KEBUDAYAAN DALAM WAWASAN DIENUL ISLAM (1)

KEBUDAYAAN DALAM WAWASAN DIENUL ISLAM (1)
Faqihuddin
Alhamdulillah, atas berkat dan rahmat-Nya saja bangsa serta negara Indonesia ini mendapatkan
kemerdekaan. Semoga shalawat serta salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
keluarganya. para shahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Dan karena izin-Nya pula rakyat Indonesia telah selesai melaksanakan pemilu untuk memilih
anggota legislatif -anggota MPR yaitu perolehan dari calon DPR Pusat dan DPD, anggota DPRD
Propinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota— pada tanggal 5 April 2004 yang lalu. Dan kini
sedang mempersiapkan pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Secara hakiki kegiatan pemilu merupakan proses untuk memilih para Pemimpin bangsa.
Pemimpin bangsa yang akan diserahi tanggungjawab untuk memimpin rakyat Indonesia dalam
mengisi dan mencapai cita-cita kemerdekaan. Mengisi dan mencapai cita-cita kemerdekaan
tidak lain adalah menyelenggarakan proses perubahan kebudayaan. Yang mana proses
perubahan kebudayaan ini telah diselenggarakan oleh rakyat Indonesia --sejak proklamasi 17
Agustus 1945 -- lebih dari 58 tahun. Selama itu pula estafet kepemimpinan bangsa terus bergulir
walaupun pada awalnya belum tepat sebagai mekanisme pemerintahan per limatahunan sesuai
yang direncanakan. Sejak masa Orba, barulah proses mekanisme kepemimpinan dan
pemerintahan mulai berjalan secara teratur.
Selama masa Orde Baru usaha mengisi dan mencapai cita-cita kemerdekaan —sebagai
perubahan kebudayaan yang direncanakan— disusun dalam program-program pembangunan
secara bertahap. Melalui rangkaian kegiatan pembangunan selama lebih dari 30 tahun pada masa

Orde Baru tentunya sudah banyak yang dicapai oleh bangsa Indonesia terutama dalam bidang
materil. Namun pembangunan yang telah berjalan itu didahului dengan terjadinya krisis moneter
pada pertengahan tahun 1997 telah menunjukkan gejala ketidak-seimbangan, yang
mengakibatkan runtuhnya Orde Baru pada tahun 1999.
Krisis moneter yang kemudian merebak menjadi krisis ekonomi, sosial, dan politik pada
akhirnya melahirkan tuntutan reformasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
diamandemennya UUD 1945. Reformasi yang pada dasarnya merupakan dampak dari adanya
berbagai krisis akhirnya terjebak dalam euporia reformasi yang berkepanjangan. Euporia
reformasi yang berkepanjangan menjadi petunjuk bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis multi dimensi atau tepatnya krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan pada akhirnya
menunjukkan akar permasalahan yang sebenarnya bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami
krisis akhlak.
Ironisnya, mayoritas rakyat Indonesia adalah -menurut berita salah satu media kaca umat Islam,
di Indonesia sekarang sekitar 88,2% dari seluruh rakyat Indonesia- kaum muslimin. Sebagai
mayoritas tidaklah berlebihan bila kaum muslimin diharapkan menjadi katalisator —bahkan
sudah semestinya menjadi pemikul tanggungjawab terbesar-- dalam proses perubahan
kebudayaan untuk mengisi dan mencapai cita-cita kemerdekaan. Proses perubahan kebudayaan
dalam rangka mengisi dan mencapai cita-cita kemerdekaan telah berjalan lebih dari 58 tahun.
Padahal Nabi Muhammad saw. yang diutus untuk--Nabi saw. menyatakan, 'Tiadalah aku diutus
kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.'— mengubah keadaan masyarakat Arab

yang jahiliyah menjadi masyarakat muslim yang berperadaban berhasil dalam waktu 23 tahun.
Krisis akhlak dan anomi.

