PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN MEDIASI SEBAYA UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESI RELASI SISWA ipi183244

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN MEDIASI SEBAYA UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESI RELASI SISWA

Hidayat Ma’ruf

Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin

Jl. A. Yani Km. 4,5 Banjarmasin 70235 Indonesia

E-mail: hdyt_mrf@yahoo.co.id

ABSTRACT

A Peer Mediation Training Model Development for Reducing Students’ Relational Aggression

Behavior. The school environment is not always comfortable for apart of the students, one of the causes is conflict among students which is manifested in relational aggression behavior. The peer mediation training model need to be made for diminishing the relational aggression behaviors that appeared among the students at that schools. However, in fact, there is not any training model that can be used to provide the mediator students at the junior high schools. For assisting school counselors, the school provides training through which the peer mediation training model needs to be made. The product evaluations were requested to two expert evaluators, seven counselors after the training simulation done, and forty eight training participants from two SMPs. The evaluation results of experts, counselor in the small group try-out, students’ evaluation and counselor in limited field try-out and revision which had been carried try-out indicated that training material and strategy could be stated that it was appropriate to be used.

Keyword:: Training, Mediation, Peer, Relational Aggression.

ABSTRAK

Lingkungan sekolah tidak selalu nyaman dan menyenangkan bagi sebagian siswa. Salah satu penyebabnya adalah adanya konflik yang diwujudkan dalam perilaku agresi relasi. Dibutuhkan model pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi yang muncul diantara para siswa di sekolah. Saat ini belum ada model yang dapat digunakan oleh konselor sekolah untuk melatih siswa sebaya menjadi mediator dalam mengatasi konflik tersebut. Untuk menghasilkan model tersebut, perlu penilaian para ahli, konselor, dan partisipasi sejumlah siswa. Hasil evaluasi menyimpulkan bahwa matari dan strategi yang terdapat dalam model sudah tepat untuk digunakan dalam pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi siswa

Kata Kunci: Pelatihan, Mediasi, Sebaya, Agresi Relasi.

PENDAHULUAN

Sekolah seharusnya menjadi tempat

yang nyaman dan menyenangkan bagi

siswa dalam mengembangkan berbagai

macam potensi yang mereka miliki.

Namun, bagi sebagian siswa ternyata

lingkungan sekolah tidak selalu nyaman

dan

menyenangkan.

Salah

satu

penyebabnya adalah adanya konflik yang

diwujudkan dalam perilaku agresi relasi.

Ketika terjadi konflik, siswa yang

beranjak remaja memahami ada alternatif

yang dapat digunakan untuk menyakiti

lawannya dalam bentuk non fisik, sehingga

mereka tidak terlalu khawatir perbuatannya

diketahui orang banyak (Yoon et al., 2004).

Mereka

menyakiti

lawannya

melalui

perilaku

agresif

yang

lebih

halus

bentuknya,

seperti pengasingan sosial,

menggosip dan menyebarkan rumor. Label

yang digunakan untuk menggambarkan


(2)

bentuk perilaku tersebut adalah agresi relasi

(Crick & Grotpeter, dalam Vitaro et al.:

2006).

Perilaku agresi relasi seringkali

dipertontonkan oleh anak antara usia 11

tahun sampai dengan 14 tahun, atau anak se

usia siswa SMP,

sebagaimana yang

disebutkan Crick et al. (dalam Salket, 2005:

21) sebagai berikut:

“Relational aggression

is displayed frequently by children between

ages of 11 and 14”

. Selanjutnya, dengan

mengutip pendapat Parker dan Prinstein,

Salket (2005: 21) menyatakan:

… that

middle-school-aged

children

spend

increasing amounts of time with their peers

and peer support becomes increasingly

important during this period, it is logical to

presume

that

relational

aggression

becomes especially effective and salient at

this age. Anak se usia siswa SMP lebih

banyak

mendapatkan

dukungan

dan

menghabiskan waktu bersama teman-teman

sebayanya. Inilah sebabnya jika terjadi

pertentangan di antara sesama mereka,

maka agresi relasi dianggap sebagai sesuatu

yang efektif untuk menyerang sesama

temannya

sehingga

dengan

demikian

perilaku agresi relasi sering terjadi di antara

mereka.

Teman sebaya dipandang lebih

dapat memahami teman sebaya lainnya

dibandingkan dengan orang dewasa lain

seperti konselor, guru dan bahkan orang

tuanya sendiri (Cohen, dalam Kraan 2003:

11). Oleh sebab itu, orang yang dianggap

tepat sebagai penengah dalam membantu

menyelesaikan permasalahan agresi relasi

di antara sesama siswa adalah teman sebaya

mereka sendiri.

Siswa

penengah

sebaya

perlu

pengetahuan dan keterampilan agar dapat

menjalankan

perannya

dengan

baik.

Pengetahuan dan keterampilan dasar yang

diperlukan penengah sebaya sebagaimana

yang ditulis oleh Bodine dan Crawford

(dalam Kraan, 2003: 13) adalah sebagai

berikut:

The basic training activities for peer

mediators should relate to:

▪ understanding conflict

▪ responses to conflict

▪ origins of conflict

▪ role of the mediator

▪ communication skills

▪ the mediation process.

Khusus mengenai proses mediasi,

Silver dan Vermander (2000) menuliskan

bahwa proses mediasi terdiri dari

langkah-langkah sebagai berikut: (1) Open the

session; (2) Gather the information; (3)

Focus on common interests; (4) Create

options; (5) Evaluate options and choose a

solution; and (6) Write the agreement and

close. Sementara itu, Kraan (2003: 51)

menuliskan terdapat enam langkah dalam

proses mediasi, yaitu: Introduction, telling

the story,

understanding the problem,

alternative search, resolution, departure.

Dengan berbekal pengetahuan dan

menguasai beberapa keterampilan dasar


(3)

yang

diperlukan,

diharapkan

siswa

penengah sebaya dapat melaksanakan tugas

atau

fungsinya

menjembatani

dan

menyelesaikan permasalahan yang terjadi

antara mereka yang terlibat dalam perilaku

agresi relasi. Namun demikian, umumnya

di sekolah (SMP) belum terdapat model

pelatihan yang dapat digunakan untuk

membekali siswa penengah sebaya. Untuk

membantu

para

konselor

sekolah

memberikan pelatihan tersebut, maka perlu

dikembangkan sebuah model pelatihan

mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku

agresi relasi yang terjadi di antara sesama

siswa.

Pengembangan ini bertujuan untuk

menghasilkan

produk

berupa

model

pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi

perilaku agresi relasi siswa di sekolah yang

terdiri atas: a) Materi Pelatihan, dan b)

Panduan

Pelatihan,

serta

melakukan

validasi terhadap kedua produk tersebut.

