KEBUDAYAAN DALAM WAWASAN DIENUL ISLAM (1)
KEBUDAYAAN DALAM WAWASAN DIENUL ISLAM (1)
Faqihuddin
Kebudayaan dalam wawasan dienul Islam.
Kesimpulan mengenai budaya dan kebudayaan selanjutnya dicoba untuk diletakkan dalam
perspektif dienul Islam. Untuk itu terlebih dahulu dikutipkan hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Umar bin Khathab r.a., yang matannya
(terjemah A. Zaini Dahlan; Syarah Hadits Arba'in) sebagai berikut:
"Umar r.a. mengatakan, 'Sualu hari, saya dan para sahabat sedang duduk-duduk di samping
Rasulullah saw. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berpakaian serba putih dan rambut hitam
pekat di hadapan kami, tanpa seorang pun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu lalu duduk
di hadapan Nabi saw. Dia menyambungkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi saw., serta
meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi saw. dan berkata, 'Ya Muhammad,
beritahulah saya mengenai Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah kamu bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan
salat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan kerjakanlah haji jika kamu mampu.'
Laki-1aki itu pun menyahut, 'Engkau benar.' Kami heran dengan tingkah lakunya karena dia
bertanya kepada Nabi saw., tetapi membenarkan jawaban Beliau. Kemudian, dia berkata lagi
kepada Nabi saw, 'Beritahu-lah saya mengenai iman.' Beliau saw. menjawab, "Iman ialah kamu
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabnya, para rasul-Nya, hari akhir, serta
beriman kepada takdir baik dan buruk.' Dia berkala. 'Engkau benar.' Laki-laki itu berkala lagi,
"Beritahulah saya tentang ihsan.' .Nabi saw. pun menjawab, 'lhsan adalah kamu beribadah
kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihat-Nya, yakinlah
bahwa Allah melihat kamu." Dia bertanya lagi, "Beritahukanlah saya tentang hari kiamat.' Nabi
saw. menjawab, 'Orang yang ditanya tidaklah lebih tahu dari si penanya." Laki-iaki tersebut
berkata, 'Beritahukanlah tanda-tandanya.' Nabi saw. menjawab, 'Seorang budak perempuan
melahirkan tuannya dan kamu akan melihat orang yang tak beralas kaki, bertelanjang, miskin,
dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan.' Laki-laki itu lalu
pergi. Setelah beberapa lama, kemudian Rasulullah saw. bertanya kepadaku, "Ya Umar, tahukah
engkau, tahukah engkau siapakah yang bertanya?' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu.' Rasulullah saw. selanjutnya bersabda, ‘Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian."'
Untuk memahami konsep kebudayaan dalam dienul Islam (selanjutnya disebut al Islam)
digunakan pendekatan sistemik sebagai berikut:
Skhema dari al Islam
Keterangan:
A. Rukun Islam terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Rumawi,
I. Syahadatain
II. Mengerjakan shalat lima waktu
III. Membayarkan zakat
IV. Melaksanakan shaum Ramadlan
V. Menunaikan haji ke Baitullah
B. Rukun Iman terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Arab,
1. Percaya kepada Allah
2. Percaya kepada malaikat-malaikat-Nya
3. Percaya kepada kitab-kitab-Nya
4. Percaya kepada rasul-rasul-Nya
5. Percaya kepada hari kiamat
6. Percaya kepada takdir baik dan buruk
C. lhsan yaitu bagian yang diberi arsiran sebagai tanda proses, yang dialektis, dinamis, dan
integratip.
D. Adapun yang dimaksud dengan sa'ah adalah proses yang akan dijalani oleh manusia hingga
terjadinya hari kiamat.
Dari hadits ini dapat dijelaskan bahwa al Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari komponenkomponen rukun Islam, rukun Iman, dan Ihsan, serta dilengkapi dengan gambaran adanya proses
yang disebut Sa'ah.
Penjelasan Umum.
Al Islam adalah sistem yang berpusat pada rabb-Nya yaitu Allah SWT. disampaikan untuk
menjadi pedoman dan diunggulkan dalam kehidupan manusia; [Qur'an, Sl:l; S9:33; S48:28;
S61:9].
Al Islam merupakan sistem yang terbuka dan tidak ada paksaan di dalamnya, [Qur'an, S2:256].
Penjelasan per Komponen.
