BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitin yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Analisis Semantik Penamaan Tempat - Agus Riyanto BAB II

  

BAB II

LANDASAN TEORI A. Penelitin yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Analisis Semantik Penamaan Tempat Pemberhentian Bus Jurusan Magelang-Yogyakarta ”. Karya Rurun Kuntarti pada Tahun 2006.

  Pada penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan khususnya penamaan tempat pemberhentian bus jurusan magelang-yogyakarta.Data yang digunakan peneliti adalah nama-nama tempat pemberhentian bus. Sumber data pada penelitian tersebut adalah hasil wawancara pada narasumber yang mengetahui pemberian nama pemberhentian bus. Jenis penelitian tersebut adalah jenis penelitian deskriptif kualitataif.Tahap analisis data meliputi, asal bahasa yang dipakai, jenis penamaan, dan jenis makna yang terdapat pada nama-nama tempat pemberhentian bus jurusan Magelang-Yogyakarta.

2. Penelitian dengan judul “Kajian Semantik Nama – Nama Kos yang Ada di

  Desa Dukuhwaluh Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas ’’. Karya Rifa Noviyanti pada Tahun 2013.

  Pada penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan khususnya penamaan nama-nama Kos yang ada di Desa Dukuhwaluh, Purwokerto.

  Data yang digunakan peneliti adalah nama-nama Kos yang ada di Desa

  Dukuhwaluh.Sumber data pada penelitian tersebut adalah hasil wawancara pada narasumber yang pemilik Kos.Jenis penelitian tersebut adalah jenis penelitian deskriptip kualitataif. Tahap analisis data meliputi, asal bahasa yang dipakai, jenis penamaan, dan jenis makna yang terdapat pada nama-nama Kos yang ada di Desa Dukuhwaluh Kecamatan Kembaran, Purwokerto.

3. Penelitian dengan judul ”Kajian Semantik Nama Diri Siswa Kelas VII A dan

  VII B di SMP Negeri 3 Purwokerto Tahun Pelajaran 2013

  • – 2014”. Karya Arief Septi Indriani pada Tahun 2014.

  Pada penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan khususnya penamaan Nama Diri Siswa Kelas VII A dan VII B di SMP Negeri 3 Purwokerto Tahun Pelajaran 2013

  • – 2014”.Data yang digunakan peneliti adalah Nama- Nama Diri Siswa Kelas VII A dan VII B di SMP Negeri 3 Purwokerto Tahun

  Pelajaran 2013

  • – 2014”. Sumber data pada penelitian tersebut adalah hasil hasil angket yang diisi oleh orang tua wali murid yang menjadi objek penelitian. Jenis penelitian tersebut adalah jenis penelitian deskriptip kualitataif. Tahap analisis data meliputi, asal bahasa yang dipakai, jenis penamaan, dan jenis makna yang terdapat pada. NamaDiri Siswa Kelas VII A dan VII B di SMP Negeri 3 Purwokerto Tahun

  Pelajaran 2013 – 2014”. Dari ke tiga teori relevan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga peneliti tersebut memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan dikaji oleh penulis. Persamaannya ialah sama-sama menggunakan kajian semantik dalam mengolah data, sedangkan perbedaan antara penelitian ini dengan peneliti yang telah dilakukan adalah objek yang akan dianalisis. Pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Rifa Noviyanti, data yang digunakan berupa nama-nama tempat kos yang ada di Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas dan penelitian Kuntari yang menggunakan data tempat pemberhentian bus jurusan Magelang-Yogyakarta, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Arief Septi Indriani data yang di gunakan berupa nama diri siswa kelas VII A dan VII B di SMP N 3 Purwokerto. Data yang digunakan oleh peneliti kali ini adalah nama-nama dusun yang ada di Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Penelitian mengenai Analisis Makna Referensial dan Makna Nonreferensial pada Nama-Nama Dusun di Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes Tahun 2015 belum pernah dilakukan oleh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dan Mahasiswa Universitas lainnya, sehingga perlu dilakukan sebuah penelitian menggunakan kajiansemantik.

  Pada penelitian ini peneliti lebih fokus menggunakan kajian semantik karena menurut pendapat Verhaar, (2010: 13) semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas arti atau makna, semantik mengkaji bahasa yang ada dimasyarakat dari bahasa lisan, bahasa nonlisan, dan bahasa tulis, dari nama orang nama, benda, bahkan nama sebuah daerah tempat tinggal. Nama merupakan hasil pemikiran manusia yang memiliki makna tertentu yang sebenarnya ingin disampaikan kepada orang lain yang di dalamnya memiliki arti atau makna. Oleh karena itu, nama pasti didalamnya terdapat maknanya. Nama dusun juga memiliki makna yang terkandung didalamnya, yang lahir dari hasil pemikiran si pemberi nama untuk nama daerah yang mereka tempati.