PROSEDUR PENGEMBANGAN

Mengikuti

pendapatnya

Tim

Puslitjaknov

(2008:

11),

prosedur

pengembangan model ini menempuh lima

langkah:

1)

Penelitian

pendahuluan

(prasurvei) dan analisis produk yang akan

dikembangkan, 2) Mengembangkan produk

awal, 3) Validasi ahli dan revisi I, 4) Uji

coba kelompok kecil dan revisi II, dan 5)

Uji coba lapangan terbatas dan revisi akhir.

Dengan

demikian,

pengembangan

ini

dilakukan sampai pada tahap uji lapangan

terbatas dan revisi akhir, tidak sampai pada

tahap

diseminasi

dan

implementasi.

Tahapan diseminasi dan implementasi

dapat dilakukan pada penelitian lanjutan

setelah produk yang dihasilkan sudah teruji

kelayakannya.

HASIL PENELITIAN

Langkah pertama yang dilakukan

adalah studi pendahuluan (pra survei) untuk

mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta

empiris mengenai perilaku agresi relasi

yang terjadi di antara para siswa, dan

sejauhmana perilaku tersebut terjadi.

Terdapat 8 macam bentuk perilaku

agresi relasi yang digali melalui kuesioner,

yaitu: membicarakan keburukan teman,

tidak menyapa, menghina di depan orang

lain, menfitnah, memanggil dengan sebutan

yang tidak disukai, mengajak orang lain

untuk meninggalkannya, mengancam tidak

akan berteman lagi, dan memandang

dengan wajah sinis.

Studi pendahuluan di lakukan di

SMP Negeri “A” dan “B” Banjarmasin.

Hasil studi pendahuluan dapat disajikan

berturut-turut dalam bentuk tabel 1 dan 2

sebagai berikut:

Tabel 1

Hasil Kuesioner dari Siswa SMP Negeri

“A” Banjarmasin tentang Peristiwa Perilaku

Agresi Relasi (disajikan dalam bentuk

frekuensi dan persentasi)


(4)

BENTUK AGRESI RELASI

1 2 3 4 5 6 7 8

K O R B A N P er n ah

Jarang(29,8%)57 (31,4%)60 (28,3%)54 (20,4%)39 (20,9%)40 (27,7%)53 (15,7%)30 (34,6%)66 Kadang-Kadang 66 (34,6%) 44 (23%) 32 (16,8%) 16 (8,4%) 38 (19,9%) 28 (14,7%) 14 (7,3%) 39 (20,4%) Sering (12%)23 (7,3%)14 (7,9%)15 (7,9%)15 (19,4%)37 (4,2%)8 (4,2%)8 (4,7%)9 Sangat Sering 7 (3,7%) 7 (3,7%) 11 (5,6%) 9 (4,7%) 25 (13%) 4 (2,1%) 1 (0,5%) 7 (3,7%) (80,1%)153 (65,4%)124 (58,6%)112 (41,4%)79 (73,3%)140 (48,7%)93 (27,7%)53 (63,4%)121

Tidak Pernah 38 (19,9%) 67 (34,6%) 79 (41,4%) 112 (58,6%) 51 (26,7%) 98 (52,3%) 138 (72,3%) 70 (36,7%) S A K S I P er n ah

Jarang(24,1%)42 (32,5%)62 (27,2%)52 (31,9%)61 (12%)23 (27,7%)53 (24,6%)47 (35,1%)67 Kadang-Kadang 71 (37,2%) 56 (29,3%) 58 (30,4%) 43 (22,5%) 52 (27,2%) 53 (27,7%) 22 (11,5%) 61 (31,9%) Sering (22%)42 (18,3%)35 (20,4%)39 (11%)21 (30,9%)59 (11%)21 (7,33%)14 (11,5%)22 Sangat Sering 13 (6,8%) 14 6,8%) 39 (20,4%) 5 (2,6%) 35 (18%) 4 (2,1%) 1 (0,5%) 6 (3,1%) (90,1%)172 (87,4%)167 (90,6%)173 (68,1%)130 (88,5%)169 (68,6%)131 (44%)84 (81,7%)156

Tidak Pernah 19 (9,95%) 24 (12,6%) 18 (9,42%) 61 (31,9%) 22 (11,5%) 60 (31,4%) 107 (56%) 35 (18,3%) P E L A K U P er n ah

Jarang(36,6%)70 (31,9%)61 (19,4%)37 (10,5%)20 (37,7%)72 (19,4%)37 (12,6%)24 (36,1%)69 Kadang-Kadang 29 (15,2%) 30 (15,7%) 19 (9,95%) 4 (2,09%) 24 (12,6%) 20 (10,5%) 7 (3,66%) 25 (13,1%) Sering(3,66%)7 (4,71%)9 (2,62%)5 (0,52%)1 (5,76%)11 (2,09%)4 (0,52%)1 (2,09%)4 Sangat Sering 0 (0%) 4 (2,09%) 0 (0%) 0 (0%) 3 (1,57%) 1 (0,52%) 1 (0,52%) 2 (1,05%) (55,5%)106 (54,5%)104 (31,9%)61 (13,1%)25 (57,6%)110 (32,5%)62 (17,3%)33 (52,4%)100

Tidak Pernah 85 (44,5%) 87 (45,5%) 130 (68,1%) 166 (86,9%) 81 (42,4%) 129 (67,5%) 158 (82,7%) 91 (47,6%) Catatan:

- Jumlah Responden = 191 siswa - Bentuk Agresi Relasi:

1. Membicarakan keburukan teman 2. Tidak mau menyapa

3. Menghina di depan teman yang lain 4. Memfitnah

5. Sengaja memanggil dengan sebutan yang tidak disukai 6. Mengajak orang lain untuk meninggalkannya

7. Mengancam tidak akan berteman lagi 8. Memandang dengan wajah sinis

Tabel 2

Hasil Kuesioner dari Siswa SMP Negeri “B”

Banjarmasin tentang Peristiwa Perilaku Agresi Relasi (disajikan dalam bentuk frekuensi dan

persentasi)

