah perusahaan pakan ternak di Indonesia saat ini mencapai 80 perusahaan. Tidak hanya
perusahaan yang sudah berinvestasi lama di Indonesia, pendatang barupun kini berekspansi
memperluas kapasitas produksinya, membuka pabrik baru, serta membangun jaringan di daerahdaerah yang merupakan sentra baru pengembangan perunggasan. Dengan pembaruan mesinmesin dan pengembangan fasilitas yang ada, jika produksi pakan tahun depan mencapai 20 juta
ton maka produksi rata-rata dari setiap pabrik meningkat menjadi sekitar 250 ribu ton per tahun.
Peningkatan dalam skala ekonomi ini akan membuat pabrik pakan semakin efisien dalam
menghasilkan produknya. Namun ancaman yang mengintai adalah pengaruh bahan baku
terhadap kualitas pakan. Rasio konversi pakan yang rendah diakibatkan oleh penggunaan bahan
dasar pakan yang berkualitas rendah, termasuk jagung produksi domestik yang acap kali dirusak
oleh iklim dan terbatasnya fasilitas penyimpanan. Selain mengurangi tingkat nutrisi jangung, hal
ini juga menyebabkan pertumbuhan Mycotoxin yang akhirnya dapat menimbulkan masalah
serius dan menurunkan hasil performa unggas, serta ancaman munculnya penyakit latent pada
saluran pencernaan unggas seperti Necrotic Enteritis, Colibacillosis, dan Salmonelosis.
Harga pakan merupakan faktor utama daya saing perunggasan suatu Negara, dan harga pakan
sangat bergantung kepada ketersediaan dan harga bahan baku yang juga kompetitif di tingkat
dunia. Untuk menyediakan bahan baku seperti ini rasanya tidak mungkin terjadi apabila hanya
didukung oleh satu kementerian. Peluang turunnya harga pakan memang dimungkinkan apabila
uji coba jenis bibit ungggul jagung hibrida baru berhasil yang dikabarkan dapat menghasilkan
lebih dari 15 ton perhektar. Namun untuk menghasilkan produksi jagung yang memadai
diperlukan lahan yang luas, yang hanya dapat tersedia dan terlaksana apabila ada kerjasama
lintas sektoral, keberpihakan pemerintah yang tegas, serta komitmen kenegarawanan untuk
meningkatkan dan mengembangkan pertanian terpadu.
Meningkatnya konsumsi daging ayam, akan menyebabkan total pasar pakan ayam nasional
semakin besar. Upaya ini harus dilakukan secara sistematis dan menjangkau masyarakat luas,
bukan sekedar seremonial – berkerumunnya stake holder peternakan dalam suatu acara.
Meningkatnya konsumsi tentu harus diimbangi oleh meningkatnya produksi. Peningkatan
produksi ini diharapkan tumbuh bukan hanya dari industri besar, tetapi juga akan terbentuk
segmen budidaya baru, yang merupakan kerjasama antara industri dengan masyarakat. Konsep
Kemitraan Syariah Perunggasan (KSP) yang pernah digagas di Jawa Barat, dinilai para pengamat
cukup realistis dan merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan misalnya dengan
menggandeng kelompok pesantren, lembaga sosial kemasyarakatan, atau organisasi masa yang
memiliki basis masa yang tersebar di berbagai daerah. Kedepan, apabila ada keberpihakan dan
ketertarikan dari berbagai usaha korporasi agribisnis dan agroindustri, sistem budi daya
kemitraan juga dapat dilakukan di badan usaha yang memiliki lahan luas baik yang dimiliki
BUMN ataupun kelompok perkebunan besar swasta nasional.
Upaya meningkatkan konsumsi unggas per kapita sangat berkaitan dengan pendapatan personal
dan konsumsi dari masyarakat yang pada beberapa sektor berfluktuasi. Selera masyarakat sangat
berpengaruh terhadap jumlah dan frekuensi dalam mengkonsumsi.makanan ayam. Minat untuk
mengkonsumsi ayam ini tidak tinggi karena keterbatasan dalam mengolah daging ayam yang
secara umum hanya dikenal dengan dua cara yaitu digoreng dan dibakar. Keterbatasan
pengolahan ini seringkali menyebabkan kebosanan, apalagi jika rasanya tidak banyak berbeda.
