BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Suratman BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan adalah

  dengan melakukan penyelenggaraan kesehatan. Adapun yang dimaksud pelayanan kesehatan menurut Levey dan Lomba adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 1996).

  Pusat kesehatan masyarakat yang sering disingkat Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan milik pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat untuk wilayah kecamatan, sebagian kecamatan atau kelurahan (profil statistik kesehatan indonesia, 2011).

  Pemerintah mendirikan puskesmas di berbagai daerah dan unit-unit yang lain seperti posyandu, puskesmas rawat inap dan lain-lain.

  Puskesmas sebagai salah satu institusi kesehatan dasar yang paling dekat dengan masyarakat keberadaanya memang sangat vital dan memiliki peran setrategis untuk memperkuat derajat kesehatan masyarakat apalagi berdasarkan tingkat pemanfaatannya dimasyarakat (Sri, 2004).

  Pusmesmas dari tahun ke tahun mengalami peningkayan yaitu tercatat pada tahun 2002 jumlah puskesmas di seluruh Indonesia adalah 7.277 unit, puskesmas pembantu 21.587 unit, puskesmas keliling 5.084 unit (perahu 716 unit, ambulans 1.302 unit). Puskesmas yang memberikan fasilitas pelayanan rawat inap tercatat sebanyak 1.818 unit, sisanya sebanyak 5.459 unit tidak dilengkapi dengan fasilitas rawat inap (Depkes RI, 2004).

  Data statistik tahun 2004 puskesmas di Indonesia sebanyak 7.550, tahun 2005 sebanyak 7.669, tahun 2006 sebanyak 8.015, tahun 2007 sebanyak 8.234, tahun 2008 sebanyak 8.548 dan tahun 2009 sebanyak 8.683. Data di atas membuktikan bahwa jumlah puskesmas semakain meninggat di Indonesia tetapi hanya sekitar 30% penduduk yang memanfaatkan pelayanan puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas rawat inap (Depkes RI, 2004).

  Provinsi Jawa Tengah memiliki rumah sakit umum sebanyak 179 unit, rumah sakit jiwa sebanyak 4 unit, rumah sakit bersalin sebanyak 10 unit, rumah sakit khusus lainya sebanyak 576 unit, pukesmas keliling sebanyak 948 unit, puskesmas pembantu sebanyak 888 unit, rumah bersalin sebanyak 249 unit, balai pengobatan sebanyak 888 unit, praktik pengobatan tradisional sebanyak 3.091 unit, pos kesehatan desa sebanyak 5.209 unt, toko obat sebanyak 367 unit, gedung farmasi sebanyak 35 unit, industri obat tradisional sebanyak 14 unit, posyandu sebanyak 68,32% (Dinkes Jateng, 2011).

  Puskesmas terdiri dari puskesmas perawatan, puskesmas non perawatan, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling. Jumlah puskesmas di Jawa Tengah pada tahun 2011 sebanyak 867 (termasuk 291 puskesmas rawat inap). Rasio jumlah puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2011 sebesar 0,80 berarti bahwa jumlah puskesmas belum tercukupi. Rasio tertinggi sementara berada di Kota Tegal (1,28) dan rasio terendah masih tetap di Kabupaten Sukoharjo (0,44). Rasio 0,80 menunjukan bahwa tahun 2011 jumlah puskesmas masih mengalami kekurangan, hal ini diupayakan dapat terpenuhi dengan puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Jumlah puskesmas pembantu pada tahun 2011 masih tetap sama dengan tahun 2010 sebanyak 1.827. Tahun 2011 jumlah puskesmas keliling adalah 948 unit, menurun dibandingkan tahun 2010. Rasio puskesmas keliling terhadap puskesmas pada tahun 2011 adalah 1,09. Jumlah puskesmas, puskesmas perawatan, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling (Dinkes Jateng, 2011).

  Rasio kinjungan masyarakat terhadap puskesmas provinsi Jawa Tengah terutama di kabupaten-kabupaten masih tergolong rendah, hal ini banyak diantaranya berada pada kabupaten-kabupaten yang pertumbuhan ekonominya rendah seperti banjarnegara.

  Banjarnegara dengan jumlah penduduk 465.000 memiliki puskesmas sejumlah 12 unit diantaranya memiliki fasislitas rawat inap, sedangkan 23 unit tidak memiliki fasilitas rawat inap, puskesmas pembantu 42 unit, puskesmas keliling 37 unit dan posyandu sejumlah

  1.598 unit, pos obat desa sebanyak 192 dan pondok bersalin 153 unit, memiliki jumlah kunjungan sebanyak 756.715 dengan perincian tahun 2006 sebanyak 616.542,tahun 2007 sebanyak 604.311,tahun 2008 sebanyak 542.555,dan tahun 2009 sebanyak 672.250. (Dinkes Kab Banjarnegara, 2010).