Kaum muslimin Indonesia -mungkin di dunia— nampaknya sedang mengalami keadaan yang
secara antropologis ataupun sosiologis disebut anomi (masyarakat yang kehilangan norma).
Bukan berarti bahwa agama Islam tidak normatif, hanya saja kaum muslimin sedang dalam
keadaan ketidak berdayaan untuk melaksanakan norma-norma yang dimilikinya.
Keadaan anomi ditandai antara lain sikap yang sinis terhadap norma-norma –termasuk normanorma agama— yang selama ini berlaku, hilangnya kewibawaan hukum, dan terganggunya
keseimbangan psikologis. Gejala anomi muncul dalam bentuk perilaku-perilaku yang
menyimpang, hubungan antar manusia yang tidak wajar, dan perilaku-perilaku yang seolah-olah
menghalalkan segala cara.
Dengan memperhatikan berita-berita dalam media masa gejala anomi ini nampak jelas sedang
melanda kehidupan -mayoritasnya kaum muslimin- bangsa Indonesia. Pada tingkat bawah dan
menengah muncul perilaku-perilaku kriminal yang lebih merupakan pelampiasan dorongandorongan libidonya; sedangkan pada kalangan atas muncul perilaku-perilaku ambigus (mendua)
demi untuk mempertahankan prestisenya. Bahkan di kalangan para elit —ekonomi, social, dan
politik— maupun para cendekiawan, saat ini sulit untuk dicari keteladanannya; yang ada malah
perilaku-perilaku yang menambah kebingungan bagi masyarakat awam.
Tidak salah kiranya Syech Muhammad 'Abduh pernah menyatakan, ' Agama Islam diburami
(dikotori?) oleh kaum muslimin sendiri'. Mengapa kaum muslimin Indonesia terjebak dalam
keadaan anomi atau krisis akhlak seperti sekarang ini?

Sebab-sebab kaum muslimin Indonesia mengalami anomi/krisis akhlak
Beberapa jawaban secara hipotetis dapat dikemukakan disini antara lain:
1. Goncangan kebudayaan (cultural shock). Peralihan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan
merupakan goncangan kebudayaan bagi rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Pada zaman
penjajahan segalanya lebih berjalan dan mengalir sebagai hal yang paternal, primordial, dan
tradisional. Sedangkan pada zaman merdeka harus dilalui sebagai hal yang structural, formal,
dan rasional. Celakanya goncangan kebudayaan
kaum muslimin menimbulkan wabah yang
oleh Rasulullah saw disebut "al wahnu" yaitu lebih mencintai dunia dan takut mati daripada
berjuang untuk menegakkan agamanya. Penyakit "al wahnu" inilah yang kemudian menimbulkan
sikap individualis (ananiyyah), mementingkan kelompok/golongan (ashabiyyah), dan kemudian
merebak sampai sekarang menjadi penyakit KKN.
2. Pembauran kebudayaan (cultural diffusion). Kaum muslimin Indonesia mengalami proses
pembauran kebudayaan yaitu,
2.1. Proses akulturasi dan asimilasi dengan kebudayaan setempat sejak Islam memasuki wilayah
nusantara lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat bid'ah, takhayul, khurafat, dan kemusyrikankemusyrikan lainnya.
2.2. Proses pembauran kebudayaan zaman kolonial baik secara damai apalagi secara paksa
belum jelas lagi kedudukannya dalam nilai-nilai Islami.
2.3. Proses pembauran kebudayaan sebagai proses "modernisasi" dan "globalisasi" yang lebih
menampakkan gejala "westernisasi" dan mengarah pada munculnya "sub kebudayaan

menyimpang" secara Islami.
3. Kesenjangan kebudayaan (cultural lag). Kaum muslimin Indonesia mengalami kesenjangan
kebudayaan karena gagal dalam mewujudkan apa yang disebut oleh Prof. Kuncaraningrat
pranata kebudayaan dan pelembagaan Pancasila dan UUD 1945 adalah keberhasilan tersendiri
yang sangat gemilang dari 'the founding father"— dalam proses kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kegagalan ini disebabkan antara lain kaum muslimin dilanda penyakit "al wahnu",

"ananiyyah", dan "ashabiyyah". Bahkan secara intern dikalangan kaum muslimin pun terdapat
"islamophobi". Dan sudah barang tentu dari fihak non muslim -- karena memang adanya salah
pandangan terhadap agama Islamakan nampak ketidak relaannya bila nilai-nilai Islami
terbudayakan — walau pun sebatas dalam kalangan kaum muslimin- dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
4. Terakhir tetapi yang terutama. Masih biasnya konsep hubungan antara agama dan kebudayaan.
Menurut para ahli antropologi agama merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan
yang universal. Terhadap pendapat tersebut sikap umat Islam pada dasarnya —lebih secara
apriori— akan menolak walau pun untuk menjelaskannya memang cukup sulit. Maka dengan
judul sebagaimana tercantum tulisan ini dimaksud untuk ikut sumbang saran —sekali pun bak
menumpahkan setetes air ke dalam lautan— dalam pembahasannya.
Budaya dan kebudayaan
Untuk mendapat pengertian tentang budaya dan kebudayaan disini dikutipkan beberapa paragraf