Produktifitas perunggasan Indonesia adalah kunci agar produk unggas kompetitif. Namun untuk
memiliki kemampuan ekspor, hal itu saja tidak cukup. Strategi pengendalian penyakit menular
justru sangat diuatamakan oleh beberapa negara yang mengimpor produk unggas. Surveyllance,
Kompartementalisasi, Vaksinasi, Biosekuriti, dan Sertifikasi adalah hal mutlak yang harus
dilakukan oleh Otoritas Veteriner agar tidak ada hambatan bagi produk unggas Indonesia ketika
diekspor ke mancanegara. Standarisasi seperti ini dapat dilajutkan secara bertahap kepada semua
sektor budidaya unggas termasuk Contract Farming. Contract farm harus terstandarisasi dan
memiliki penanggung jawab teknis kesehatan unggas sebagai karyawan tetap. Program medikasi
yang melibatkan penggunaan obat keras, vaksin, dan obat injeksi hanya boleh dibuat oleh tenaga
kesehatan Hewan professional yang bersertifikat.
Catatan penting dalam perjalanan Industri perunggasan adalah Amerika Serikat meluncurkan
WTO case terhadap larangan impor di sejumlah produk agrikultur Indonesia, termasuk daging
ayam. Menyusul kemudian Brazil, Australia dan Thailand. Amerika adalah prioritas. Menang
atau kalahnya Indonesia, WTO case ini tidaklah lagi menjadi masalah: Amerika Serikat sekarang
telah menjalankan administrasi yang bersifat sangat protektif , dimana administrasi ini memaksa
negara-negara lain untuk memperbolehkan eksport daging Amerika atau sebaliknya akan
dilarang memasuki pasar Amerika yang besar dan menguntungkan. Jika Indonesia dipaksa untuk
membuka jalan masuk impor daging ayam dari Amerika Serikat, maka Indonesia harus memilih:
Apakah akan terus melindungi petani jagung dan membiarkan harga jagung menjadi berlipat
dibandingkan harga di pasar dunia dan berujung pada hilangnya kemampuan dari sektor
perunggasan untuk menghasilkan keuntungan.
Catatan penting dari industri perunggasan negara tetangga, dimana terjadi kasus impor daging
yang berlebihan, ternyata dapat menyebabkan terhambatnya produksi daging dan juga
berhentinya perkembangan produksi pakan. Hal seperti ini terjadi di Philipina, dimana daya
tahan industri unggasnya jatuh dan sampai saat ini belum dapat kembali seperti sebelumnya.
(DKG)
Oleh : Dedy Kusmanagandi
Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia
Meskipun tidak berhasil meningkatkan konsumsi daging ayam masyarakat menjadi dua kali
lipat, namun perjalanan industri
perunggasan Indonesia mencatat pertumbuhan yang
mengesankan. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta, pemerataan pendapatan masyarakat
menjadi persoalan sehingga konsumsi daging ayam penduduk Indonesia belum berhasil
mencapai angka dua digit perkapita pertahunnya. Angka 9 kg perkapita pertahun ini tetap berada
dibawah konsumsi penduduk Malaysia, Thailand, dan Singapura. Namun demikian pertumbuhan
produksi pakan yang mencapai 10,4% per tahunnya dalam lima tahun terakhir, memberikan
suatu pertanda bahwa Indonesia memiliki potensi pasar internal yang besar dan menggeliat di
kawasan Asia Tenggara. Ditengah meningkatnya biaya produksi perunggasan karena pembatasan
impor jagung dan meningkatnya harga bahan baku pakan, pasar dalam negeri Indonesia tumbuh
dengan sangat cepat, bahkan merupakan salah satu yang terpesat di dunia. Pertumbuhan ini tentu
harus digaris bawahi, karena optimisme yang begitu tinggi dari stake holder perunggasan
sehingga menyebabkan produksi unggas dan telur dalam kwartal tertentu, melebihi kemampuan
daya serap pasar.