  Puskesmas yang tersebar merata dalam setiap kabupaten guna membantu masyarkat dalam keadaan kesehatan yang kuang baik ternyata kurang berespons dikalangan masyarakat terbukti dengan angka kunjungan masyarakat yang masih minim terhadap puskesmas yang sudah di sediakan oleh pemerintah. hal ini dapat dilihat dari indikator rata-rata kunjungan per hari secara nasional adalah 93,57 atau 94 kunjungan per puskesmas per hari buka, dengan kisaran antara 21 (di Propinsi Kalimantan Timur) dan 228 (di Propinsi Jawa Timur), sedangkan rata-rata frekuensi kunjungan masyarakat ke puskesmas secara nasional adalah 2,27 kali pada tahun 1996 dengan kisaran antara 1,55 (di Pronpinsi Irian Jaya) dan 3,64 di Propinsi Kalimantan Selatan (Depkes RI, 2005).

  Menurut hasil Susenas Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2007), dari penduduk yang berobat jalan sebesar 23,4% memanfaatkan puskesmas, dan penduduk yang pernah dirawat inap sebesar 9,81%.

  Kejadian ini mencermikan bahwa dari sekian ribu penduduk Indonesia hanya sebagaian yang memanfaatkan puskesmas sebagai sarana untuk berobat.

  Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 secara akumulasi sebesar 5,1% yang berkunjung ke puskesmas penurunan cakupan kunjungan rawat jalan di pukesmas tersebut mengisyaratkan bahwa terjadi penurunan kunjungan rawat jalan di pelayanan kesehatan atau puskesmas (Dinkes Jateng, 2011).

  Kecamatan Banjarnegara dengan 2 puskesmas dan posyandu sebanyak 144. Puskesmas- puskesmas tersebut puskesmas 1 Banjarnegara dan puskesmas 2 Banjarnegara namun ratio knjungan masih kurang dari standar yaitu hanya berkisar 23.400 per tahun sementara untuk tahun 2013 jumlah kunjungan dalam setahun 22.100 (Dinkes Kab Banjarnegara 2010). Hal ini jika menunjukan bahwa kunjungan ke puskesmas 2 Banjarnegara masih redah jika kita bandingkan dengan standar yang ditetapkan pemerintah yaitu 100 per hari maka jumlah yang diharapkan per tahun kurang lebih 36.000.

  Puskesmas 2 Banjarnegara terletak di jalan Tirtosari Semarang Kidul Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara yang membawahi 33. 135 jiwa yang terbagi dalam 6 wilayah kerja yaitu desa Cendana, kelurahan Sokanandi, kelurahan Krandegan, desa Sokayasa, kelurahan Semarang Kidul, dan kelurahan Parakan Canggah.

  Puskesmas 2 Banjarnegara pada awal berdiri sebagai puskesmas pembantu namun setelah tahun 2000 menjadi puskesmas rawat jalan dan menjadi puskesmas yang sudah terdaftar sebagai puskesmas penyelengara PONED pada ahun 2010 dimana puskesmas tersebut memiliki ruang pendaftaran, persalinan, obat, IGD, pemeriksaan, BP, KIA, konsultasi, gizi, laboratorium dan poli gigi. Puskesmas 2 Banjarnegara memberikan pelayanan bagi masyarakat yang memiliki jamkesmas, jamkesda, askes, dan umum dengan biaya atau pembayaran sebesar Rp. 5500. Puskesmas 2 Banajrnegara sebagai puskesmas kedua setelah puskesmas Karang Tengah memiliki rasio kunjungan perhari berkisar antara 70-90 pasien.

  Hasil wawancara dengan karyawan atau petugas dipuskesmas 2 Banjarnegara mereka mengelukan untuk bagian alat masih banyak sekali yang kurang terutama alat-alat utuk di poli gigi dan alat-alat penunjang penegakan diaknosa klinis seperti ekg, laboratorium, dan yang lain sehingga menyulitkan untuk memberikan pelayanan secara optimal.

  Mereka juga mengatakan bahwa jarak puskesmas yang lumayan jauh yaitu desa Cendana menuju Puskesmas 2 memiliki jarak 5 km, kelurahan Sokanandi 3 km, kelurahan Krandegan 2 km, desa sokayasa 4 km, dan kelurahan Semarang kidul 1 km yang kurang lebih memakan waktu sekitar 20-60 menit untuk mencapai puskesmas tersebut. Hal ini menjadikan pasien lebih memilih pengobatan lain.

