T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum dalam UndangUndang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakangMasalah
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari
zaman Yunani Kuno. Plato, pada awalnya dalam the Republic berpendapat bahwa adalah
mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.
Untuk itu kekuasaan harus di pegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu
seorang filosof (the philosopher king ). Namun dalam bukunya “the Statesman” dan “the
Law”, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua

(the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu
mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Senada
dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling
baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah
wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga
negara diperlukan dalam pembentukannya.1
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat dan negara. Profesor Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu
negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau negara
hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat

George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York – Chicago – San Fransisco –
Toronto – London; Holt, Rinehart andd Winston, 1961), hal. 35-86 dan 88-105; Sebagaimana ada dalam
Jimly Asshiddiqie; Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum
Media dan HAM; Tidak Diperjualbelikan; Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI; Jakarta, 2006, h. 147.
1

formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis terutama.
Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk
menegakkan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga
malam. Negara hukum materiel mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan
di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum,
tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan ( Welfarestate).2
Dalam konsep Negara Hukum itu, di idealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik, ekonomi.
Atau pun bidang lainnya. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris
untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah‘the rule of law, not of man’.Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang
hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari scenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum

itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang
tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling

tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang
berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah

2

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta; Ichtiar, 1962), hal. 9; Sebagaimana
ada dalam Jimly Asshiddiqie; Ibid; h. 149

Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus‘the ultimate interpreterof
the constitution’.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan
antaralain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan
menggunakan istilah Jerman, yaitu“rechtsstaat’.Sedangkan dalam tradisi Anglo

Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengansebutan “The Rule of Law”.
Bartens berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya hal-hal yang bersifat
penekanan dan pembelengguan kebebasan masyarakat, diperlukan adanya pengaturan
hukum dan pemerintahan. Perlunya pengaturan ini didasarkan pada kecenderungan sifat
buruk manusia yang suka iri hati, cinta akan kekuasaan dan suka mencampuri urusan
orang lain. Hukum penting sebagai kekuatan komunitas untuk mencegah terjadinya
tindakan-tindakan yang mengarah kepada pengurangan kebebasan.3
Keberadaan Indonesia sebagai suatu negara berdaulat, memiliki identitas dan
konstitusionalitas sebagai negara hukum. Hal ini ditegaskan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Maka dari itu diperlukan sistem
hukum untuk menegakan hukum di Indonesia untuk mewujudkan konsep negara hukum
Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945.
Salah satu elemen mendasar dalam negara hukum ialah hak asasi manusia.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, HAM adalah hak-hak mendasar (fundamental) yang
diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan

3

Bahder Johan Nasution;Negara Hukum Dan HakAsasiManusia .Bandung, 2014, h.222.


kodratnya sebagai manusia.4 Pakar lain, Jack Donnely, mendefinisikan bahwa HAM
adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.5
Sedangkan dalam hukum positif Indonesia, menurut Pasal 1 Angka 1 UU RI No.
39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Terkait dengan berbagai pengertian HAM tersebut, penting adanya untuk
mengenal juga tentang kewajiban asasi manusia, karena senyatanya HAM dalam
penegakannya sangat tergantung juga pada kesadaran hukum untuk memenuhi kewajiban
asasi manusia. Menurut Pasal 1 Angka 2 UU RI Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Kewajiban Dasar Manusia adalah Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya
hak asasi manusia.
Berdasarkan sejarah, sejak Deklarasi Universal HAM diproklamasikan, umat
manusia bagaikan dibukakan pintu utama menuju dunia terang yang penuh penghormatan

atas manusia. Sejak itu, umat manusia yang berbudaya, terus mendorong dan mencoba
mencari upaya untuk terus melakukan perlindungan dan pencegahan terhadap
4

Soetandyo Wignjosoebroto (2003), Hak-hak Asasi Manusia: KonsepDasar Dan Pengertianya Yang
Klasik Pada Masa masa Awal Perkembangannya dalam Toleransi Keragaman; Sebagaimana ada
dalam:Rahayu;HukumHakAsasiManusia (HAM); UniversitasDiponegoro, Semarang, Cet. II, 2012, h. 2.
5
Knut D. Asplund, SuparmanMarzuki, EkoRiyadi (Penyunting/Editor); Hukum Hak Asasi
Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al; Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, h. 28.

