MULTIKULTURALISME DALAM DISKURSUS MEMPERKUAT KEBINEKAAN DAN KEMAJEMUKAN DI INDONESIA - ISI Denpasar

  JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

  VOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

  INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2010 2010 2010 2010 2010

  i

  DEWAN PENYUNTING Jurnal Seni Budaya MUDRA Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal Ilmiah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRA diakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.

  Ketua Penyunting I Wayan Rai S. Wakil Ketua Penyunting Rinto Widyarto Penyunting Pelaksana

  I Ketut Murdana

  I Wayan Setem

  I Gusti Ngurah Seramasara Diah Kustiyanti Ni Made Ruastiti Ni Luh Sustiawati Penyunting Ahli

  I Wayan Rai S. (ISI Denpasar) Ethnomusicologist Margaret J. Kartomi. (Monash University) Ethnomusicologist Jean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of Art Ron Jenkins. (Wesleyan University) Theatre Michael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist

ISSN 0854-3461

  Alamat Penyunting dan Tata Usaha: UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235 Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id.

  MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990.

  

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantum

pada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format,

istilah dan tata cara lainnya Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali

Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis.

  

Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalam

bentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruan

tinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungan

dengannya yang dapat dimuat pada jumal ini.

  

Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from the

authors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requires

permission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution,

institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.

  iii

  ISSN 0854-3461

JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA JURNAL SENI BUDAYA

  

VOLUME 25 SEPTEMBER 2010 Nomor 2

  1. Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di Indonesia

  Anak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101

  2. Multikulturalisme dan Pariwisata Bali

  Ni Made Ruastiti ................................................................................................................ 108

  3. Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya Bali

  I Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120

  4. Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali

  Gusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131

  5. Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Bali

  I Made Darma Oka ............................................................................................................ 150

  6. Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni Sastra

  I Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159

  7. Penerapan Konsep Joged Mataram dakam Tari

  Supriyanto ........................................................................................................................... 172

  8. Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana” Sajian Ki Mujaka Jaka Raharja

  S. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185

  v

  Multikulturalisme Dalam Diskursus...

  (Anak Agung Gede Rai))

MULTIKULTURALISME DALAM

DISKURSUS MEMPERKUAT KEBINEKAAN DAN

KEMAJEMUKAN DI INDONESIA

  

Anak Agung Gede Rai

Fakultas Ilmu Sosial Politik, Univ. Ngurah Rai Denpasar, Indonesia

  

Abstrak

Artikel singkat ini mencoba untuk mendiskusikan multikulturalisme yang bertujuan agar bisa digunakan sebagai acuan

identitas atau karakteristik budaya dan sebagai suatu kebutuhan untuk menyajikan integrasi sosial yang, nantinya,

memungkinkan varietas budaya dan etnisitas dipakai dalam mengembangkan eksistensi sosial yang lebih wajar dalam

masyarakat Indonesia. Berbicara tentang nasionalisme, banyak kalangan masyarakat terus berpendapat bahwa nasionalisme

Indonesia sebagai menonjol. Namun, alkir-akhir ini terjadi pertentangan antar kelompok-kelompok tertentu. Kompleksitas

budaya yang dikembangkan dalam rangka pengikatan kelompok menjadi satu ke dalam suatu bangsa telah mulai goyah.

Interaksi antar berbagai elemen bangsa telah dipengaruhi oleh rasa tidak percaya dalam kelompok. Kepercayaan antar

kelompok merupakan fondasi utama untuk mencapai suatu bangsa yang multikultural utuh.

  

Multiculturalism in Discourses of Strengthening Diversity

and Pluralism in Indonesia

Abstract

  

T This short article tries to discuss multiculturalism which is aimed at utilising it as identity or a culture characteristic and

as a necessity to present social integration which will enable varieties of culture and etnicity to develop social existence

more reasonable in a nation of Indonesia. Talking about nationalism many circles of societies hold the opinion that

Indonesia nationalism as a worn out stand. Moreover, recently there have been conflicting stands among certain groups.

The complexity of the culture which was developed in order to tie the groups together into a nation has begun to cruble.

Interactions among different elements of the nation have been influenced by distrust within the groups. Trust among the

groups is the prominent foundation in order to achieve a unified multicultural nation.

  Keywords: Multiculturalism, identity, and social integrity.

  menegakkan hukum, maka yang muncul adalah Filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), sudah kerusuhan di Ambon, Poso, Aceh, Tuban Jawa Timur, mengingatkan kita, “Jika dalam suatu masyarakat dan Papua. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia majemuk masing-masing kelompok mengklaim adalah fenomena melemahnya kesatuan bangsa. kebenaran absolut agama, moralitas atau kulturnya,

  Hal inilah yang tidak diharapkan terjadi oleh Sparringa maka yang terjadi adalah konflik. Peringatan dan kemudian menawarkan gagasan multikulturalisme