Kenaikan biaya pokok produksi pakan ternyata tidak bisa terhindarkan, meskipun pabrik pakan
berproduksi pada kapasitas terpasang optimal ; 90 sampai 95%. Selain menggerus laba
perusahaan pakan, situasi ini menorehkan luka cukup dalam bagi usaha peternak mandiri yang
mencoba bertahan dengan upaya swakelola pakan (Self Mixing Farm), dimana harga jual telur
sempat terpuruk lebih dari satu kwartal. Bila dihitung dengan sektor peternak mandiri, produksi
pakan nasional diperkirakan mencapai lebih dari 17 juta ton, dengan kontribusi jagung lokal
cukup signifikan. Peran peternak mandiri dalam usaha peternakan ayam petelur masih cukup
dominan meskipun berbagai kesulitan menghadang, termasuk ancaman penyakit Avian Influenza
H9N2 yang menyebabkan produksi telur menurun tajam. Diperkirakan penyerapan pakan pabrik
oleh sektor ayam petelur ini mencapai sepertiga dari produksi nasional atau sekitar 35 persen.
Dari jumlah ini sebagian merupakan pakan jenis konsentrat yang memerlukan tambahan jagung
dan dedak yang diperoleh peternak dengan berbagai upaya, sehingga jumlah penggunaan pakan
ayam petelur yang sebenarnya bisa dua sampai tiga kali dari jumlah yang diperoleh dari pabrik
pakan yang jumlahnya saat ini sekitar 80 pabrik dengan kapasitas produksi 19 juta ton.
Penyebaran peternakan ayam petelur saat ini cukup baik, dimana perkampungan peternak terbagi
cukup merata mengikuti populasi penduduk. Di pulau Sumatera, kota satelit disekitar Medan
mampu memenuhi kebutuhan penduduk Sumatera Utara dan Aceh, meskipun disaat tertentu,
ketika permintaan menurun, ‘Telur Medan’ harus dikirim ke kota-kota lain di Banten dan Jawa
Barat. Kawasan Sumatera bagian tengah, Barat dan Timur, perkampungan peternak terdapat di
Payakumbuh Kabupaten Limapuluh Kota. Alih generasi peternak berjalan cukup baik, meskipun
memerlukan review dan update dalam teknologi budidaya mengingat telah banyak perbedaan
dan perkembangan antara peternak generasi tahun 1980-an dengan peternak tahun 2000-an.
Namun demikian tingkat produktivitas di kawasan ini termasuk cukup baik, dalam batas-batas
dimana kualitas bahan pakan yang sering kali marginal, infra struktur kandang, peralatan,
biosekuriti yang terbatas, demikian pula dengan kualitas bibit ayam yang diperoleh peternak
yang terkadang tidak stabil.
Dari populasi ayam petelur nasional sekitar 160 juta ekor, hasil produksi telur pada tahun 2016
diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. Dengan populasi penduduk Indonesia 250 juta orang, maka
konsumsi telur ayam ras rata-rata penduduk adalah 6,0 kg perkapita pertahun. Berdasarkan hal
ini sebenarnya apabila konsumsi telur meningkat maka populasi ayam petelur harus ditingkatkan
terutama di luar pulau Jawa yang arealnya masih sangat luas. Sedangkan kawasan padat ternak
seperti Blitar – Kediri – Tulung Agung, Jawa Timur, satu daerah terpadat populasi ayam petelur
di Indonesia adalah dengan kebiajakan proteksi kawasan. Kawasan strategis perunggasan seperti
ini, karena padatnya populasi, jarak kandang yang relative berdekatanan, adanya perbedaan
tingkat pengetahuan peternak, memerlukan proteksi khusus berupa kebijakan perlindungan
terhadap ancaman wabah, aksi ancaman terorisme bioteknologi, serta penguatan ekonomi
kawasan dalam pengadaan input produksi peternakan dan infra struktur pendukung lainnya.