pelanggaran hak asasi manusia bagi semua manusia, sehingga tidak ada satu golongan
pun dari umat manusia, seperti masyarakat adat, anak-anak, kaum perempuan, kaum
difabel (sebutan sopan bagi penyandang cacat), pada penderita AIDS, orang miskin.
Pendek kata, tak satu golongan pun terlewatkan untuk dilindungi hak-hak asasi mereka
sebagai manusia.6
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pokok bahasan yang juga sangat luas, dalam
arti bahwa sebagai suatu obyek studi, HAM mencakup banyak sekali bidang kajian.
Sebut saja hak anak, hak perempuan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas
perumahan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman dan sebaginya. Salah satu bidang

jaian atau tepatnya masalah hukum yang mempunyai dimensi atau dapat diukur dari
ketentuan-ketentuan hukum HAM ialah isu atau persoalan hukum tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan
fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional,
tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus;
dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.7
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia

6

Mansour Fakih, Antoniua M Indrianto&EkoPrasetyo; MenegakkanKeadilandanKemanusiaan:
PeganganuntukMembangunGerakanHakAsasiManusia; Insist Press, Yogyakarta, 2003, h. 13 – 14.
7
Rochmat Wahab; Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif ; h. 3; Lihat:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131405893/penelitian/KEKERASAN+DALAM+RUMAH+TANGGA(F
inal).pdf

Dikunjungi pada Sabtu 18 Maret 2017, pukul 08.38 WIB.

adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam
lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh
agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan
rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut,sangat tergantung pada
setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang
yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan,
dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.8

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
8

Peri Umar Farouk; Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga; E-book; Women Legal
Empowerment Program, Justice for the Poor Project - The World Bank. Kata Pengantar diberikan oleh
Dewi Novirianti; Jakarta, h. 1-4: Lihat:
http://jbdk.wdfiles.com/local--files/kdrt-ebook/kdrt-ebook.pdf
DikunjungipadaSabtu 18 Maret 2017, pukul 08.54 WIB.

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindakkekerasan secara fisik,
psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga
dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah

tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi,
khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undangundang yang ada belum
memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena
itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara
tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaandan kesusilaan serta
penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Karena itulah dalam perkembangan hukum positif di Indonesia, kemudian
berhasil disusun Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Umumnya undang-undang ini sering

disebut dengan Undang-Undang KDRT. Secara lebih luas publik lebih suka menyebut
dengan istilah masalah KDRT untuk membicarakan isu hukum ini.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan
beberapa peraturan perundangundangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang HukumPidana serta Perubahannya;
2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana;
3. UU 1/1974 tentang Perkawinan;

4. UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenaiPenghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi TerhadapWanita (Convention on the Elimination of All Forms
ofDiscrimination Against Women); dan
5. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang KDRT ini, selain mengatur ihwal pencegahan danperlindungan
serta pemulihan terhadap korban kekerasandalam rumah tangga, juga mengatur secara
spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsurunsur tindak pidana
yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP.
Sehubungan dengan itu, konsepsi perlindungan korban dalam hukum pidana
positif di Indonesia lebih banyak merupakan perlindungan abstrak dalam arti
perlindungan tidak langsung. Adanya perumusan tindak pidana dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, dapat dikatakan telah ada perlindungan in abstracto, secara tidak
langsung terhadap kepentingan dan hak asasi korban tindak pidana. Dikatakan demikian
oleh karena tindak pidana menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan
menyerang kepentingan seseorang (korban), secara pribadi dan konkret, akan tetapi
hanya dilihat sebagai pelanggaran norma atau tertib hukum in absracto. Akibatnya

perlindungan korban juga tidak secara langsung dan in concreto , tetapi hanya in
abstracto. Dengan demikian dapat dikatakan sistem sanksi dan pertanggungjawaban


pidananya tidak secara langsung dan konkret tertuju pada perlindungan korban, hanyalah
perlindungan secara tidak langsung dan abstrak.9
Selain itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk
melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah
tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain, menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan
pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk
melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah
tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
tertuang dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on
the Elimination of Violence Against Women ), yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993, di

mana pada Pasal 2 deklarasi tersebut disebutkan tentang::

9

BardaNawawiArief;KebijakanHukumPidana (Penal Policy);Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana
dan Kriminologi; Fakuitas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. 1998, h. 79.

1. Tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam keluarga,
termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam
rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin (mahar), perusakan
alat kelamin perempuan, praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap
perempuan di luar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan
eksploitasi
2. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas
termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di
tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya.
3. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh
negara.10
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam Declaration on the
Elimination of violence Against Women yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993 memiliki

lingkup yang cukup luas. Kekerasan tidak hanya pada fisik, tetapi juga non fisik yang
meliputi kekerasan psikis atau psikologis, pengekangan akses interaksi sosial. Dan jenis
kekerasan lain yang dibenarkan oleh Negara.11
Kekerasan terhadap perempuan secara khusus digolongkan sebagai berikut:12
1. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal. Berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi di dalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki
kedekatan tertentu. Tercakup disini adalah penganiayaan terhadap istri, pacar, bekas

FathulDjannahdkk.KekerasanTerhadapIstri;.:Lkis – Yogyakarta, CDA-ICIHEF – Jakarta,danPusat
StudiWanita IAIN Sumatra Utara, 2003, h. 17.
11
Ibid.
12
Aroma Elmina Martha;Perempuan, Kekerasan, danHukum, PenerbitUll Press, Yogjakarta, 2003, h. 24.

10

istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua,
serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.
2. Kekerasan dalam area publik. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar
hubungan keluarga atau hubungan personal lain, sehingga meliputi berbagai bentuk
kekerasaan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua lingkungan tempat kerja
maupun di tempat umum.
3. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara. Kekerasan secara fisik, seksual
dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, didiamkan terjadi oleh negara di
mana pun terjadinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah pelanggaran hak asasi
manusia dalam pertentangan antar kelompok, dan situasi kelompok, dan situasi
konflik bersenjata yang terkait dengan pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan
seksual daan kekerasan paksa.

B. Pembatasan Masalah
Walaupun terkait erat dengan peraturan perundang-undangan lain sebagaimana
telah disebutkan, akan tetapi untuk kepentingan penelitian dan penulisan skripsi ini,
penulis sengaja memfokuskan pada UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan alasan bahwa judul undang-undang ini secara
tegas mennunakan kata penghapusan, sehingga menarik perhatian penulis untuk
menelaahnya, dalam hubungan dengan gagasan negara hukum.
Konstruksi umumnya yaitu dalam gegasan tentang negara hukum, diakui adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Salah satu wujud perlindungan dimaksud ialah
perlunya pengaturan normatif, yaitu pengaturan secara hukum atas gagasan negara

hukum yang berwujud HAM itu, dalam bentuk perundang-undangan. Dalam hal ini
persoalan KDRT dianggap sebagai bagin pokok dari studi tentang HAM. Karena itu,
skripsi ini mengambil judul: “Perlindungan Hukum Dalam UU. No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.”

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang dan pembatasan Masalah, maka dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut:
“Apa saja yang harus diketahui sebagai wujud perlindungan hukum dalam UndangUndang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?”

D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan skripsi ini ialah untuk
mengetahui, mengidentifikassi dan menjelaskan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang
ada dalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.”

E. Manfaat Penulisan
Setelah dilakukan penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan akan menghadirkan
beberapa manfaat:
1. Untuk Penulis

Memperdalam pengetahuan dan memperkaya wawasan penulis di dalam bidang
perlindungan hukum, terutama yang berkaitan deengan Penghapusan KDRT..
2. Untuk Masyarakat Awam
Menambahkan informasi dan

pengetahuan kepada masyarakat awam tentang

perlindungan hukum sebagai salah satu wujud Penghapusan KDRT.
3. Untuk Penegak Hukum dan Kalangan Akademis
Mengembangkan Ilmu Hukum khususnya perlindungan hukum tentang HAM sebagai
wujud gagasan negara hukum. Persisnya, sebagai bahan pertimbangan aparat penegak
hukum dalam memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap korban KDRT;
dan terhadap pengembangan wacana akademik di bidang ilmu hukum, khususnya
tentang perlindungan hukum korban KDRT.

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian hukum normatif
yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.13
Dalam hal ini data yang berkenaan dengan KDRT..
2. Sumber Data
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan; dalam hal ini
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, dan UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

13

Ronny HanitijoSoemitro; MetodologiPenelitianHukum, Ghalia Indonesia, Jaakarta, 1985, h. 24.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa teori dan literature yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.14 Dalam hal ini tentang HAM, khususnya yang
bersangkutan dengan KDRT.
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yaitu pengumpulan data
dengan cara memperlajari buku-buku, karya ilmiah, tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan permasalahan .
3. Teknik Analisa data
Data yang diperoleh dari studi kepustakaan diolah dan dianalisa secara deskriptif
kualitatif, artinya analisis data, kemudian berhubungan dengan teori-teori, asas-asas,
dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga
memperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

14

Johnny Ibrahim; TeoridanMetedologiPenelitianHukumNormatif; Bayumedia, Malang, 2012, h. 296.

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12