  Efransyah, Lutfan dan Hasanbasri (2013) mengatakan bahwa Jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan akan mempengaruhi pemanfaatan masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Meskipun pelayanan kesehatan di Puskesmas sudah gratis, tetapi untuk mengakses puskesmas masyarakat masih membutuhkan biaya untuk transportasi.

  Notoatmodjo (1985) mengatakan rendahnya presentasi masyarakat yang berobat kepuskesmas karena fasilitas kesehatan, terbatasnya waktu pelayanan, mutu pelayanan yang diberikan, keramah tamahan tenaga kesehatan dan jarak puskesmas yang masih jauh dari jangkauan masyarakat.

  Syafriadi, Kusnanto dan Lazuardi (2008) menyebutkan bahwa faktor keterpencilan, sulit dan mahalnya transportasi merupakan hambatan untuk menjangkau sarana kesehatan. Nurcahyani (2000) menyimpulkan ada hubungan antara biaya berobat, biaya transportasi, jarak dan lama waktu terhadap pemanfaatan pelayanan.

  Hasil penelitian Nadia (2012) yang berjudul pengaruh kualitas jasa kesehatan terhadap kepuasan pasien di puskesmas Bara-Baraya Makasar menyimpulkan bahwa variabel tangible (sarana dan prasarana), empati (perhatian), responsevennes (daya tanggap) dan assurance (jaminan) memiliki pengaruh singnifikan terhadap kepuasan pasien. Penelitian di atas adalah salah satu indikator bahwa bila masyarakat puas dengan suatu pelayanan maka akan kembali menggunakan pelayanan tersebut.

  Menurut Suharmlati, Handayani dan Kristiana (2012) Kurangnya peralatan kesehatan dan sarana penunjang kesehatan (laboratorium) di puskesmas sering mengecewakan masyarakat yang akhirnya harus menempuh perjalanan yang jauh dan sulit. Keadaan ini semakin menguatkan minat masyarakat untuk tidak berobat ke puskesmas. Oleh karena itu perlu kelengkapan alat kesehatan dan bahan habis pakai yang menunjang pelayanan kesehatan khususnya untuk kasus penyakit yang banyak terjadi di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

  Maramis (2006) mengatakan bahwa keramah tamahan dan perhatian yang baik dari petugas kesehatan serta fasilitas kesehatan yang memadai akan membuat citra pelayanan kesehatan menjadi baik.

  Selain faktor di atas pemanfaatan puskesmas juga di pengaruhi oleh persepsi masyarakat. Notoatmodjo (1985) mengatakan bahwa pelayanan yang kita dirikan berdasarkan asumsi kebutuhan yang kita putuskan, bahwa masyarakat membutuhkanya. Kenyataanya masyarakat baru mau mencari pengobatan (pelayanan kesehatan) setelah benar-benar tidak mendapat apa-apa, hal ini bukan berarti harus mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas dan sebagainya) tetapi kefasilitas pengobatan tradisional yang kadang-kadang menjadi pilihan masyarakat yang pertama, itulah sebabnya redahnya penggunaan puskesmas karena persepsi yang berbeda antara pemberi pelayanan dan masyarakat.

  Dari hasil survey yang dilaksanakan oleh departemen kesehatan tahun 2010, didapatkan bahwa masalah yang menjadi keluhan dari pelanggan pelayanan kesehatan adalah; lamanya mereka menunggu, kurang ramahnya petugas, kejelasan informasi, dan kebersihan sarana pada tempat pelayanan.

  Menurut khoeriyah dan rahayu (2013) bahwa faktor kunjungan masyarakat ke puskesmas karena penyediaan fasilitas pelayanan yang belum sesuai dengan harapan dari pemakai fasilitas atau masyarakat.

  Hasil survei Permatasari dan Turohmah (2013) menunjukkan bahwa ada empat aspek Quality Management System (QMS) Poli Umum Puskesmas Dupak yang mendapatkan nilai kurang dari 80%. Empat aspek tersebut antara lain jam buka pelayanan, kecepatan antrian, kehandalan dan ketanggapan petugas, serta keramahan dan perhatian petugas. Berdasarkan Prinsip Pareto, 80% akibat berasal dari 20% penyebab sehingga 20% masalah mutu pelayanan di Poli Umum Puskesmas Dupak menyebabkan 84 kerugian sebesar 80%. Pasien yang merasa puas diprediksi 60% masih ada kemungkinan meninggalkan pelayanan kesehatan (Supriyanto & Wulandari, 2010).

