BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana - BAB II DEVI MAYASARI HUKUM'17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-
undang telah menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebutkan kata tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu terdapat beberapa tindak pidana a. Delik.
b. Peristiwa pidana.
c. Perbuatan pidana.
d. Hal yang diancam dengan hukum.
e. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum.
f. Tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:69).
Menurut Pompe dalam Bambang Purnomo (1981:86), tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Selanjutnya dikatakan oleh Pompe bahwa menurut hukum positif kita, suatu tindak pidana itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan
9 Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut (Suharto RM, 2002:28).
Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakukan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan, dan b ertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula perbuatan.
Moeljatno (2002:55), tidak menggunakan istilah tindak pidana rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu:
10 a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang.
b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
“Criminal act”. Dalam hal ini meskipun orang telah
melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “Criminal responsibility.” Bahwa orang dapat dipidana dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Oleh karena itu setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum) (Teguh Prasetyo, 2011:50).
11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni (1) dari sudut pandang teoritis dan (2) sudut pandang Undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.
Sedangkan sudut Undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
Menurut Moeljatno (2008:54), unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan.
b. Yang dilanggar (oleh aturan hukum).
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbutan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
12 Menurut R. Tresna (1959:27), tindak pidana terdiri dari unsur- unsur, yakni: a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).
b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan.
c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijauti pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat- syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dalam Martiman Prodjohamidjojo (1996:16), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah: a. Kelakuan manusia.
b. Diancam dengan pidana.
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham dualisme tersebut tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu
13 adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang- undang, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur- unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidanya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah: b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan).
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang apat).
d. Dipertanggungjawabkan. Sedangkan Scbravendijk merinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Kelakuan (orang yang).
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum.
c. Diancam dengan hukuman.
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat).
e. Dipersalahkan/kesalahan.
Walaupun rincian dari beberapa rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
14
2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang.
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam Buku III adalah pelanggaran. Ternayata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, walaupun ada pengecualian seperti Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu: a) Unsur tingkah laku.
Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Cara perumusan seperti itu adalah suatu pengecualian belaka dengan alasan tertentu, dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya di dalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di persidangan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.
15 Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara palsu (Pasal 268 KUHP). Sebagian besar (hampir semua) tindak perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif.
Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban.
b) Unsur Sifat Melawan Hukum.
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formelle
wederrechtelijk ) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan
hukum materiil/materieel wederrechlijk). Karena bersumber pada masyarakat, sering disebut dengan bertentangan dengan asas-asas
16 hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan terletak pada kedua- duanya seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam Undang-undang maupun menurut masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang, contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan gadis yang berpacaran.
Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.
c) Unsur Kesalahan.
Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat
17 subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin orang itu. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana.
d) Unsur Akibat Kondusif.
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: 1) Tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.
2) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana.
3) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana materiil (yang pertama), timbulnya akibat itu bukan untuk memperberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak
18 pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada Pasal 288 KUHP berupa kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini dan menimbulkan luka (bukan luka berat, ayat 1), dan bukan percobaan bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat.
Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya akibat ialah setelah perbatan dilakukan.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat, ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan yang dirumuskan dalam Undang-undang itu tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya Pasal 288 KUHP, perbuatan bersetubuh dengan istrinya itu tidak dapat dipidana, dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang belum waktunya dikawini itu telah timbul.
19 e) Unsur Keadaan yang Menyertai.
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat: 1) Mengenai cara melakukan perbuatan. 2) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan. 3) Mengenai obyek tindak pidana.
5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana. 6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.
f) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana.
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yaitu Kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri setempat.
Perbedaan pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan hanya: (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni korban kejahatan, atau wakilnya yang sah, dan (2) pengaduan
20 diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua syarat itu tidak diperlukan.
g) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana.
Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.
h) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana.
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya dari kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah
21 terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan (Adami Chazawi, 2002: 78-110).
3. Klasifikasi Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuatdalam buku III.
Untuk membedakan bahwa kejahatan merupakan Rechtsdelict Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik Undang-undang melanggar apa yang telah ditentukan oleh Undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (Formeel delicten) dan tindak pidana materiil (Materiel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan dengan
22 syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidaklah penting. pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud menembak, membacok, atau memukul. Untuk selesainya tindak pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya perbuatan.
c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (Culpose delicten).
