PRA PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA; KAJIAN KRITIS TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN KASUS BUDI GUNAWAN - Test Repository

  

“PRA PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANA DI INDONESIA; KAJIAN KRITIS TERHADAP

PUTUSAN PRA PERADILAN KASUS BUDI GUNAWAN

  

Diajukan Oleh:

Farkhani, S.H., S.HI., M.H.

  

NIP. 197605242006041002

FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harus diakui bahwa aliran hukum positivisme yang

  berkembang pesat antara abad 16 sampai 19 sangat mempengaruhi sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Kisaran abad itulah Indonesia berada dalam permulaan dan akhir penjajahan Indonesia oleh bangsa-bangsa Eropa, mulai dari Portugis, Belanda dan Inggris. Belanda yang terlama selama 350 tahun.

  Masa penjajahan yang panjang oleh negara dengan sistem hukum bercorak Eropa Kontinental jelas tegas mewarnai sistem hukum Indonesia dari berbagai aspeknya. Hukum adat sebagai hukum yang asli hidup dalam masyarakat Indonesia dan Hukum Islam yang memberi corak hukum-hukum adat sebelum kedatangan penjajah dipersempit peran dan perkembangan. Upaya itu sejatinya nyata dengan dikebirinya kekuasaan raja-raja Islam Nusantara, teori receptie dan pembagian subyek hukum dalam masa penjajahan Belanda, serta konkordasi hukum Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) semakin nyata akan sistem positivisme hukum dalam hukum Indonesia. Parahnya, setelah Indonesia merdeka warisan hukum penjajah Belanda belum sepenuhnya hilang dari peraturan perundang-undangan bumi pertiwi. Bahkan itu berada dalam urat nadi sistem hukum, upaya penggantiannya agar lebih berkarakter hukum keindonesiaan belum berhasil.

  Atas latar belakang sejarah hukum yang demikian, serta seluruh foundingfathers negara ini yang bergelar sarjana hukum (master on the rechten) adalah alumni sekolah-sekolah hukum Belanda, maka tidak mengherankan bila tipikal hukum dan para penegak hukumnya sedarah dengan warisan penjajah.

  Sungguh kondisi yang demikan telah disadari oleh para pakar hukum belakangan. Berbagai upaya dilakukan untuk pembangunan hukum yang berkeindonesiaan. Sedikit demi sedikit hukum warisan Belanda dikikis, berbagai upaya pembangunan hukum dilakukan, pemikiran hukum berkarakter keindonesiaan terus dibangun, living law diakomodasi. Arah kiblat hukum mulai bergeser, tipologi hukum Eropa Kontinental memang masih dominan tetapi tipologi hukum Anglo Saxon mulai diakomodir. Hukum Islam telah lebih dahulu diakomodir namun pasca reformasi lebih massif di berbagai daerah dengan perda- perda bernuansa syari’ah dan terbuka peluang pembelakuan Syariat Islam walau baru di Nangro Aceh.

  Lebih menggembirakan, bersamaan dengan pada akhir abad 20, muncul gerakan hukum progressif yang di pelopori oleh begawan hukum Satjipto Rahardjo. Ide dan gagasan hukum progresifnya yang kental beraliran filsafat hukum utilitarianisme dan sibghah spiritualitas keagamaannya (Islam) (lihat Sajtipto Raharjo, 2007), beliau ajarkan kepada para mahasiswanya yang berasal dari berbagai kalangan, tidak hanya para akademisi, para praktisi hukum dan penegak hukum banyak menjadi mahasiswanya. Pemikirannya cukup dapat diterima, hingga muncul perkumpulan hakim progresif dan bahkan organisasi yang secara khusus menebarkan gagasan-gagasannya.

  Upaya-upaya yang dilakukan di atas dan berbagai upaya lain yang belum tersebutkan, susungguhnya cita-cita yang ingin dicapai adalah bagaimana keadilan yang menjadi ruh sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri benar-benar terwujud secara hakiki, baik dalam pembentukan hukum, penemuan hukum, penciptaan norma hukum dan penegakan hukumnya.

  Bila dipandang dari konsep hukum yang dikembangkan oleh Philipppe Nonet dan Philip Selznick (1978), perkembangan dan pembangunan hukum di Indonesia sedang berada dalam konsep hukum otonom dan mulai ada sedikit pergerakan menuju responsif dalam hal ini adalah diposisikannya hukum sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi sosial. Hukum dimaknai lebih luas, mencakup pengalaman-pengalaman hukum yang beraneka ragam dengan tidak meleburkan konsep hukum terhadap konsep kontrol sosial yang lebih luas.

  Melihat pada pemaknaan hukum responsif yang demikian tersebut, tersirat jelas bahwa konsep hukum responsif adalah hasil evolusi dari dua konsep sebelumnya, represif dan otonom (A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1990, 164- 165). Karena ia merupakan evolusi, maka butuh waktu, dan beragam konsekuensi logis atas berjalannya waktu tersebut. Sehingga wajar dapat dikatakan bahwa dengan argumen sederhana dimuka, Indonesia sedang bergerak menuju hukum yang responsif, walau kadang pada kasus tertentu, Indonesia terkesan sedang bergerak mundur menuju kembali pada hukum yang represif. Beruntungnya sensitifitas kontrol sosial masyarakat Indonesia sudah mulai muncul dan dibantu dengan tata hukum dan tata kelembagaan hukum yang lebih baik dapat mencegah keterpurukan itu.

