BAB I PENDAHULUAN - BAB I VI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem hidrologi dalam suatu wilayah daratan dimana secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai. Kondisi DAS sangat tergantung dari kondisi air, tanah, dan lingkungan serta interaksi manusia terhadap DAS tersebut. Karakteristik DAS yang baik dapat dilihat dari kemampuannya menahan butiran hujan yang jatuh ke permukaan lahan, agar tidak langsung menjadi limpasan permukaan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan resapan DAS adalah kerapatan tutupan vegetasi yang biasanya terkait dengan kondisi kesehatan lingkungan DAS. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan dan perumahan merupakan suatu fenomena yang sering terjadi dalam kerusakan lingkungan.
Perubahan penggunaan lahan tersebut tentunya menimbulkan pula percepatan degradasi tanah melalui erosi tanah. Erosi adalah hasil pengikisan permukaan bumi oleh tenaga yang melibatkan pengangkatan benda-benda, seperti air mengalir, es, angin, dan gelombang atau arus. Secara umum, terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (terutama intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah, dan penggunaan lahan.
Pada aktivitas pembersihan vegetasi penutup tanah akan menyebabkan permukaan lahan menjadi terbuka dan rawan terhadap erosi tanah, hal ini bila musim hujan tiba maka aliran air permukaan meningkat dan menyebabkan erosi yang membawa partikel tanah masuk ke dalam badan air. Suripin (2004), menyatakan bahwa di daerah-daerah tropis yang lembab seperti Indonesia dengan rata-rata curah hujan melebihi 1500 mm per tahun maka air merupakan penyebab utama terjadinya erosi. Faktor yang mempercepat proses terjadinya erosi adalah kegiatan manusia dalam usaha produksi pertanian maupun kegiatan kehidupan lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam secara tidak bertanggung jawab (Arsyad, 2010).
Secara geografis, DAS Krueng Seunagan terletak antara 04 01’16.987” – 04 26’0.940”LU dan 96 11’45.417” – 96 51’4.000” BT, secara administratif DAS Krueng Seunagan terletak di Kabupaten Nagan Raya, dengan luas DAS
2
995,86 Km Untuk lebih jelasnya peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran A Gambar A.1.1 Halaman 36.
Perkiraan laju erosi dapat dilakukan dengan pendekatan Universal Soil Loss
Equation (USLE), metode pendekatan USLE ini juga banyak dikombinasiakan
dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Kartasasmita (2001), menjelaskan SIG merupakan suatu sistem yang mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan (mengedit, memanipulasi, menyetarakan format, dan lain sebagainya). Widjoyo dalam Bagja (2002), juga menjelaskan SIG sebagai suatu sistem yang mampu mendeskripsikan obyek-obyek di permukaan bumi dalam tiga hal yaitu: data spasial yang berkaitan dengan koordinat geografi (lintang, bujur, ketinggian), data atribut yang tidak berkaitan dengan koordinat geografi (iklim, jenis tanah), serta hubungan data spasial, data atribut dan waktu.
Dari hasil analisis perkiraan laju erosi di DAS Krueng Seunagan dengan menggunakan persamaan USLE maka di dapat beberapa variasi laju erosi yang tersebar di 228 polygon, dengan nilai laju erosi terbesar terjadi pada bagian polygon 180, 181, 182, dan 183 yaitu dengan laju erosi sebesar 2858,469 ton/ha/ tahun dengan nilai tingkat bahaya erosi 105,869 dikategorikan sangat tinggi. Dan laju erosi terkecil terjadi pada polygon 176, 184, 185, dan 186 yaitu dengan laju erosi sebesar 0 dengan nilai tingkat bahaya bahaya erosi juga 0 yang dikategorikan sangat rendah. Dari hasil analisis perkiraan laju erosi di DAS Krueng Seunagan dengan menggunakan persamaan USLE maka di dapat beberapa variasi laju erosi yang tersebar di 228 polygon, dengan nilai laju erosi terbesar terjadi pada bagian polygon 180, 181, 182, dan 183 yaitu dengan laju erosi sebesar 2858,469 ton/ha/tahun. Dan laju erosi terkecil terjadi pada polygon 176, 184, 185, dan 186 yaitu dengan laju erosi sebesar 0. Hasil dari penelitian tingkat bahaya erosi di dapat 4 kejadian erosi pada DAS ini, yaitu rendah 53,509%, sedang 2,193%, tinggi 6,579%, dan sangat tinggi 37,719%.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berapa besar sebaran erosi lahan yang terjadi pada DAS Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya?
2. Berapa besar tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi pada DAS Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui berapa besar sebaran erosi lahan yang terjadi pada DAS Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya?
2. Untuk mengetahui berapa besar tingkat bahaya erosi (TBE) yang terjadi pada DAS Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya?
