Penyakit Glasser’s pada Babi di Pulau Batam, Propinsi Riau
P RIADI et al.: Penyakit glasser’s pada babi di Pulau Batam, Propinsi Riau
Penyakit Glasser’s pada Babi di Pulau Batam, Propinsi Riau
DIN RIADI ATALIA OERNOMO
A P , L. N dan S. P
Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
(Diterima dewan redaksi 3 Nopember 2004)
ABSTRACT
RIADI ATALIA OERNOMOP , A., L. N and S. P . 2004. Glasser’s disease in swine in Batam Island, Riau Province. JITV 9(4): 266-271.
Glasser’s disease or Haemophilus parasuis in swine causes a considerable economic losses. This disease decreases farm
production due to high mortality. In a field investigation, H. parasuis serotype 12 was isolated from the lung of a ten week old
post weaning pig suffering from pneumonia in Bulan island, Riau Province. The isolation of H. parasuis in a pig herd showing
increasing mortality is the first reported in Indonesia. Antibiotic sensitivity test using disc diffusion methods, showed that the
isolate was sensitive to bacitracin, baytril, erythromycin and was resistance to neomycin, kanamycin, doxycyclin, ampicillin and
sulphamethoxazol-trimethoprim. Vaccination in weaned piglet using commercial inactivated vaccine was monitored using
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Crude extract of culture H. parasuis serotype 12 was used as the ELISA coating
antigen. There was no significant immune response detected by ELISA 3 months after vaccination.Key words: Glasser’s disease, swine, drug sensitivity, ELISA
ABSTRAK
RIADI ATALIA OERNOMO
P ,
A., L. N dan S. P . 2004. Penyakit Glasser’s pada babi di Pulau Batam, Propinsi Riau. JITV 9(4): 266- 271.
Penyakit Glasser’s atau infeksi Haemophilus parasuis pada peternakan babi menimbulkan kerugian ekonomi besar. Penyakit
ini menurunkan produksi peternakan karena tingginya tingkat kematian ternak babi. Dalam suatu investigasi, H. parasuis
serotipe 12 berhasil diisolasi dari paru-paru seekor babi lepas sapih berumur 10 minggu yang menderita pneumonia. di Pulau
Bulan, Propinsi Riau. Isolasi H. parasuis ini adalah yang baru pertama kali dilaporkan pada babi di Indonesia. Dari uji
sensitifitas terhadap antibiotik dengan menggunakan metode agar difusi, isolat H. parasuis tersebut sensitif terhadap baytril,
basitrasin, eritromisin dan resisten terhadap neomisin, kanamisin, doksisiklin, ampisilin dan sulfametoksazol-trimetoprim.
Monitoring respon vaksinasi dengan vaksin inaktif komersial pada babi lepas sapih dilakukan dengan menggunakan ELISA.
Ekstrak dari kultur H. parasuis serotipe 12 digunakan sebagai antigen pelapis dalam ELISA. Dari hasil ELISA, ternyata tidak
didapatkan reaksi kekebalan yang nyata sampai saat 3 bulan pasca vaksinasi.Kata kunci: Penyakit Glasser’s, babi, sensitifitas antibiotik, ELISA
PENDAHULUAN Staphylococcus sp. (T AYLOR , 1986; N
ICOLET , 1992; B LACKALL et al., 1996).
Penyakit ini menyerang semua umur babi, terutama
Haemophilus parasuis adalah bakteria yang umum ○
ditemukan pada saluran pernafasan bagian atas dari babi lepas sapih dengan tanda-tanda demam (40-41
C), babi. Beberapa galur bakteria ini menyebabkan sesak nafas, batuk, persendian bengkak, lumpuh dan penyakit Glasser’s yang dikarakterisasi dengan timpang jalannya. Babi dapat mati dalam waktu 2–5 hari, sedang yang sembuh, menderita artritis kronis, pembengkakan serosa (poliserositis) dan pneumonia
AYLOR
ICOLET batuk-batuk dan bronkitis (T AYLOR , 1986; B
IBERSTEIN ,
(T , 1986; N , 1992). Bakteri ini mudah mati dan sulit tumbuh karena memerlukan faktor dan 1990). Bedah bangkai menunjukkan adanya radang bahan tertentu untuk pertumbuhannya. Reisolasi bakteri otak, serositis, pleuritis, bronkopneumonia, perikarditis, sering tidak berhasil meskipun penyakit, gejala dan peritonitis dan artritis yang kadang-kadang merupakan kombinasi dari gejala-gejala tersebut atau gejala kelainan yang timbul pada babi sudah parah dan jelas
APP ABRIELSON tersebut berjalan masing-masing.