  Pada persoalan ini, Satjipto Rahardjo (2007: 87-88) menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang seperti itu adalah bukti bahwa masyarakat memiliki kekuatan otonom. Kekuatan otonom itu bisa membuat masyarakat dapat menata dirinya sendiri walaupun tanpa kehadiran undang-undang. Kekuatan masyarakat yang bersifat otonom itu pada tahap tertentu dapat bergerak atau digerakkan menjadi kekuatan dahsyat yang dapat menggulingkan kekuasaan yang despotik, otoriter dan tiranik. Itulah yang disebut rakyat yang berdaulat atau kedaulatan rakyat.

  Pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, konfergensi hukum dan politik, dinamika keduanya selalu muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya menegakkan upaya penegakan hukum. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah dua lembaga negara baru yang muncul secara langsung atas amanat hasil amandemen konstitusi tersebut.

  Komisi Pemberantasan Korupsi muncul tidak lama setelah itu. Mulanya sebagai respon atas berbagai kasus korupsi yang kurang membanggakan progressnya ketika ditangani oleh kejaksaan.

  Setelah tiga lembaga baru ini terbentuk, harapan baru dilambungkan untuk merubah bopeng wajah penegakan hukum di Indonesia. Secara cepat dua, lembaga penegakan hukum (MK dan KPK) dan lembaga pengawas perilaku hakim (KY), karena kinerjanya merebut hati rakyat. Rakyat bangga dengan capaian kedua lembaga tersebut. Mahkamah Konstitusi menjelma menjadi pemegang kekuasaan yudikatif yang berwibawa. KPK menjelma menjadi lembaga kuat yang bisa menjerat dan memenjarakan para koruptor yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh kejaksaan.

  Lembaga negara yang lahir setelah reformasi dan atas amanat butir-butir reformasi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas KPK adalah melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Sifat kelembagaanya independen. Independen yang dimaksudkan adalah bebas dari kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

  KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK

  Sekilas menilik sejarahnya, KPK adalah satu-satunya lembaga negara yang lahir karena amanat reformasi. Satu diktum yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi menjadi point penting dalam amanat reformasi, karena regim yang ditumbangkan lewat gerakan reformasi 1998 itu dituduh korup dan membudayakan tindakan korupsi disemua lini penyelenggara negara.

  Oleh karenanya, kehadiran KPK disambut dengan gembira dan langsung mendapatkan pendukung dan pembela fanatik terhadap lembaga ini. Terpuruknya legitimasi polisi dan kejaksaan agung dalam penangan kasus korupsi, kewenangan yang sangat besar yang diberikan oleh undang- undang, gebrakan-gebrakan dan prestasi kinerja KPK yang mengagumkan dan dukungan rakyat yang totalitas merubah lembaga baru ini menjadi tren dan tumpuan harapan pemberantasan korupsi.

  Dukungan, simpati, empati yang loyalitas kecintaan dari rakyat semakin besar tatakala KPK berhasil menjerat dan memenjarakan orang-orang dengan pangkat dan jabatan tinggi yang pada zaman orde baru tidak pernah tersentuh. Para menteri, jenderal polisi dan TNI, akademisi bergelar profesor, anggota legislatif pusat dan daerah, penguasa- penguasa ekskekutif daerah dan pengusaha-pengusaha hitam banyak yang dijeblokan ke penjara oleh KPK karena kasus korupsi dan pengembalian uang negara yang cukup besar menambah dukungan rakyat semakin besar atas lembaga anti rasuah ini.

  KPK terus mendapat dukungan dan menjadi lembagi anti body. Pencapaian tersebut tidak didapat dengan proses Proses menjadikan KPK sebagai lembaga bersih dan antibodi sangat penjang dan melelahkan. Saat pelaku koruptor dicaci massa dan dijebloskan ke penjara, dua petinggi KPK justeru mendapatkan dukungan massa. Kasus yang menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Waluyo justru dinilai sebagai upaya kriminalisasi kepolisian terhadap mereka, hingga muncul istilah Cicak VS Buaya. Dukungan terhadap keduanya pun semakin menguat, hingga akhirnya dibebaskan. Saat dukungan terhadap KPK semakin menguat, terhadap kepolisian sebaliknya. Begitu pula, saat rencana pembangunan gedung DPR dicemooh rakyat, KPK justreru mendapatkan dukungan penuh plus sumbangan dana dari masyarakat untuk membangun gedung baru. Belum lagi upaya pemandulan wewenang KPK melalui revisi UU yang pada akhirnya batal (http://nahakunaon.blogspot.com). Kasus yang terbaru, pada saat “perang” antara KPK dengan Polisi jilid II, KPK mendapat dukungan penuh dari rakyat. Pada saat para penyidik KPK diperkarakan oleh Polisi, TNI bersedia memberikan bantuan personil professionalnya untuk menjadi penyidik-penyidik KPK. Walaupun kasus KPK tidak menjadikan Budiono (mantan meneteri keuangan dan wakil presiden) menjadi tersangka mendapat sorotan tajam, tapi dukungan publik terhadap lembaga ini tidak pudar. Dukungan terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto menjadi bukti atas kecintaan rakyat pada lembaga ini.