BENTUK AGRESI RELASI

1 2 3 4 5 6 7 8

K O R B A N P er n ah Jara ng 29 (24,6 %) 35 (29,7 %) 32 (27,1 %) 30 (25,4 %) 21 (17,8 %) 27 (22,9 %) 16 (13,6 %) 37 (31,4 %) Kada ng-Kada ng 49 (41,5 %) 32 (27,1 %) 25 (21,2 %) 19 (16,1 %) 34 (28,8 %) 22 (18,6 %) 10 (8,47 %) 22 (18,6 %) Serin g 9 (7,63 %) 7 (5,93 %) 6 (5,08 %) 6 (5,08 %) 22 (18,6 %) 5 (4,24 %) 6 (5,08 %) 15 (12,7 %) Sang at Serin g 10 (8,47 %) 5 (4,24 %) 11 (9,32 %) 2 (1,69 %) 11 (9,32 %) 7 (5,93 %) 1 (0,85 %) 4 (3,39 %) 97 (82,2 %) 79 (66,9 %) 74 (62,7 %) 57 (48,3 %) 88 (74,6 %) 61 (51,7 %) 33 (28 %) 78 (66,1 %) Tidak Perna h 21 (17,8 %) 39 (33,1 %) 44 (37,3 %) 61 (51,7 %) 30 (25,4 %) 57 (48,3 %) 85 (72 %) 40 (33,9 %) S A K S I P er n ah Jara ng 28 (23,7 %) 30 (25,4 %) 23 (19,5 %) 32 (27,1 %) 16 (13,6 %) 25 (21,2 %) 30 (25,4 %) 33 (28 %) Kada ng-Kada ng 40 (33,9 %) 38 (32,2 %) 35 (29,7 %) 27 (22,9 %) 31 (26,3 %) 33 (28 %) 15 (12,7 %) 37 (31,4 %) Serin g 29 (24,6 %) 26 (22 %) 25 (21,2 %) 13 (11 %) 37 (31,4 %) 17 (14,4 %) 12 (10,2 %) 22 (18,6 %) Sang at Serin g 6 (5,08 %) 7 (5,93 %) 21 (17,8 %) 5 (4,24 %) 22 (18,6 %) 5 (4,24 %) 2 (1,69 %) 1 (0,85 %) 103 (87,3 %) 101 (85,6 %) 104 (88,1 %) 77 (65,3 %) 106 (89,8 %) 80 (67,8 %) 59 (50 %) 93 (78,8 %) Tidak Perna h 15 (12,7 %) 17 (14,4 %) 14 (11,9 %) 41 (34,7 %) 12 (10,2 %) 38 (32,2 %) 59 (50 %) 25 (21,2 %) P E L A P er n ah Jara ng 36 (30,5 39 (33,1 22 (18,6 12 (10,2 43 (36,4 25 (21,2 14 (11,9 36 (30,5


(5)

%) %) %) %) %) %) %) %) Kada ng-Kada ng 21 (17,8 %) 19 (16,1 %) 12 (10,2 %) 2 (1,69 %) 17 (14,4 %) 14 (11,9 %) 5 (4,24 %) 13 (11 %) Serin g 4 (3,39 %) 6 (5,09 %) 4 (3,39 %) (3 2,54 %) 10 (8,48 %) 3 (2,54 %) 1 (0,85 %) 9 (7,63 %) Sang at Serin g 0 (0%) 2 (1,69 %) 1 (0,85 %) 1 (0,85 %) 2 (1,69 %) 1 (0,85 %) 0 (0%) 3 (2,54 %) 61 (51,7 %) 66 (55,9 %) 39 (33,1 %) 72 (61 %) 43 (36,4 %) 20 (16,9 %) 61 (51,7 %) 61 (51,7 %) Tidak Perna h 57 (48,3 %) 52 (44,1 %) 79 (66,9 %) 46 (84,7 %) 75 (39 %) 98 (63,6 %) 57 (83,1 %) 57 (48,3 %) Catatan:Diagram 1 Hasil Kuesioner

Tanggapan Siswa SMP Negeri “A”

Banjarmasin terhadap adanya Perilaku Agresi Relasi yang Terjadi di Sekolah

- Jumlah Responden = 118 siswa - Bentuk Agresi Relasi:

1. Membicarakan keburukan teman 2. Tidak mau menyapa

3. Menghina di depan teman yang lain 4. Memfitnah

5. Sengaja memanggil dengan sebutan yang tidak disukai

6. Mengajak orang lain untuk meninggalkannya 7. Mengancam tidak akan berteman lagi 8. Memandang dengan wajah sinis

Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas, disimpulkan bahwa pada siswa SMP Negeri

“A” dan “B”Banjarmasin telah terjadi perilaku agresi relasi dalam berbagai bentuknya, walau dalam frekuensi yang berbeda-beda baik sebagaimana yang diakui oleh korban, saksi maupun pelaku. Adapun bentuk perilaku agresi relasi yang paling banyak terjadi yang sama-sama diakui baik oleh korban, saksi maupun pelaku adalah: membicarakan keburukan teman, tidak mau menyapa, memfitnah, dan sengaja memanggil dengan sebutan yang tidak disukai.

Terhadap adanya berbagai perilaku agresi relasi tersebut, disebarkan kuesioner kepada siswa untuk menggali tanggapan mereka. Hasil kuesioner tanggapan siswa SMP

Negeri “A” dan “B” Banjamasin terhadap

adanya perilaku agresi relasi yang terjadi di sekolah, secara berturut-turut dapat digambarkan dalam diagram 1 dan 2 sebagai berikut:

Diagram 2: Hasil Kuesioner Tanggapan Siswa

SMP Negeri “B” Banjarmasin

terhadap adanya perilaku agresi relasi yang terjadi di Sekolah

Kedua diagram di atas secara umum menunjukkan bahwa perilaku agresi relasi yang terjadi di sekolah telah membuat suasana belajar di sekolah menjadi tidak kondusif, dan sebagian besar siswa bersedia untuk ikut berpartisipasi jika ada program atau kegiatan yang dapat membantu untuk mengatasi atau

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sgt Tdk Setuju 0.5 1 1.5 0 0 0 0.5 0.5 1 0.5 Tidak Setuju 5.5 6.8 9.9 4.7 2.1 1 3.7 2.1 4.2 3.1 Ragu-Ragu 11.5 13.6 23 10.9 7.3 7.3 31.4 14.1 30.9 21.9 Setuju 32.5 39.8 34.5 19.4 32.9 30.8 41.8 40.3 41.3 39.3 Sgt Setuju 49.7 38.7 30.6 64.9 57.6 60.7 22.5 42.9 22.5 35

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sgt Tdk Setuju 0 0 0.8 0 0 0 1.7 0 0 0 Tidak Setuju 5.9 5.9 9.3 10.2 3.4 4.2 5.9 4.2 2.5 4.2 Ragu-Ragu 8.5 9.3 9.3 5.9 7.6 8.5 5.1 7.6 8.5 6.8 Setuju 33.9 22 36.4 29.7 18.6 38.1 54.2 21.2 50.9 36.4 Sgt Setuju 51.7 62.7 44.1 54.2 70.3 49.2 33 66.9 38.1 52.5


(6)

mengurangi terjadinya perilaku agresi relasi yang terjadi di antara para siswa di sekolah.

Selanjutnya, dilakukan wawancara dengan konselor sekolah di kedua buah SMP Negeri tersebut untuk mengetahui apakah sudah ada program maupun kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi terjadinya perilaku agresi relasi yang telah terjadi di antara para siswa, kesimpulannya menunjukkan bahwa di sekolah tersebut belum ada program maupun kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi terjadinya perilaku agresi relasi tersebut.

Dengan demikian, berdasarkan hasil kuesioner maupun wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa perlu adanya sebuah model pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi yang terjadi di antara para siswa di sekolah.

Produk awal yang dikembangkan meliputi: 1) Materi Pelatihan, dan 2) Panduan Pelatihan.