terlihat (R -G et al., 1997). H. parasuis Belum dapat dipastikan apakah bakteria ini adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek atau kokoid yang memerlukan nicotinamide adenine merupakan penyebab utama penyakit ataukah agen
dinucleotide (NAD) atau faktor V, untuk keperluan sekunder dalam penyakit pernafasan pada babi. H
hidupnya secara in-vitro. Pada agar darah domba tidak parasuis biasanya merupakan penyebab utama penyakit pada peternakan babi yang telah terinfeksi Porcine menghasilkan hemolisa dan membentuk koloni satelit
Reproductive and Respiratory Syndrome Virus
(fenomena satelit) jika digores dengan biakan
(P OERNOMO et al., 1997b). Kuman Escherichia coli ATCC 25922 adalah sebagai kontrol terhadap media dan antimikroba yang dipakai.
LACKALL
Sampel swab, jaringan paru-paru dipotong kecil- kecil masing-masing dimasukkan dan disuspensikan ke dalam media Trypton Soya broth (kaldu TS). Sampel kemudian dihaluskan dengan stomacher 80. Suspensi
swab dan paru-paru ini ditumbuhkan pada media agar
darah dan media agar coklat yang juga digoreskan dengan Staphylococcus hycus sebagai feeder culture, dan dieramkan pada suhu 37
○
C dalam kondisi CO
2 5-
10% (mikroaerofilik) selama 24 jam (B
LACKALL
, 1988). Bakteri Gram negatif, bentuk batang kecil, tidak menunjukkan zona hemolisis dan membentuk fenomena satelit dibiakkan pada media TS agar, dieramkan pada suhu 37 °C secara mikroaerofilik dan aerob selama 24 jam (B LACKALL , 1988). Bakteri yang tumbuh secara mikroaerofilik kemudian diuji katalase dengan menggunakan H
2 O
2
3% Bakteri yang menunjukkan katalase positif kemudian diuji lebih lanjut akan kebutuhan faktor X dan V, indol, urease, fermentasi karbohidrat antara lain glukosa, arabinosa, laktosa, manitol, xylosa, galaktosa, manosa, raffinosa, sorbitol dan inositol (C
OWAN
, 1981; B
et al., 1994; P
pada babi lepas sapih dan grower. Hasil uji serologik dengan ELISA dari 320 sampel darah yang diperiksa oleh Animal Health Laboratory, Geelong, Australia menunjukkan hasil positif sebesar 95%. Untuk pencegahan terhadap penyakit PRRS ini telah digunakan vaksin modified live virus secara teratur, karena penyebaran PRRS ini sudah menyeluruh dari kelompok breeder sampai grower dan penggemukan.
IELSTEIN
OWER
IRBY
Uji sensitifitas dilakukan terhadap beberapa antimikroba antara lain Ampisilin (Amp 10), basitrasin (B10), baytril (EMR5), doksisiklin (DO30), eritromisin (E15), kanamisin (K30), neomisin (N30) dan sulfametoksazol-trimetoprim (SXT25). Uji ini dilakukan secara in vitro dengan teknik agar difusi memakai kertas cakram menurut K
Uji sensitifitas antimikroba
ABRIELSON (B LACKALL et al., 1996; R AFIEE dan B LACKALL , 2000).