  Menjelang pengangkatan Kapolri baru (Komjend. Budi Gunawan) diawal kepimpimpinan negara di tangan Presiden Joko Widodo, KPK dan Polri kembali bersitegang. Pasalnya calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Budi Gunawan tidak terima atas penetapannya sebagai tersangka korupsi, ia mengelak tidak terlibat apapun dalam persoalan status yang ditetapkan (tersangka) oleh KPK, mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Jakarta Selatan.

  Hasilnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dibacakan oleh hakim Sarpin Rizaldi menyatakan bahwa gugatan pra peradilan atas penetapan tersangka Budi Gunawan di terima. Putusan ini berarti menghapuskan penetapan tersangka atas Budi Gunawan atas perkara yang dituduh. KPK kalah!

  Secepat kilat, putusan hakim Sarpin menjadi trending

  topic . Berbagai pendapat bermunculan, sebagian memandang

  bahwa putusan Sarpin kebablasan, meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum dan pandangan miring lainnya, sebagian yang lain menyanjung bahwa Sarpin telah melakukan terobosan hukum. Tidak berselang lama, putusan Mahkamah Konstitusi muncul yang menyatakan bahwa penetapan tersangka dapat menjadi obyek pra peradilan.

  Ditambah dengan munculnya putusan MK tersebut muncul kekhawatiran baru bagi lembaga penegak hukum, yaitu banjirnya gugatan pra peradilan kepada tiga lembaga penegakan hukum di Indonesia, baik KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang diajukan oleh para tersangka pelanggar hukum.

  Kehadiran Mahkamah Konstitusi secara tegas tertera dalam UUD 1945 pasal 24 ayat 2 berbunyi; “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Diktum dalam konstitusi ini dapat dimaknai bahwa pemegang kekuasaan kehakiman (yudicative

  

power ) berada dalam dua lembaga yang sederajat kedudukannya.

  Tetepi dilihat dari nama dan wewenang, terkesan bahwa Mahkamah Konstitusi berada di atas Mahkamah Agung.

  Kasus putusan hakim Sarpin dan lahirnya putusan MK tentang pra peradilan menjadi heboh dan menjadi perbincangan dikalangan para akademisi hukum, praktisi dan penegak hukum, khususnya dalam ranah hukum pidana. Kasus itu merubah tatanan hukum acara pidana yang telah eksis dan establis dalam beberapa dasawarsa. Karena alasan tersebut penulis berminat untuk melakukan penelitian terhadap dua persoalan tersebut dengan judul PRA PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI

  INDONESIA; KAJIAN KRITIS TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN KASUS BUDI GUNAWAN.

  Pengkajian terhadap persoalan urgen di awal proses peradilan sistem peradilan pidana penting dilakukan karena persoalan itu terdapat hak-hak warga negara yang negara wajib memberikan jaminan atas pemenuhannya. Hak warga negara atau hak asasi manusia dalam proses tribunal yang adil dijamin secara tegas dalam dokemen ICCPR dan Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945. Di samping itu dengan mengkaji persoalan tersebut apakah akan terjadi gelombang pra peradilan yang akan merubah wajah penegakan hukum di Indonesia, terkhusus di bidang hukum acara pidana. Perubahan menuju kebaikan atau sebaliknya.

B. Rumusan Masalah

  Berdasar pada latar belakang masalah yang disampaikan tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan rumusan masalah untuk kepentingan penelitian ini, yaitu;

  1. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap warga negara yang menjadi tersangka dan/atau terpidana dalam sistem hukum pidana?

  2. Bagaimanakah konsep dan pengaturan pra peradilan dalam sistem peradilan pidana?.

  3. Apa akibat dari putusan pra peradilan dalam kasus Budi Gunawan dan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pra peradilan pada sistem peradilan pidana?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah; 1. Untuk mengetahui apa saja upaya perlindungan hukum terhadap warga negara yang menjadi tersangka dan/atau terpidana dalam sistem hukum pidana.

2. Untuk mengetahui bagaimanakonsep dan pengaturan pra peradilan dalam sistem peradilan pidana.

  3. Untuk mengetahui pa akibat dari putusan pra peradilan dalam kasus Budi Gunawan dan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pra peradilan pada sistem peradilan pidana.

D. Kerangka Teori

  Pra peradilan adalah bagian dari sistem peradilan pidana, sedangkan sistem peradilan pidana sangat identik dengan penegakan hukum. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakkan hukum, istilah ini identik pula dengan kekuasaan kehakiman. Dan sistem kekuasaan kehakiman dalam hukum pidana diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem;

  1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik 2.

  Kekuasaan penentutan oleh lembaga penuntut umum 3. Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh lembaga peradilan dan

4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi (Barda Nawawi Arif, 2007).