Materi pelatihan secara garis besar berisi gambaran tentang apa yang dimaksud dengan perilaku agresi relasi, penyebab munculnya dan bentuk intervensi seperti apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku agresi relasi yang terjadi di antara siswa. Dengan demikian, setelah memahami materi ini seorang calon penengah sebaya diharapkan dapat mengenali dengan baik seperti apakah tanda-tanda dan wujud/bentuk nyata dari perilaku agresi relasi yang terjadi, terutama di antara sesama teman-temannya. Selanjutnya, setelah dapat mengenali dengan baik tanda-tanda maupun bentuk perilaku agresi relasi di antara sesama temannya, calon penengah sebaya diharapkan menguasai beberapa

keterampilan yang diperlukan dalam sebuah mediasi dan mempraktekkannya dengan baik sesuai dengan prosedur atau langkah-langkah mediasi.

Panduan pelatihan berisi mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh seorang konselor jika ingin melaksanakan kegiatan pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi di antara para siswa di sekolah, dimulai dari pedoman untuk menentukan peserta sampai prosedur penyajian materi dan pelaksanaan latihan.

Penilaian produk dimintakan kepada 2 orang Penilai Ahli, 7 orang Konselor setelah dilakukan simulasi pelatihan, dan siswa peserta pelatihan dari 2 buah SMP yang berjumlah 48 siswa.

Hasil penilaian Ahli secara umum menunjukkan mereka setuju dengan produk yang dikembangkan, namun pada Panduan Pelatihan perlu dirinci tujuan, waktu, metode, dan prosedur dalam setiap sesi pelatihan, gambar ilustrasi pada slide dan materi disesuaikan dengan karakteristik peserta

pelatihan, metode yang terkesan “Tell, Show, Do” diganti dengan “Do, Show, Tell”.

Hasil penilaian konselor menunjukkan mereka setuju, bahkan sebagian sangat setuju dengan produk yang dikembangkan. Namun demikian, mereka menyarankan agar siswa memiliki ringkasan materi dan ringkasan hal-hal yang harus mereka lakukan dalam menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya (seperti Lembar Kerja Siswa) secara tersendiri, agar mudah dibaca ulang, memperjelas dan mempertegas hal-hal yang harus dilakukan. Saran tersebut ditindaklanjuti dengan membuat produk tambahan, yaitu Buku Pegangan untuk


(7)

Penengah Sebaya, berisi ringkasan penting materi pelatihan, seperti: tugas penengah sebaya, keterampilan yang harus dikuasai, langkah-langkah mediasi, dan beberapa hal penting yang seharusnya mereka catat/rekam saat melakukan mediasi sebaya.

Hasil ujicoba lapangan terbatas menunjukkan semua siswa sangat setuju dan bereaksi positif terhadap berbagai aspek yang terkait dengan pelatihan mediasi sebaya. Namun dalam kesempatan uji coba ini, konselor menyarankan agar lampiran yang terdapat dalam buku Panduan Pelatihan seperti: gambar bebek/kelinci, wanita tua/muda, dan ekspresi wajah, hendaknya juga dilampirkan dalam Materi Pelatihan, hal ini diperlukan sebagai antisipasi jika LCD tidak bisa dioperasionalkan maka siswa cukup diperintahkan untuk membuka apa yang akan ditayangkan tersebut pada buku materi pelatihan masing-masing. Dengan demikian, revisi akhir yang dilakukan adalah dengan memasukkan beberapa gambar yang dilampirkan dalam buku Panduan Pelatihan yang digunakan konselor ke dalam

Materi Pelatihan yang dalam proses

pelatihannya dibagikan kepada setiap siswa peserta pelatihan.

Hasil Penilaian Ahli, penilaian konselor dalam uji coba kelompok kecil, dan penilaian siswa beserta konselor dalam uji coba lapangan terbatas, serta revisi yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa produk pengembangan model pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi siswa dapat dinyatakan layak untuk digunakan.

PEMBAHASAN

Bagian ini mendiskusikan temuan-temuan yang telah diperoleh selama proses

kegiatan pengembangan produk dengan teori-teori yang ada, atau dengan temuan penelitian terdahulu. Proses kegiatan pengembangan produk dimaksud mencakup tiga kegiatan, yaitu: Prasurvei dan analisis kebutuhan, pengembangan produk, dan uji coba.

Pertama, prasurvei dan analisis

kebutuhan. Berdasarkan hasil prasurvei melalui kuesioner, terbukti bahwa perilaku agresi relasi sering terjadi di antara siswa SMP, khususnya dalam penelitian ini terjadi di SMP Negeri A dan B Banjarmasin.

Seringnya terjadi perilaku agresi relasi pada anak seusia siswa SMP senada dengan pendapat Crick et al., 1999 (dalam Salket, 2005: 21) sebagai berikut: “Relational

aggression is displayed frequently by children

between ages of 11 and 14”. Hal ini terjadi sebab ketika mereka bermusuhan, mereka sudah memahami bahwa ada alternatif yang bisa digunakan untuk menyakiti lawannya dalam bentuk non fisik, lebih halus dan tersembunyi, sehingga mereka tidak perlu merasa khawatir bahwa perbuatannya akan diketahui oleh orang lain (Galen & Underwood, 1997: Sheras, 2002).

Senada dengan pendapat di atas, Yoon et al. (2004) berpendapat bahwa pada anak remaja bersama meningkatnya pemahaman

sosial dan kemampuan mereka dalam

menyelesaikan masalah dapat memelihara hubungan persahabatan di antara mereka. Namun sebaliknya, ketika terjadi konflik dengan sesamanya, mereka semakin halus dan cerdik menyerang atau menyakiti korbannya melalui cara yang lebih halus bentuknya, seperti melalui pengasingan sosial, menggosip dan menyebarkan rumor.


(8)

Munculnya perilaku-perilaku tersebut sesungguhnya membuat siswa, khususnya siswa SMP Negeri A dan B Banjarmasin merasa tidak nyaman. Sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil prasurvei yang termuat pada diagram 1 dan diagram 2 sebelumnya, terlihat jelas bahwa lebih dari 60% siswa menyatakan bahwa perilaku agresi relasi membuat suasana

kelas/sekolah menjadi tidak nyaman,

konsentrasi belajar mereka terganggu, dan berada di lingkungan sekolah menjadi tidak betah.

Ironisnya, perilaku agresi relasi di sekolah sedikit terabaikan oleh pihak sekolah (seperti kepala sekolah, guru dan konselor) berhubung sifatnya yang halus dan agak tersembunyi (Yoon et al.: 2004), padahal dampaknya sangat mengganggu terutama jika dikaitkan dengan fungsi sekolah yang seharusnya merupakan tempat yang nyaman dan aman bagi siswa untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.

Sementara itu, Siswa SMP Negeri “A” dan “B” Banjarmasin, berdasarkan hasil

kuesioner sebelumnya sependapat bahwa lingkungan sekolah harus bebas dari perilaku agresi relasi dan perlu ada sebuah kegiatan atau

program yang bisa digunakan untuk

menguranginya. Selanjutnya, jika program tersebut ada, maka mereka merasa terpanggil, senang dan bersedia terlibat didalamnya, sebab membantu mengurangi perilaku agresi relasi adalah perbuatan mulia dan merasa ikut bertanggungjawab menciptakan lingkungan sekolah bebas dari perilaku tersebut.