1.4 Batasan Masalah
Untuk menghindari penelitian terlalu luas dan terbatasnya waktu, maka ruang lingkup dalam penelitian akan menitik beratkan pada beberapa hal yaitu:
1. Penelitian ini difokuskan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya.
2. Hanya menghitung laju erosi serta tingkat bahaya erosi dan tidak dilakukan usaha konservasi.
1.5 Hasil Penelitian dan Manfaat penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju erosi yang terjadi di DAS Krueng Seunagan dengan laju erosi yang terbesar terjadi di bagian polygon 180, 181, 182, dan 183 yaitu sebesar 2858,469 ton/ha/tahun, dan laju erosi terkecil terjadi di bagian polygon 176, 184, 185, 186 yaitu sebesar 0. Berdasarkan analisis TBE yang dilakukan dengan membandingkan erosi yang terjadi dengan erosi yang ditoleransi (TSL) yang dilihat beberapa kriteria TBE dimana ada 4 kriteria yang dihasilkan dari analisis TBE tersebut, yaitu TBE sangat tinggi terjadi pada polygon 19,33, 34, 40, 50, 51, 72, 87, 88 ,89, dst. Untuk TBE kriteria tinggi ada pada polygon 98, 99, 100, 101, 102, 103, dst. Untuk TBE kriteria sedang terjadi pada polygon 75, 97, 121, dst. Dan untuk TBE kriteria rendah terjadi pada polygon 1, 2, 3, 4, 5, 6, dst. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran B Tabel B.4.4 Halaman 53.
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat memberikan informasi seberapa besar sebaran erosi dan tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Krueng Seunagan.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Daerah Aliran Sungai
Dunne dan Leopold (1978), menyatakan Daerah aliran sungai (DAS) sebagai hamparan wilayah yangdibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet).
Menurut Asdak (2002), ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu,tengah,dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar dari 15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominsi hutan gambut/ bakau.
DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Perubahan tataguna lahan dibagian hulu DAS seperti reboisasi, pembalakan hutan, deforestasi, budidaya yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi akan berdampak pada bagian hilirnya, sehingga DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan dari segi tata air. Oleh karena itu yang menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS sering kali DAS bagian hulu, mengingat adanya keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. Disamping itu DAS mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanyaseperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tataguna lahan.
Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Seyhan, 1977).Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses yang dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface
runoff), aliran bawah permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah
(groundwater flow). Ketiga jenisaliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya membawa sedimen dalam air sungai tersebut. Selanjutnya, karena daerah aliran sungai dianggap sebagai sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dalam DAS (Grigg, 1996).
Bagian hilir dari DAS pada umumnya berupa kawasan budidaya pertanian, tempat pemukiman (perkotaan), dan industri, serta waduk untuk pembangkit tenagalistrik, perikanan dan lain-lain. Daerah bagian hulu DAS biasanya diperuntukan bagi kawasan resapan air. Dengan demikian keberhasilan pengelolaan DAS bagian hilir adalah tergantung dari keberhasilan pengelolaan kawasan DAS pada bagian hulunya. Kerusakan DAS dapat ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya frekuensi kejadian banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan sedimentasi. Kondisi ini disebabkan belum tepatnya sistem penanganan dan pemanfaatan DAS (Brooks et al, 1989).
2.2 Erosi
Di daerah beriklim basah seperti di Indonesia kerusakan lahan oleh erosi terutama disebabkan oleh hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air sangat membahayakan tanah-tanah pertanian di Indonesia, terutama yang terletak di daerah dengan kemiringan yang besar. Selain iklim dan kemiringan lahan (topografi), besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan manusia. Arsyad (1989), mengemukakan bahwa faktor tanah yang diduga mempengaruhi erosi adalah : (a) luas jenis tanah yang peka erosi, (b) luas tanah kritis atau daerah erosi, dan (c) luas tanah dengan kedalaman tertentu. Cook (1936) dalam Renard, et al (1996), menyimpulkan tiga faktor utama yang mempengaruhi erosi yaitu : 1) kepekaan tanah untuk tererosi, 2) potensi erosivitas hujan dan aliran permukaan serta 3) perlindungan tanah oleh tutupan tajuk vegetasi.
2.3 Proses Terjadinya Erosi
Dua penyebab utama terjadinya erosi adalah erosi karena sebab alamiah dan erosi karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alamiah umumnya masih memberikan media yang memadai untuk berlangsungnya pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sedangkan erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengidahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah, antara lain, pembuatan jalan di daerah dengan kemiringan lereng besar.
Erosi tanah terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan.