Dengan populasi ayam petelur mencapai 30 juta dan puluhan ribu orang terlibat dalam berbagai
kegiatan produksi hingga pemasaran, maka sangat beralasan jika kebijakan mengenai Biosekuriti
Kawasan juga menjadi prioritas kebijakan pemerintah pusat dengan dukungan penuh pemerintah
daerah. Kawasan Blitar juga menjadi penyangga produksi ayam pedaging bagi Surabaya, karena
kawasan urban yang tadinya merupakan sentra perunggasan kini tergeser oleh kawasan
perumahan, sehingga lokasi peternakan semakin menyebar ke daerah-daerah penyangga ibu kota
Jawa Timur.
Kawasan padat perunggasan seperti ini pernah dimiliki Jawa Barat pada rentang waktu 1980 an
hingga medio 1990 an, yaitu kawasan Bogor – Tanggerang – Bekasi. Belajar dari pengalaman
bahawa ternyata banyak peternak di kawasan ini yang tidak berhasil melewati krisis moneter,
maka pemahaman mengenai manajemen resiko beserta penerapannya merupakan salah satu
upaya memperkuat basis ketahanan pangan nasional untuk subsektor peternakan unggas. Hal ini
juga bercermin dari kejadian yang menimpa peternakan ayam petelur, yaitu munculnya penyakit
Flu Burung varian baru pada kwartal akhir 2016 hingga tahun 2017, yang pengendalian dan
penyebarannya tidak dapat diantisipasi dengan baik, sehingga menyebabkan kerugian peternak
cukup lama.
Kepekaan peternak ayam petelur nasional - yang hingga akhir tahun 2017 masih didominasi oleh
peternak mandiri - dalam melihat suatu ancaman terhadap keberlangsungan usaha ternaknya
merupakan suatu yang wajar terjadi, mengingat semakin terkikisnya jumlah peternak mandiri di
sektor peternakan ayam broiler. Sesungguhnya ancaman tersebut bukan hanya dalam politik
peternakan, berupa keberpihakan pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kebijakan, tetapi
juga dalam keekonomian usaha ternak unggas, dominasi bahan baku pakan oleh pihak-pihak
tertentu, wabah penyakit menular, hingga kebijakan mengenai penggunaan Antimikroba dalam
bidang peternakan-pun oleh peternak dapat diproyeksikan menjadi suatu ancaman.
Manfaat penggunaan antimikroba dalam meningkatkan produksi perunggasan adalah suatu
keniscayaan. Peternak juga meyakini bahwa penggunaan antimikroba membantu mencegah
penyakit, menekan biaya produksi, serta menghasil ayam yang lebih sehat untuk masyarakat.
Masyarakat peternak khawatir apabila penggunaan antimikroba dilarang penggunaannya seperti
yang biasa mereka lakukan, maka akan timbul masalah dalam sistem budidaya ternaknya. Secara
ringkas, ancaman yang timbul dari kebijakan ini adalah bahwa dengan pelarangan penggunaan
antimikroba ini budi daya unggas hanya akan berhasil bila peternak melakukan biosekuriti
dengan sangat ketat dan seksama. Dan hal itu hanya bisa dilaksanakan bila peternak
melakukannya dengan sistem kandang Closed House. Jadi ancaman yang tersembunyinya adalah
permodalan, dan peternak menafsirkannya sebagai upaya seleksi terhadap peternak mandiri.
Sekitar 80 persen peternak di daerah padat ternak ayam petelur Kabupaten Sidrap Sulawesi
Selatan menyatakan tidak mampu jika harus memiliki kandang Close House. Usaha mereka
sesungguhnya merupakan mata pencaharian sehari-hari, dan bukan merupakan aktivitas
korporasi yang bertujuan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan populasi ayam
sekitar 20 ribu ekor yang mereka pelihara, dan beternak selama 20 tahun mungkin mereka dapat
mempunyai kandang Close House, tetapi mereka harus mengorbankan biaya sekolah anak-anak,
mengurangi biaya harian, menurunkan gizi makanan, dan yang lebih tragis lagi bila mereka juga
harus berhenti berderma, bersedekah, atau membantu orang-orang yang kesulitan. Jadi jika ada
kebijakan yang ditafsirkan hanya menguntungkan kelompok kuat modal, kita dapat memaklumi
bahwa para peternak ayam petelur khawatir jika hal ini merupakan titik awal yang akan mereka
alami seperti saudara-saudaranya di sektor ayam broiler.