Sebagai seorang yang beranjak remaja, siswa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dan mendapatkan dukungan dari

teman-teman sebayanya (Parker et al., 1995; dan Prinstein, 2001, dalam Salket 2005: 21). Di samping itu, teman sebaya dipandang lebih memahami teman sebaya lainnya dibanding dengan orang dewasa lain seperti konselor, guru dan bahkan orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu, upaya untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi relasi di sekolah dipandang efektif jika melibatkan sesama siswa sebaya.

Kedua, pengembangan produk.

Pengembangan produk didasarkan pada

kebutuhan adanya sebuah program pelatihan

yang mampu membekali siswa untuk

membantu mengatasi terjadinya perilaku agresi relasi di antara sesama mereka. Produk tersebut terdiri dari: Materi Pelatihan dan Panduan Pelatihan

Materi Pelatihan berisi tentang: agresi relasi, penyebab munculnya perilaku agresif, intervensi terhadap perilaku agresi relasi, pengertian mediasi sebaya, peran dan tanggungjawab penengah sebaya, keterampilan dasar yang diperlukan oleh penengah sebaya, praktek berkomunikasi, proses/langkah-langkah mediasi, dan praktek mediasi. Dengan berbekal penguasaan materi dan keterampilan tersebut, siswa penengah sebaya dapat menjalankan tugas sesuai dengan yang diharapkan.

Materi Pelatihan di atas senada dengan yang disarankan oleh Bodine dan Crawford (dalam Kraan, 2003: 13) sebagai berikut: “The basic training activities for peer mediators should relate to: understanding conflict, responses to conflict, origins of conflict, role of the mediator,communication skills, and the mediation process”.

Panduan Pelatihan merupakan pedoman bagi konselor dalam melaksanakan pelatihan


(9)

tahap demi tahap. Panduan Pelatihan berisi: Pertama, tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh konselor sebelum pelatihan dilaksanakan, khususnya tentang bagaimana cara memilih siswa yang memenuhi syarat untuk menjadi penengah sebaya, dan apa saja

kriterianya. Kedua, prosedur/proses

pelaksanaan pelatihan serta teknik menyajikan materi dan melaksanakan pelatihan.

Panduan Pelatihan disusun berdasarkan urut-urutan materi yang terdapat dalam Materi Pelatihan, dimana setiap sesi/tahapan penyajian materi/pelatihan mempunyai tujuan, alokasi waktu, metode dan prosedur masing-masing yang disusun berdasarkan karakteristik materi yang disajikan.

Dalam pelatihan, jika Materi Pelatihan substansinya lebih menekankan kepada isi yang berisi tentang pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta pelatihan, maka Panduan Pelatihan substansinya lebih

menekankan kepada bagaimana cara

konselor/pelatih menyampaikan isi tersebut kepada peserta pelatihan.

Ketiga, uji coba. Ujicoba merupakan langkah yang harus dilakukan dalam penelitian untuk mengetahui tentang kelayakan sebuah

produk yang sedang dikembangkan.

Berdasarkan hasil ujicoba dapat diketahui jika terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki sehingga produk dapat lebih disempurnakan sampai pada akhirnya diangap sudah layak untuk digunakan.

Hasil penilaian Ahli menunjukkan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari produk yang sedang dikembangkan.

Menyangkut kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan, Penilai I dan II setuju bahwa materi yang disajikan memungkinkan peserta

pelatihan dapat memahami pengertian perilaku agresi relasi, mengenali tanda-tanda terjadinya, dan mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu mengurangi perilaku agresi relasi. Namun Penilai I masih belum setuju jika materi yang disajikan memungkinkan peserta pelatihan dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya, meskipun Penilai II sudah setuju.

Agar dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya, di samping sudah menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, juga harus ditopang oleh faktor pribadi penengah sebaya masing-masing, seperti: Bersedia membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara

teman-temannya, bersedia mendengarkan dan

menghormati pembicaraan orang lain, peka dan peduli terhadap perasaan orang lain, dapat

dipercaya, bertanggungjawab, dapat

berkomunikasi dengan jelas, sabar, dan ramah (Gilhooley dan Scheuch, 2000: 9; Gurp, 2002: 12).

Siswa yang menjadi peserta dalam pelatihan ini adalah siswa yang dipilih berdasarkan kriteria di atas. Penilai I sudah setuju bahwa materi pelatihan memungkinkan peserta pelatihan dapat memahami pengertian perilaku agresi relasi, mengenali tanda-tanda terjadinya, dan mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu mengurangi perilaku agresi relasi, oleh karena itu, belum setujunya Penilai I terhadap materi yang disajikan memungkinkan peserta pelatihan dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya sudah terjawab dengan dilakukannya pemilihan peserta pelatihan oleh konselor dengan kriteria seperti di atas.


(10)

Beberapa masukan lainnya dari Penilai Ahli menyangkut kepada hal-hal teknis seperti alokasi waktu, kemudahan petunjuk pelatihan, dan kemenarikan gambar yang digunakan dalam slide. Terhadap hal ini dilakukan beberapa revisi, ketepatan dari revisi tersebut akan nampak pada saat uji coba dalam kelompok kecil dan kelompok terbatas.

Sementara itu, hasil uji coba pada kelompok kecil bersama konselor menunjukkan bahwa secara keseluruhan konselor sudah setuju dengan produk materi pelatihan yang sudah diujicobakan tersebut, bahkan sebagian lainnya menyatakan sangat setuju. Namun demikian, para konselor menyarankan agar siswa memiliki ringkasan materi tersendiri dan ringkasan tentang hal-hal yang harus mereka lakukan dalam menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya (seperti LKS/Lembar Kerja Siswa), agar mudah dibaca ulang, memperjelas dan mempertegas hal-hal yang seharusnya mereka lakukan. Berdasarkan masukan para konselor tersebut, dibuat rancangan produk tambahan, yaitu Buku Pegangan Penengah Sebaya, sebagai buku saku siswa yang berisi tentang ringkasan penting dari materi pelatihan, seperti: Tugas penengah sebaya, keterampilan yang harus dikuasai, langkah-langkah mediasi, dan beberapa hal penting yang seharusnya mereka catat/rekam saat melakukan mediasi sebaya.

Adapun uji coba kelompok terbatas

yang dilakukan bersama para siswa

menunjukkan bahwa semua siswa setuju, bahkan sebagian besar sangat setuju terhadap berbagai aspek yang terkait dengan pelatihan

mediasi sebaya. Dengan demikian tidak ada perbaikan yang dilakukan terhadap produk yang dikembangkan. Namun demikian, sebagai revisi terakhir, dimasukkan beberapa gambar yang dilampirkan dalam buku Panduan Pelatihan yang digunakan konselor ke dalam Materi Pelatihan. Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan yang diberikan konselor sebagai antisipasi jika LCD tidak bisa dioperasionalkan, maka siswa cukup membuka lampiran tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian pengembangan ini

menghasilkan produk akhir berupa model pelatihan mediasi sebaya yang dapat digunakan untuk mengurangi atau membatasi perilaku agresi relasi yang terjadi di antara para siswa di sekolah, terdiri dari: a) Materi Pelatihan, b) Panduan Pelatihan (termasuk didalamnya Slide dalam program Microsoft Office Power Point), dan c) Buku Pegangan untuk Penengah Sebaya.