2.4 Bentuk-Bentuk Erosi
2.4.1 Erosi percikan (Flash erosion)
Erosi percikan adalah terlepas dan terlemparnya partikel-partikel tanah dari massa tanah akibat pukulan butiran air hujan secara langsung. McIntyre
(1958), menyatakan bahwa proses erosi percikan terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) terjadinya penggemburan yang cepat pada permukaan tanah sehingga kohesinya menurun, akibatnya laju erosi percikan akan meningkat; (2) terjadinya pemadatan permukaan akibat pukulan butir air hujan sehingga terbentuk lapisan kerak (crust) tipis yang akan menurunkan jumlah partikel tanah yang terlempar ke udara dan meningkatkan akumulasi air permukaan; (3) terjadinya turbulensi aliran permukaan yang mampu mengangkut sebagian lapisan kerak pada permukaan tanah.
2.4.2 Erosi aliran permukaan (Overland flow erosion)
Erosi aliran permukaan akan terjadi hanya dan jika intensitas dan/atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpan air tanah. Mengingat bahwa aliran permukaan terjadi tidak merata dan arah alirannya tidak beraturan, maka kemampuan untuk mengikis tanah juga tidak sama atau tidak merata untuk semua tempat.
Faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi permukaan adalah kecepatan dan turbulensi aliran. Pada kecepatan rendah dan aliran tenang, aliran permukaan cenderung tidak menyebabkan terjadinya erosi. Sebaliknya pada batas kecepatan tertentu aliran permukaan akan mampu mengikis permukaan tanah, hal mana bila terjadi bila energi aliran permukaan melebihi daya tahan tanah. Kecepatan aliran permukaan pada saat mulai mampu mengikis permukaan tanah disebut kecepatan ambang, dimana besarnya sangat tergantung pada ukuran partikel tanah (Hjulstrom, 1935).
2.4.3 Erosi alur (rill erosion)
Erosi alur terbentuk pada jarak tertentu ke arah bawah lereng sebagai akibat terkonsentrasinya aliran permukaan sehingga membentuk alur-alur kecil. Jika alur-alur yang terbentuk merupakan alur baru, maka alur-alur tersebut tidak selalu saling berkaitan dengan alur yang terbentuk sebelumnya. Kebanyakan sistem alur tidak menerus, tidak mempunyai hubungan dengan sungai induk. Hanya kadang-kadang induk alur berkembang menjadi saluran permanen dan menyambung ke sungai.
Alur-alur biasanya terjadi pada lahan-lahan yang ditanami dengan pola berbaris menurut arah kemiringan lereng, atau akibat pengolahan tanah menurut lereng atau bekas tempat menarik balok-balok kayu (Arsyad, 1989).
2.4.4 Erosi parit/selokan (gully erosion)
Proses terjadinya erosi parit, atau yang dikenal juga sebagai ravine, sama dengan erosi alur, sehingga pada mulanya erosi parit ini dianggap sebagai perkembangan lanjut dari erosi alur. Dibandingkan dengan sungai-sungai yang stabil, yang profilnya relatif halus, parit ditandai adanya potongan depan, tangga atau tintik-titik penyempitan sepanjang alurnya. Parit juga mempunyai kedalaman yang relatif besar dengan lebar yang sempit, menyangkut beban sedimen yang tinggi dan sangat tidak teratur, sehingga korelasi antara debit sedimen dan aliran biasanya jelek (Heede, 1975). Parit hampir selalu berkaitan erat dengan percepatan erosi disertai dengan ketidakstabilan penampakan muka tanah.
2.4.5 Erosi tebing sungai (Stream bank erosion)
Erosi tebing sungai adalah erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air sungai yang kuat terutama pada tikungan-tikungan. Erosi tebing juga akan lebih hebat jika tumbuhan penutup tebing telah rusak atau pengolahan lahan terlalu dekat dengan tebing.
2.4.6 Erosi internal (Internal or subsurface erosion)
Erosi internal adalah proses terangkutnya partikel-partikel tanah ke bawah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat adanya aliran bawah permukaan. Akibat erosi ini tanah menjadi kedap air dan udara, sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi alur. Pengaruh erosi sebenarnya tidak menyebabkan kerusakan langsung yang berarti. Roose dalam Suripin (2002), menyatakan dalam studinya di Senegal menunjukkan bahwa erosi aliran bawah permukaan hanya menghasilkan lebih kurang 1 % dari material yang tererosi dari lereng bukit.
2.4.7 Tanah longsor (land slide)
Tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Berbeda dengan jenis erosi yang lain pada tanah longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam jumlah yang besar. Arsyad (1989), menyatakan bahwa longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah diatas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air.