secara lengkap pendapat Prof. Kuncaraningrat dalam bukunya, 'Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan' sebagai berikut;
Pertanyaan mengenai perbedaan antara kebudayaan dan budaya adalah yang paling mudah untuk
dijawab, karena hanya mengenai soal istilah saja. Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta
buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Demikian, kebudaya-an itu dapat diartikan "hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal". Ada pendirian
lain mengenai asal dari kata "kebudayaan" itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan
dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (lihat misalnya buku: P.j.
Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, P.J., van der Peet, 1951).
Kalau diingat bahwa sebagai konsep, kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti:
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah "kebudayaan"' memang suatu istilah
yang amat cocok. Adapun istilah Inggrisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti
"mengolah, mengerjakan", terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti
culture, sebagai daya dan usaha manusia untuk merubah alam. (halaman 9)
Menurut pendapat saya paling sedikit kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya.
2. Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (Halaman 5)

Memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan disini beberapa pengertian mengenai budaya
dan kebudayaan antara lain:
a. Budaya merupakan 'impersonal potential' yang membedakan antara perilaku manusia dengan
perilaku makhluk hidup lainnya. Sehingga perilaku manusia lebih tepat disebut perbuatan; atau
menurut istilah agama disebut 'akhlak'.
b. Budaya secara fungsional merupakan media bagi manusia dalam menyelenggarakan being to
know/to learn (menjadi tahu/belajar), being to be (menjadi diri sendiri), dan being together
(membentuk kebersamaan).
c. Budaya sebagai kepribadian adalah milik pribadi merupakan hasil belajar dalam interaksi
dengan lingkungan sekitarnya yang berlangsung sepanjang hayat. Kepribadian merupakan

sesuatu yang integratif, dan dinamis; tidak ada kepribadian yang statis, dan
tidak ada
kepribadian yang sama diantara dua orang sekali pun saudara kembar.
d. Kebudayaan adalah totalitas budaya dari suatu masyarakat dalam wilayah tertentu yang
membedakannya dari masyarakat lain.
e.
Kebudayaan adalah milik masyarakatnya. Kontak antar kebudayaan yang berbeda
menimbulkan proses difusi; seseorang yang memasuki wilayah kebudayaan yang berbeda harus
menyesuaikan diri melalui proses belajar.

f. Budaya dengan kebudayaan memiliki hubungan reciprocal seperti gelas dengan air panas di
dalamnya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari paparan di atas antara lain: Pertama, budaya maupun
kebudayaan adalah hasil dari kekuatan akal. Kedua, budaya dan kebudayaan diperoleh manusia
melalui belajar sepanjang hayataya. Ketiga, budaya dan kebudayaan hanya ada -hanya dimiliki
oleh manusia— dalam kehidupan manusia. Keempat, perubahan pada budaya mau pun
kebudayaan adalah suatu keniscayaan.
Kebudayaan dalam wawasan dienul Islam.
Kesimpulan mengenai budaya dan kebudayaan selanjutnya dicoba untuk diletakkan dalam
perspektif dienul Islam. Untuk itu terlebih dahulu dikutipkan hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Umar bin Khathab r.a., yang matannya
(terjemah A. Zaini Dahlan; Syarah Hadits Arba'in) sebagai berikut:
"Umar r.a. mengatakan, 'Sualu hari, saya dan para sahabat sedang duduk-duduk di samping
Rasulullah saw. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berpakaian serba putih dan rambut hitam
pekat di hadapan kami, tanpa seorang pun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu lalu duduk
di hadapan Nabi saw. Dia menyambungkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi saw., serta
meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi saw. dan berkata, 'Ya Muhammad,
beritahulah saya mengenai Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah kamu bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan
salat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan kerjakanlah haji jika kamu mampu.'