APP
Queensland 4105, Australia, untuk dikonfirmasi dan ditentukan serotipenya. Penentuan serotipe dilakukan menurut metode K
OERNOMO et al., 1997a). Bakteri yang sifat-sifatnya
Department of Primary Industries, Yeerongpilly,
et al., 1994), kemudian dikirimkan kepada B LACKALL di laboratorium Animal Research Institute,
LACKALL
, 1990; B
IBBERSTEIN
sesuai dengan H parasuis (B
Isolasi H. parasuis
porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS)
- G
- G
, 1992; B
JITV Vol. 9. No. 4. Th. 2004
(PRRSV) (L
ICHTENSTEIGER dan V
IMR , 2001; R APP -
G ABRIELSON et al., 1997). Selain itu, H. parasuis juga dapat menjadi penyebab sekunder pada babi yang terinfeksi swine influenza virus atau Mycoplasma
hyopneumoniae (L
ICHTENSTEIGER
dan V
IMR
, 2001; R
APP
ABRIELSON , 1999).
Penyakit Glassers di Amerika merupakan penyakit bakterial penting pada babi lepas sapih dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar (N
ICOLET
LACKALL
Sampel yang diperiksa berupa ulasan kapas lidi (swab) asal paru-paru sebanyak 5 buah, cairan persendian 5 buah, cairan synovial 3 buah dan potongan paru-paru sebanyak 3 buah (babi 1, babi 3, babi 4) yang semuanya berasal dari 5 ekor babi lepas sapih berumur 10 minggu yang menderita pneumonia. Sampel ini berasal dari sebuah peternakan babi yang berlokasi di pulau Bulan. Babi-babi pada peternakan ini (4 tahun sebelumnya) pernah menunjukkan gejala penyakit
et al., 1996). H. parasuis yang sering ditemukan di negara ini adalah serotipe 2, 4, 5, 12, 13 dan 14 (R APP -G ABRIELSON et al., 1997; L
MATERI DAN METODE Sampel
Dalam penelitian ini, diagnosis penyakit dilakukan berdasarkan isolasi dan identifikasi agen penyebab. Pengobatan dilakukan dengan menentukan penggunaan antibiotika yang tepat, dan pencegahan penyakit dilakukan dengan penggunaan vaksin komersial (bakterin) yang disertai dengan evaluasi vaksinasi dengan ELISA terhadap respon kekebalan yang timbul.
OURITS , 2004).
, 1985). Pemakaian antimikroba yang tepat sangat diperlukan untuk dapat mengatasi penyakit. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan uji sensitifitas isolat H. parasuis yang ditemukan terhadap berbagai antimikroba. Penggunaan bakterin dan vaksin inaktif dari kultur H. parasuis belum banyak digunakan peternak di Indonesia. Vaksinasi yang telah banyak dilakukan peternak babi dengan menggunakan vaksin inaktif (bakterin) masih dipertanyakan efektifitasnya. Uji serologik masih jarang digunakan untuk pengukuran tingkat kekebalan hewan terhadap penyakit (M
OVE
Sampai saat ini, cara pengendalian yang dilakukan peternak adalah dengan melakukan pengobatan dan vaksinasi. Pengobatan penyakit dengan antimikroba sudah lama dilakukan peternak, antara lain penicillin atau tetrasiklin (L
Glassers pada babi lepas sapih yang paling sering ditemukan (B LACKALL dan P AHOFF , 1995). Isolasi H. parasuis pada babi di Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya.
5 dan 13 adalah sebagai penyebab utama penyakit
al., 1997). Sedangkan di Australia, H. parasuis serotipe
et
ABRIELSON
APP
tetapi di Amerika Utara yang paling sering ditemukan adalah serotipe 4, 5, 13 dan 14 (R
IN , 2003),
- R
- G
- B
HASIL DAN PEMBAHASAN
Saline (PBS). Suspensi kultur kemudian dipanaskan
keadaan kering (tidak menggunakan media transportasi), sedangkan H. parasuis ini adalah bakteri yang mudah sekali mati (S
EGALES
et al., 1997). Dari satu sampel paru-paru ada yang menunjukkan pertumbuhan koloni dengan fenomena satelit pada agar darah segar maupun agar coklat yang digores dengan S.