Jadi bagaimana peternakan ayam broiler di Indonesia saat ini ? Sektor ayam broiler
mengkonsumsi sekitar 52 persen produksi pakan nasional. Kalau produksi pakan tahun 2016
sekitar 13.5 juta ton, maka ayam broiler menyerap sekitar 7 juta ton pakan. Dengan produksi
pakan sebesar ini, maka dengan rata-rata FCR 1,65 sebetulnya pabrik pakan sanggup untuk
menyiapkan pakan untuk kebutuhan ayam broiler hingga jumlah populasi 4 milyar ekor setiap
tahunnya. Pakan unggas merupakan lokomotif industri perunggasan. Ia juga merupakan cash
cow bagi industri pembibitan, pengolahan, budi daya, serta industri pendukung lain yang berada
dalam satu atap sebuah perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Industri komersial ayam pedaging adalah industri hilir seleksi genetik dengan mengoptimalkan
kemampuan tubuh ayam dalam mengkonversi bahan baku nabati menjadi protein hewani. Oleh
karena itu bisnis sebenarnya dari ayam broiler adalah bisnis pakan. Bisnis yang sangat dominan
dipengaruhi oleh harga, kualitas, teknologi, dan benefit pakan ternak.
Jumlah perusahaan pakan ternak di Indonesia saat ini mencapai 80 perusahaan. Tidak hanya
perusahaan yang sudah berinvestasi lama di Indonesia, pendatang barupun kini berekspansi
memperluas kapasitas produksinya, membuka pabrik baru, serta membangun jaringan di daerahdaerah yang merupakan sentra baru pengembangan perunggasan. Dengan pembaruan mesinmesin dan pengembangan fasilitas yang ada, jika produksi pakan tahun depan mencapai 20 juta
ton maka produksi rata-rata dari setiap pabrik meningkat menjadi sekitar 250 ribu ton per tahun.
Peningkatan dalam skala ekonomi ini akan membuat pabrik pakan semakin efisien dalam
menghasilkan produknya. Namun ancaman yang mengintai adalah pengaruh bahan baku
terhadap kualitas pakan. Rasio konversi pakan yang rendah diakibatkan oleh penggunaan bahan
dasar pakan yang berkualitas rendah, termasuk jagung produksi domestik yang acap kali dirusak
oleh iklim dan terbatasnya fasilitas penyimpanan. Selain mengurangi tingkat nutrisi jangung, hal
ini juga menyebabkan pertumbuhan Mycotoxin yang akhirnya dapat menimbulkan masalah
serius dan menurunkan hasil performa unggas, serta ancaman munculnya penyakit latent pada
saluran pencernaan unggas seperti Necrotic Enteritis, Colibacillosis, dan Salmonelosis.
Harga pakan merupakan faktor utama daya saing perunggasan suatu Negara, dan harga pakan
sangat bergantung kepada ketersediaan dan harga bahan baku yang juga kompetitif di tingkat
dunia. Untuk menyediakan bahan baku seperti ini rasanya tidak mungkin terjadi apabila hanya
didukung oleh satu kementerian. Peluang turunnya harga pakan memang dimungkinkan apabila
uji coba jenis bibit ungggul jagung hibrida baru berhasil yang dikabarkan dapat menghasilkan
lebih dari 15 ton perhektar. Namun untuk menghasilkan produksi jagung yang memadai
diperlukan lahan yang luas, yang hanya dapat tersedia dan terlaksana apabila ada kerjasama
lintas sektoral, keberpihakan pemerintah yang tegas, serta komitmen kenegarawanan untuk
meningkatkan dan mengembangkan pertanian terpadu.
Meningkatnya konsumsi daging ayam, akan menyebabkan total pasar pakan ayam nasional
semakin besar. Upaya ini harus dilakukan secara sistematis dan menjangkau masyarakat luas,
bukan sekedar seremonial – berkerumunnya stake holder peternakan dalam suatu acara.
