BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Rosi Astuti BAB I

  sangat pokok, yang terjadi karena ginjal tidak mampu memainkan fungsinya sebagai fungsi eksresi dan regulasi. Gangguan total yang terjadi pada ginjal tidak akan menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat. (Davison & Jhangri, 2006).

  Menurut hasil penelitian Global Burden of Disease tahun 2010, Gagal Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Dikutip dari (Gagal Ginjal Kronik Hemodialisis, 2017) Menurut United State Renal Data System (2013) di Amerika Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronik meningkat 20-25% setiap tahun.

  Diperkirakan lebih dari 20 juta (lebih dari 10%) orang dewasa di Amerika Serikat mengalami penyakit ginjal kronik pertahun. Kasus penyakit ginjal di dunia per tahun meningkat sebanyak lebih dari 50%.

  Penyakit gagal ginjal di Indonesia menempati urutan ke-10 dalam penyakit tidak menular (Kemenkes RI, 2013). Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi

  1 terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 %. (Kementrian Kesehatan, 2017).

  Prevalensi gagal ginjal tertinggi di provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Klaten 0,7%, sedangkan prevalensi Kabupaten Kebumen mencapai 3% atau sekitar 456 penderita (Kemenkes, 2013; Dinkes 2011). Menurut Andi (2012), kenyataan bahwa pasien GGK tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak psikologis yang tidak sedikit. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri.

  Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menjalani dialisis telah meningkatkan risiko bunuh diri dan kesehatan mental yang lebih buruk, yang mungkin karena putus asa, kesulitan menangani penyakit kronis, perubahan tidur (misalnya insomnia) dan tingkat tinggi. depresi (E. Karasouli, G. Latchford, D. Owens, 2014).

  Respon pasien setiap orang dalam melakukan terapi hemodialisis berbeda-beda seperti akan merasa cemas akibat krisis situasional, ancaman, kematian dan tidak mengetahui hasil akhir dari terapi yang dilakukan tersebut. Stres sesorang dapat diatasi dengan cara pendekatan farmakologis, perilaku kognitif, meditasi hipnosis dan terapi musik. Dampak stres pada pasien adalah memperburuk kesehatan dan memperburuk kualitas hidup, selain itu pasien yang mengalami stres ditandai dengan rasa khawatir yang berlebih, depresi, rasa putus asa dan upaya bunuh diri. Kejadian bunuh diri ini meningkat pada pasien dialisis (Dongoes, 2010; Hardjana, 2008; Siswanto, 2007).

  Konsep teori ilmu keperawatan Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistik) yaitu terdiri dari faktor biologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan dan faktor spiritual yang berhubungan secara dinamis dan tidak dapat dipisahkan. Faktor fisiologis ,meliputi struktur dan fungsi tubuh, faktor psikologis terdiri dari proses dan hubungan mental, faktor sosial budaya meliputi fungsi sistem yang menghubungkan sosial, ekspektasi kultural dan aktivasi, faktor perkembangan sepanjang hidup dan faktor spiritual pengaruh kepercayaan spiritual (Tomey & Alligood, 2006).

  Spiritualitas didefinisikan oleh Koenig (1998) sebagai "pencarian pribadi untuk memahami pertanyaan akhir tentang kehidupan, artinya, hubungannya dengan kesucian atau transendensi yang mungkin atau mungkin tidak mengarah pada pengembangan praktik keagamaan atau pembentukan komunitas agama". Religiusitas dipahami sebagai "perluasan di mana seseorang meyakini, mengikuti, dan mempraktekkan agama, dan dapat menjadi organisasi (gereja atau kehadiran bait suci) atau non organisasi (untuk berdoa, membaca buku, menonton acara keagamaan di televisi)".

  Spiritualitas mencakup sistem kepercayaan dan nilai-nilai pada seseorang. Intuisi dan pengetahuan dari sumber yang tidak diketahui dan asal cinta tanpa syarat dan rasa memiliki khasnya dipandang sebagai kekuatan spiritual, rasa terhubung yang universal, pemberdayaan diri, dan penghormatan akan kehidupan juga berhubungan dengan keberadaan spiritualitas. Efek tidak terpenuhinya spiritualitas pada pasien yang tidak mempunyai kepercayaan dan keyakinan bisa mengalami keputusasaan karena tidak mengetahui tujuan hidupnya, distress spiritual dan dapat juga seseorang akan jauh lebih rentan terhadap depresi, stres, mudah gelisah, kehilangan motivasi yang mungkin membuat seseorang merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual mereka, tujuan hidup, jalan hidup seluruhnya dari makna hidupnya (Craven & Hirnle, 2009), sedangkan jika kebutuhan spiritual terpenuhi maka akan mengurangi kecemasan dan penurunan distress, individu akan lebih mampu memaknai masalah yang dihadapinya.