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

  Bahasa adalah sarana vital dalam berfilsafat, yakni sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang di refrentasi lewat sumber bunyi (Alwasilah 2010 :14). Menurut Kridalaksana,(dalam Aminuddin 2008: 28) bahasa adalah sisitem lambang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Menurut Kridalaksana dan Kentjono dalam (Chaer 2012:32) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

  Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi vital yang menghasilkan bunyi-bunyi dalam belfilsafat, yang dimaksud berfilsafat disini adalah untuk menyampaikan fikiran dan realitas lewat bunyi yang dihasikan dan bertujuan agar dapat dimengerti oleh orang lain.

  Bunyi-bunyi ini membentuk suatu sistem dalam arti bahwa perpaduan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain tidak acak tetapi mengikuti aturan tertentu. Dalam dua bahasa bisa saja memiliki beberapa bunyi yang sama, misalnya, bunyi [m], [b], [s], [k], [t],dan [a], tetapi bahasa A bahasa Jawa, mengijinkan [m] dan [b] untuk memulai suatu kata, seperti pada kata mbak, tetapi bahasa B, bahasa Inggris, tidak mengijinkannya. Tidak ada dalam bahasa ini kata yang mulai dengan mb seperti, misalnya *mbear, *mboating, dan *mblasted. Sebaliknya, bahasa inggris mengijinkan gugus konsonan /skt/ pada akhir kata seperti pada kata asked/ dan masked/, sedangkan dalam bahasa Jawa melarangnya, secara hierarkis, sekelompok bunyi membentuk suku dan sekelompok suku membentuk kata. Dengan demikian terbentuklah kata-kata seperti bambu (Indonesia), dan playon (Jawa), dan happy dalam bahasa (Inggris).

2. Bahasa Pada Nama Dusun

  Bahasa merupakan alat komunikasi yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa tumbuh dari hasil pemikiran manusia yang kemudian di iya kan oleh manusia yang lain, dan dipopulerkan melalui media masa ataupun tatap muka.Menurut Djajasudarma (2008:32) bahasa bersifat dinamis, maksudnya bahasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya kemajemukan persepsi manusia terhadap makrokosmos (dunia sekitarnya) dan mikrokosmos (dunia pribadinya). Menurut (Soegijo1989:1) bahasa ialah sistem lambang/tanda bunyi yang arbiter konvensional, menurutnya ciri-ciri bahasa itu ialah (a) bahasa itu berupa tanda, (b) tanda bahasa itu berupa bunyi, (c) tanda bunyi itu bersistem, (d) sistem tanda bunyi ujar itu bermakna, (e) sistem tanda bunyi ujar yang bermakna itu sifatnya arbiter, (f) sistem tanda bunyi yang bermakna itu sifatnya arbiter konvensional, (g) bahasa itu produktif, (h) bahasa itu bersifat unik, (i) bahasa itu bersifat universal, (j) bahasa itu bervariasi, (k) bahasa merupakan identitas kelompok si pemakainnya, (l) bahasa itu merupakan alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, (m) bahasa itu bersifat noninstingtif, sedangkan menurut Dardjowidjojo (2010:16) bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya berdasarkan pada budaya yang mereka miliki bersama.

  Di Indonesia terdapat beberapa nama provinsi, nama kabupaten, nama kecamatan, nama kelurahan (desa) dan yang bersifat sempit yaitu nama dusun. Nama

  • – nama itu adalah hasil pemikiran mausia terdahulu yang di berikan kepada nama daerah tempat tinggal mereka yang kemudian di sepakati dan dipakai turun temurun hingga sekarang. Nama yang diberikan pada nama dusun tidak sembarangan melainkan memiliki alasan dari fenomena saat itu, penemu daerah itu, bahkan sejarahnya.Nama dusun yang akan peneliti kaji terletak di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Brebes, tepatnya di Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Di Kecamatan Tonjong masyarakatnya mayoritas menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi sehari-hari, sehingga masyarakatpun ketika memberikan sebuah nama pada tempat tinggal mereka (nama dusun) lebih banyak menggunakan bahasa yang dimbil dari bahasa Jawa, meskipun ada juga yang diambil dari bahasa lain seperti, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Kuno dan penggabungan dari bahasa-bahasa tersebut.