  Immanuel Kant ini dipertegas oleh Hardiman (2006) sebagai ajaran tentang ‘common culture’ yang yang mengatakan “kebijakan moralitas hanya akan memberikan ruang bagi pencapaian dua kebutuhan memecah belah masyarakat modern yang plural sekaligus. Terpeliharanya kemajemukan dan dalam katagori agama, moral, maupun kebudayaan.” integrasi sosial di tingkat masyarakat dan persatuan berkelanjutan di tingkat bangsa guna pencapaian cita-

  Dalam kenyataannya, di Indonesia justru campur cita bersama sebagai sebuah nation yang memiliki tangan Negara sedemikian besar sampai pada

  Pancasila sebagai dasar bangunan kebangsaan dan kehidupan privat rakyatnya. Ditambah ketidak kenegaraan. Dengan demikian, diharapkan dapat mampuan dan atau ketidakmauan pemimpin

MUDRA VOLUME 25 NO.1 SEPTEMBER 2010: 101-107

  menyemaikan nilai- nilai dan prinsip-prinsip dasar yang diperlukan masyarakat dan bangsa indonesia yang majemuk dalam habitat sosial yang sedang berubah di tenggah-tenggah pergumulan kehidupan kolektif di tingkat lokal, regional, nasional dan global (Sparringa, 2006: 11).

  MULTIKULTURALISME DALAM KEMAJEMUKAN DI INDONESIA

  Akar nasionalisme Indonesia sejak awal didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadaran semacam itu sangat jelas terlihat. Bhenika Tunggal Ika adalah manifes yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Pada prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan dipihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia. Pernyataan ini memang sangat tepat karena motto

  Bhinika Tunggal Ika , tidak hanya untuk

  mengabstraksikan kondisi nyata masyarakat Indonesia yang majemuk tetapi sekaligus merefleksikan impian politik para pendiri Republik, yakni mempercepat persatuan, integritas, dan stabilitas (Ismail, 1999: 55).

  Dalam perjalanan, Indonesia kerap kali mengalami krisis kebangsaan terkait dengan kebijakan negara dalam mengelola pluralitas. Sebagai contoh kongrit, pada era Orde Baru di mana pembangunan dipersonifikasikan sebagai “agama” baru, yang sangat membutuhkan ketertiban dan keamanan agar segala program pembangunan guna mewujudkan masyarakat adil makmur terwujud secara baik. Berkenaan dengan itu hakekat masyarakat Indonesia yang multikultural, atau dengan istilah lain adalah ber- SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) diingkari, karena diasumsikan sebagai ‘embrio’ disintegrasi bangsa. Akibatnya, dalam megelola kemajemukan, pemerintah Orde Baru lebih mengarah pada monokultural, penyeragaman dari sudut pandang

  Bhineka Tunggal Ika , lebih menekankan Tunggal Ika dari pada Bhenika atau multikultural. Arah ke-

  Tunggal Ikaannya adalah Indonesianisasi atau nasionalisasi, yang lebih menonjolkan budaya Jawa.

  Akibatnya, Indonesianisasi identik dengan Jawanisasi (Mulder, 2001). Kebudayaan nasional yang ditawarkan secara gencar pada era Orde Baru adalah Pancasila. Dalam suasana kebinekaan bangsa Indonesia, sebenarnya Pancasila menjadi payung bersama dari semua aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia, apapun latar belakang politiknya. Inilah hakekat pengertian dan fungsi Pancasila sesungguhnya yang dirumuskan oleh pendiri bangsa. Namun politik penyeragaman yang diterapkan oleh Orde Baru, mengakibatkan Pancasila menjadi instrumen hegemoni dan corporatisme state terhadap society. Karena itu pada masa Orde Baru dianut suatu dalil bahwa integrasi sosial hanya mungkin dicapai dalam masyarakat yang homogen (Abdullah, 2005: 82). Selanjutnya Abdullah menyatakan bahwa,

  “Nasionalisasi kemudian berarti homogenisasi kehidupan dalam segala aspeknya untuk menuju pada suatu tatanan yang bersifat total. Perbedaan tidak hanya dihilangkan, tetapi diperangi sebagai suatu kesalahan melalui bahasa dan politik “asas tunggal”. Perbedaan hampir menjadi dosa karena perbedaan itu akan di beri label “PKI” atau “subversi”(Abdullah, 2005: 82).

  Pemberian label seperti itu tidak bisa dilepaskan dari strategi yang lebih menyeluruh, yakni mekanisme oposisi biner. Hal ini berwujud mekanisme penyusunan katagori-katagori simbolik berdasarkan sistem katagori pasangan, di mana kelompok sosial tertentu mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul), dan kelompok lawan pada katagori kedua (buruk, salah, jahat). Konsep yang tersirat dalam oposisi biner digunakan untuk mendiskreditkan pihak lawan yang sekaligus bermakna melanggengkan kekuasaan pihak berkuasa. Oposisi biner juga tidak bisa dilepaskan dari faham kekamiaan (kekitaan) dan kemerekaan atau self dan the other. Pemilahan ini tidak hanya menunjukan mana kawan dan mana lawan, melainkan terkait pula dengan dominasi dan hegemoni. Realitasnya bahwa orang yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal, diberi label anti- Pancasila dan lebih radikal lagi mereka dilabeli PKI. Begitu pula orang yang menonjolkan SARA, diberi label anti-persatuan. Dengan demikian label-label seperti ini merupakan alat bagi negara untuk melakukan kekerasan dan simiotik dalam konteks

  Multikulturalisme Dalam Diskursus...