  Penelitian sebelumnya dari Mailani, Setiawan, Cholina (2015) menunjukkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis menggunakan pendekatan spiritualitas sebagai koping untuk menghadapi penyakit terminal yang dideritanya. Kedekatan dengan Tuhan, dukungan dari keluarga dan lingkungan menjadi penguatan dan meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh.

  Pengkajian spiritualitas yang dilakukan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tanggal 9 Februari 2018 di ruang hemodialisis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo pada 5 pasien yang terdiri dari 2 laki-laki dan 3 perempuan mengenai spiritualitas mereka, mengatakan bahwa mereka sudah menjalani hemodialisis selama 2 tahun dan secara rutin melakukan pencucuain darah atau hemodialisis, hasil wawancara pada pasien 2 laki-laki dan 3 perempuan terdapat perbedaan tingakat spiritualitas mereka dalam menghadapai penyakit yang mereka derita. Pada beberapa pasien mengatakan setelah terkena diagnosa gagal ginjal kronis dan harus menjalani hemodialisis aktivitas keseharian mereka menjadi terbatasi dan berkurang intensitasnya hal tersebut juga dikarenakan respon fisiologis yang terdapat pada pasien hemodialisis yang cenderung lemah, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktivitas keseharian seperti waktu sehat. Mereka juga mengatakan dalam hal beribadah dan bersosialisasi menjadi terbatas karena kelemahan fisik sehingga berpengaruh pada hubungan mereka kepeda Tuhan dan hubungan kepada sesama. Hasil wawancara yang dilakukan pada 5 pasien ditemukan bahwa sebanyak 3 orang memiliki spiritualitas yang kurang baik dan 2 orang memiliki spiritualitas yang baik.

  Koenig mencatat bahwa 39 dari 52 penelitian yang meneliti tingkat spiritualitas dan kematian pada berbagai populasi pasien, menyatakan pasien yang lebih religius bertahan hidup lebih lama. Powell dkk mencatat penurunan 25% angka kematian pada pasien yang aktif mengikuti acara keagamaan. Penelitian tersebut mengarahkan adanya asosiasi antara spiritualitas, hubungan pasien ke penyedia layanan kesehatan, kualitas kehidupan, kepatuhan pasien dan penanda inflamasi. Studi terbaru menunjukkan hubungan antara kualitas yang dipilih dari domain kehidupan, seperti depresi, dan penanda inflamasi, baik umum medis dengan perkembangan pasien gagal ginjal, (Finkelstein, et al. 2007).

  Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengambil masalah penelitian tentan g “Gambaran aspek kesejahterahan spiritual pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto”.

  Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas peneliti tertarik untuk mene liti tentang, “Bagaimanakah gambaran aspek kesejahterahan spiritual pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto?”.

C. Tujua Penelitian

  1. Tujuan umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji gambaran kesejahteraan spiritual pada pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

  2. Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

  a. Mengetahui gamabaran demografi responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pendididkan, pekerjaan, status pernikahan, dan lamanya terdiagnosa pada pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

  b. Mengetahui gambaran kesejahteraan spiritual pada pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisis di RSUD Prof. Dr.

  Margono Soekarjo Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan media penerapan ilmu pengetahuan yang telah di dapatkan dalam teori dan manambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman baru bagi peneliti khususnya gambaran kesejahteraan spiritual pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.

  Bagi responden penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bahan evaluasi bagi para penderita penyakit gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.

  2. Instansi Terkait (Bidang Keperawatan)

  a. Komite Keperawatan Pengembangan tindakan mandiri keperawatan, khususnya dalam manajemen perawatan pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis , hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam pelaksanaaan tindakan perawat sehari-hari terhadap pasien hemodialisis.

  b. Organisasi profesi Dapat digunakan sebagai patokan atau standar dasar pada gambaran kesejahteraan spiritual pasien hemodialisis, di ruang dialisis dan mempermudah dalam pendokumentasian dan mengevaluasi keadaan spiritualitas pasien secara tepat dan efektiv.