  Praperadilan pada dasarnya sebagai betuk perlindungan negara atas hak asasi setiap warga negara untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang atas berbagai tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini adalah aparatur kepolisian dan kejaksaan pada tindakan hukum yang disebut sebagai upaya paksa. Pada awalnya dan pada kebiasaan yang telah berlangsung lama yang dimaksud upaya paksa yang dilakukan aparatur penegak hukum adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan. Upaya- upaya paksa itu jelas merupakan perampasan hak atas seseorang yang dilindungi oleh hukum dan bagian dari hak asasi manusia. Disini kepastian hukum sangat ditekankan dan menjadi dasar utama bagi para aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

  Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukantindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan Perlakuan yang bersifat :

  1. Tindakanpaksa yang dibenarkanundang-undang demi kepentinganpemeriksaantindakpidana yang disangkakankepadatersangka ;

  2. Sebagaitindakanpaksa yang dibenarkanhukumdanundang-undang, setiaptindakanpaksadengansendirinyamerupakanperamp asankemerdekaandankebebasansertapembatasanterhadap hakasasi (I Gede Yuliarta, 2009). Sepintas dari penjelasan dimuka bahwa upaya paksa dalam penegakkan hukum harus jelas landasan hukumnya sekaligus jelas pula siapa petugas yang berwenangnya. Di Amerika lembaga praperadilan ini disebut pre trial, sebuah mekanisme tribunal yang disediakan dan jaminan oleh pemerintah dalam rangka melindungi setiap hak dari warga negera atas kemerdekaannya (penerapan prinsip Habeas

  Di Indonesia jaminan ketersediaan lembaga ini diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terutama pada pasal 77

  • – 83. Secara garis besar bahwa yang dimaksud dengan lembaga pra peradilan adalah sebuah mekanisme tribunal guna menguji akan keabsahan atas segala tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan/atau penuntut umum yang dilakukan secara paksa atas status seseorang di mata hukum. Yang dimaksu pada penjelasan dimuka adalah tindakan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (KUHAP pasal 77 huruf a).

  Dalam perkembangannya, materi praperadilan tidak terbatas pada apa yang sudah tertera dalam KUHAP sebagaimana tersebutkan dimuka. Pada kasus penetapan tersangka Komjen. Budi Gunawan oleh KPK, KPK di gugat lewat lembaga pra peradilan atas penetapan tersangkanya tersebut. Padahal kita ketahui bahwa KUHAP sama sekali tidak memasukan sebagai materi pra peradilan dan belum ada kasus sebelumnya yang semisal perkara yang dimaksud itu. Namun setelah beberapa bulan kasus tersebut bergulir terbitlah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2015 yang intinya memberikan penjelasan lebih lanjut (tafsir) bahwa ketentuan yang terdapat di dalam pasal 77 KUHAP termasuk didalamnya adalah penetapan tersangka.

E. Signifikansi

  Signifikansi dari penelitianiniadalah:

  1. Teoritik: Secara teoritik penelitian ini akan mengantarkan kita pada pengetahuan tentang berbagai upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya, terutama warga negara yang tengah memiliki persoalan di bidang hukum. Hak –hak hukum setiap warga negara harus kedudukannya dimuka hukum dan mendapatkan perlakuan yang adil dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

  Pra peradilan sebelum kasus Budi Gunawan tidak pernah dilakukan oleh para pelaku kejahatan yang telah mendapat status penetapan sebagai tersangka baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kepolisian. Perlawanan Budi Gunawan perlu dikaji secara teoritik dan mencari legalitas hukum yang dapat dijadikan sandaran mengapa hal itu dapat terjadi.

  Adapun peninjauan kembali terhadap kasus yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (incraht van guisde) sebelumnya terpidana dan/atau ahli warisnya hanya diperbolehkan mengajukan satu kali, tetapi setelah putusan Mahkamah Konstitusi dapat diajukan beberapa kali dan dalam pelaksaannya penuntut umumpun dapat mengajukan peninjauan kembali bahkan pada kasus yang telah diputus bebas.

  Pergesaran-pergesaran teori dan penajaman atas asas-asas dalam hukum pidana perlu diketahui sebagai upaya pengembangan dan memperkaya khazanah ilmiah dan praksis dalam ranah hukum pidana.

  Bekal pengetahuan dan pengayaan terhadap teori-teori maupun praksis di lapangan hukum pidana harus disosialisasikan agar para pemerhati maupun mahasiswa yang belajar hukum dapat mengetahui dari awal sampai pada perkembangan yang paling kontemporer.

  2. Praktis:

  a. Bagi STAIN Salatiga Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan akademisinya tidak henti melakukan salah satu tanggung jawab tri darma perguruan tinggi, yakni di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

  Penelian ini diharapkan akan menjadi pemicu untuk lahirnya karya-karya baru yang sejenis atau bahkan muncul variasi lain yang akan memperkaya khazanah keilmuan di IAIN Salatiga, memunculkan sifat kritis dalam bentuk falsifikasi, negasi atau bentuk penguatan dari penelitian ini.