  (Anak Agung Gede Rai))

  penghegemonian rakyat guna mewujudkan penyeragaman atau kepatuhan mereka terhadap pemerintah (Piliang, 2006: 75). Oposisi biner yang lain yang diterapkan oleh pemerintah, yakni tentang “pusat-daerah” atau pusat- pinggiran. Pusat diposisikan sebagai tempat peradaban, kemajuan, kekayaan, kekuasaan dan kenikmatan hidup. Sebaliknya daerah, adalah alam, keterbelakangan, kekurangan (miskin), ketidakberdayaan, dikuasai dan kesangsaraan hidup (Suparlan, 2000). Pola berpikir seperti ini besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola Negara. Misalanya, orang pusat mengeksploitasi sumber-sumber alam di daerah, guna memperkuat citra pusat sebagai tempat peradaban dan seterusnya. Untuk menutupi eksploitasi itu, mereka berdalih bahwa kue di pusat harus terus diperbesar, setelah itu baru dibagikan secara merata pada masyarakat bawah maupun daerah-daerah. Kontradiksi seperti ini disikapi oleh masyarakat bawah di daerah sebagai ketidakadilan. Akibatnya rasa persatuan dan kesatuan berbangsa jadi menipis. Semua yang dipaparan di atas merupakan sebagian contoh kegagalan kita di masa lalu dalam mengelola masyarakat majemuk di Indonesia. Karena itu Sparingga (2006: 13) dalam artikelnya yang berjudul “multikulturalisme sebagai alternatif dengan pemahaman baru dan holistik”. Menawarkan konsep pikiran sebagai berikut.

  “Saya tidak sedang mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya sedang mengatakan multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang tidak saja perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas kegagalan kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia. Walaupun begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang sedang kita hadapi dalam mendifinisikan, menyepakati, mem- promosikan, dan melembagakan multi- kulturalisme adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus di pahami sebagai agenda yang asli baru dalam wacana politik budaya Indonesia.”

  Ke depan inilah yang menjadi tantangan kita, seluruh anak bangsa harus dapat mereposisi pemikiran dan wacana untuk dapat membangun kesadaran bersama dalam sebuah ruang, yang disatu sisi memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap keragaman dan di sisi lain interpretasi tersebut juga mengandung sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi. Gambaran kongkritnya mirip-mirip seperti penelitian Liliwiri (1994) terhadap multietnik di Kupang. Di Kupang tidak ada dominasi suatu budaya, ini menggambarkan bahwa etnisitas setiap etnik sangat kuat, sehingga semakin sulit pembentukan kota Kupang sebagai melting pot, atau suatu setting

  social yang mampu melahirkan suatu bentuk atau

  ciri budaya baru. Karena hal itu tidak terjadi maka lahir relativisme budaya di mana nilai-nilai yang positif dari suatu etnik bisa diterima oleh etnik lain dan sebaliknya. Sulitnya pembentukan melting pot cenderung meningkatkan etnisitas setiap etnik yang bisa memecah belah kesatuan dan persatuan antaretnik. Tanpa ada suatu tantangan dari luar terhadap semua etnik maka etnisitas setiap etnik tetap bertahan pada masalah yang dihadapinya. Tetapi manakala terdapat tantangan berupa ancaman baik pisik maupun nonpisik sebagai perwujudan perluasan batas-batas etnik atau budaya material dan immaterial dari orang luar NTT maka orang NTT akan bersatu padu.

  Hasil penelitian Liliwiri memberikan pelajaran dan pemahaman baru tentang multikulturalisme seperti yang diharapkan Sparringa. Dalam difinisi dan pemahaman baru tentang multikulturalisme, masih terbentang jalan panjang untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentingan daerah agar sama-sama terpayungi oleh kepentingan nasional. Dengan demikian sepirit multikulturalisme dengan pemahaman baru, ditunjang politik multikulturalisme yang berkeadaban, akan dapat mendukung integritas dan stabilitas dalam kehidupan demokrasi dan pluralitas budaya. Spirit multikulturalisme, yang dilandasi kearifan budaya, akan merangsang tumbuh kembangnya kesaling- pahaman kita dalam pluralitas budaya. Dengan demikian, kita akan menyadari secara mendalam bahwa dalam kehidupan bersama kita harus mengakui “keberagaman dalam kesatuan, kesatuan dalam keberagaman.” Sepirit multikulturalisme sarat mengandung pencerahan, dan tampaknya inilah yang sangat dibutuhkan untuk membangun rasa kebangsaan dan identitas nasional sebagai perwujudan universalitas dalam pluralitas budaya.