Berdasarkan hasil beberapa kali uji coba dan revisi, terutama pada saat uji coba kelompok terbatas yang merupakan uji coba terakhir yang dilakukan bersama siswa dan konselor, dapat disimpulkan bahwa isi materi pelatihan, strategi penyampaiannya, dan reaksi siswa terhadapnya sudah positif. Dengan kata lain, produk pengembangan model pelatihan mediasi sebaya untuk mengatasi agresi relasi di antara para siswa sudah layak.

Meskipun model pelatihan ini sudah melalui tahapan uji coba dan revisi, sehingga layak untuk digunakan, namun dalam prakteknya di lapangan konselor perlu juga memperhatikan dan menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan. Misalnya, dalam menentukan calon peserta pelatihan yang memenuhi kriteria sebagai penengah sebaya,


(11)

disamping bisa menggunakan instrumen (angket nominasi teman sebaya dan skala laporan diri) sebagaimana yang terlampir dalam

Panduan Pelatihan, konselor boleh

mempertimbangkan aspek lain seperti

pertimbangan oleh wali kelas, catatan komulatif siswa, dan lain-lain. Sebab konselor kemungkinan mempunyai data tentang siswa yang lebih lengkap sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan peserta pelatihan.

Penelitian pengembangan ini sementara hanya sampai pada tahap pengujian kelayakan produk model pelatihan penengah sebaya, namun belum sampai pada tahap pengujian seberapa besar efektivitas peran penengah sebaya yang sudah dilatih dapat mengurangi perilaku agresi relasi siswa di sekolah. Oleh sebab itu, penelitian lanjutan perlu dilakukan, yaitu menguji seberapa besar peran penengah sebaya dapat mengurangi perilaku agresi relasi siswa di sekolah.


(12)

Daftar Pustaka

Borg, W.R. and Gall, M. D. (1983). Educational Research: An Introduction. New York: Longman Inc.

Cohen, R.( 2005). Students resolving conflict: peer mediation in schools, USA: Good Year Books.

Dick, Walter dan Lou Carey. (1996). The Systematic Design of Instruction. New York: Longman.

Galen, B.R., & Underwood, M.K. (1997). A Developmental Investigation of Social

Aggression Among Children.

Developmental Psychology, 33. 589-600.

Gilhooley, J., and Scheuch, N. S. (2000). Using Peer Mediation in classroom and school. California: Corwin

Gurp, HV. (2002). Peer Mediation. The Complete Guide to Resolving Conflict in Our Schools. Canada: Portage and Main Press

Kirkpatrick, D..L. (2005). Kirkpatrick’s

Training Evaluation Model, (Online), (http://www.businessballs.com/Kirkpatr icklearningevaluationmodel.htm), diakses 5 April 2008.

Kraan, Erin M. (2003). A High School Peer Mediation Training: Development, Implementation, and Evaluation. Thesis. Department of Family Studies and Social Work. Miami University: Unpublished

Salket, K. H. (2005). Relational Aggression: A Review and Conceptualization. The Ohio State Univesity. Dissertation. Unpublished

Sheras, P. (2002). Your Child Bully or Victim: Understanding and Ending School Yard Tyranny. USA: Skylight Press.

Silver, J and Karin Vermander. (2000). Managing School Conflict: the Peer

Mediation Approach, (online),

(

http://cfcj-fcjc.org/clearinghouse/drpapers/

school.htm) diakses tanggal 10 Juli 2009

Vitaro, Mara Brendgen, and Edward D. Barker. (2006). Subtypes of aggressive

behaviors: A developmental

perspective. International Journal of Beha-vioral Development. 2006, 30 (1), (Online), (http://jbd.sagepub.com/ gi/reprint/ 30/1/12), diakses 18 Desember 2007.

Yoon JS, Elizabeth Barton, and Jennifer Taiariol. (2004). Relational Aggression

In Middle School: Educational

Implications of Developmental

Research. Journal of Early

Adolescence, Vol. 24 No. 3, August

2004 303-318, (Online),

(http://jea.sagepub.com/cgi/

content/refs/24/3/303), diakses 2 Desember 2009.


(1)

Penengah Sebaya, berisi ringkasan penting materi pelatihan, seperti: tugas penengah sebaya, keterampilan yang harus dikuasai, langkah-langkah mediasi, dan beberapa hal penting yang seharusnya mereka catat/rekam saat melakukan mediasi sebaya.

Hasil ujicoba lapangan terbatas menunjukkan semua siswa sangat setuju dan bereaksi positif terhadap berbagai aspek yang terkait dengan pelatihan mediasi sebaya. Namun dalam kesempatan uji coba ini, konselor menyarankan agar lampiran yang terdapat dalam buku Panduan Pelatihan seperti: gambar bebek/kelinci, wanita tua/muda, dan ekspresi wajah, hendaknya juga dilampirkan dalam Materi Pelatihan, hal ini diperlukan sebagai antisipasi jika LCD tidak bisa dioperasionalkan maka siswa cukup diperintahkan untuk membuka apa yang akan ditayangkan tersebut pada buku materi pelatihan masing-masing. Dengan demikian, revisi akhir yang dilakukan adalah dengan memasukkan beberapa gambar yang dilampirkan dalam buku Panduan Pelatihan yang digunakan konselor ke dalam Materi Pelatihan yang dalam proses pelatihannya dibagikan kepada setiap siswa peserta pelatihan.

Hasil Penilaian Ahli, penilaian konselor dalam uji coba kelompok kecil, dan penilaian siswa beserta konselor dalam uji coba lapangan terbatas, serta revisi yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa produk pengembangan model pelatihan mediasi sebaya untuk mengurangi perilaku agresi relasi siswa dapat dinyatakan layak untuk digunakan.

PEMBAHASAN

Bagian ini mendiskusikan temuan-temuan yang telah diperoleh selama proses

kegiatan pengembangan produk dengan teori-teori yang ada, atau dengan temuan penelitian terdahulu. Proses kegiatan pengembangan produk dimaksud mencakup tiga kegiatan, yaitu: Prasurvei dan analisis kebutuhan, pengembangan produk, dan uji coba.

Pertama, prasurvei dan analisis kebutuhan. Berdasarkan hasil prasurvei melalui kuesioner, terbukti bahwa perilaku agresi relasi sering terjadi di antara siswa SMP, khususnya dalam penelitian ini terjadi di SMP Negeri A dan B Banjarmasin.