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Erosi
2.5.1 Iklim Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh langsung adalah melalui tenaga kinetik air hujan, terutama intensitas
dan diameter butiran air hujan. Hujan yang intensif dan berlangsung dalam waktu
pendek, erosi yang terjadi biasanya lebih besar dari pada hujan dengan intensitas
lebih kecil dengan waktu berlangsungnya hujan lebih lama. Pengaruh iklim tidak
langsung ditentukan melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetasi, dengan
kondisi iklim yang sesuai, vegetasi dapat tumbuh secara optimal. Sebaliknya,
pada daerah dengan perubahan iklim besar, misalnya di daerah kering,
pertumbuhan vegetasi terhambat oleh tidak memadainya intensitas hujan, tetapi
sekali hujan turun, intensitas hujan tersebut umumnya sangat tinggi (Asdak,
2002).Proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat
tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar dari
pada daya tahan tanah. Hancuran dari tanah ini akan menyumbat pori-pori tanah,
maka kapasitas infiltrasi tanah akan menurun dan mengakibatkan air mengalir di
permukaan tanah dan disebut sebagai limpasan. Limpasan permukaan mempunyai
energi untuk mengikis dan mengangkut pertikel-partikel tanah yang telah
dihancurkan. Selanjutnya jika tenaga limpasan permukaan sudah tidak mampu
lagi mengangkut bahan-bahan ini akan diendapkan. Dengan demikian ada tiga
proses yang bekerja secara berurutan dalam proses erosi, yaitu diawali dengan
penghancuran agregat-agregat, pengangkutan, dan diakhiri dengan pengendapan
(Utomo, 1989).2.5.2 Tanah Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan
organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Berbagai
tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan
erosi tanah atau mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi
sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang
mempengaruhi erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi infiltrasi,
permeabilitas, dan kapasitas menahan air, dan (2) sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi ketahanan struktur, terhadap dispersi, dan penghancuran agregat
tanah oleh tumpukan butir-butir hujan dan aliran permukaan (Arsyad S, 2010).Menurut Asdak (2002), Empat sifat tanah yang penting dalam menentukan
erodibilitas tanah (mudah tidaknya tanah tererosi) adalah tekstur tanah, unsur
organik, struktur tanah, permeabilitas tanah.2.5.3 Topografi Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan
karakteristik topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut penting
untuk terjadinya erosi karena faktor-faktor tersebut menentukan besarnya
kecepatan dan volume air larian. Kecepatan air larian yang besar umumnya
ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta
terkonsentrasi pada saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi besar untuk
terjadinya erosi alur dan erosi parit. Kedudukan lereng juga menentukan besar
kecilnya erosi. Lereng bagian bawah lebih mudah tererosi dari pada lereng bagian
atas karena momentum air larian lebih besar dan kecepatan air larian lebih
terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Daerah tropis dengan
topografi bergelombang dan curah hujan tinggi sangat potensial untuk terjadinya
erosi dan tanah longsor (Asdak, 2002).2.5.4 Vegetasi
Vegetasi merupakan lapisan pelindung atau penyangga antara atmosfer
dan tanah. Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau
rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap
erosi. Bagian vegetasi yang ada diatas permukaan tanah, seperti daun dan batang,
menyerap energi perusak hujan, sehingga mengurangi dampaknya terhadap tanah.
Sedangkan bagian vegetasi yang ada didalam tanah, yang terdiri atas sistem
perakaran akan meningkatkan kekuatan mekanik tanah (Styczen and Morgan,
1995 dalam Arsyad S, 2010).2.6 Perkiraan Laju Erosi Dengan Metode USLE
Dalam penelitian ini, untuk memprediksi laju potensi erosi suatu luasan permukaan lahan dilakukan dengan metode pendekatan parametrik “The
Universal Soil Loss Equation” (USLE), yang dikembangkan oleh Wischmeier dan
Smith (1978). Parameter-parameter utama yang mempengaruhi laju erosi dalam metode pendekatan USLE sesuai dengan persamaan berikut: A = R x K x LS x C x P
(2.1) Dimana :
A = Banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/thn) R = Faktor curah hujan (erosivitas hujan) K = Faktor erodibilitas tanah LS = Faktor panjang-kemiringan lereng C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
2.6.1 Faktor erosivitas hujan (R)
Faktor erosivitas hujan (R) didefinisikan sebagai jumlah satuan indeks erosi hujan dalam setahun. Nilai R yang merupakan daya rusak hujan dapat ditentukan dengan persamaan yang dilaporkan oleh Wischmeier, 1959 dalam (Renard, et.al.,1996) sebagai berikut:
EI
R = (2.2)
30 ∑
Dimana: R = Erosivitas hujan (KJ/ha/tahun) EI = Erosivitas hujan rata-rata tahunan
30 Untuk mendapatkan EI , Bols (1978), dalam penelitiannya di pulau jawa
30
dan Madura mendapatkan persamaan sebagai berikut:
0,526 1,211 -0,474
EI = 6,119 P x N x P (2.3)
30 b max
Dimana: EI = Erosivitas hujan rata-rata tahunan
30 P b = Curah hujan rata-rata tahunan (cm)
N = Jumlah hari hujan rata-rata per tahun (hari) P = Curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam perbulan untuk
max
kurun waktu satu tahun (cm)
2.6.2 Faktor erodibilitas tanah (K)
Asdak (2001), menyebutkan erodobilitas tanah merupakan faktor yang menunjukkan ketahan partikel tanah dalam pengelupasan tanah tersebut oleh adanya energi kinetik dari hujan yang jatuh. Adapun beberapa jenis tanah yang tersebar di Indonesia nilai K untuk erodibilitas tanah dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 nilai K untuk beberapa jenis tanah di Indonesia Sumber : Dari berbagai sumber penelitian.7 Kuning kemerahan latosol dan litosol 0,36
16 Komplek podsolik coklat, podsol dan litosol 0,301
15 Komplek rensing dan litosol 0,22
14 Organosol dan glehumus 0,47
13 Podsolik merah kuning 0,49
12 Latosol 0,17
11 Andosol 0,12
10 Litosol 0,22
9 Renzina 0,21
8 Mediteran 0,31
6 Komplek podsolik coklat dan litosol 0,43
Faktor indeks topografi L dan S yang masing-masing merupakan panjang dan kemiringan lahan terhadap besarnya erosi. Asdak (2001), menyebutkan panjang lereng mengacu pada aliran permukaan, yaitu lokasi yang akan terjadi erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Pada umumnya kemiringan lereng dianggap sebagai faktor yang seragam.