Tindak pidana sengaja (Doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesegajaan. Tindak pidana yang secara tegas unsur kesengajaan itu dicantumkan, misalnya: Pasal 362 KUHP (maksud), Pasal 338 KUHP(sengaja), Pasal 380 KUHP (yang diketahui), juga ada yang rumusan tindak pidana kesengajaan itu tidak dicantumkan, akan tetapi berdasarkan bunyi/redaksi rumusannya, dapat disimpulkan
23
24
tidaklah mungkin tindak pidana itu dilakukan tanpa sengaja, misalnya:
Pasal 110 (1) KUHP, Pasal 116 KUHP, Pasal 127 KUHP,Pasal 154 KUHP, Pasal 154a KUHP, Pasal 170 (1) KUHP, Pasal 173 KUHP, Pasal 217 KUHP, Pasal 238 KUHP. Sedangkan tindak pidana culpa (Culpose Delicten) adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini, misalnya: Pasal 114 KUHP, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP. pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (Delicta
commissionis ) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak
pidana omisi (Delica ommisionis).Tindak pidana aktif (Delicta commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil), adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan. Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah berupa tindak pidana aktif. Berbeda dengan tindak pidana pasif. Dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah melanggar kewajiban hukumnya. Tindak pidana ini dapat disebut juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum. Tindak pidana pasif ada 2 macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif tidak murni (disebut dengan Delicta Commossionis per
Omissionem ). Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif
yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatanya adalah berupa perbuatan pasif, Sedangkan tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindakan positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul. Misalnya pada pembunuhan Pasal 228 KUHP (sebenarnya tendak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu disebabkan karena seseorang tidak berbuat sebagaimana kewajiban hukumnya harus ia perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, maka disini ada tindak pidana pasif yang tidak murni. Misalnya si Ibu tidak menyusui anaknya agar mati, ini melanggar Pasal 338 KUHP dengan secara perbuatan pasif.
25 e) Berdasarkan saat dan jangkak waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindakpidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), jika perbuatan mengambilnya selesai, maka tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang. Misalnya pada Pasal 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, Pasal 331 KUHP, Pasal 333 KUHP, Pasal 334 KUHP. Kejahatan ini berlangsung lama, tidak selesai seketika. Seperti Pasal 333 KUHP perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. (Buku II dan
26 Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
g) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan tindak pidana aduan (Klacht delicten).
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian dimaksudkan ini. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal
72 KUHP) atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73 KUHP) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
h) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancam, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (Gepriviligeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur-unsurnya dicantumkan dalam rumusan, misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
27 peggelapan (372), pemalsuan surat (Pasal 363 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP). Karena disebutkan secara lengkap unsur- unsurnya, maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang diperberat dan tau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur- unsur pokok itu, melainkan sekedar menyebutkan kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan faktor peringannya, maka ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya. i) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi.
Maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. j) Dari sudut beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).
Tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang
28 selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan yang dimaksud tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandangsebagian selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulang. Contohnya Pasal 481 ayat (1) KUHP, di mana perbuatan membeli, menukar, menerima gadai, kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan. Kebiasaan ini disyaratkan telah dilakukan berulang, setidaknya dua kali perbuatan. Contoh lain ialah Pasal 296 KUHP, di mana juga disyaratkan perbuatan itu dilakukan secara berulang (Adam Chazawi, 2002:117-132).
B. Kepolisian Negara Republik Indonesia 1. Pengertian Polisi
Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan “politeia”, di Inggris “police”, di Jerman “polizei”, di Amerika di kenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”. Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “Polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai title buku pertama Plato yakni “politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali
29 sesuai cita-citanya, suatu negara yang terbebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat,tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari,1995:19).
Dilihat dari sisi historis, istilah “Polisi” di Indonesia tampaknya mengikuti d an menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negara Indonesia.
Menurut Satjipto Rahardjo (2009:111) polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, masyarakat. Kepolisian juga sering dikenal sebagai Bhayangkara yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti “menakutkan” (Karjadi M, 1978:69).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.j.s Poerwodarminta (1952:549) dikemukakan bahwa istilah Polisi mengandungpengertian: a) Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.
b) Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Dalam pengertian ini istilah Polisi mengandung 2 (dua) pengertian makna Polisi tugas dan sebagai organnya.
Dalam Pasal 1 ayat (1),(2) dan (3) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi :
30
31
ayat (1) “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.” ayat (2) “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republi k Indonesia.” ayat (3) “Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang- undang memiliki wewenang umum kepolisian.”
2. Tugas, Wewenang, Fungsi dan Kode Etik Profesi Kepolisian a. Tugas Kepolisian
Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 13, tugas pokok kepolisian ialah:
1) Memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) Menegakkan hukum dan keadilan, 3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pada Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal
13 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas : a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan.
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peratuan perundang-undangan.