Komponen keislaman disebut rukun Islam dikemukakan lebih dahulu karena merupakan ranah
yang nyata (domein eksistens) sebagai dasar pranata dan pelembagaan (menggunakan istilah
Prof. Kuncaraningrat) kebudayaan Islam. Sebagai dasar pranata dan pelembagaan kebudayaan
Islam di dalamnya terkandung antara lain;
a. Yang membedakan antara muslim dan bukan muslim dan/atau kebudayaan Islam dari
kebudayaan lainnya.
b. Prilaku ritualisasi yang berpola dan baku, hanya sah bila mengikuti contoh dari Rasulullah
saw.; disebut sebagai ibadah makhdlah (ibadah khusus).
c. Norma dasar terdiri dari perihal wajib, sunnah, dan bid'ah/haram.
d. Dasar dari pranata dan pelembagaan kebudayaan Islam bersumber pada al Qur’an dan as
Sunnah yang berpusat di masjid.
Komponen keimanan di sebut rukun Iman, merupakan ranah kemungkinan (domein imanen)
sebagai pengakuan; yang harus dibuktikan dengan melaksanakan komponen keislaman. Yang
kapasitasnya akan semakin tinggi jika secara implikatip memberi corak/warna dalam keutuhan
akhlak/budaya dalam wujud ihsan.
Komponen ihsan adalah ranah mencari nilai lebih (domein transenden), dimana setiap pribadi
muslim mendapat kesempatan yang sama melalui pengelolaan lingkungan dengan persaingan
yang baik dalam rangka being to know/to learn, being to be, dan being together; [Qur'an, S 2: 30,
48; S 6: 165]. Pada ranah ini setiap pribadi muslim membentuk kepribadiannya dengan
berbudaya (berakhlak) mulia [Q S 49: 13], dan dalam kebersamaan kaum muslimin mewujudkan
kebudayaan Islam yang sebaik-baiknya [Q S 3: 110].
Komponen keislaman dan komponen keimanan memiliki nilai yang absolut dalam pengertian
tidak boleh dirubah. Seandainya pun ada hal-hal yang lain, acuannya tetap harus disesuaikan
dengan keterangan al Qur’an dan as Sunnah sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur'an atau
pun as Sunnah harus ditolak. Komponen keislaman merupakan dasar dari syari'ah; dan
komponen keimanan merupakan kualitas kekuatan yang disebut akidah. Sinergi dari keduanya
disebut ibadah —ibadah dalam pengertian yang luas— diwujudkan dalam ranah ihsan. Dalam
ranah ihsan inilah hendaknya diwujudkan 'kebudayaan Islam". Maka al Islam pun merupakan
'sistem social kebudayaan' dengan Catatan antara lain:
# komponen keislaman merupakan formalitas materil
# komponen keimanan baru merupakan pengakuan
# komponen keihsanan merupakan institutionisasi dari dua komponen lainnya.
Untuk mendapatkan kebebasan bergerak dalam mewujudkan kebudayaan Islam perlu
diperhatikan antara lain;
a. Norma dasar yang terdiri dari perihal halal, sunnah, mubah/boleh, makruh, dan haram; Nabi
saw. Bersabda, 'Yang halal jelas, dan yang haram juga jelas’, pergerakkan akal adalah sebatas di
antara keduanya; tepatnya domein mubah/boleh.
b. Musyawarah sebagai pranata kebudayaan sehingga keputusan yang diambil tetap bernilai
'ihsan'; menjadi ‘badah ghair makhdlah'.
Memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam terletak pada ranah Ihsan dimana manusia
dengan kekuatan akalnya melaksanakan peranannya sebagai pengelola bumi yang ditempatinya;
dalam rangka 'menyempurnakan akhlak'.
2. Budaya dan kebudayaan akan bernilai ibadah selama muncul seutuhnya dalam koridor al
Islam; merupakan totalitas akhlak/budaya sebagai wujud integral dari syari'ah, aqi'dah, dan
ibadah.
3. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam berpusat pada Sang Maha Pencipta yaitu
Allah SWT.; sedangkan budaya dan kebudayaan dalam wawasan ahli antropologi berpusat pada
diri pribadi manusia.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah:
Agama Islam bukan komponen dari kebudayaan melainkan kebudayaan itulah yang merupakan
komponen dalam al Islam. Berbudaya dan berkebudayaan Islam tidak lain hendaknya
merupakan perilaku-perilaku yang pantas untuk persembahan (ibadah dalam arti yang luas,
ihsan) kepada Allah SWT.
Tiga Type Kebudayaan menurut al Qur'an.
Memperhatikan firman Allah SWT. dalam al Qur'an. Surat al Baqarah ayat 2 sampai dengan ayat
20 dapat difahami bahwa ada tiga type pokok kebudayaan.