hycus sebagai feeder culture, yaitu sampel yang diberi
kode P3/98. Dari hasil uji biokimia dan sensitifitas dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Dari sifat-sifat biokimia (Tabel 1) bakteri P3/98 ternyata mempunyai sifat yang sama dengan H. parasuis (B
LACKALL
et al., 1994). Isolat ini, setelah dikirim untuk konfirmasi di Australia, ternyata hasilnya adalah H. parasuis serotipe
12. Serotipe 12 ini juga dapat ditemukan pada 2 dari 46 isolat H. parasuis yang telah diisolasi di berbagai daerah di Australia (R
AFIEE
dan B
LACKALL , 2000).
Beberapa galur dari serotipe 12 juga terbukti mempunyai virulensi yang tinggi dan mampu menginfeksi babi dan menimbulkan kelainan seperti pneumonia, polysrositis dan kematian (R
dalam air mendidih selama 1 jam. Terhadap kultur dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai antigen pelapis.
5-10% (mikroaerofilik) selama 24 jam (B LACKALL , 1988). Kultur kemudian dipanen dalam Phosphat Buffered
Dari sampel yang berupa ulas kapas lidi (swab) tidak ditemukan adanya pertumbuhan koloni fenomena satelit pada agar darah segar maupun agar coklat yang digores dengan Staphylococcus hycus. Sampel dengan hasil negatif ini kemungkinan disebabkan semua sampel
2
C dalam kondisi CO
○
pada suhu 37
Staphylococcus hycus sebagai feeder culture, dieramkan
Pembuatan antigen pelapis (coating antigen) dilakukan dengan menumbuhkan H parasuis serotipe 12 pada media agar darah dan digoreskan dengan
, 2004) dilakukan dengan menggunakan ekstrak kultur H parasuis serotipe 12 sebagai antigen pelapis.
OURITS
ELISA antibodi terhadap H. parasuis (M
Enzyme Linked-immunosorbent Assay (ELISA)
Sebanyak 20 ekor babi lepas sapih divaksinasi dengan menggunakan vaksin inaktif komersial (bakterin). Untuk pemantauan hasil vaksinasi, serum babi diambil pada saat sebelum vaksinasi (sebagai kontrol negatif), sebulan, dua dan tiga bulan setelah vaksinasi. Vaksin yang digunakan tidak mencantumkan serotipe H. parasuis yang terkandung.
P RIADI et al.: Penyakit glasser’s pada babi di Pulau Batam, Propinsi Riau Vaksinasi
APP
swab yang dikirim dari Pulau Bulan ke Balitvet dalam
- G
digoyang selama 1 jam pada suhu ruang. Sesudah pencucian dengan PBST, terakhir ditambahkan substrat 2,2’ azino-bis (3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid) (ABTS) sebanyak 100µl. Hasil ELISA dinyatakan dalam satuan OD yang dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 414 nm.
microplate, maxisorp). Sebelum ELISA dilakukan,
Indol Urease Haemolisis Katalase Reaksi asam dari: Glukose Arabinose Laktose Manitol Xylose Galaktose Manose Raffinose Sorbitol Inositol
(P3/98) Kebutuhan: Faktor V CO 2 (5-10%) NaCl 1%
Haemophilus parasuis* Haemophilus sp.
Tabel 1. Sifat-sifat biokimiawi dan fisiologik Haemophilus sp. (P3/98) asal babi umur 10 minggu lepas sapih Sifat-sifat (uji)
kemungkinan besar kasus penyakit ini juga dapat ditemukan pada peternakan babi di daerah lainnya.
ABRIELSON et al., 1997). Dengan diisolasinya H. parasuis serotipe 12 di Pulau Bulan, maka
Uji ELISA dilakukan dengan menggunakan mikroplat dengan 96 lubang berdasar U (Nunc
terlebih dulu dilakukan standarisasi dengan cara
peroxidase dalam enceran 1/3000. Mikroplat kembali
checker board untuk menentukan enceran optimal dari enceran antigen, serum dan konjugat yang dipakai.