MUDRA VOLUME 25 NO.1 SEPTEMBER 2010: 101-107

  Gagasan seperti yang telah diuraikan di atas, sangat penting untuk secara terus menerus diwacanakan serta dikembangkan dalam praktek. Spirit multikulturalisme tidak cukup untuk dipahami oleh diri sendiri, melainkan harus dibangun untuk disebarluaskan kepada seluruh anak bangsa Indonesia. Berbagai forum dapat difungsikan secara maksimal untuk mensosialisasikan. Salah satu caranya melalui pendidikan multikultural, pilihan pada pendidikan didasarkan pada pertimbangan bahwa fungsi pendidikan mentranmisikan nilai-nilai luhur yang mampu menyangga kelangsungan hidup bangsa, Negara dan masyarakat. Makna pendidikan multikultural adalah “…pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan” (Azra, 2002:10). Tujuannya adalah menanamkan tiga sub nilai: a) menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari, dan menilai warisan budaya seseorang;

  b) menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) kebudayaan- kebudayaan salain kebudayaanya; dan c) menilai dan merasa senang dengan perbedaan-perbedaan itu sendiri. Perbedaan-perbedaan tidak saja dihargai, melainkan diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang dalam konteks kesederajatan (Blum, 2001).

  Disadari sistem pendidikan di Indonesia belum ada pencanangan mata pelajaran khusus tentang pendidikan multikultural. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa pendidikan multikultural tidak dapat dilaksanakan, melainkan bisa diterapkan, dengan cara memadukannya dengan mata pelajaran yang terkait dengan penumbuhkembangan moral kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Substansi pendidikan multikultural, bisa berkait dengan tataran diskriptif dan normatif, yakni mengambarkan aneka isu dan masalah pendidikan yang berhubungan dengan kemultikulturan, misalnya tentang toleransi, tema- tema tentang perbedaan etnokultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi (resolusi konflik, manejemen konflik), HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan (Azra, 2002). Pendidikan multikultural tidak bisa hanya dijelaskan di ruang kelas, melainkan harus dipraktiskan- diaktualisasikan dalam bentuk karsa, kata dan karya atau dalam konsep agama Hindu, harus dimanunggalkan dalam konteks Tri Kaya Parisudha, yakni apa yang diajarkan simpan dalam pikiran (manacika), lalu diucapkan (wacika), dan dilaksanakan atau dipraktikkan (kayika) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Intinya pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah. Tapi juga bermoral,bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang (Lie, 2006: 6). Dalam pandangan kritis Sparringga (2006: 13) tentang multikulturalisme harus bersaing dengan pendekatan asimilasi atau lebih dikenal dengan pembauran dan dengan pendekatan integrasi yang pada masa lalu dipromosikan oleh eksponen BAPERKI, adalah sebagai berikut.

  “Pendekatan asimilasi berangkat dari kesadaran tipologis tentang (yang) ’asli’ dan (yang) ’asing’. Asumsi yang dipakai dalam tipelogi ini adalah yang ’asli’ harus dilindungi dari yang ’asing’ karena kepercayaan bahwa yang disebut terahir itu memiliki potensi mengancam yang pertama. Itu sebabnya pendekatan asimilasi mendiktekan sebuah setrategi budaya yang mendorong yang ’asing’ membaur dengan yang ’asli’. Harus dikatakan di sini, walaupun secara tioritis yang disebut dengan yang ’asing’ berlaku untuk yang tidak ’asli’, dalam kenyataanya wacana ini terutama diarahkan pada kelompok etnis cina. Tidak heran apabila pendekatan asimilasi ini dituduh tidak hanya berbau xenophobia tetapi juga rasis. Sementara itu, pendekatan Integrasi, menurut saya, tidak cukup lengkap menjawab kebutuhan masyarakat majemuk di negeri ini. Salah satu alasan utama adalah, pendekatan ini jelas dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi penolakan sebagian kelompok etnis Cina terhadap gagasan pembauran.”

  Yang tidak memadai dalam pendekatan tersebut, pertama, terkesan ada perlakuan yang tidak adil, karena pendekatan tersebut hanya ditujukan pada etnis Cina, padahal kelompok etnis lainnya seperti etnis Arab atau yang setengah ’asli’ atau setengah ’asing’ seperti kaum Indo tidak tersentuh. Kedua, pendekatan Integrasi tidak menghadirkan konsep

  Multikulturalisme Dalam Diskursus...