1. Kebudayaan Takwa, dijelaskan melalui ayat 2 sampai dengan ayat 5 yang ciri-cirinya antara
lain percaya kepada yang gaib, mengerjakan salat, membelanjakan sebagian rizki yang
diterimanya, mengacu kepada kitab suci, dan meyakini adanya kehidupan akhirat.
2. Kebudayaan Kafir, dijelaskan melalui ayat 6 dan ayat 7 dengan ciri utamanya yaitu menolak
keberadaan Allah SWT. sebagai Khalik; dapat disebut sebagai kebudayaan materialistik.
3. Kebudayaan Menyimpang, dijelaskan melalui ayat 8 sampai dengan ayat 20 dengan ciri-ciri
antara lain kemunafikan, penghianatan, konspirasi kejahatan, mengambil muka, dan adanya
segala penyakit hati pada para pendukungnya; hilangnya keseimbangan psikoligis, dan
timbulnya kebudayaan yang menyimpang (deviant subculture).
Bila direnungkan ternyata perubahan kebudayaan yang dijalani umat manusia seperti pendulum
yang bergerak dari kutub "takwa" ke arah kutub ''kafir" dan kebalikannya dengan melalui type
kebudayaan diantara keduanya; dalam proses yang berkesinambungan. Untuk mengetahui
sedang pada titik manakah 'kebudayaan' Indonesia sekarang; tinggal memproyeksikannya pada
ketiga type kebudayaan tersebut.
Apabila mengambil pengertian ihsan dari Rasulullah saw. sebagai mana bunyi hadits di atas patut
ditanyakan. 'Sudah pantaskah, setiap perilaku berbudaya dan berkebudayaan dalam mengisi
dan mencapai mencapai cita-cita kemerdekaan disebut sebagai ungkapan syukur dan beribadah
kepada Allah SWT? Pertanyaan ini mudah-mudahan bergema dalam hati setiap muslim Indonesia
terutama para pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa yang bertanggungawab dalam membuat
kebijakan dan mengambil keputusan untuk menyelenggarakan proses perubahan kebudayaan.
Proses yang akan terus berlangsung berkesinambungan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; yang diharapkan dalam suasana 'Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur’ sampai
akhir zaman. Amiin!
Penulis adalah Guru SMA Negeri 17 dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Bandung
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004
Faqihuddin
Kebudayaan dalam wawasan dienul Islam.
Kesimpulan mengenai budaya dan kebudayaan selanjutnya dicoba untuk diletakkan dalam
perspektif dienul Islam. Untuk itu terlebih dahulu dikutipkan hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Umar bin Khathab r.a., yang matannya
(terjemah A. Zaini Dahlan; Syarah Hadits Arba'in) sebagai berikut:
"Umar r.a. mengatakan, 'Sualu hari, saya dan para sahabat sedang duduk-duduk di samping
Rasulullah saw. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berpakaian serba putih dan rambut hitam
pekat di hadapan kami, tanpa seorang pun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu lalu duduk
di hadapan Nabi saw. Dia menyambungkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi saw., serta
meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi saw. dan berkata, 'Ya Muhammad,
beritahulah saya mengenai Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah kamu bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan
salat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan kerjakanlah haji jika kamu mampu.'
Laki-1aki itu pun menyahut, 'Engkau benar.' Kami heran dengan tingkah lakunya karena dia
bertanya kepada Nabi saw., tetapi membenarkan jawaban Beliau. Kemudian, dia berkata lagi
kepada Nabi saw, 'Beritahu-lah saya mengenai iman.' Beliau saw. menjawab, "Iman ialah kamu
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabnya, para rasul-Nya, hari akhir, serta
beriman kepada takdir baik dan buruk.' Dia berkala. 'Engkau benar.' Laki-laki itu berkala lagi,
"Beritahulah saya tentang ihsan.' .Nabi saw. pun menjawab, 'lhsan adalah kamu beribadah
kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihat-Nya, yakinlah
bahwa Allah melihat kamu." Dia bertanya lagi, "Beritahukanlah saya tentang hari kiamat.' Nabi
saw. menjawab, 'Orang yang ditanya tidaklah lebih tahu dari si penanya." Laki-iaki tersebut
berkata, 'Beritahukanlah tanda-tandanya.' Nabi saw. menjawab, 'Seorang budak perempuan
melahirkan tuannya dan kamu akan melihat orang yang tak beralas kaki, bertelanjang, miskin,
dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan.' Laki-laki itu lalu
pergi. Setelah beberapa lama, kemudian Rasulullah saw. bertanya kepadaku, "Ya Umar, tahukah
engkau, tahukah engkau siapakah yang bertanya?' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu.' Rasulullah saw. selanjutnya bersabda, ‘Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian."'