5 Komplek podsolik merah kuning, latosol dan litosol 0,36
4 Komplek mediteran dan litosol 0,46
3 Grumusol 0,20
2 Alluvial 0,47
1 Regosol 0,40
No Jenis Tanah Nilai K
2.6.3 Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
)/6,61 (2.4) Dimana:
2
(Schwab et al., 1981): S = (0,43 +0,30 s + 0,04 s
Dalam perkiraan laju erosi yang menggunakan persamaan USLE faktor panjang (L) dan kemiringan lahan (S) diintegrasikan sebagai faktor LS. Faktor kemiringan lereng S didefinisikan secara matematis sebagai berikut
s = kemiringan lereng aktual (%)
Seringkali dalam perkiraan erosi menggunakan persamaan USLE komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) dihitung dengan rumus: LS = L
1/2
(0,00138 S
2
- 0,00965 S + 0,0138) (2.5) Dimana:
L = Panjang lahan (m) S = Kemiringan lahan (%) Untuk menghitung panjang lahan (L) dan kemiringan lahan (S) akan digunakan alat bantu (tool) yang terdapat pada Sistem Informasi Geografis (SIG).
2.6.4 Faktor pengelolaan tanah (C)
Asdak (2001), menyebutkan faktor penutup lahan merupakan faktor yang menunjukkan secara keseluruhan dari pengaruh vegetasi, kondisi permukaan tanah dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang (tererosi). Nilai faktor C dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai C untuk berbagai jenis tanamanJenis tanaman/ tata guna lahan Nilai C
Tanah terbuka, tanpa tanaman 1,0 Savannah dan prairie dalam kondisi baik 0,01 Savannah dan prairie yang rusak untuk gembalaan 0,1 Sawah
0,01 Pemukiman
0,000 Pertanian lahan kering
0,400 Perkebunan karet
0,85 Pertanian lahan kering campur 0,1 Hutan lahan kering primer
0,001 Hutan lahan kering sekunder 0,005 Belukar rawa
0,010 Belukar
0,3 Perkebunan
0,200 Tubuh air
0,00 Perladangan
0,4 Kopi dengan penutup tanah buruk 0,2 Tebu
0,2 Pisang
0,6 Sumber : Dari berbagai penelitian.
2.6.5 Faktor pengelolaan dan konservasi tanah (P)
Asdak (2002), menyebutkan Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat tindakan khusus konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor penyebab erosi yang lain diasumsikan tidak berubah. Nilai faktor P pada berbagai aktivitas konservasi tanah dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 faktor P pada berbagai aktivitas konservasi tanah di jawa.Teknik konservasi tanah Nilai P
Tanpa tindakan pengendalian erosi
1 Teras gulud : ketela pohon 0,06
Teras gulud : jagung-kacang+mulsa sisa tanaman 0,01 Teras gulud : kacang kedelai
0,11 Tanaman dalam kontur:
a. kemiringan 0-8% 0,50
b. kemiringan 9-20% 0,75 c. > 20% 0,90
Tanaman dalam jalur-jalur: jagung-kacang tanah +mulsa limbah jerami
Sumber : Arsyad, S. (1989)
Tabel 2.4 Kriteria tingkat bahaya erosi (TBE)Surbakti (2009), menyatakan nilai laju erosi yang bisa ditoleransi untuk wilayah Sumatra adalah berkisar antara 27 – 29 ton/ha/tahun. Untuk kriteria tingkat bahaya erosi (TBE) dapat dilihat pada tabel 2.5.