Sebanyak 100 µl antigen dengan enceran 1/300 dalam
buffer karbonat, pH 9,6 digunakan untuk melapis
mikroplat. Mikroplat disimpan pada suhu 4
o C semalam.
plate shaker selama 1 jam pada suhu ruang. Setelah
pencucian dengan PBST, ditambahkan konjugat, yaitu anti pig IgG yang dilabel dengan horse raddish
Keesokan harinya mikroplat dicuci dengan larutan Phosphat Buffered Saline-Tween 0,5% (PBST). Kemudian dimasukkan serum yang diperiksa dalam enceran 1/100 dalam PBST. Mikroplat digoyang pada
- (gas -)
- Diambil dari B LACKALL et al. (1994)
JITV Vol. 9. No. 4. Th. 2004 Tabel 2. Hasil uji sensitifitas Haemophilus parasuis (P3/98)
harus diwaspadai jika suatu peternakan babi sudah diidentifikasi terinfeksi PRRSV.
Haemophilus
E. coli (ATCC
Nama antimikroba Sampai saat ini, salah satu cara penanggulangan
parasuis (P3/98) 25922)penyakit yang disebabkan oleh H. parasuis adalah
Ampisilin R R pemberian anti mikroba. Pengobatan penyakit dengan
antimikroba sudah lama dilakukan peternak, antara lain
Basitrasin S O
penisilin atau tetrasiklin (L OVE , 1985). Untuk
Baytril S S
mengetahui antimikroba yang tepat untuk mengatasi penyakit, telah dilakukan uji sensitifitas dari isolat H.
Doksisiklin R S parasuis serotipe 12 terhadap berbagai antimikroba. Eritromisin S R
Dari uji sensitifitas terhadap obat ternyata H. parasuis (P3/98) ini sensitif terhadap basitrasin, baytril
Kanamisin
I O
(enrofloksasin) dan eritromisin. Isolat tersebut resisten
Neomisin R S
terhadap ampisilin, kanamisin, doksisiklin, neomisin,
Sulfametoksazol- R S sulfametoksazol-trimetoprim (Tabel 2). Dari hasil yang
trimetroprimdiperoleh ternyata antimikroba yang dapat digunakan untuk penyakit yang disebabkan H. parasuis (P3/98)
S: sensitif; R: resisten; I: intermediate; O: tidak dilakukan
adalah basitrasin, baytril (enrofloksasin) dan eritromisin. Hasil ini menunjukkan bahwa uji Menurut sejarah penyakit yang terjadi pada sensitivitas sangat diperlukan untuk menentukan terapi peternakan tersebut pernah terserang Porcine yang baik.
Reproductive and Respiratory Syndrome Virus
Penggunaan bakterin atau vaksin inaktif dari kultur (PRRSV), jadi infeksi oleh H. parasuis pada peternakan
H. parasuis belum banyak digunakan peternak di
babi ini mungkin merupakan infeksi campuran dengan Indonesia. Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini infeksi PRRSV. Kejadian ini mendukung pernyataan adalah vaksin impor. Sampai saat ini, masih jarang
OLANO
S et al. (1997) yang telah membuktikan adanya digunakan uji serologik untuk pengukuran tingkat interaksi antara PRRSV dengan H. parasuis terhadap kekebalan hewan terhadap penyakit ini. ELISA telah terjadinya patogenesis pada kasus pernafasan pada babi digunakan untuk menentukan serotipe H. parasuis
APP ABRIELSON di Amerika. Lebih lanjut R -G et al.
dengan menggunakan ekstrak heat stable antigen (L
IN
(1997) menyatakan bahwa infeksi oleh PRRSV dan C OBB , 1994). Sedangkan ELISA untuk mengukur merupakan predisposisi infeksi H. parasuis (penyakit tingkat kekebalan anak babi terhadap serotipe 5 sudah
Glasser’s). Dari kenyataan ini, dipastikan bahwa H.
dilakukan dengan menggunakan ekstrak H. parasuis
parasuis merupakan penyakit bakterial penting dan OURITS tipe 5 sebagai antigen pelapis (M , 2004).