Seringnya terjadi perilaku agresi relasi pada anak seusia siswa SMP senada dengan pendapat Crick et al., 1999 (dalam Salket, 2005: 21) sebagai berikut: “Relational aggression is displayed frequently by children between ages of 11 and 14”. Hal ini terjadi sebab ketika mereka bermusuhan, mereka sudah memahami bahwa ada alternatif yang bisa digunakan untuk menyakiti lawannya dalam bentuk non fisik, lebih halus dan tersembunyi, sehingga mereka tidak perlu merasa khawatir bahwa perbuatannya akan diketahui oleh orang lain (Galen & Underwood, 1997: Sheras, 2002).

Senada dengan pendapat di atas, Yoon et al. (2004) berpendapat bahwa pada anak remaja bersama meningkatnya pemahaman sosial dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah dapat memelihara hubungan persahabatan di antara mereka. Namun sebaliknya, ketika terjadi konflik dengan sesamanya, mereka semakin halus dan cerdik menyerang atau menyakiti korbannya melalui cara yang lebih halus bentuknya, seperti melalui pengasingan sosial, menggosip dan menyebarkan rumor.


(2)

Munculnya perilaku-perilaku tersebut sesungguhnya membuat siswa, khususnya siswa SMP Negeri A dan B Banjarmasin merasa tidak nyaman. Sebagaimana yang ditunjukkan pada hasil prasurvei yang termuat pada diagram 1 dan diagram 2 sebelumnya, terlihat jelas bahwa lebih dari 60% siswa menyatakan bahwa perilaku agresi relasi membuat suasana kelas/sekolah menjadi tidak nyaman, konsentrasi belajar mereka terganggu, dan berada di lingkungan sekolah menjadi tidak betah.

Ironisnya, perilaku agresi relasi di sekolah sedikit terabaikan oleh pihak sekolah (seperti kepala sekolah, guru dan konselor) berhubung sifatnya yang halus dan agak tersembunyi (Yoon et al.: 2004), padahal dampaknya sangat mengganggu terutama jika dikaitkan dengan fungsi sekolah yang seharusnya merupakan tempat yang nyaman dan aman bagi siswa untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.

Sementara itu, Siswa SMP Negeri “A” dan “B” Banjarmasin, berdasarkan hasil kuesioner sebelumnya sependapat bahwa lingkungan sekolah harus bebas dari perilaku agresi relasi dan perlu ada sebuah kegiatan atau program yang bisa digunakan untuk menguranginya. Selanjutnya, jika program tersebut ada, maka mereka merasa terpanggil, senang dan bersedia terlibat didalamnya, sebab membantu mengurangi perilaku agresi relasi adalah perbuatan mulia dan merasa ikut bertanggungjawab menciptakan lingkungan sekolah bebas dari perilaku tersebut.

Sebagai seorang yang beranjak remaja, siswa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dan mendapatkan dukungan dari

teman-teman sebayanya (Parker et al., 1995; dan Prinstein, 2001, dalam Salket 2005: 21). Di samping itu, teman sebaya dipandang lebih memahami teman sebaya lainnya dibanding dengan orang dewasa lain seperti konselor, guru dan bahkan orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu, upaya untuk mengurangi terjadinya perilaku agresi relasi di sekolah dipandang efektif jika melibatkan sesama siswa sebaya.

Kedua, pengembangan produk. Pengembangan produk didasarkan pada kebutuhan adanya sebuah program pelatihan yang mampu membekali siswa untuk membantu mengatasi terjadinya perilaku agresi relasi di antara sesama mereka. Produk tersebut terdiri dari: Materi Pelatihan dan Panduan Pelatihan

Materi Pelatihan berisi tentang: agresi relasi, penyebab munculnya perilaku agresif, intervensi terhadap perilaku agresi relasi, pengertian mediasi sebaya, peran dan tanggungjawab penengah sebaya, keterampilan dasar yang diperlukan oleh penengah sebaya, praktek berkomunikasi, proses/langkah-langkah mediasi, dan praktek mediasi. Dengan berbekal penguasaan materi dan keterampilan tersebut, siswa penengah sebaya dapat menjalankan tugas sesuai dengan yang diharapkan.

Materi Pelatihan di atas senada dengan yang disarankan oleh Bodine dan Crawford (dalam Kraan, 2003: 13) sebagai berikut: “The basic training activities for peer mediators should relate to: understanding conflict, responses to conflict, origins of conflict, role of the mediator,communication skills, and the mediation process”.

Panduan Pelatihan merupakan pedoman bagi konselor dalam melaksanakan pelatihan


(3)

tahap demi tahap. Panduan Pelatihan berisi: Pertama, tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh konselor sebelum pelatihan dilaksanakan, khususnya tentang bagaimana cara memilih siswa yang memenuhi syarat untuk menjadi penengah sebaya, dan apa saja kriterianya. Kedua, prosedur/proses pelaksanaan pelatihan serta teknik menyajikan materi dan melaksanakan pelatihan.

Panduan Pelatihan disusun berdasarkan urut-urutan materi yang terdapat dalam Materi Pelatihan, dimana setiap sesi/tahapan penyajian materi/pelatihan mempunyai tujuan, alokasi waktu, metode dan prosedur masing-masing yang disusun berdasarkan karakteristik materi yang disajikan.

Dalam pelatihan, jika Materi Pelatihan substansinya lebih menekankan kepada isi yang berisi tentang pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta pelatihan, maka Panduan Pelatihan substansinya lebih menekankan kepada bagaimana cara konselor/pelatih menyampaikan isi tersebut kepada peserta pelatihan.

Ketiga, uji coba. Ujicoba merupakan langkah yang harus dilakukan dalam penelitian untuk mengetahui tentang kelayakan sebuah produk yang sedang dikembangkan. Berdasarkan hasil ujicoba dapat diketahui jika terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki sehingga produk dapat lebih disempurnakan sampai pada akhirnya diangap sudah layak untuk digunakan.

Hasil penilaian Ahli menunjukkan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari produk yang sedang dikembangkan.

Menyangkut kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan, Penilai I dan II setuju bahwa materi yang disajikan memungkinkan peserta

pelatihan dapat memahami pengertian perilaku agresi relasi, mengenali tanda-tanda terjadinya, dan mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu mengurangi perilaku agresi relasi. Namun Penilai I masih belum setuju jika materi yang disajikan memungkinkan peserta pelatihan dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya, meskipun Penilai II sudah setuju.

Agar dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya, di samping sudah menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, juga harus ditopang oleh faktor pribadi penengah sebaya masing-masing, seperti: Bersedia membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara teman-temannya, bersedia mendengarkan dan menghormati pembicaraan orang lain, peka dan peduli terhadap perasaan orang lain, dapat dipercaya, bertanggungjawab, dapat berkomunikasi dengan jelas, sabar, dan ramah (Gilhooley dan Scheuch, 2000: 9; Gurp, 2002: 12).