A = Besar erosi tanah potensial (ton/ha/tahun) TSL = Erosi yang masih dapat ditoleransi (ton/ha/tahun)
(2.6) Dimana:
A TSL
TBE =
Asdak (2002), menyatakan tingkat bahaya erosi (TBE) pada dasarnya dapat diperkirakan dengan nisbah antara laju erosi lahan potensial (A) dengan laju erosi yang masih dapat ditoleransi (TSL), dan untuk perhitungannya dapat dihitung dengan persamaan berikut (Hammer, 1981):
b. Jelek 0,04 0,40
a. 6 ton/ha/thn
a. Baik
Padang rumput:
b. Disertai penutup tanah sedang 0,10 0,50
a. Disertai penutup tanah rapat
Tanaman perkebunan:
c. 1 ton/ha/thn 0,05 0,30 0,50 0,80
b. 3 ton/ha/thn
2.7 Tingkat Bahaya Erosi
Nilai Kriteria
< 1,0 Rendah 1,10 – 4,00 Sedang 4,01 – 10,0 Tinggi >10,01 Sangat Tinggi
Sumber: Hammer (1981) dalam Surbakti (2009)
2.8 Penelitian Terdahulu
Hasibuan (2009), menganalisa pendugaan erosi lahan di DAS Deli dengan metode USLE berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli. Adapun metode yang digunakan untuk menetapkan besarnya erosi yang terjadi adalah
Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan memanfaatkan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Beberapa variable yang digunakan dalam metode ini adalah erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, dan penggunaan lahan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa DAS Deli mengalami 5 kejadian bahaya erosi, yaitu sangat ringan 26.239,627 ha (54,24 %), sedang 5.651,4 ha (11,68%), berat 1.552,2 ha (3,21%), dan sangat berat 532,610 ha (1,1%)
Ikhsan (2014), mangalisis tentang sebaran erosi lahan dan upaya konservasi DAS dengan sistem vetiver pada DAS Krueng Teungku. Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) dan dikombinasikan dengan GIS (Geographycal information
System). Hasil dari penelitian ini didapat beberapa variasi laju erosi yang tersebar
di 7 sub DAS. Laju erosi tertinggi yaitu sebesar 640,995 ton/ha/tahun dengan nilai tingkat bahaya erosi (TBE) sebesar 23,739 terjadi pada sub DAS 4 dimana dari hasil tersebut dikategorikan TBE tinggi dan sedang juga terjadi dibeberapa sub DAS. Sub DAS dengan kategori TBE rendah terjadi pada beberapa sub DAS, yaitu dengan laju erosi 0 yang terjadi pada tata guna lahan tambak dan pemukiman.
Tomy et al (2013), meneliti kajian tingkat bahaya erosi di beberapa penggunaan lahan di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) padang. Peneliti ini bertujuan untuk menghitung laju erosi yang masih dapat ditoleransikan (T) besarnya laju erosi tanah (A) dan tingkat bahaya erosi pada beberapa penggunaan lahan dikawasan hilir DAS Padang. Penelitian menggunakan metode survey dengan cara pengambilan sampel secara acak dengan metode eluster di 4 penggunaan lahan. Yaitu lahan kelapa sawit (20 tahun), lahan karet, lahan coklat, dan lahan ubi kayu. Metode yang digunakan dalam penelitian menggunakan metode USLE. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa erosi aktual tertinggi pada lahan karet adalah 374,298 ton/ha/thn, terendah pada lahan coklat adalah 17,960 ton/ha/thn, erosi yang ditoleransikan tertinggi pada lahan ubi kayu yaitu 28,250 ton/ha/thn, terendah pada lahan karet yaitu 23,750 ton/ha/thn, tingkat bahaya erosi tertinggi pada lahan karet yaitu 15,760 ton/ha/thn, terendah pada lahan coklat yaitu 0,718 ton/ha/thn.
Tabel 2.5 Rekapitulasi penelitian terdahulu.No Peneliti Judul Metode Tools Hasil
1 Hasibuan (2009) Pendugaan Erosi Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) deli dengan metode USLE berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Perkiraan
laju erosi
dengan persamaan USLE SIG Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa DAS Deli mengalami 5 kejadian bahaya erosi, yaitu sangat ringan 14.404,114 ha, ringan 26.239,627 ha, sedang 5.651,4 ha, berat 1.55,4 ha, dan sangat berat 532,610 ha.2 Ikhsan (2014) Analisis Sebaran Erosi Lahan dan Upaya Konservasi Perkiraan
laju erosi
dengan pendekatan USLESIG Hasil dari penelitian ini didapat beberapa variasi laju erosi yang tersebar di 7 sub DAS. Laju erosi tertinggi 640,995 ton/ha/tahun dengan DAS Dengan Sistem Vertiver (Studi Kasus DAS Krueng Teungku Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar) TBE 23,739, terjadi pada sub DAS 4 dimana dari hasil dikategorikan bahwa TBE pada sub DAS tersebut adalah sangat tinggi. Sub DAS dengan kategori TBE rendah terjadi pada beberapa sub DAS, yaitu dengan laju erosi 0 yang terjadi pada tataguna lahan tambak dan pemukiman.