C. Semantik

1. Pengertian Semantik

  Semantik berasal dari bahasa Inggris “semantics” dari bahasa Yunani “sema

  (nomina) „tanda‟ atau dari verba samaino „menandai‟, berarti Ilmu semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi- sintaksis) dan lekson (Djajasudarma2009: 1). Menurut Aminuddin (2008

  :15) semantik adalah studi tentang makna, dengan anggapan bahwa maknamenjadi bagian dari bahasa,maka semanticmerupakan bagian dari linguisti, sedangkan Menurut Verhaar, (2010: 13) semantik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas arti atau makna.

  Kridalaksana (2008: 216) berpendapat bahwa pengertian semantik dibagi menjadi dua yaitu: (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara, (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Sedangkan menurut Ferdinand de Saussure dalam (Chaer 2013:2) semantik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dibidang ilmu semantik tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik adalah ilmu yang mengkaji tetang makna dan merupakan bagian dari struktur ilmu bahasa yaitu (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Ilmu tentang makna yang dimaksud adalah komponen signifian “yang mengartikan” dan komponen signifie “yang diartikan” dalam setiap tanda linguistik atau tanda bahasa.

D. Nama

  Di dunia ini penuh dengan nama-nama yang diberikan oleh manusia. Manusia tidak hanya memberi nama, tetapi memberi makna pula, nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia ini (Djajasudarma, 2008: 30). Menurut (Poerwadarminta, 2007:793) nama adalah kata untuk menyatakan panggilan, sebutan orang, barang, tempat tinggal, atau suatu daerah. Nama merupakan hasil pemikiran, ide, gagasan dari seseorang yang muncul untuk memberi tanda untuk kepada sesuatu berupa benda atau daerah tempat tinggal. Nama yang diberikan kepada suatu daerah tempat tinggal khususnya nama dusun mempunyai arti yang sangat penting bagi daerah tempat tinggal mereka,bahkan ada yang memiliki sejarah asal-usul dinamakannya dusun tersebut untuk dijadikan nama tempat tinggal (nama dusun). Nama yang diberikan untuk nama tempat tinggal (dusun) juga ada yang memiliki referensi seperti benda yang terdapat pada dusun tersebut yang dijadikan sebagai simbol nama dusun itu dan ada juga yang tidak memiliki benda sesuai dengan nama pada nama dusun itu.

  Menurut Aristoteles dalam (Pateda, 2010:63) pemberian nama adalah soal perjanjian, konvensi, yang dimaksud perjanjian disini bukan berati dahulu ada siding masalah nama untuk sesuatu yang diberi nama. Nama tersebut biasanya lahir dari seorang pakar, ahli, penulis pengarang, pemimpin negara,dan juga tokoh masyarakat.

  Nama kemudian dipopulerkan oleh masyarakat, baik melalui media masa ataupun melalui tatap muka (berbicara). Di Kabupaten Purbalingga ada salah satu nama kecamatan yang sering di kenal dengan Kecamatan Mrebet itu dulunya karena penemu dan pendiri daerah kecamatan itu bernama

  “Mr.ebet”dari Negara Blanda “(Aji Dwi P. 22 tahun,Mahasisawa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, warga Dusun Mrebet, Kelurahan Mrebet, Kecamatan Mrebet) ”.

E. Makna

1. Pengertian Makna

  Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta 2007:619) kata makna diartikan: (a) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (b) maksud pembicara atau penulis, (c) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan kata. Menurut Djajasudarma (2009:7) makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata), sedangkan menurut Wittgenstein dalam (Parera, 2004:48) berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah-ubah dari waktu kewaktu sehingga makna tidak mantap diluar kerangka pemakaiannya. Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti yang mengandung maksud dan tujuan oleh sipembicara terhadap lawan bicara agar mudah dimengerti. Makna juga merupakan konsep, ide, pikiran sehingga dapat dikatakan memiliki makna. Makna harus disetujui oleh orang banyak tujuannya agar dimengerti apa yang sedang diucapkan oleh si pembicara.