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
32
g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang. k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tugas Polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda dan masyarakat serta mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas represif.
b. Wewenang Kepolisian
Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, kepada anggota masing-masing anggota polisi diberi wewenang, yaitu pada Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, para anggota kepolisian berwenang untuk:
33
a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
c) Membawa dan mengahadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
h) Mengadakan penghentian penyidikan. i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi mendesak atau mendadak untuk mencegah dan menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana. k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
c. Fungsi Kepolisian
Dalam Pasal 2 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, unsur pelaksana tugas pokok dalam Kepolisian diantaranya yaitu:
1) Fungsi Intelkam (Intelijen keamanan), fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan, antara lain persandian dan produk intelijen di lingkungan Polres.
b) Pelaksanaan kegiatan operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection), dan peringatan dini (early warning), pengembangan jaringan informasi melalui pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen.
c) Pengumpulan, penyimpanan, dan pemutakhiran biodata tokoh pemerintahan daerah.
d) Pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan lingkungan strategik serta penyusunan produk intelijen untuk mendukung kegiatan Polres.
e) Penyusunan prakiraan intelijen keamanan dan menyajikan hasil analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian pimpinan.
f) Penerbitan surat izin untuk keramaian dan kegiatan masyarakat antara lain dalam bentuk pesta (festival, bazar, konser), pawai, pasar malam, pameran, pekan raya, dan pertunjukkan/permainan ketangkasan.
g) Penerbitan STTP untuk kegiatan masyarakat, antara lain dalam bentuk rapat, sidang, muktamar, kongres, seminar, sarasehan,
34 temu kader, diskusi panel, dialog interaktif, outward bound, dan kegiatan politik, dan h) Pelayanan SKCK serta rekomendasi penggunaan senjata api dan bahan peledak.
2) Fungsi Reserse (investigasi), adalah fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan. wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum.
d) Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim.
e) Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres.
f) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan PPNS baik di bidang operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
35 g) Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres. 3) Fungsi Sabhara, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pemberian arahan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas Satsabhara.
b) Pemberian bimbingan, arahan, dan pelatihan keterampilan dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Satsabhara.
Satsabhara.
d) Penyiapan kekuatan personel dan peralatan untuk kepentingan tugas Turjawali, pengamanan unjuk rasa dan objek vital, pengendalianmassa, negosiator, serta pencarian dan penyelamatan atau search andrescue (SAR).
e) Pembinaan teknis pemeliharaan ketertiban umum berupa penegakan hukum Tipiring dan TPTKP, dan f) Pengamanan markas dengan melaksanakan pengaturan dan penjagaan.
4) Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal: a) Pembinaan lalu lintas Kepolisian.
b) Pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu lintas.
36 c) Pelaksanaan operasi Kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (kamseltibcarlantas).
d) Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi.
e) Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin kamseltibcarlantas di jalan raya.
g) Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan. 5) Fungsi Bimmas, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Pengembangan peran serta masyarakat dalam pembinaan keamanan, ketertiban, dan perwujudan kerjasama Polres dengan masyarakat.
c) Pembinaan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak.
d) Pembinaan teknis, pengkoordinasian, dan pengawasan Polsus serta Satuan Pengamanan (Satpam), dan
37 e) Pemberdayaan kegiatan Polmas yang meliputi pengembangan kemitraan dan kerja sama antara Polres dengan masyarakat, organisasi, lembaga, instansi, dan/atau tokoh masyarakat.
d. Kode Etik Profesi Kepolisian
Dalam pembukaan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam dan kenegaraan, yang selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu antara lain sebagai berikut: Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh
38
39
kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Republik Indonesia.
Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib:
a) Setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya.
b) Menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.
c) Menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural. pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan kemampuan profesionalisme Kepolisian.
e) Menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakkan KEPP.
f) Mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas.
g) Menyelesaikan tugas dengan seksama dan penuh rasa tanggung jawab.
h) Memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan. i) Menampilkan sikap kepemimpinanmelalui keteladanan, ketaatan pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas. j) Melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP sesuai dengan kewenangan. k) Melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan pengawasan internal di lingkunga Polri dalam rangka penguatan
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). l) Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan. m) Mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan. n) Mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan tugas. o) Mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada
Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
C. Penyidikan 1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
40
undangan sebelum mengajukan gugatan ke Pengadlan Tata Usaha Negara (PTUN).
Istilah penyidikan secara etimologis merupakan padanan kata bahasa Belanda yaitu opsporing dan dari bahasa Inggris yaitu investigation.
Sedangkan dari bahasa Latin yaitu investigatio dan dalam bahasa Malaysia yaitu penyiasatan atau siasat (Andi Hamzah, 2000: 118).
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan pengertian penyidik dan penyidikan, yaitu: ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.” ayat (12) “Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian NegaraRepublik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang- undang.” ayat (13) “Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
Pasal 1 butir (1) KUHAP “Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang- undang untuk melakukan penyidikan.”
Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yangterjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
2. Tugas dan Wewenang Penyidik
Pada Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tugas penyidik: (1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak menurangi ketentuan lain dalam Undang-undang ini. (3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.