3 Tomy et al (2013) Kajian Tingkat Bahaya Erosi di Beberapa Penggunaan Lahan di Kawasan Hilir DAS Padang Survey lapangan dengan metode
eluster di 4
penggunaanlahan. dan
Analisa laju
erosimenggunaka
n metode
USLE.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa erosi aktual tertinggi pada lahan karet adalah 374,298 ton/ha/ tahun, terendah pada lahan coklat adalah 17,960 ton/ha/ tahun, erosi yang ditoleransikan tertinggi pada lahan ubi kayu yaitu 28,250 ton/ha/tahun, terendah pada lahan karet yaitu 23,750 ton/ha/tahun,, tingkat bahaya erosi tertinggi pada lahan karet yaitu 15,760 ton/ha/ tahun, terendah pada lahan coklat yaitu 0,718 ton/ha/ tahun.
4 Penelitian ini Analisis Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Lahan Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Seunagan Kabupaten Nagan Raya.
Perkiraan
laju erosi
menggunaka
n metode
USLE SIG Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 228 polygon dengan laju erosi terbesar terjadi pada bagian polygon 180, 181, 182, dan 183 sebesar 2858,469 ton/ha/tahun, dengan TBE 105,869 dikategorikan sangat tinggi.BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bagian ini akan diuraikan mengenai metode pengumpulan data,
penyajiannya serta analisa data. Tahapan penelitian dapat dilihat pada bagan alir penelitian pada Lampiran A Gambar A.3.1 Halaman 37.
3.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan, peta topografi, peta jenis tanah, peta tataguna lahan, serta data kemiringan lahan. Data yang diperoleh tersebut merupakan data sekunder.
3.1.1 Data hujan
Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data curah hujan selama 10 tahun (2000-2009) yang didapatkan dari Stasiun Cut Nyak Dhien. Rekapitulasi data hujan dapat dilihat pada Lampiran B Tabel B.3.1 Halaman 41.
3.1.2 Peta jenis tanah
Peta jenis tanah diperoleh dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), merupakan peta yang menggambarkan jenis tanah yang ada pada wilayah DAS Krueng Seunagan. Peta jenis tanah dapat dilihat pada Lampiran A Gambar A.3.2 Halaman 38.
3.1.3 Peta tutupan lahan/tata guna lahan
Peta tutupan lahan diperoleh dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), merupakan peta yang menggambarkan tata guna lahan yang ada pada wilayah DAS Krueng Seunagan. Peta ini dapat dilihat pada Lampiran A Gambar A.3.3 Halaman 39.
3.1.4 Peta kemiringan lahan
Peta kemiringan lereng didapat dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), merupakan peta yang memberikan informasi kemiringan lereng pada wilayah DAS Krueng Seunagan. Peta ini dapat dilihat pada Lampiran A Gambar A.3.4 Halaman 40.
3.2 Metode Analisis Data
3.2.1 Analisis hidrologi
Analisis data hidrologi merupakan analisis dari data hujan dengan melakukan tabulasi curah hujan harian rata-rata tahunan. Berdasarkan data tersebut maka dilakukan analisis untuk mendapatkan hujan harian maksimum rata-rata tahunan untuk mendapatkan nilai erosivitas hujan.
3.2.2 Analisis laju erosi
Perkiraan laju erosi akan dihitung dengan pendekatan Universal Soil Loss
Equation (USLE), sebagaimana yang telah dikemukakan pada sub bab 2.6 pada
persamaan 2.1 Halaman 12, yaitu dengan memperhitungkan erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lahan serta faktor tutupan lahan dengan mengkombinasikan GIS sebagai alat bantu menganalisa data. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan pada bab II dengan mengacu pada bagan alir A.3.1 halaman 37, untuk menganalisis laju erosi parameter yang harus dianalisis adalah: a. Perhitungan erosivitas hujan (R).
Perhitungan erosivitas hujan merupakan salah satu faktor penting dalam perkiraan laju erosi. Adapun data awal untuk menghitung erosivitas hujan yaitu data curah hujan yang diperoleh selama 10 tahun (2000-2009) dari stasiun Cut Nyak Dhin. Erosivitas dihitung dengan persamaan 2.2 sampai 2.3 yang dapat dilihat pada Halaman 13.
b. Perhitungan faktor panjang dan kemiringan (LS).
Dalam menentukan panjang (L) dilakukan dengan alat bantu measure pada software SIG dan kemiringan lereng (S) di dapat dari peta kemiringan lahan. Selanjutnya perhitungan nilai slope dan nilai faktor panjang dan kemiringan lahan (LS) dihitung menggunakan persamaan 2.4 sampai 2.5 yang dapat dilihat pada Halaman 15, c. Pengelolahan faktor jenis tanah (K). Faktor pengelolaan jenis tanah didapat dari peta jenis tanah. Data jenis tanah yang berupa peta jenis tanah yang dilakukan analisis dengan SIG sehingga menghasilkan suatu tampilan gambar DAS Krueng Seunagan lengkap dengan jenis tanah yang digunakan untuk proses penentuan laju erosi.
d. Pengolahan faktor tataguna lahan (C)
Jenis tutupan lahan pada DAS ini di dapat dari peta tutupan lahan dalam format shp. Setelah di dapat nilai C untuk setiap polygon maka nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu nilai yang akan dianalisis untuk mendapatkan nilai erosi lahan pada DAS Krueng Seunagan.
e. Pengolahan faktor pengelolaan lahan (P).