Meningkatnya konsumsi tentu harus diimbangi oleh meningkatnya produksi. Peningkatan
produksi ini diharapkan tumbuh bukan hanya dari industri besar, tetapi juga akan terbentuk
segmen budidaya baru, yang merupakan kerjasama antara industri dengan masyarakat. Konsep
Kemitraan Syariah Perunggasan (KSP) yang pernah digagas di Jawa Barat, dinilai para pengamat
cukup realistis dan merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan misalnya dengan
menggandeng kelompok pesantren, lembaga sosial kemasyarakatan, atau organisasi masa yang
memiliki basis masa yang tersebar di berbagai daerah. Kedepan, apabila ada keberpihakan dan
ketertarikan dari berbagai usaha korporasi agribisnis dan agroindustri, sistem budi daya
kemitraan juga dapat dilakukan di badan usaha yang memiliki lahan luas baik yang dimiliki
BUMN ataupun kelompok perkebunan besar swasta nasional.
Upaya meningkatkan konsumsi unggas per kapita sangat berkaitan dengan pendapatan personal
dan konsumsi dari masyarakat yang pada beberapa sektor berfluktuasi. Selera masyarakat sangat
berpengaruh terhadap jumlah dan frekuensi dalam mengkonsumsi.makanan ayam. Minat untuk
mengkonsumsi ayam ini tidak tinggi karena keterbatasan dalam mengolah daging ayam yang
secara umum hanya dikenal dengan dua cara yaitu digoreng dan dibakar. Keterbatasan
pengolahan ini seringkali menyebabkan kebosanan, apalagi jika rasanya tidak banyak berbeda.
Produktifitas perunggasan Indonesia adalah kunci agar produk unggas kompetitif. Namun untuk
memiliki kemampuan ekspor, hal itu saja tidak cukup. Strategi pengendalian penyakit menular
justru sangat diuatamakan oleh beberapa negara yang mengimpor produk unggas. Surveyllance,
Kompartementalisasi, Vaksinasi, Biosekuriti, dan Sertifikasi adalah hal mutlak yang harus
dilakukan oleh Otoritas Veteriner agar tidak ada hambatan bagi produk unggas Indonesia ketika
diekspor ke mancanegara. Standarisasi seperti ini dapat dilajutkan secara bertahap kepada semua
sektor budidaya unggas termasuk Contract Farming. Contract farm harus terstandarisasi dan
memiliki penanggung jawab teknis kesehatan unggas sebagai karyawan tetap. Program medikasi
yang melibatkan penggunaan obat keras, vaksin, dan obat injeksi hanya boleh dibuat oleh tenaga
kesehatan Hewan professional yang bersertifikat.
Catatan penting dalam perjalanan Industri perunggasan adalah Amerika Serikat meluncurkan
WTO case terhadap larangan impor di sejumlah produk agrikultur Indonesia, termasuk daging
ayam. Menyusul kemudian Brazil, Australia dan Thailand. Amerika adalah prioritas. Menang
atau kalahnya Indonesia, WTO case ini tidaklah lagi menjadi masalah: Amerika Serikat sekarang
telah menjalankan administrasi yang bersifat sangat protektif , dimana administrasi ini memaksa
negara-negara lain untuk memperbolehkan eksport daging Amerika atau sebaliknya akan
dilarang memasuki pasar Amerika yang besar dan menguntungkan. Jika Indonesia dipaksa untuk
membuka jalan masuk impor daging ayam dari Amerika Serikat, maka Indonesia harus memilih:
Apakah akan terus melindungi petani jagung dan membiarkan harga jagung menjadi berlipat
dibandingkan harga di pasar dunia dan berujung pada hilangnya kemampuan dari sektor
perunggasan untuk menghasilkan keuntungan.
Catatan penting dari industri perunggasan negara tetangga, dimana terjadi kasus impor daging
yang berlebihan, ternyata dapat menyebabkan terhambatnya produksi daging dan juga
berhentinya perkembangan produksi pakan. Hal seperti ini terjadi di Philipina, dimana daya
tahan industri unggasnya jatuh dan sampai saat ini belum dapat kembali seperti sebelumnya.
(DKG)