Untuk memahami konsep kebudayaan dalam dienul Islam (selanjutnya disebut al Islam)
digunakan pendekatan sistemik sebagai berikut:
Skhema dari al Islam
Keterangan:
A. Rukun Islam terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Rumawi,
I. Syahadatain
II. Mengerjakan shalat lima waktu
III. Membayarkan zakat
IV. Melaksanakan shaum Ramadlan
V. Menunaikan haji ke Baitullah
B. Rukun Iman terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Arab,
1. Percaya kepada Allah
2. Percaya kepada malaikat-malaikat-Nya
3. Percaya kepada kitab-kitab-Nya
4. Percaya kepada rasul-rasul-Nya
5. Percaya kepada hari kiamat
6. Percaya kepada takdir baik dan buruk
C. lhsan yaitu bagian yang diberi arsiran sebagai tanda proses, yang dialektis, dinamis, dan
integratip.
D. Adapun yang dimaksud dengan sa'ah adalah proses yang akan dijalani oleh manusia hingga
terjadinya hari kiamat.
Dari hadits ini dapat dijelaskan bahwa al Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari komponenkomponen rukun Islam, rukun Iman, dan Ihsan, serta dilengkapi dengan gambaran adanya proses
yang disebut Sa'ah.
Penjelasan Umum.
Al Islam adalah sistem yang berpusat pada rabb-Nya yaitu Allah SWT. disampaikan untuk
menjadi pedoman dan diunggulkan dalam kehidupan manusia; [Qur'an, Sl:l; S9:33; S48:28;
S61:9].
Al Islam merupakan sistem yang terbuka dan tidak ada paksaan di dalamnya, [Qur'an, S2:256].
Penjelasan per Komponen.
Komponen keislaman disebut rukun Islam dikemukakan lebih dahulu karena merupakan ranah
yang nyata (domein eksistens) sebagai dasar pranata dan pelembagaan (menggunakan istilah
Prof. Kuncaraningrat) kebudayaan Islam. Sebagai dasar pranata dan pelembagaan kebudayaan
Islam di dalamnya terkandung antara lain;
a. Yang membedakan antara muslim dan bukan muslim dan/atau kebudayaan Islam dari
kebudayaan lainnya.
b. Prilaku ritualisasi yang berpola dan baku, hanya sah bila mengikuti contoh dari Rasulullah
saw.; disebut sebagai ibadah makhdlah (ibadah khusus).
c. Norma dasar terdiri dari perihal wajib, sunnah, dan bid'ah/haram.
d. Dasar dari pranata dan pelembagaan kebudayaan Islam bersumber pada al Qur’an dan as
Sunnah yang berpusat di masjid.
Komponen keimanan di sebut rukun Iman, merupakan ranah kemungkinan (domein imanen)
sebagai pengakuan; yang harus dibuktikan dengan melaksanakan komponen keislaman. Yang
kapasitasnya akan semakin tinggi jika secara implikatip memberi corak/warna dalam keutuhan
akhlak/budaya dalam wujud ihsan.
Komponen ihsan adalah ranah mencari nilai lebih (domein transenden), dimana setiap pribadi
muslim mendapat kesempatan yang sama melalui pengelolaan lingkungan dengan persaingan
yang baik dalam rangka being to know/to learn, being to be, dan being together; [Qur'an, S 2: 30,
48; S 6: 165]. Pada ranah ini setiap pribadi muslim membentuk kepribadiannya dengan
berbudaya (berakhlak) mulia [Q S 49: 13], dan dalam kebersamaan kaum muslimin mewujudkan
kebudayaan Islam yang sebaik-baiknya [Q S 3: 110].