Siswa yang menjadi peserta dalam pelatihan ini adalah siswa yang dipilih berdasarkan kriteria di atas. Penilai I sudah setuju bahwa materi pelatihan memungkinkan peserta pelatihan dapat memahami pengertian perilaku agresi relasi, mengenali tanda-tanda terjadinya, dan mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu mengurangi perilaku agresi relasi, oleh karena itu, belum setujunya Penilai I terhadap materi yang disajikan memungkinkan peserta pelatihan dapat menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya sudah terjawab dengan dilakukannya pemilihan peserta pelatihan oleh konselor dengan kriteria seperti di atas.


(4)

Beberapa masukan lainnya dari Penilai

Ahli menyangkut kepada hal-hal teknis seperti

alokasi waktu, kemudahan petunjuk pelatihan,

dan kemenarikan gambar yang digunakan

dalam slide. Terhadap hal ini dilakukan

beberapa revisi, ketepatan dari revisi tersebut

akan nampak pada saat uji coba dalam

kelompok kecil dan kelompok terbatas.

Sementara itu, hasil uji coba pada kelompok kecil bersama konselor menunjukkan bahwa secara keseluruhan konselor sudah setuju dengan produk materi pelatihan yang sudah diujicobakan tersebut, bahkan sebagian lainnya menyatakan sangat setuju. Namun demikian, para konselor menyarankan agar siswa memiliki ringkasan materi tersendiri dan ringkasan tentang hal-hal yang harus mereka lakukan dalam menjalankan tugasnya sebagai penengah sebaya (seperti LKS/Lembar Kerja Siswa), agar mudah dibaca ulang, memperjelas dan mempertegas hal-hal yang seharusnya mereka lakukan. Berdasarkan masukan para konselor tersebut, dibuat rancangan produk tambahan, yaitu Buku Pegangan Penengah Sebaya, sebagai buku saku siswa yang berisi tentang ringkasan penting dari materi pelatihan, seperti: Tugas penengah sebaya, keterampilan yang harus dikuasai, langkah-langkah mediasi, dan beberapa hal penting yang seharusnya mereka catat/rekam saat melakukan mediasi sebaya.

Adapun uji coba kelompok terbatas yang dilakukan bersama para siswa menunjukkan bahwa semua siswa setuju, bahkan sebagian besar sangat setuju terhadap

mediasi sebaya. Dengan demikian tidak ada perbaikan yang dilakukan terhadap produk yang dikembangkan. Namun demikian, sebagai revisi terakhir, dimasukkan beberapa gambar yang dilampirkan dalam buku Panduan Pelatihan yang digunakan konselor ke dalam Materi Pelatihan. Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan yang diberikan konselor sebagai antisipasi jika LCD tidak bisa dioperasionalkan, maka siswa cukup membuka lampiran tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian pengembangan ini menghasilkan produk akhir berupa model pelatihan mediasi sebaya yang dapat digunakan untuk mengurangi atau membatasi perilaku agresi relasi yang terjadi di antara para siswa di sekolah, terdiri dari: a) Materi Pelatihan, b) Panduan Pelatihan (termasuk didalamnya Slide dalam program Microsoft Office Power Point), dan c) Buku Pegangan untuk Penengah Sebaya.

Berdasarkan hasil beberapa kali uji coba dan revisi, terutama pada saat uji coba kelompok terbatas yang merupakan uji coba terakhir yang dilakukan bersama siswa dan konselor, dapat disimpulkan bahwa isi materi pelatihan, strategi penyampaiannya, dan reaksi siswa terhadapnya sudah positif. Dengan kata lain, produk pengembangan model pelatihan mediasi sebaya untuk mengatasi agresi relasi di antara para siswa sudah layak.

Meskipun model pelatihan ini sudah melalui tahapan uji coba dan revisi, sehingga layak untuk digunakan, namun dalam prakteknya di lapangan konselor perlu juga memperhatikan dan menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan. Misalnya, dalam menentukan calon peserta pelatihan yang


(5)

disamping bisa menggunakan instrumen (angket nominasi teman sebaya dan skala laporan diri) sebagaimana yang terlampir dalam Panduan Pelatihan, konselor boleh mempertimbangkan aspek lain seperti pertimbangan oleh wali kelas, catatan komulatif siswa, dan lain-lain. Sebab konselor kemungkinan mempunyai data tentang siswa yang lebih lengkap sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan peserta pelatihan.

Penelitian pengembangan ini sementara hanya sampai pada tahap pengujian kelayakan produk model pelatihan penengah sebaya, namun belum sampai pada tahap pengujian seberapa besar efektivitas peran penengah sebaya yang sudah dilatih dapat mengurangi perilaku agresi relasi siswa di sekolah. Oleh sebab itu, penelitian lanjutan perlu dilakukan, yaitu menguji seberapa besar peran penengah sebaya dapat mengurangi perilaku agresi relasi siswa di sekolah.


(6)

Daftar Pustaka

Borg, W.R. and Gall, M. D. (1983). Educational Research: An Introduction. New York: Longman Inc.

Cohen, R.( 2005). Students resolving conflict: peer mediation in schools, USA: Good Year Books.

Dick, Walter dan Lou Carey. (1996). The Systematic Design of Instruction. New York: Longman.

Galen, B.R., & Underwood, M.K. (1997). A Developmental Investigation of Social Aggression Among Children. Developmental Psychology, 33. 589-600.

Gilhooley, J., and Scheuch, N. S. (2000). Using Peer Mediation in classroom and school. California: Corwin

Gurp, HV. (2002). Peer Mediation. The Complete Guide to Resolving Conflict in Our Schools. Canada: Portage and Main Press

Kirkpatrick, D..L. (2005). Kirkpatrick’s Training Evaluation Model, (Online), (http://www.businessballs.com/Kirkpatr icklearningevaluationmodel.htm), diakses 5 April 2008.

Kraan, Erin M. (2003). A High School Peer Mediation Training: Development, Implementation, and Evaluation. Thesis. Department of Family Studies and Social Work. Miami University: Unpublished

Salket, K. H. (2005). Relational Aggression: A Review and Conceptualization. The Ohio State Univesity. Dissertation. Unpublished

Sheras, P. (2002). Your Child Bully or Victim: Understanding and Ending School Yard Tyranny. USA: Skylight Press.

Silver, J and Karin Vermander. (2000). Managing School Conflict: the Peer Mediation Approach, (online),

(http://cfcj-fcjc.org/clearinghouse/drpapers/

school.htm) diakses tanggal 10 Juli 2009

Vitaro, Mara Brendgen, and Edward D. Barker. (2006). Subtypes of aggressive behaviors: A developmental perspective. International Journal of Beha-vioral Development. 2006, 30 (1), (Online), (http://jbd.sagepub.com/ gi/reprint/ 30/1/12), diakses 18 Desember 2007.

Yoon JS, Elizabeth Barton, and Jennifer

In Middle School: Educational Implications of Developmental Research. Journal of Early Adolescence, Vol. 24 No. 3, August

2004 303-318, (Online),

(http://jea.sagepub.com/cgi/

content/refs/24/3/303), diakses 2 Desember 2009.