  Hasil dari penelitian ini bisa juga dijadikan bukti tertulis, bahwa di IAIN Salatiga ada dosen yang cukup konsen dan kompeten dalam bidang hukum. Show of force kompetensi keilmuan dari para dosen diharapkan dapat dijadikan entry point sebagai pendulang banyaknya masyarakat Salatiga dan sekitarnya atau bahkan seluruh Indonesia tertarik untuk kuliah di IAIN Salatiga.

  b. Bagi Masyarakat Masyarakat akan mengetahui, mengerti dan menyadari hak-haknya sebagai warga negara apabila tersangkut masalah hukum. Pengetahuan yang masyarakat tetang pra peradilan diharapkan masyarakat akan berani melakukan perlawanan apabila diperlakukan secara sewenang-wenang dari para penegak hukum dan mengerti bagaimana melakukannya supaya tetap dalam koridor ketaatan terhadap hukum.

F. Tinjauan Pustaka

  Sebelum penelitian yang hendak penulis lakukan ini, telah ada beberapa penelitan tentang pra peradilan dan peninjauan kembali dengan variasi variabel penelitiannya.

  1. Tesis karya I Gede Yuliartha, mahasiswa pasca sarjana Universitas Dipenogoro dengan judul “Lembaga Pra Peradilan dalam Perspektif Kini dan Masa Mendatang dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia” (2013).

  Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pengaturan lembaga praperadilan dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Dalam penerapannya masih terdapat permasalahan terutama mengenai gugurnya permohonan praperadilan yang disebabkan oleh mulainya pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Dengan alasan tersebut, obyek permohonan praperadilan tidak diperiksa secara tuntas melalui suatu putusan praperadilan yang mempertimbangkan sah atau tidaknya permohonan dimaksud. Diperlukan adanya pembaharuan hukum (kebijakan) terhadap aturan Lembaga Praperadilan secara ideal dengan menitik beratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia baik terhadap tersangka maupun korban. Pembaharuan hukum lembaga praperadilan dari segi substansi maupun struktur dengan jalan mengganti yang telah ada bukan merupakan jalan terbaik, namun yang lebih terpenting adalah pembaharuan dari segi budaya hukum, etika moral hukum dan ilmu pendidikan hukum.

  2. Penelitian yang dilakukan oleh Made Wire Darme dengan judul “Kajian Peran Lembaga Pra Peradilan dalam Pengawasan Horizontal Aparat Penegak Hukum (Studi Kasus Putusan No. 01/PRA/2010/PN/BI). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa Putusan praperadilan No. 01/PRA/2010/PN/BI telah menjalankan fungsinya sebagai pengawas horizontal sebagaimana dikehendaki pembentuk undang-undang. Wujudnya adalah di dalam penyidikan bukan hanya di tangan penuntut umum saja, tetapi diperluas jangkauannya samapai pada pihak ketiga (saksi) (jurnal.hukum.uns.ac.id)

G. Metodologi

  1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kateogori penelitian pustaka (library research), atau penelitian hukum doktrinal atau yuridis normatif dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui pengumpulan informasi melalui berbagai karya ilmiah maupun peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Yang utama adalah Putusan Pra Peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus Budi Gunawan. Jadi obyek yang diteliti adalah dokumen putusan lembaga penegak hukum Indonesia.

  2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan mempelajari buku- buku, catatan-catatan, peraturan-peraturan dan catatan- catatan lainnya yang berupa hukum primer maupun bahan-bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer ini adalahPutusan pada lembaga peradilan sebagimana tersebut di atas, sedangkan bahan hukum sekunder adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan peraturan perundangan yang terkait dengan persoalan yang sedang diteliti.

3. TeknikAnalisis

  Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif dengan model deskriptif-analitisyaitu data yang diperoleh akan diuraikan dalam penelitian ini dengan memberikan mengkajinyaatau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan dari teori-teori yang ada (integrated criminal

  justice system ) untuk memecahkan permasalahan-

  permasalahan dalam penelitian ini (Bambang Waluyo, 2002: 50). Yakni menggambarkan aturan umum yang berkaitan dengan pra peradilan dalam sistem peradilan di Indonesia.

  Pisau analisisnya menggunakan critical legal studies theory yang diantaranya dipopulerkan oleh Roberto M. Unger (2012), seorang filosof hukum modern dari Amerika Serikat. Penggunaan critical legal studies theory sebagai alat analisi diharapkan akan menemukan hasil yang lebih komprehensif dalam pengkajian hukum karena inti ide dari teori ini menolak dengan tegas tesis yang mengatakan hukum adalah hukum, hukum harus terbebas dari segala persoalan yang bukan hukum, baik politik, ekonomi, sosial, agama, moral atau hal lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa hukum itu tidak otonom, lahir dari drinya sendiri dan untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya penggunaan alat analisis ini tidak sekedar berhenti memperhatikan pada putusan-putusan yang akan diteliti, tetapi melihat pula pada aspek-aspek lain yang dimungkinkan turut dalam proses pemikiran dan pembentukan putusan pada saat itu bahkan pada sesuatu yang terjadi setelah putusan dikeluarkan.

H. Sistematika Pembahasan

  Laporan penelitian yang akan disampaikan adalah menurut sistematika sebagai berikut: Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini dipaparkan secara argumentatif latar belakang masalah yang Selanjutnya rumusan masalah yang ada yang menjadi obyek eksplorasi yang urgen untuk dijawab dalam pembahasan penelitian selanjutnya yang harus dijawab, tujuan dan manfaat dari penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab dua, pada bab ini akan di bahas kewajiban negara dalam memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap warga negaranya.