Komponen keislaman dan komponen keimanan memiliki nilai yang absolut dalam pengertian
tidak boleh dirubah. Seandainya pun ada hal-hal yang lain, acuannya tetap harus disesuaikan
dengan keterangan al Qur’an dan as Sunnah sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur'an atau
pun as Sunnah harus ditolak. Komponen keislaman merupakan dasar dari syari'ah; dan
komponen keimanan merupakan kualitas kekuatan yang disebut akidah. Sinergi dari keduanya
disebut ibadah —ibadah dalam pengertian yang luas— diwujudkan dalam ranah ihsan. Dalam
ranah ihsan inilah hendaknya diwujudkan 'kebudayaan Islam". Maka al Islam pun merupakan
'sistem social kebudayaan' dengan Catatan antara lain:
# komponen keislaman merupakan formalitas materil
# komponen keimanan baru merupakan pengakuan
# komponen keihsanan merupakan institutionisasi dari dua komponen lainnya.
Untuk mendapatkan kebebasan bergerak dalam mewujudkan kebudayaan Islam perlu
diperhatikan antara lain;
a. Norma dasar yang terdiri dari perihal halal, sunnah, mubah/boleh, makruh, dan haram; Nabi
saw. Bersabda, 'Yang halal jelas, dan yang haram juga jelas’, pergerakkan akal adalah sebatas di
antara keduanya; tepatnya domein mubah/boleh.
b. Musyawarah sebagai pranata kebudayaan sehingga keputusan yang diambil tetap bernilai
'ihsan'; menjadi ‘badah ghair makhdlah'.
Memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam terletak pada ranah Ihsan dimana manusia
dengan kekuatan akalnya melaksanakan peranannya sebagai pengelola bumi yang ditempatinya;
dalam rangka 'menyempurnakan akhlak'.
2. Budaya dan kebudayaan akan bernilai ibadah selama muncul seutuhnya dalam koridor al
Islam; merupakan totalitas akhlak/budaya sebagai wujud integral dari syari'ah, aqi'dah, dan
ibadah.
3. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam berpusat pada Sang Maha Pencipta yaitu
Allah SWT.; sedangkan budaya dan kebudayaan dalam wawasan ahli antropologi berpusat pada
diri pribadi manusia.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah:
Agama Islam bukan komponen dari kebudayaan melainkan kebudayaan itulah yang merupakan
komponen dalam al Islam. Berbudaya dan berkebudayaan Islam tidak lain hendaknya
merupakan perilaku-perilaku yang pantas untuk persembahan (ibadah dalam arti yang luas,
ihsan) kepada Allah SWT.
Tiga Type Kebudayaan menurut al Qur'an.
Memperhatikan firman Allah SWT. dalam al Qur'an. Surat al Baqarah ayat 2 sampai dengan ayat
20 dapat difahami bahwa ada tiga type pokok kebudayaan.
1. Kebudayaan Takwa, dijelaskan melalui ayat 2 sampai dengan ayat 5 yang ciri-cirinya antara
lain percaya kepada yang gaib, mengerjakan salat, membelanjakan sebagian rizki yang
diterimanya, mengacu kepada kitab suci, dan meyakini adanya kehidupan akhirat.
2. Kebudayaan Kafir, dijelaskan melalui ayat 6 dan ayat 7 dengan ciri utamanya yaitu menolak
keberadaan Allah SWT. sebagai Khalik; dapat disebut sebagai kebudayaan materialistik.
3. Kebudayaan Menyimpang, dijelaskan melalui ayat 8 sampai dengan ayat 20 dengan ciri-ciri
antara lain kemunafikan, penghianatan, konspirasi kejahatan, mengambil muka, dan adanya
segala penyakit hati pada para pendukungnya; hilangnya keseimbangan psikoligis, dan
timbulnya kebudayaan yang menyimpang (deviant subculture).
Bila direnungkan ternyata perubahan kebudayaan yang dijalani umat manusia seperti pendulum
yang bergerak dari kutub "takwa" ke arah kutub ''kafir" dan kebalikannya dengan melalui type
kebudayaan diantara keduanya; dalam proses yang berkesinambungan. Untuk mengetahui
sedang pada titik manakah 'kebudayaan' Indonesia sekarang; tinggal memproyeksikannya pada
ketiga type kebudayaan tersebut.
Apabila mengambil pengertian ihsan dari Rasulullah saw. sebagai mana bunyi hadits di atas patut
ditanyakan. 'Sudah pantaskah, setiap perilaku berbudaya dan berkebudayaan dalam mengisi
dan mencapai mencapai cita-cita kemerdekaan disebut sebagai ungkapan syukur dan beribadah
kepada Allah SWT? Pertanyaan ini mudah-mudahan bergema dalam hati setiap muslim Indonesia
terutama para pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa yang bertanggungawab dalam membuat
kebijakan dan mengambil keputusan untuk menyelenggarakan proses perubahan kebudayaan.
Proses yang akan terus berlangsung berkesinambungan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; yang diharapkan dalam suasana 'Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur’ sampai
akhir zaman. Amiin!
Penulis adalah Guru SMA Negeri 17 dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Bandung
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004