0,4 0) /100
0,3 (1 m 4 n
41 0,2 pada al k
0,1 opti sitas Den
Pra vaksinasi
1 bulan pasca vaksinasi
1
2 bulan pasca vaksinasi
3 bulan pasca vaksinasi
Gambar 1. Respon kekebalan babi terhadap vaksin inaktif H. parasuis yang dideteksi dengan ELISA menggunakan antigen H. parasuis serotipe 12
- G
babi lepas sapih berumur 10 minggu yang menderita pneumonia. Uji sensitifitas terhadap anti mikroba menujukkan bahwa isolat H. parasuis tersebut sensitif terhadap baytril, basitrasin, eritromisin dan resisten terhadap neomisin, kanamisin, doksisiklin, ampisilin dan sulfametoksazol-trimetoprim. Evaluasi respon kekebalan babi pasca vaksinasi dengan ELISA menunjukkan tidak didapatkannya reaksi kekebalan yang nyata sampai saat 3 bulan pasca vaksinasi. Untuk menyusun program pengendalian penyakit Glassers di Indonesia harus dilakukan isolasi, identifikasi dan karakterisasi kuman H. parasuis dari sentra populasi babi dan dilanjutkan dengan pengembangan vaksin yang efektif.
ABRIELSON
et al., 1997). Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan proteksi yang ditimbulkan adalah spesifik galur (strain specific). Penyebab kegagalan vaksinasi lainnya adalah adanya suatu peternakan babi yang diinfeksi oleh beberapa serotipe H. parasuis (R
APP
ABRIELSON et al., 1997).
Yeerongpilly, Queensland, Australia yang telah membantu dalam menentukan serotipe. Kepada Saudara Sutarma juga diucapkan terima kasih atas bantuannya dalam usaha isolasi dan pengujian yang telah dilakukan di laboratorium Balitvet.
Institute, Department of Primary Industries,
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih ke pada Dr. P.J. Blackall dari Animal Research
H. parasuis serotipe 12 telah diisolasi dari paru-paru
et al., 1996) Demikian juga vaksinasi dengan bakterin dari serotipe 12 tidak selalu dapat melindungi tantangan homolog dari serotipe yang sama (R
Dari hasil penelitian di atas dapat dinyatakan bahwa
KESIMPULAN
diagnosa yang tepat dan pengembangan vaksin yang efektif sesuai dengan penyebab yang ditemukan di Indonesia.
Glassers pada babi di Indonesia, perlu dilakukan
parasuis adalah untuk memecah sumber karbon atau
nitrogen untuk nutrisinya, melepaskan reseptor untuk invasi atau mengganggu sistem pertahanan babi (L
ICHTENSTEIGER
dan V
UCAPAN TERIMA KASIH
APP
LACKALL
Karena ada berbagai penyebab kegagalan vaksinasi, maka untuk menyusun program pengendalian penyakit
et al., 1997). Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini termasuk vaksin yang tidak mencantumkan kandungan serotipe H. parasuis. Kemungkinan vaksin komersial yang digunakan tidak mengandung kultur mati H. parasuis dari serotipe 12 sehingga tidak terbentuk kekebalan terhadap H.
JITV Vol. 9. No. 4. Th. 2004
Hasil ELISA dengan menggunakan antigen pelapis
H. parasuis serotipe 12, diperoleh tingkat kekebalan
pravaksinasi (dalam satuan densitas optikal): 0,304 + 0,052, satu bulan pasca vaksinasi: 0,288 + 0,049, 2 bulan pasca vaksinasi: 0,349 + 0,062, dan 3 bulan pasca vaksinasi: 0,323 + 0,053. Tidak ada kenaikan yang berarti dalam tingkat kekebalan antara sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi (Gambar 1).
Ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan tidak terjadinya respon kekebalan yang nyata setelah vaksinasi, diantaranya antigen pelapis H.
parasuis dalam ELISA, tidak homolog. Banyak produk
vaksin bakterin untuk infeksi H. parasuis yang tidak mencantumkan serotipe H. parasuis yang terkandung (R
APP
ABRIELSON
parasuis serotipe 12. Penelitian N
et al., 2002). Walaupun demikian, proteksi silang terbatas juga ditunjukkan oleh serotipe 4 dan 5 yang dapat melindungi infeksi yang disebabkan serotipe 13 dan 14, tetapi tidak melindungi infeksi akibat serotipe 2 dan 12 (R APP -G ABRIELSON et al., 1997; B
IELSEN
(1993) menunjukkan bahwa secara antigenik H. parasuis serotipe 1 berhubungan dengan serotipe 3 dan tidak berhubungan dengan kelompok serotipe 2, 4, 5, 6 dan 7 yang saling berhubungan.
Kegagalan proteksi oleh vaksin inaktif karena respon terhadap vaksinasi adalah spesifik serotipe (serotype specific) atau bahkan spesifik galur (strain
specific) (R
IISING , 1981; M
INIATS et al., 1991;
B LACKALL et al., 1996; R APP -G ABRIELSON et al., 1997; J
OSEPHSON
IMR , 1997).
- G
- G
DAFTAR PUSTAKA
babi dan merupakan substrat potensial untuk enzim bakterial. Peranan neuraminidase dalam virulensi H.
B
Karena sifat proteksi silang yang rendah, L
AHOFF . 1995. Characterisation of porcine haemophili isolated from Australian pigs between 1988–1992. Aust. Vet. J. 72(1): 18-21.
B
LACKALL , P.J. and J.L. P, P.J. 1988. Antimicrobial drug resistance and the occurrence of plasmids in H. paragallinarum. Avian Dis. 32: 742-747.
Blackwell Scientific Publication. INC. Boston, Oxford, London, Edinburgh and Melbourne.
B
LACKALLIBERSTEIN , E.L. 1990. Review of Veterinary Microbiology.
ICHTENSTEIGER dan V
sialioglycoconjugates adalah umum ditemukan pada
Enzim neuraminidase (sialidase) adalah suatu enzim yang menghidrolisa residu asam sialat terminal dari
sialioglycoconjugates. Enzim ini sudah diketahui dapat
merupakan antigen protektif pada kuman P. multocida (L
EE et al., 1997) dan virus influenza (M
ARTINET
et al., 1997). H. parasuis tidak mensintesa asam sialat yang merupakan substrat untuk neuraminidase, sedangkan
IMR (2001) mentargetkan enzim neuraminidase H. parasuis sebagai vaksin sub unit.
7 TH E D . L EMAN , A.D., B.E. S TRAW
M
OURITS ,P RIADI et al.: Penyakit glasser’s pada babi di Pulau Batam, Propinsi Riau B LACKALL
, P.J., K.M. K ECHNIE and T. S
HARP . 1994. Isolation of Haemophilus taxon D from pig in Australia. Aust.
Vet. J. 71: 262-263.
B LACKALL , P.J.,
V.J. R APP
ABRIELSON and D.J. H
B. 2004. Bacterin attack on transport disease. Pig Intern. 34(3): 12-13.
N
ICOLET , J. 1992. In Disease of Swine.- G
, S.J. 1981. Cowan and Steel’s Manual for Identification of Medical Bacteria. 2 nd Ed. Cambridge Univ. Press. Cambridge.
R
AFFIEE , M. and P.J. BAYLOR (Eds.). 8 th Ed. Iowa State University Press, Ames, IA. pp. 475-481.
M ENGELING and D.J. T
, S. D’ ALLAIRE , W.L.
V.J. 1999. Haemophilus parasuis. In: Disease of Swine. B.E. S TRAW
R APP -G ABRIELSON ,
LACKALL . 2000. Establishment, validation and use of the Kielstein-Raff-Gabrielson serotyping scheme for Haemophilus parasuis. Aust. Vet.
Haemophilus paragallinarum pada ayam di Indonesia: Sifat-sifat fisiologik dan biokimiawi isolate Haemophilus spp. dari ayam sakit. JITV 2: 263-266.
ABRIELSON ,
AZARUDIN . 1997a.