  (Anak Agung Gede Rai))

  masyarakat yang dibangun atas ciri kemajemukan yang partisipatoris dan imansipatoris. Pandangan kritis di atas semakin dapat dipahami karena semua itu sebagai warisan Kolonialisme. Dalam persepektif Teori Poskolonial masalah etnisitas merupakan warisan kolonial Belanda, yang menata masyarakat jajahan mengikuti ideologi rasial, diwujudkan dalam penciptaan golongan-golongan dan kasta-kasta berdasarkan ras. Pada zamam Belanda, di kenal tiga kasta, yakni kasta kulit putih (orang Belanda dan Eropa), kasta timur asing (Tionghoa, Arab, dan lain-lain), dan kasta pribumi (Loomba, 2003). Pembagian ini berdemensi sosial, ekonomi, pekerjaan, hukum, dan politik. Pemukiman mereka menganut asas segregasi sosial, misalnya, ada kampung khusus untuk orang tionghoa, yakni

  pecinan , dan ada pusat kegiatan bisnis. Kebijakan

  ini bertalian erat dengan strategi politik yang lebih luas, yakni dikenal dengan devide et empera sehingga masyarakat kolonial yang majemuk lebih terpecah belah.

  Pemerintah kolonial Belanda tidak saja menempatkan orang Cina pada kasta yang lebih tinggi, tetapi memberikan pula posisi sebagai pedagang perantara yang menjebatani kapitalis tinggi (orang kulit pitih) dan orang pribumi yang berada pada lapisan terbawah yang kebanyakan sebagai kelas konsumen dan pedagang kecil. Karena memiliki semangat kewirausahan yang tinggi, mengakibatkan banyak orang Cina sukses dalam bidang ekonomi. Posisi orang Cina sebagai pedagang perantara, secara cerdik dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk mengisap atau sebagai buffer guna menghadapi pribumi. Akibatnya timbul resistensi terhadap etnik Cina (Pelly, 2003).

  Pascakemerdekaan, tiga kasta berubah jadi dua kasta, yakni orang Timur Asing (Cina), dan Pribumi, sedangkan kasta kulit putih meninggalkan Indonesia, selanjutnya terbentuklah oposisi biner- self dan the

  other. Disadari kondisi ini rawan terhadap konflik,

  sehingga pemerintah Indonesia berusaha menanganinya secara serius. Karena itulah pada rezim Orde Baru diterapkan kebijakan asimilasi, hal ini tampak pada ucapan mantan presiden Soeharto yang secara tegas menyatakan, bahwa “…warga negara Indonesia keturunan Cina harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli” (Suryadinata, 2003: 2). Karena itu mereka diharuskan ganti nama, menanggalkan sistem persekolahan yang eksklusif, meniadakan surat kabar berbahasa cina, melakukan perkawinan campuran dan lain-lainnya. Kebijakan asimilasi mendapat sambutan positif dari sejarawan Cina, hal ini dapat disimak dari pernyataanya sebagai berikut.

  Menuju kearah kesatuan ini hanya dapat dicapai dengan jalan asimilasi, sehingga eksklusivitas dari minoritas hancur, sehingga perhubungan- perhubungan antara minoritas dan mayoritas dipercepat dan menambah perkawinan- perkawinan campuran. Dengan demikian dapat tercapailah asimilasi biologis, ekonomis, sosial, politik dan lain-lain. …asimilasi inilah yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tidak menghendaki golonganisme dan sukuisme. Kita jangan lupa bahwa politik Van Mook mempunyai dua ciri, yaitu menekankan perbedaan-perbedaan daerah dan suku-suku di Indonesia, serta juga golongan-golongan bangsa dan masyarakat lain. Menuju asimilasi berarti ikut serta dalam penghancuran politik Van Mook (Onghokham, 2005: 214).

  Perkawinan campuran seperti yang diuraikan di atas, dipandang dapat mengatasi dekotomi pribumi dan nonpribumi, dengan alasan karena perkawinan itu menyatukan dua insan dan keluarganya. Dalam kenyataannya perkawinan campuran sulit berlangsung, karena pada masyarakat Bali misalnya, laki-laki Bali enggan kawin dengan perempuan Cina. Hal ini bukan saja disebabkan perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya, tetapi karena secara sosioistoris orang Cina dianggap lebih tua (saudara tua). Kastaisme kontruksi kolonial Belanda memposisikan orang Cina pada kasta yang lebih tinggi dari pada pribumi Bali. Sistem kasta masyarakat Bali yang beragama Hindu, bahwa laki-laki yang berkasta lebih rendah tidak boleh kawin dengan perempuan berkasta lebih tinggi. Untuk memperkuat larangan itu, maka orang Cina dikatakan panes (panas), sehingga laki-laki Bali yang mengawininya dipercaya tidak akan bahagia (Atmadja, 2006: 9). Kegagalan mengasimilasikan orang Cina, mengakibatkan mereka tetap the other. Dekotomi antara pri dan nonpri tidak semata-mata bermakna pemisahan yang berdekotomi, melainkan mengandung pula muatan dehumanistik. Kenyataanya dapat dilihat pada peristiwa tanggal 13-

  15 Mei 1998, kerusuhan terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Kerusuhan di

MUDRA VOLUME 25 NO.1 SEPTEMBER 2010: 101-107

  Jakarta, mengakibatkan 704 bangunan dirusak yang dimiliki oleh orang Cina. Kerusuhan ini disertai pula perkosaan dan pelecehan seksual secara masal terhadap perempuan Cina. Catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan menunjukan bahwa jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual yang melapor sampai tanggal 3 Juli 1998, sebanyak 168 orang (Arivia, 2003: 21).