  Bab tiga, pada bab ini akan dibahas Pra peradilan dan peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari mulai teori sampai praktik, sejarah dan perbagai persoalan yang melingkupinya.

  Bab empat, berisi tentang hasil penelitian, pengkajian dan analisis terhadap Putusan Pra Peradilan Jakarta Selatan pada kasus Komjend. Budi Gunawan.

  Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis berdasar ada hasil penelitian.

BAB II NEGARA HUKUM DAN KEWAJIBAN MEMBERIKAN JAMINAN PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARANYA A. Negara Hukum Istilah negara, mulai muncul pada zaman renaissance di Eropa pada abad 15. Istilah yang saat itu muncul adalah Lo Stato

  yang berasal dari bahasa Italia dalam buku Il Principe karangan Niccolo Macchiavelli, kemudian menjelma menjadi Le 'Etat' dalam bahasa Prancis, The State dalam bahasa Inggris, Der Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda. Dalam perkembangannya orang mulai banyak mempertanyakan apakah sebenarnya negara? Setelah itu munculah berbagai definisi dari negara sebanyak para pemikir yang memberikan definisi tentangnya, diantaranya;

  1. Plato mendefinisikan negara sebagai suatu sistem pelayanan yang mengharuskan setiap warga negara bertanggung jawab saling mengisi, saling memberi dan menerima, saling menukar jasa, saling memperhatikan kebutuhan sesame warga, dan saling membangun.

  2. Menurut J.H.A. Logemann, negara adalah organisasi kekuasaan/kewibawaan.

3. Menurut Aristoteles, negara adalah satu persekutuan hidup politis.

  4. R. Djokosutono memberikan definisi bahwa negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia- manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

  5. G. Pringgodigdo, mengartikan negara sebagai suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus ada; pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu bangsa (Farkhani, 2014: 129). Negara dan hukum merupakan dua konsep yang kait mengait antara satu dengan yang lainnya, boleh dikatakan sebagai dua sayap yang saling mengisi eksistensi antara satu dengan yang lainnya. Walaupun dalam sejarah perkembangannya hukum lebih dahulu muncul sebelum terbentuknya negara dalam bentuk yang tidak sederhana dan modern. Teori hukum alam, teori historis dan hukum wahyu adalah sebagian dari teori terbentuknya hukum yang paling tepat untuk menggambarkan bahwa keberadaan hukum lebih awal eksis dari pada kekuasaan negara.

  Dari paradigma awal tersebut, sudah selayaknya apabila hukum menjadi core utama dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah negara. Simplikasinya, negara hukum adalah negara yang menjalankan hukum bahkan negara sendiri harus tunduk oleh hukum. Lebih rinci Sumali (2002: 11) menegaskan bahwa negara hukum secara esensi bermakna bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law), semuanya di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitary power) atau atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).

  Kemudian, bila dirunut sejarah perkembangan negara hukum, pemikiran tentang negara hukum adalah sebuah proses dan evolusi sejarah yang sangat panjang. Pada awalnya cita negara hukum dikembangkan oleh Plato dan dilanjutkan oleh Aristoteles. Awal idenya adalah keprihatinan Plato terhadap kesewenang-wenangan para penguasa dalam menjalankan negara dan pemerintahannya dan bahkan ia sendiri hampir- hampir menjadi bagian dari tim tiga puluh yang disebut tyrannoi. negara, menjadi Plato berpikir secara sungguh-sungguh tentang konsep negara yang menurutnya ideal dan dapat dijalankan dengan tidak melahirkan para penguasa diktator di kemudian hari (J.H. Rapar, 2001).

  Bagi Plato negara dan manusia memiliki kesamaan, oleh karena masalah moralitas harus dikedepankan dalam kehidupan negara, bahkan harus menjadi yang paling hakiki dalam kehidupan negara itu sendiri. Karena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Dan nilai moral yang paling dikedapankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersediaan calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedianya lembaga pendidikan yang memadai.

  Kondisi yang demikian mendorong Plato menulis sebuah buku ya ng diberi judul ‘Politea’. Ide utama dari buku ini berkenaan dengan awal konsep negara hukum adalah bahwa sebuah negara akan menjadi baik apabila pemimpin negara diamanahkan kepada para filsuf (sebagai opsi terakhir). Alasan sederhananya karena filsuf sangat mencintai kebenaran dan kebijaksanaan, menghargai humanisme dan manusia yang memiliki pengetahuan yang tinggi.

  Idenya itu ternyata sulit untuk diejawantahkan, karena sangat sulit untuk mencari manusia yang sempurna dan tingkat moralitas dan kebijaksanaan yang tinggi, bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Menyadari akan hal ini, Plato menulis buku keduanya berjudul ‘Politicos’. Ada semacam penurunan idealita dari pemikirannya ini, dalam buku ini Plato berpikir perlu adanya hukum untuk mengatur warga negara, termasuk didalamnya dalah mengatur penguasanya. Kemudian lahir buku usia senja, dengan banyak pengalaman sebelumnya ia lebih tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum (Romi Libriyanto, 2008: 10-11).