2. Jenis Makna

  Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna. Menurut Palmer (dalam Pateda 2010:96) mengemukakan jenis-jenis makna dibagi menjadi, (1) makna afektif, (2) makna denotatif, (3) makna deskriptif, (4) makna ekstensi, (5) makna emotif, (6) makna gereflekter, (7) makna gramatikal, (8) makna ideasional, (9) makna intense, (10) makna khusus, (11) makna kiasan, (12) makna kognitif, (13) makna kolokasi, (14) makna konotatif, (15) makna konseptual, (16) makna konstruksi, (17) makna kontekstual, (18) makna leksikal, (19) makna lokusi, (20) makna luas, (21) makna pictorial, (22) makna proposisional, (23) makna pusat (24) makna referensial, (25) makna sempit, (26) makna stilistika (27) makna tekstual, (28) makna tematis, dan (29) makna umum. Djajasudarma (2013:8) berpendapat bahwa jenis-jenis makna terbagi menjadi: (1) makna sempit, (2) makna luas, (3) makna kognitif, (4) makna konotatif/emotif, 5) makna referensial, (6) makna konstruksi, (7) makna leksikal dan gramatikal, (8) makna idesional, (8) makna proposisi, (10) makna pusat, (11) makna pictorial, dan (12) makna idiomatik. Menurut Chaer (2012:289-296) jenis makna terbagi menjadi 11: (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial, (5) makna nonreferensial, (6) makna denotatif, (7) makna konotatif, (8) makna konseptual, (9) makna asosiatif, (10) makna idiom, (11) makna pribahasa.

  Dari pengertian diatas jelas terdapat banyak sekali jenis-jenis makna yang disebutkan oleh beberapa ahli didalam ilmu semantik. Dari beberapa jenis makna tersebut tidak semuanya akan dijelaskan didalam pembahasan, hanya dua makna saja yang akan dijelaskan didalam pembahasan yaitu, makna referensial dan makna nonreferensial. Kedua makna ini nantinya akan digunakan untuk mengkaji nama- nama dusun yang ada di Kecamatan Tonjong Kabupaten Berbes. Berikut ini makna referensial dan makna nonreferensial tersebut akan dipaparkan :

a. Makna Referensial

  Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referen (acuan), makna referen disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan (Djajasudarma, 2008:11). Menurut Chaer (1995:63) makna referensial dilihat dari ada tidaknya referensi dari kata-kata itu, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Menurut Russell dalam (Alwasilah 2010:62) kata bisa bermakna karena rujukannya kepada objek atau keadaan yang digambarkan oleh kata itu.

  Makna referensial disebut juga makna denotatif karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut sebagai makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan, stimulus (dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap panca indra (kesadaran) dan rasio manusia(Keraf, 1985:28). Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa makna referensial adalah makna yang ada acuannya, dan memiliki referen atau bukti yang kuat bahwa kata itu memang benar-benar ada wujudnya dan dapat diterima oleh rasio manusia. Makna referensial disebut juga makna denotatif, makna konseptual, dan makna proposional, misalnya kata

  „meja‟ dan kata „kursi‟ adalah kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen dan ada wujudnya. Kita perhatikan lagi contoh kalimat yang termasuk ke dalam makna referensial atau (denotatif), (1) rumah itu luasnya 250 meter persegi, (2) ada seribu orang yang menghadiri pertemuan itu. Dua contoh diatas merupakan contoh makna refernsia atau makna denotatif karena jelas rumahnya menunjukan luas 250 (contoh 1) , dan pada contoh (2) orang yang menghadiri pertemuan itu berjumlah 1000 orang.

b. Makna Nonreferensial

  Makna nonreferensial adalah kata-kata yang tidak mempunyai referen disebut makna nonreferensial, misalkan kata karena dan kata tetapi dua kata tersebut termasuk kedalam makna nonreferensial karena kedua kata tersebut tidak mempunyai acuan (referen) dan tidak ada wujud berupa benda (Chaer, 1995: 64), sedangkan menurut Keraf (1985: 28) makna nonrefernsial juga disebut makna konotatif atau makna emosional, menurutnya makna nonreferensial (konotatif) sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju

  • – tidak setuju, senang
  • – tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar,dipihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.

  Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa makna nonrefernsial adalah makna kata yang tidak mempunyai referen berupa benda yang nampak dan berwujud, hanya ada di dalam fikiran manusia tetapi tidak ada wujudnya. Makna nonrefernsial disebut juga makna denotatif atau makna emosional. Misalnya kata

  

karena dan kata tetapi merupakan kata nonreferensial karena tidak mempunyai

  referen.Jadi kata tetapi dankarena merupakan kata nonreferensial. Contoh lain dalam kalimat (1) rumah itu luas sekali, (2) meluap hadirin yang mengikuti pertemuan itu.

  Pada contoh (1) kata luas sekali seolah-olah tidak menyakinkan berapa luas rumah itu sehingga kata itu termasuk makna nonreferensial, dan pada contoh (2) kata meluap hadirin juga tidak menerangkan berapa banyak hadirin yang datang pada pertemuan rapat, sehingga kata itu masuk kedalam makna nonrefernsial atau makna denotatif karena kata itu tidak mempunyai refern dan tidak ada wujud benda dari kata itu.