, S., S UTARMA dan Y. N
III Uji sensitivitas H. paragallinarum dari ayam penderita snot terhadap obat anti mikroba. JITV 2: 267- 269.
P
OERNOMOHaemophilus paragalinarum pada ayam di Indonesia:
ILAWATRI . 1997b.
UTARMA dan S.A.K.D. S
R
APPV.J., G.J. K OCUR
Haemophilus parasuis serotypes. Acta Vet. Scand. 34: 193-198.
S
OLANO , G.J., J. S
T
AYLOR , D.J. 1986. Pig Diseases. Fourth Ed. The Burlington Press Ltd. Foxton, Cambridge.IJOAN . 1997. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus (PRRSV) interaction with Haemophilus parasuis. Vet. Microbiol. 55: 247-257.
P
OLITOR and C.
OLLINS , T.W. M
EGALES , J.E. C
Invest. 9: 237-243.
, J.T. C LARK and S.K.
Immunohistochemical detection of Haemophilus parasuis serovar 5 in formalin fixed, paraffin–imbedded tissues of experimentally infected swine. J. Vet. Diag.
S EGALES , J., M D OMINGGO , G.J. S OLANO and C. P IJOAN . 1997.
Veterinarmed. 28: 630-638.
IISING H.J. 1981. Prevention of Glassers disease through immunity to Haemophilus parasuis. Zentralbl.
83-89.
R
M UIR . 1997. Haemophillus parasuis: Immunity in swine after vaccination. Vet. Med. January, 1997. pp.
P
OERNOMO , S., SIELSEN , R. 1993. Pathogenicity and Immunity studies of
J OSEPHSON , G., M. A RCHAMBAULT and J. G ALLANT . 2002.
AHMAN , A.
A. and E. R.
ICHTENSTEIGER , C.
L
Assoc. Conv. Proceed. Reno, NV: 167.
1997. Immunogenic and genetic analysis of the neurominidase of Pasteurella multocida. Am. Vet. Med.
URCH .
D. H ENK and F. T. B
L EE , M.
V IMR . 2001. Purification of Haemophilus parasuis neurominidase, candidate subunit vaccine. http://porknet.outreach.uiuc.edu/ fultext.cfm?section=2&documentID=194 [9 Juni 2004].
Haemophilus parasuis update. Animal Health Laboratory Newsletter Guelph, Kemptville Vol 5, issue 3.
1996. Serological characterization of Haemophilus parasuis isolated from Australian pigs. Aust. Vet. J. 73(3): 93-95. C OWAN
AMPSON .
, W.L. M ENGELING
, S. D’ ALLAIRE and D.J.
T AYLOR (Eds.). Iowa State University Press, Ames pp. 526-528.
N
D., S. M. R
J. 78: 172-174.
IN , B.C. 2003. Identification and differentiation of
- G
IN J OU and W. Fiers. 1997. Protection of mice against lethal influenza challenge by immunization with yeast-derived recombinant influenza neurominidase. Eur. J. Biochem. 247: 332-338.
53: 390-393.
OSENDAL . 1991. Cross protection among Haemophilus parasuis bacterin for use in specific pathogen free swine. Can. J. Vet. Res.
MART and S. R
INIATS , O.P., N.L. S
M
C ONTRERAS , W. M
L
M ARTINET , W., X. S AELENS , T. D EROO , S. N EIRYNCK , R.
13 th Int. Pig. Vet. Soc. Cong. 156. L OVE , R.J. 1985. Disease of pigs no. 6. University of Sydney Post Graduate Foundation in Veterinary Service.
IN , B.C. and S. C OBB . 1994. A fuzzy ELISA for serotyping Haemophilus parasuis using heat-stable antigen extracts.
Haemophilus parasuis sero-nontypeable strains using a species-specific PCR and the digestion of PCR products with Hind III endonuclease. Am. Assoc. Swine Vet. pp.
L ICHTENSTEIGER , C.A. and E.R.
V IMR . 1997. Neuraminidase (sialidase) activity of Haemophilus parasuis. FEMS Microbiol. Lett. 152: 269-274.
299-301. L