  Iqbal Mubarok (2011) mengatakan bahwa faktor penghambat partisipasi masyarakat adalah persepsi. Persepsi masyarakat yang berbeda dengan persepsi penyedia layanan tentang masyalah kesehatan yang di hadapi.

  Menurut Kotler (2001) kualitas jasa pelayanan kesehatan harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi konsumen tersebut. Dalam hal ini pelanggan yang mengkonsumsi dan menikmati jasa pelayanan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa (Hilal, 2005).

  Penelitian Mujahidah, Darmansyah, dan Yusran (2013) dengan judul faktor yang berhubungan dengan perilaku konsumen dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dipuskesmas Marusu Kabupaten Maros menyatakan bahwa Berdasarkan uji statistik Chi Square memperlihatkan nilai ρ = 0,042 < 0,05. Karena nilai ρ < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian ada hubungan persepsi dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Marusu Kec. Marusu Kab. Maros. Besar hubungan antara persepsi dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan = 0,245 yang berarti hubungannya rendah. Sebagian besar menyatakan persepsi cukup namun pemanfaatan pelayanan kesehatan kurang baik, yaitu sebanyak 25 responden (44,6%) menyatakan persepsi cukup namun pemanfaatan pelayanan kesehatan kurang baik. Hal tersebut kurang baik karena sebagian besar jarak rumah pasien jauh dari puskesmas datang lebih awal sesuai jam buka puskesmas dari pada petugas kesehatan.

  Hasil penelitian Achmad (2005) di Puskesmas Binjai kota Binjai dengan berjudul Pengaruh Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Pengobatan Di Puskesmas, menyatakan bahwa persepsi masyarakat tentang pelayanan Puskesmas dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan Puskesmas merupakan indikator utama keberhasilan Puskesmas dalam mengemban tugasnya.

  Menurut Kotler (2001) mengidentifikasi adanya kesenjangan antara persepsi konsumen dan persepsi penyedia jasa pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kegagalan penyampaian jasa yang berkualitas. Penyedia jasa pelayanan kesehatan tidak selalu memahami secara tepat apa yang di inginkan pelanggan. Penyedia pelayanan jasa mungkin berfikir bahwa pasien menginginkan fasilitas umum yang lebih baik, tetapi pasien mungkin lebih mementingkan daya tanggap perawat.

  Kebutuhan pelayanan kesehatan yg sudah memenuhi harapan pasien maka untuk berobat kembai menggunakan jasa pelayanan kesehatan yang sama (Yulianti, 2004) dalam penelitian Irigan Tarigan dan Ratih Ariningrum, 2008).

B. Rumusan Masalah

  Dari latar belakang diatas dapat diketahui bahwa Angka kunjungan masyarakat untuk memanfaatkan pukesmas di lingkup nasional, regional, dan lokal masih sangat rendah hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti

  enabling factor (faktor pendukung ) yaitu sarana dan prasarana, sifat

  pelayanan, jarak biaya dan reinforcing factor (faktor pendorong) yaitu sikap tenaga kesehatan dan persepsi masyarakat. Peneliti merumuskan masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah hubungan antara

  

enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat

untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  C. Tujuan Penelitian 1.

  Tujuan Umum Penelitian ini bertujua untuk mengetahui hubungan antarastigma dan persepsi masyarakat terhadap minat berobat masyarakat dipukesmas 2 Banjarnegara 2. Tujuan Khusus

  Setelah dilakukan penelitian ini akan dapat :

  a) Mengetahui hubungan antara enabling factor (saran dan prasarana, sifat pelayanan, jarak, dan biaya) terhadap minat berobat masyarakat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  b) Mengetahui hubungan antara reinforcing factor (sikap tenaga kesehatan dan persepsi masyarakat) terhadap minat berobat masyarakat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  c) Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap minat berobat masyarakat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  D. Manfaat Penelitian

  Apabila hipotesis terbukti maka diharapan penelitian ini dapat bermanfaat bagi :

1. Manfaat Praktis a.

  Bagi Masyarakat Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang berobat sehingga keluarga dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan jika terjadi sakit b.

  Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber ilmu bagi lembaga pendidikan untuk senantiasa meningkatkan atau meperkokoh sikap-sikap peserta didik agar dapat memberikan pelayanan yang diharapkan masyarakat dan dapat meningkatkan mutu serta minat masyarakat untuk mmanfaatkan fasilits kesehatan c. Bagi Institusi Terkait

  Manfaat bagi puskesmas adalah sebagai tolak ukur tenaga kesehatan ditempat tersebut dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat menumbuhkan dan meningkatkan minat berobat masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dinaungi.

2. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian diharapkan dapat memperluas ilmu bidang keperawatan komunitas agar lebih berkembang dalam rangka membekali peserta didiknya agar mengenali dan mengerti bagaimana sarana prasarana, sifat pelayanan, jarak, biaya, sikap dan persepsi masyarakat mempengaruhi minat berobat masyarakat sehingga dapat di antisipasi.

E. Penelitian Terkait

  Hasil penelitian Khusnawati (2008) Menerangkan dalam penelitianya yang berjudul analisis kepuasan pasien terhadap pelayanan pada puskesmas Sungai Durian, Kabupaten Kubu Raya. Menyimpulkan bahwa aspek-aspek dimensi kualitas pelayanan Sungai Durian yang belum memenuhi tingkat kepuasan pelanggan diatanatranya pelayanan, peralatan, dan pengobatan yang kurang sigap, pelayanan admiistrasi yang memakan waktu lama, serta belum sesuai dengan kebutuhan pasien.

  Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan variabel yang akan di teliti adalah hubungan antara

  

enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat

untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  Hasil penelitian Teguh Riyadi (2002) menerangkan dalam Tesisnya yang berjudul hubungan antara mutu puskesmas menurut persepsi pasien dengan minat pemanfaatan ulang pelayanan pengobatan rawat jalan umum dipuskesmas Maos Kabupaten Cilacap menyimpulkan bahwa pasien dalam memperspsikan mutu pelayanan petugas loket pendaftaran rawat jalan puskesmas Maos yang dinyatakan dalam tinggkat kepuasan sebagian besar (63,5%) menyatakan puas terutama terhadap penampilan dan kecepatan dalam melayani pasien. Pasien yang menyatakan tidak puas (36,4%) terutama terhadap keramahan dari petugas. Pasien yang puas dengan presentase (86,4%) menyatakan berminat untuk memanfatkan ulang pengobatan rawat jalan dan pasien yang tidak puas dengan presentase terbesar (65%) juga menyatakan minat memanfaatkan ulang pengobatan rawat jalan umum dipuskesmas Maos. Hasil penelitian Cahyo (2006) Menerangkan dalam tesisnya yang berjudul perilaku gelandangan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat di Kota Semarang Jawa Tengah (Studi Kasusu Di Kawasan Pasar Johar).Menyimpulkan bahwa karakteristik subyek peneliti (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan) membentuk perilaku pencarian pengobatan, sedangkan faktor lainya mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan praktik gelandangan dalam mencari pelayanan kesehatan.

  Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan variabel yang akan di teliti adalah hubungan antara

  

enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat

untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  Hasil penelitian Solikhah (2008) menerangkan dalam penelitianya yang berjudul hubungan sikap masyarakat wilayah kerja puskesmas dengan pemanfaatan pelayanan rawat inap di puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta menyimpulkan bahwa sikap reponden terhadap pelayanan rawat inap bersalin dengan pemanfaatan rawat inap bersalin dipuskesmas mergangsan memiliki hubungan signifikan namun berkoelasi terbalik.

  Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan variabel yang akan di teliti adalah hubungan antara

  

enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat

untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  Hasil penelitian Nu’man (2010) dalam penelitianya yang berjudul faktor-faktor pemanfaatan pelayanan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) II Tambak Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas menyatakan bahwa karakteristik responden sebagian besar bersetatus sebagai kepala keluarga, mayoritas bekerja petani, berumur 30-39 tahun, berpendapatan rendah serta berpendidikan rendah.

  Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dengan variabel yang akan di teliti adalah hubungan antara

  enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.

  Hasil penelitian Ngadilah, Kustanto, dan Kristiani (2009) menerangkan dalam penelitianya yang berjudul pemanfaatan pustu di Kabupaten Kupang. Penelitian analitik rancangan cross sectional dengan menggunkan metode kuantitatif didukung kualitatif. Hasil Penelitian ada hubungan yang signifikan p< 0,05 antara kontrol peilaku, sikap, pengetahuan dan norma-norma obyektif.

  Perbedaan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross

  

sectional dengan variabel yang akan di teliti adalah hubungan antara

enabling factor dan reinforcing factor terhadap minat berobat masyarakat

  untuk berobat ke Puskesmas 2 Banjarnegara.