  Ide dan praktek negara hukum ini sempat menghilang dan ditinggalkan orang. Ide ini kembali muncul di Barat pada abad XVII. Munculnya kembali ide ini ternyata dilatarbelakangi oleh kondisi kekuasaan negara yang persis sama (absolutisme negara) seperti pada zaman Plato dan Aristoteles ketika untuk pertama kali melontarkan gagasan tentang negara hukum. Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII ini menjadi embrio konsep negara hukum yang berkembang pesat di abad

  XIX dan mengilhami tokoh semacam Jhon Lock, Montesquieu dan Rousseau (Romi Libriyanto, 2008: 10-11). Jhon Locke dan Montesquieu dapat disimpulkan memiliki ide yang sama dengan bahasa yang sedikit berbeda, yakni ide tentang pembagian dan keseimbangan antara tiga poros kekuasaan penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Adapun JJ. Rousseau dengan ide kontrak sosialnya, idenya ini juga menggiring pada pemikiran bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh negara merupakan hasil kontrak (kesepahaman perjanjian) yang kedaulatannya diamanatkan kepada para penguasa untuk menjalankan negara atas kesepakatan yang telah dilakukan. Artinya negara dalam kerjanya harus tunduk pada hukum yang dibuat.

  Di zaman modern, konsep negara hukum yang paling dikenal adalah rechtsstaat (Jerman) dan rule of law (Inggris). Menurut Jimly Assiddiqie (dalam www.docudesk.com) konsep

  

rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan

  konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Jadi, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon the Rule of Law, and not of

  Man, yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.

  Negara hukum merupakan terjemahan langsung dari

  

rechtsstaat dan dipersamakan arti dengan rule of law. Dalam

  perdebatan akademis, tiga istilah (negara hukum, rechtsstaat dan

  rule of law ), ada yang mempersamakannya dan ada pula yang

  mebedakannya. Diantara tokoh yang tidak membedakan tiga istilah tersebut adalah M. Yamin, Ismail Sunny, Sudargo Gautama, Notohamidjojo, Djokosoetono dan Sumrah. Sedang yang menganggapnya berbeda adalah Phillipus M. Hadjon. Menurutnya konsep rechtsstaat dan rule of law juga berbeda, berdasar pada latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya. Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sedangkan the rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep

  rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang

  disebut civil law, sedangkan the rule of law bertumpu di atas sistem (Azhari, 1995: 30-33).

  common law

  Dalam kepustakaan Indonesia, dan pernah tercantum dalam konstitusi UUD 1945 adalah bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) sebagaimana tertera secara tegas dalam pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dan yang dimaksud dengan negara hukum menurut tafsiran Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (2010: 46)

  • –sebagai lembaga pembentuk konstitusi- adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Menurut Widayati (2015: 41) negara
keadilan kepada warga negaranya. Peraturan hukum yang ada pada suatu negaradimaksudkan untuk melindungi hak-hak negara dari tindakan penguasa. Begitu pula dalam sebuah negara hukum dibuat peraturan untuk mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.

  Negara hukum tidak hanya memberikan batasan atau petunjuk bagi negara untuk melindungi warga negaranya dari perilaku absolut penguasa, juga melindungi warga negara dari perbuatan dzalim warga negara lainnya. Dalam negara hukum, peran, fungsi dan kedudukan negara terhadap warga negaranya benar-benar berlandaskan dan dipantau oleh hukum, baik konstitusi negara maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB III PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Dinamika Institusi Hukum Harus diakui bahwa aliran hukum positivisme yang

  berkembang pesat antara abad 16 sampai 19 sangat mempengaruhi sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Kisaran abad itulah Indonesia berada dalam permulaan dan akhir penjajahan Indonesia oleh bangsa-bangsa Eropa, mulai dari Portugis, Belanda dan Inggris. Belanda yang terlama selama 350 tahun.

  Masa penjajahan yang panjang oleh negara dengan sistem hukum bercorak Eropa Kontinental jelas tegas mewarnai sistem hukum Indonesia dari berbagai aspeknya. Hukum adat sebagai hukum yang asli hidup dalam masyarakat Indonesia dan Hukum Islam yang memberi corak hukum-hukum adat sebelum kedatangan penjajah dipersempit peran dan perkembangan. Upaya itu sejatinya nyata dengan dikebirinya kekuasaan raja-raja Islam Nusantara, teori receptie dan pembagian subyek hukum dalam masa penjajahan Belanda, serta konkordasi hukum Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) semakin nyata akan sistem positivisme hukum dalam hukum Indonesia. Parahnya, setelah Indonesia merdeka warisan hukum penjajah Belanda belum sepenuhnya hilang dari peraturan perundang-undangan bumi pertiwi. Bahkan itu berada dalam urat nadi sistem hukum, upaya penggantiannya agar lebih berkarakter hukum keindonesiaan belum berhasil.