  3. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi:

  a. Mahasiswa Diharapkan dapat digunakan sebagai penunjang dalam referensi ilmu dan dapat menambah khasanah pustaka tentang gambaran spiritualitas pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.

  b. Perawat ruangan Penelitian ini dapat digunakan oleh perawat dalam pelaksanaan pengkajian spiritualitas, mempermudah dalam mengidentifikasi keadaan spiritual dan mempercepat dalam proses pengkajiannya serta mempermudah perawat dalam pengambilan keputusan tindak lanjut.

  c. Bagi peneliti selanjutnya Sebagai dasar atau kajian awal bagi peneliti lain yang ingin meneliti permasalahan yang sama sehingga mereka memiliki landasan dan alur yang jelas.

E. Penelitian Terkait

  1. Fitri Mailani, Setiawan, Cholina T. S, (2015) meneliti “Pengalaman Spiritualitas pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik

  yang Menjalani Hemodialisis”

  Spiritualitas merupakan aspek yang sangat penting bagi pasien yang menderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi spiritualitas pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini merupakan studi fenomenologi deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang yang berasal dari unit hemodialisis RSUP H.Adam Malik dan RSU dr. Pirngadi Medan dengan kriteria partisipan berusia lebih dari 18 tahun, menjalani hemodialisis lebih dari 3 bulan, kesadaran compos mentis dan reguler menjalani hemodialisis 2 kali seminggu. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan Colaizzi. Dari hasil analisis penelitian di temukan 4 tema yang mencerminkan fenomena yang diteliti.

  Tema-tema tersebut antara lain adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, dukungan dari orang terdekat, mempunyai harapan besar untuk sembuh, dan menerima dengan ikhlas penyakit yang diderita.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis . Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya menggunakan in deepth interview atau wawancara mendalam.

  2. Büssing, Michalsen, Balzat, Grünther, Ostermann, Neugebauer, Matthiessen (2009) meneliti

  “Are Spirituality and Religiosity Resources for Patie nts with Chronic Pain Conditions?”

  Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pasien bergantung pada sumber pengendalian penyakit dan sumber daya eksternal yang luar biasa pada kekuatan internal dan kebajikan, sementara Trust in Higher Source (religiusitas intrinsik) atau Penyakit sebagai Kesempatan (penilaian ulang) dinilai cukup. Mencari Dukungan / Akses yang Berarti (orientasi pencarian spiritual) adalah relevansi kecil. Analisis regresi bertahap menunjukkan bahwa sumber internal pengendalian penyakit, seperti Sadar dan Cara Hidup Sehat dan Sikap Positif, adalah (selain dari denominasi agama) prediktor terkuat ketergantungan pasien terhadap spiritualitas / religiusitas. Kedua gaya perilaku dinilai secara signifikan lebih rendah pada pasien yang menganggap dirinya tidak religius maupun spiritual. Interpretasi penyakit positif seperti Challenge and Value jelas terkait dengan orientasi pencarian spiritual dan religiositas intrinsik.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien penyakit kronis . Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya mengkaji aspek spiritual pada pasien dengan penyakit kronis dengan menggunakan format SpREUK.

  3. Bredle, Salsman, Debb, Arnold, and Cella, (2011) meneliti tentang

  “Spiritual Well-Being as a Component of Health-Related

Quality of Life: The Functional Assessment of Chronic Illness

Therapy —Spiritual Well-Being Scale (FACIT-Sp)”

  • Penilaian Fungsional Terapi Penyakit Kronis Kesejahteraan Spiritual (FACIT-Sp-12) adalah kuesioner 12 item yang mengukur kesejahteraan spiritual pada orang dengan kanker dan penyakit kronis lainnya. Pasien kanker, psikoterapis, dan religius / spiritual Pakar memberikan masukan tentang perkembangan barang. Itu sudah divalidasi dengan besar, sampel beragam secara etnik. Telah berhasil digunakan untuk menilai kesejahteraan spiritual di berbagai tradisi keagamaan, termasuk mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai "Spiritual namun tidak religius." Bagian dari sistem pengukuran FACIT yang lebih besar yang dinilai Kualitas hidup terkait multidimensi (HRQOL), FACIT-Sp-12 telah ada diterjemahkan dan bahasa divalidasi dalam 15 bahasa dan telah digunakan dalam puluhan studi yang meneliti hubungan antara kesehatan spiritual, kesehatan, dan penyesuaian penyakit.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien dengan menggunkan FACIT-Sp.

  Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya mengkaji aspek spiritual pada pasien dengan penyakit kanker.

  4. Afifah dan Milatul, (2017) meneliti

  “Spiritual Pasien Paliatif Di Rs PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta”

  Spiritualitas adalah aspek penting dari perawatan paliatif. Membentuk kebutuhan spiritual kepada pasien dapat meningkatkan kualitas hidup penderita penyakit kronis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status spiritual pasien paliatif di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen yang menggunakan metode penelitian survei deskriptif. Sampel dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik sampling total dengan batas waktu 100 responden. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner FACIT-Sp yang telah diterjemahkan ke Indonesia dan telah diuji Validity (r = 0,50) dan Reliability (r = 0,768). Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa tingkat spiritual pasien paliatif di RS PKU Muhammadiyah Gamping dengan nilai mean 36, 79 (0-48) dan komponen spiritual terdiri dari mean, faith and peace diperoleh nilai mean masing-masing komponen adalah 12,26; 12,85 dan 11,68 (0-16). Status spiritual pasien paliatif di Rumah Sakit Muhammadiyah Gamping Yogyakarta, dalam kategori makna, iman, kedamaian dan tingkat spiritual sebagian besar telah melewati titik potong, hal itu menunjukkan bahwa pasien paliatif menuju pada spiritual yang baik.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien menggunakan format FACIT-Sp.

  Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya mengkaji aspek spiritual pada pasien paliatif.

  5. Lestari dan Safuni (2015), meneliti

  “Pemenuhan Kebutuhan

Spiritual Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rumah Sakit

Umum Aceh”

  Pemenuhan kebutuhan spiritual sangat dibutuhkan oleh pasien untuk meningkatkan perilaku koping. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang komprehensif harus dapat memenuhi kebutuhan spiritual pasien untuk membantu pasien mempertahankan perasaan kesejahteraan spiritualnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang ditinjau dari hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan alam. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan desain cross sectional study. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yaitu sebanyak 35 orang responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebanyak 22 pernyataan menggunakan skala likert dengan metode wawancara terpimpin. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat.Hasil penelitian didapatkanpemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien gagal ginjal kronik berada pada kategori kurang baik (51,4%)yang terdiri dari hubungan dengan Tuhan berada pada kategori baik (51,4%) hubungan dengan diri sendiri pada kategori kurang baik (57,1%) hubungan dengan orang lain pada kategori kurang baik (57,1) hubungan dengan alam pada kategori kurang baik (65,7%). Diharapkan bagi para perawat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terkait pemenuhan kebutuhan spiritual sehingga pasien dapat beradaptasi dengan baik terhadap penyakitnya.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya mengkaji dengan format kuisioner yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan.

  6. Ain, (2015) meneliti

  “Hubungan Spiritual Wellbeing Terhadap

Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Ruang

Hemodialisis Di Rsud Raa. Soewondo Pati”

  Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal pada kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme keseimbangan cairan dan elektrolit. Angka kejadian PGK di RSUD RAA. Soewondo Pati pada bulan Juli sampai September 2014 terdapat 225 pasien. Hemodialisis atau cuci darah merupakan salah satu upaya untuk menurunkan resiko kerusakan organ-organ vital pada pasien PGK. Tindakan hemodialisis berlangsung seumur hidup sehingga sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien PGK. Spiritual wellbeing merupakan suatu alat ukur untuk menilai seberapa baik individu berupaya menghadapi persoalan hidup dan beradaptasi dalam kesehatan dengan hasil yang sama atau bahkan lebih besar. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan spiritual wellbeing terhadap kualitas hidup pasien PGK. Metode : Penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 70 orang pasien PGK yang telah memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner FACIT-Sp-12 dan WHOQOL-BREF. Data yang diperoleh dengan uji korelasi Rank Spearman. Hasil : Hasil uji Rank Spearman diperoleh nilai koefisien korelasis (r) = 0,804 dengan nilai p value = 0,000, menunjukkan ada hubungan yang sangat kuat antara spiritual wellbeing dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik di ruang hemodialisis RSUD RAA. Soewondo Pati.

  Persamaan dalam penelitian ini sama sama mengkaji tentang aspek spiritual pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dengan menggnakan format FACIT-Sp. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian ini yaitu peneliti sebelumnya mengkaji spiritualitas dan kualitas hidup pasien.