Ada atau tidaknya aktivitas konservasi pada pengolaan lahan (P) sangat berpengaruh terhadap perkiraan laju erosi pada suatu lahan.
f. Perkiraan laju erosi
Perkiraan laju erosi dihitung dengan persamaan USLE seperti ada pada persamaan 2.1 yang dapat dilihat pada Halaman 12 yang nantinya akan menghasilkan nilai erosi yang ada pada DAS Krueng Seunagan.
3.3 Analisis Tingkat Bahaya Erosi
Tingkat bahaya erosi (TBE) diperkirakan dengan cara membandingkan erosi lahan yang terjadi (A) sesuai dengan perhitungan pada 2.1 dengan erosi yang ditoleransi. Perhitungan tingkat bahaya erosi (TBE) dapat dihitung dengan persamaan 2.6 yang dapat dilihat pada halaman 17. Dari hasil penelitian terdahulu dimana Surbakti (2009) memperoleh nilai erosi yang ditoleransi yaitu berkisar antara 27-29 ton/ha/tahun. Dari hasil perhitungan dan perbandingan tersebut didapat nilai TBE dengan pengelompokan sesuai kriteria yang telah disajikan pada bab II.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Bab ini akan disajikan hasil perhitungan dan pembahasan yang
berkenaan dalamanalisistingkat bahaya erosi lahan pada DAS krueng seunagan kabupaten nagan raya. Perhitungan dilakukan berdasarkan teori dan rumus-rumus serta metodologi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
4.1 Analisis Hidrologi
Analisis data hidrologi merupakan analisis dari data hujan dengan melakukan tabulasi curah hujan harian rata-rata tahunan. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan nilai erosivitas hujan (R).
4.2 Pengolahan Data Untuk Parameter USLE
Parameter USLE yang akan diolah secara spasial adalah peta jenis tanah, peta tataguna lahan, dan peta faktor kemiringan lahan. Parameter-parameter ini nantinya akan ditumpang susun untuk mendapatkan nilai erosi lahan.
4.2.1 Erosivitas hujan (R)
Curah hujan rata-rata tahunan diperoleh dengan menggunakan nilai jumlah curah hujan harian rata-rata perbulan, dengan hasil perhitungan 30,839 cm. Untuk lebih jelas nya dapat di lihat pada bagian tabel 4.1. Jumlah hari hujan diperoleh dari jumlah hari hujan perbulan, degan hasil perhitungan 15,342. Untuk lebih jelas nya dapat di lihat pada bagian tabel 4.2. Dan curah hujan maksimum diperoleh dari curah hujan maksimum perbulan, dengan hasil perhitungannya 16,5 cm. Untuk lebih jelas nya dapat di lihat pada bagian tabel 4.3.
Perhitungan nilai erosivitas hujan dihitung dengan rumus seperti yang tertera pada bab II dengan hasil perhitungan erosivitas hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Curah Hujan Bulanan Rata-RataP b (cm)
Bulan
Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
2000 278 263 334 388 319 261 340 150 190 476 255 499 312,750
2001 326 278 262 348 325 144 299 327 335 295 630 326 324,583
200246 89 234 150 278 259 164 351 375 199 401 217 230,250
2003 363 123 453 330 429 185 462 196 446 390 626 171 347,833
2004 485 346 384 424 157 142 122 565 271 365 709 333 358,583
2005 240 291 295 368 365 133 119 292 298 358 400 265 285,333
2006 130 322 325 235 80 220 312 374 502 360 516 187 380,250 2007 129 116 156 239 17975 215 495 263 582 154 357 246,667
2008 402 244 324 485 411 123 257 645 434 442 432 337 378,000
2009 125 210 291 287 203 146 256 226 359 211 171 151 219,667
308,392 mm 30,839 cm59
69
58
79
57
97 2002
15
17
98
43
86
97
39
97
47
37
83
42
98 2003
96
30
96
92
39
49 62 131
61
14
4
15
12
13
18
11 19 13,083 15,342 hari
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Hujan Maksimum Harian Rata-RataTahun Bulan P max (cm) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 2000 132
54
75
75
83
78
97
48
38
69 46 131 132 2001
64
89
58
78
70
42
16
96
41
31
37
50
37 60 101 35 135
42
94 135 2008 165 100
31
95
94
40 100 100
75
31 107 2007
77
69 165 2009
25
63 96 107 100
66
45
59
95
45
75
39
60
85 95 101
46