  Pada era reformasi sekarang ini, di samping contoh- contoh yang telah dipaparkan di atas, yang menjadi kendala dalam mewujudkan multikulturalisme di Indonesia, maka ada aspek lain yang dapat menimbulkan krisis kebangsaan yaitu globalisasi. Karena terpaan kebudayaan global terus semakin deras, sejalan dengan kemajuan teknologi tranportasi, komunikasi dan informasi. Kebudayaan global memang memberikan manfaat, yakni memperkaya kebudayaan etnik dan kebudayaan nasional, memberi kenikmatan, dan sekaligus mengantar kita ke dalam masyarakat modern dan bahkan terus bergerak menuju masyarakat postmodern, masyarakat postindustri atau masyarakat informasi (Amal, 1998). Sebaliknya globlisasi juga dapat menjadi ancaman bagi identitas kebudayaan etnik dan identitas kebudayaan nasional. Dengan perkataan lain globalisasi menjadi ancaman multikulturalisme, karena globalisasi menghasilkan kecenderungan monokulturalisme yang terutama didorong oleh proses-proses dan praktik- praktik material-rasional yang dibawa oleh ekonomi pasar global (Sparringa, 2006: 14).

  Ancaman ini bertalian dengan kenyataan bahwa globalisasi bermuatan ideologi kapitalisme, materialisme, dan konsumtivisme, akan melahirkan manusia yang memiliki kegemaran, yakni pertama, merayakan hasrat, khususnya hasrat memiliki (kekayaan, kekuasaan, popularitas). Kedua, merayakan citra (mengutamakan kulit dari pada isi, penampilanisme, wajahisme). Ketiga, merayakan konsumerisme, kegandrungan dalam dunia belanja gemerlap (Piliang, 2006). Begitu kuatnya kesukaan manusia marayakan hasrat, citra, dan konsumerisme, dapat dicermati semakin menjamurnya istana-istana belanja. Dengan demikian pada era globalisasi, manusia sering disebut sebagai penganut agama pasar. Agama pasar menggunakan pasar sebagai tempat suci, sedangkan uang adalah tuhannya. Mengingat uang sangat berkuasa dalam memenuhi segala keinginan manusia pada pasar, akibatnya, manusia sangat membutuhkan uang sehingga terbentuk moneytheisme (Atmaja, 2006: 20).

  Dengan mengacu kepada Budiman (1998) kondisi manusia mendewakan uang, materi, dan pasar, menimbulkan implikasi, yakni “…sebagai hasilnya kita lihat lahirnya sebuah generasi manusia yang tidak lagi berbicara tentang solideritas dengan orang-orang yang lemah (kecuali sebagai lip service), tetapi tentang bagaimana memperoleh keuntungan material sebanyak-banyaknya, kalau perlu dengan tipu yang licik ataupun kekerasan”. Berkenaan dengan itu muncul orang-orang yang memiliki karakter, pertama, mentalitas memuja hasil ketimbang proses. Kedua, mentalitas indisipliner (kecendrungan minimnya disiplin bangsa), Ketiga, berpikir kemasa lalu (hanyut dalam mitos kebesaran, kejayaan). Keempat, perangkap irasional (memecahkan masalah secara mistis). Kelima, budaya informalitas yaitu, kecendrungan ke arah berbagai aturan tidak nampak dalam mengatur berbagai kegiatan masyarakat (Piliang, 2004). Kalau masih ditemukan solideritas, maka lebih berorientasi pada keluarga, kedaerahan, etnik, dan atau kelompok. Hal-hal semacam ini, disadari maupun tidak, mereka telah menodai identitas kebangsaan yang sedang berjuang mensosialisasikan multikulturalisme dan nasionalisme Indonesia.

  SIMPULAN

  Multikulturalisme sebagai realitas dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah ajaran multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti entitas dan budaya dikelola dalam ruang-ruang publik. Dengan perkataan lain, multikulturalisme merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang panjang dan menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat lebih tinggi dapat terpelihara (Common Culture ).

  Memahami multi kulturalisme dengan arif, akan dapat menangkal dan mengikis etnosentrisme chauvistik. Dilanjutkan dengan menumbuhkembngkan spirit multikulturalisme yang dapat membangkitkan

  Multikulturalisme Dalam Diskursus...

  (Anak Agung Gede Rai))

  kesalingpahaman (mutual understanding), antar kelompok (etnik) dalam pluralitas budaya di negeri ini. Kesalingpahaman ini diharapkan akan mengukuhkan identitas nasional, yaitu sosok identitas yang kita sepakati bersamayang menjunjung tinggi prinsip keberagaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keberagaman.

  Kolonialime , (Terjemahan Hartono Hadikusumo), Bintang Budaya, Jogjakarta.