  Atas latar belakang sejarah hukum yang demikian, serta seluruh foundingfathers negara ini yang bergelar sarjana hukum (master on the rechten) adalah alumni sekolah-sekolah hukum Belanda, maka tidak mengherankan bila tipikal hukum dan para penegak hukumnya sedarah dengan warisan penjajah. Sungguh kondisi yang demikan telah disadari oleh para pakar hukum belakangan. Berbagai upaya dilakukan untuk pembangunan hukum yang berkeindonesiaan. Sedikit demi sedikit hukum warisan Belanda dikikis, berbagai upaya pembangunan hukum dilakukan, pemikiran hukum berkarakter keindonesiaan terus dibangun, living law diakomodasi. Arah kiblat hukum mulai bergeser, tipologi hukum Eropa Kontinental memang masih dominan tetapi tipologi hukum Anglo Saxon mulai diakomodir. Hukum Islam telah lebih dahulu diakomodir namun pasca reformasi lebih massif di berbagai daerah dengan perda- perda bernuansa syari’ah dan terbuka peluang pembelakuan Syariat Islam walau baru di Nangro Aceh.

  Lebih menggembirakan, bersamaan dengan pada akhir abad 20, muncul gerakan hukum progressif yang di pelopori oleh begawan hukum Satjipto Rahardjo. Ide dan gagasan hukum progresifnya yang kental beraliran filsafat hukum utilitarianisme dan sibghah spiritualitas keagamaannya (Islam) (lihat Sajtipto Raharjo, 2007), beliau ajarkan kepada para mahasiswanya yang berasal dari berbagai kalangan, tidak hanya para akademisi, para praktisi hukum dan penegak hukum banyak menjadi mahasiswanya. Pemikirannya cukup dapat diterima, hingga muncul perkumpulan hakim progresif dan bahkan organisasi yang secara khusus menebarkan gagasan-gagasannya.

  Upaya-upaya yang dilakukan di atas dan berbagai upaya lain yang belum tersebutkan, susungguhnya cita-cita yang ingin dicapai adalah bagaimana keadilan yang menjadi ruh sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri benar-benar terwujud secara hakiki, baik dalam pembentukan hukum, penemuan hukum, penciptaan norma hukum dan penegakan hukumnya.

  Bila dipandang dari konsep hukum yang dikembangkan oleh Philipppe Nonet dan Philip Selznick (1978), perkembangan dan pembangunan hukum di Indonesia sedang berada dalam konsep hukum otonom dan mulai ada sedikit pergerakan menuju responsif dalam hal ini adalah diposisikannya hukum sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi sosial. Hukum dimaknai lebih luas, mencakup pengalaman-pengalaman hukum yang beraneka ragam dengan tidak meleburkan konsep hukum terhadap konsep kontrol sosial yang lebih luas.

  Melihat pada pemaknaan hukum responsif yang demikian tersebut, tersirat jelas bahwa konsep hukum responsif adalah hasil evolusi dari dua konsep sebelumnya, represif dan otonom (A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1990, 164- 165). Karena ia merupakan evolusi, maka butuh waktu, dan beragam konsekuensi logis atas berjalannya waktu tersebut. Sehingga wajar dapat dikatakan bahwa dengan argumen sederhana dimuka, Indonesia sedang bergerak menuju hukum yang responsif, walau kadang pada kasus tertentu, Indonesia terkesan sedang bergerak mundur menuju kembali pada hukum yang represif. Beruntungnya sensitifitas kontrol sosial masyarakat Indonesia sudah mulai muncul dan dibantu dengan tata hukum dan tata kelembagaan hukum yang lebih baik dapat mencegah keterpurukan itu.

  Pada persoalan ini, Satjipto Rahardjo (2007: 87-88) menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang seperti itu adalah bukti bahwa masyarakat memiliki kekuatan otonom. Kekuatan otonom itu bisa membuat masyarakat dapat menata dirinya sendiri walaupun tanpa kehadiran undang-undang. Kekuatan masyarakat yang bersifat otonom itu pada tahap tertentu dapat bergerak atau digerakkan menjadi kekuatan dahsyat yang dapat menggulingkan kekuasaan yang despotik, otoriter dan tiranik. Itulah yang disebut rakyat yang berdaulat atau kedaulatan rakyat.

  Pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, konfergensi hukum dan politik, dinamika keduanya selalu muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya menegakkan upaya penegakan hukum. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial adalah dua lembaga negara baru yang muncul secara langsung atas amanat hasil amandemen konstitusi tersebut.

  Komisi Pemberantasan Korupsi muncul tidak lama setelah itu. Mulanya sebagai respon atas berbagai kasus korupsi yang kurang membanggakan progressnya ketika ditangani oleh kejaksaan.

  Setelah tiga lembaga baru ini terbentuk, harapan baru dilambungkan untuk merubah bopeng wajah penegakan hukum di Indonesia. Secara cepat dua, lembaga penegakan hukum (MK dan KPK) dan lembaga pengawas perilaku hakim (KY), karena kinerjanya merebut hati rakyat. Rakyat bangga dengan capaian kedua lembaga tersebut. Mahkamah Konstitusi menjelma menjadi pemegang kekuasaan yudikatif yang berwibawa. KPK menjelma menjadi lembaga kuat yang bisa menjerat dan memenjarakan para koruptor yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh kejaksaan.