  Loomba, Ania. (2003), Kolonialisme/Pasca

  Liliwiri. Alo. (1994), Perangsangka Sosial dan Komunikasi Antaretnik; Kajian tentang Orang Kupang, Nusa Tengara Timur, dalam Prisma, No.12, Desember 1994.

DAFTAR RUJUKAN

  Nasional di selenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana, Tanggal 18 Nopember 2006.

  Indonesia , (terjemahan Wisnu Hardana, LkiS, Yogyakarta.

  Suryadinata, L. (2003). “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: dari Asimilasi ke Multikultural” Daalm Jurnal Antropologi Indonesia, XXVII, Nomor 1-12.

  Suparlan, P. (2000), “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Nomor 63, XXIV.

  Sparringa,Daniel. (2006), “Multikulturalisme Indonesia: Jawaban terhadap Kemajemukan”, (Makalah) seminar tentang “Pendekatan Multikulturalisme untuk Memperkuat Kebhinekaan dalam Diskursus Pancasila” yang diselenggarakan oleh FISIP Universitas Airlangga bekerja sama dengan Universitas Surabaya dan Lembaga Pengkajian Regional (LKPR), Surabaya tanggal 24 Mei.

  Sebuah Pendekatan Multi Persepektif, Jalasutra, Yogyakarta.

  __________. (2006), “Antara Minimalisme dan Pluralisme”. Dalam A. Adlin ed. Mengledah Hasrat

  Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Jogyakarta.

  Piliang, Y.A.(2004), Posrealitas Realitas

  Indonesia, XXVII, Nomor 34-45.

  Onghokham. (2005), Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Komunitas Bambu, Jakarta. Pelly, U. (2003), “Murid Pri dan Nonpri pada Sekolah Pembaruaan: Kebijakan Asimilasi Orde Baru di Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Multikulturalisme”. Dalam Antropologi

  Mulder, N. (2001), Ruang Batin Masyarakat

  Azra, A. (2002), “Pendidikan Multikultural Membangun Kembali Indonesia BhenikaTunggal Ika”, (Makalah) simposium Internasional Bali ke-3 Jurnal Antopologi Indonesia Denpasar Bali, 16-21 juli 2002).

  Abdullah, I. (2005), “Diversitas Budaya, Hak-hak Budaya Daerah, dan Politik Lokal di Indonesia”. Dalam Jamil Gunawan et al. ed, Desentralisasi

  Globalisasi dan Demokrasi Lokal, LP3ES, Jakarta.

  Arivia, Gadis. (2003), Filsafat bersepektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Atmadja, N.B. (2006), Pemulihan Krisis

  Kebangsaan dan Multikulturalisme dalam Persepektif Kajian Budaya. (Makalah) Seminar

  Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Tiara Wacana, Yogyakarta.

  Ismail, Faisal. (1999), Ideologi Hegemoni dan

  Antisispasi Indonesia Memasuki Abad Ke-21 , Pustaka Pelajar.

  Budiman, A. (1998), “Nasionalisme,Kohesi Nasional dan Globalisasi”. Dalam Y.M.A Azis, ed. Visi Global

  Multikultural. (Sinta Corolina Penterjemah), Tiara Wacana, Yogyakarta.

  Blum, L.A. (2001), “Antirasisme, Multikulturalisme dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”. Dalam Larry May, Shari Collin-Chabanian dan Kai Wong, ed. Etika Terapan Sebuah pendekatan

  Lie, Anita. (2006), Membangun Model Pendidikan Multikultural , Kompas 1 September, Jakarta.

  Indeks Pengarang Jurnal Seni Budaya MUDRA Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 Darma Oka, I Made., 150 Gede Rai, Anak Agung., 101 Herawati, S. Hesti., 185 Ruastiti, Ni Made., 108 Suarjaya, I Wayan., 120 Suartika, I Gusti Ayu Made., 131 Suka Yasa, I Wayan., 159 Supriyanto., 172

  198

  

Daftar Nama Mitra Bestari sebagai

Penelaah Ahli Tahun 2010

  Untuk Penerbitan Volume 25 No. 1 JANUARI 2010 dan Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Seni Budaya Mudra telah ditelaah oleh para mitra bestari (peer reviewers) berikut ini 1.

  I Wayan Rai S. (Institut Seni Indonesia Denpasar) ethnomusicologist

  2. Sardono W. Kusumo (Institut Kesenia Jakarta) dance

  3. Sal Margianto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) dance

  4. Ron Jenkins (Wesleyan University-USA) theatre 5.

  I Nyoman Sirtha (Universitas Udayana Denpasar) sastra

  6. Ni Luh Sutjiati Beratha (Universitas Udayana Denpasar) sastra

  7. Soegeng Toekio M (Institut Seni Indonesia Surakarta) visual arts

  8. M. Dwi Maryanto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) visual arts

  9. Jean Couteau (Pengamat Seni tinggal di Bali) sociologist of art 10.

  I Wayan Geria (Universitas Udayana Denpasar) anthropology 11.

  I Made Suastika (Universitas Udayana Denpasar) sejarah

  12. Ida Bagus Gde Yudha Triguna (Universitas Hindu Denpasar) religion

  13. Ketut Subagiasta (Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) religion Jean Couteau (Pengamat seni tinggal di Bali)

  Penyunting Jurnal Seni Budaya Mudra menyampaikan peng-hargaan setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar- besarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuan mereka.

  

PETUNJUK UNTUK PENULIS

JUDUL NASKAH

(all caps, 14 pt, bold, centered)

(kosong satu spasi tunggal, l4 pt)

l 2 3 Penulis Pertama , Penulis Kedua , dan Penulis Ketiga (12 pt)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

  

1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota,

Kode Pos, Negara (10 pt)

  

2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos,

Negara (10 pt)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic)

  

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

TITLE

  (All caps, 14 pt, bold, centered) (Blank, one single space of 14 pt)

  First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (12 pt) (Blank, one single space of 12 pt)

  1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt)

  2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt)

  (Blank, one single space of l2 pt) E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic)

  (Blank, two single spaces of 12 pt)

  

Abstrak (12 pt, bold)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis

terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran

10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta

hasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata.

  

(kosong dua spasi tunggal, l2 pt)

Title in English (12 pt, bold)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

1 Abstrak (12 pt, bold)

  (Blank, one single space of 12 pt) Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract. The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim of the research, research method, and the results in no more than 250 words.

  (blank, one single space of 12 pt) Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics)

  (blank, three single spaces of 12 pt)

  PENDAHULUAN (12 pt, bold) (satu spasi kosong, 10 pt) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11 pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balik pada satu halaman. Naskah ditulis pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing- masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jika naskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untuk menjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jika ditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi standar tata bahasa Inggris baku. Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan akhir abstrak.

  Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar dan diberi nomor dengan angka Arab. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan. Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada) diletakkan setelah Simpulan dan sebelum Daftar Rujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusun sebagai berikut: Introduction, Method, Results and/ or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jika ada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Ref- erence. Sebaiknya, penggunaan subsubheadings dihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered out- line yang terdiri dari angka Arab. Jarak antara paragraf satu spasi tunggal.

  Singkatan/Istilah/Notasi/Simbol Penggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harus dituliskan secara lengkap pada saat pertama kali disebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tanda kurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis dengan huruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas serta konsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/ lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka 0 dan huruf O).

  Introduction (12 pt, bold)

  (blank, one single space of 10 pt) The manuscript should be printed with Times New Roman font, size 11 pt, single spaced, justified on each sides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297 mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cm from below and 2 cm from each side. The manu- script must not exceed 20 pages including pictures and tables. When the manuscript go far beyond that limit the contributors are advised to make it into two separate papers. The manuscript is written in Indo- nesian or English. When English is used strict ad- herence to English grammatical rules must be ap- plied. The title should be short and informative, and does not go over 20 words. Keywords are in English and presented at the end of the abstract.

  The beginnings of headings and subheadings should be capitalized and given Arabic numbering. The parts of the manuscript should at least include an Intro- duction, Method, Results and/or Discussion, Conclu- sion and References. When there is an acknowl- edgment, it should be put after the conclusion but before references. Usage of sub-subheadings should be avoided. When needed, use numbered outline using Arabic numbers. The distance between one paragraph to the next is one single space.

  Abbreviations/Terms/Symbols

  Abbreviations are allowed, but they should be writ- ten in full when mentioned for the first time, followed by the abbreviations inside the brackets. Foreign and ethnic terms should be italicized. Notation must be compact and clear, and consistently follows the ac- cepted standard. Symbols are written clearly and easily distinguished, such as number 1 and the letter l (or number 0 and the letter O). Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran 10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabel dengan format seperti terlihat pada contoh. Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jarak tabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabel diletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks. Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jika judul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit, maka kolom diberi nomor dan keterangannya diberikan di bagian bawah tabel.

  (kosong satu spasi, 10 pt)

  Tables are written with Times New Roman size 10pt and put one single space down below the tables’ titles. The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyare shown in the example. The tables are numbered with Arabic numbers. The distance of a table with the preceding paragraph is one single space. The tables are presented after they are being referred to in the text. 1 pt thick lines should be used to outline the tables. If the titles for the columns are long and com- plicated, the columns should be numbered and the explanation of each number should be put below the table.

  (blank, one single space of 10 pt)

  Idealisme Mitologi Mimesis Imitasi Katarsis Transeden Estetika Pencerahan Teologisme Relativisme Subjektivisme Positivisme Rasionalisme

  Realisme

Humanisme Universal

Simbolisme Strukturalisme Semiotik Fenomenologi Ekoestetik Kompleksitas Etnosentris Budaya Komoditas

  Poststrukturalisme Global-Lokal Intertekstual Postpositivisme Hiperrealita Postkolonial Oposisi biner Dekonstruksi Pluralisme Lintas Budaya Chaos