Laki-1aki itu pun menyahut, 'Engkau benar.' Kami heran dengan tingkah lakunya karena dia
bertanya kepada Nabi saw., tetapi membenarkan jawaban Beliau. Kemudian, dia berkata lagi
kepada Nabi saw, 'Beritahu-lah saya mengenai iman.' Beliau saw. menjawab, "Iman ialah kamu
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabnya, para rasul-Nya, hari akhir, serta
beriman kepada takdir baik dan buruk.' Dia berkala. 'Engkau benar.' Laki-laki itu berkala lagi,
"Beritahulah saya tentang ihsan.' .Nabi saw. pun menjawab, 'lhsan adalah kamu beribadah
kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak mampu melihat-Nya, yakinlah
bahwa Allah melihat kamu." Dia bertanya lagi, "Beritahukanlah saya tentang hari kiamat.' Nabi
saw. menjawab, 'Orang yang ditanya tidaklah lebih tahu dari si penanya." Laki-iaki tersebut
berkata, 'Beritahukanlah tanda-tandanya.' Nabi saw. menjawab, 'Seorang budak perempuan
melahirkan tuannya dan kamu akan melihat orang yang tak beralas kaki, bertelanjang, miskin,
dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan.' Laki-laki itu lalu
pergi. Setelah beberapa lama, kemudian Rasulullah saw. bertanya kepadaku, "Ya Umar, tahukah
engkau, tahukah engkau siapakah yang bertanya?' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu.' Rasulullah saw. selanjutnya bersabda, ‘Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian."'

Untuk memahami konsep kebudayaan dalam dienul Islam (selanjutnya disebut al Islam)
digunakan pendekatan sistemik sebagai berikut:
Skhema dari al Islam

Keterangan:
A. Rukun Islam terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Rumawi,
I. Syahadatain
II. Mengerjakan shalat lima waktu
III. Membayarkan zakat
IV. Melaksanakan shaum Ramadlan
V. Menunaikan haji ke Baitullah
B. Rukun Iman terdiri atas lingkaran-lingkaran yang diberi nomor angka Arab,
1. Percaya kepada Allah
2. Percaya kepada malaikat-malaikat-Nya
3. Percaya kepada kitab-kitab-Nya
4. Percaya kepada rasul-rasul-Nya
5. Percaya kepada hari kiamat
6. Percaya kepada takdir baik dan buruk
C. lhsan yaitu bagian yang diberi arsiran sebagai tanda proses, yang dialektis, dinamis, dan
integratip.
D. Adapun yang dimaksud dengan sa'ah adalah proses yang akan dijalani oleh manusia hingga
terjadinya hari kiamat.
Dari hadits ini dapat dijelaskan bahwa al Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari komponenkomponen rukun Islam, rukun Iman, dan Ihsan, serta dilengkapi dengan gambaran adanya proses
yang disebut Sa'ah.

Penjelasan Umum.
Al Islam adalah sistem yang berpusat pada rabb-Nya yaitu Allah SWT. disampaikan untuk
menjadi pedoman dan diunggulkan dalam kehidupan manusia; [Qur'an, Sl:l; S9:33; S48:28;
S61:9].
Al Islam merupakan sistem yang terbuka dan tidak ada paksaan di dalamnya, [Qur'an, S2:256].
Penjelasan per Komponen.
Komponen keislaman disebut rukun Islam dikemukakan lebih dahulu karena merupakan ranah
yang nyata (domein eksistens) sebagai dasar pranata dan pelembagaan (menggunakan istilah
Prof. Kuncaraningrat) kebudayaan Islam. Sebagai dasar pranata dan pelembagaan kebudayaan
Islam di dalamnya terkandung antara lain;
a. Yang membedakan antara muslim dan bukan muslim dan/atau kebudayaan Islam dari
kebudayaan lainnya.
b. Prilaku ritualisasi yang berpola dan baku, hanya sah bila mengikuti contoh dari Rasulullah
saw.; disebut sebagai ibadah makhdlah (ibadah khusus).

c. Norma dasar terdiri dari perihal wajib, sunnah, dan bid'ah/haram.
d. Dasar dari pranata dan pelembagaan kebudayaan Islam bersumber pada al Qur’an dan as
Sunnah yang berpusat di masjid.
Komponen keimanan di sebut rukun Iman, merupakan ranah kemungkinan (domein imanen)
sebagai pengakuan; yang harus dibuktikan dengan melaksanakan komponen keislaman. Yang

kapasitasnya akan semakin tinggi jika secara implikatip memberi corak/warna dalam keutuhan
akhlak/budaya dalam wujud ihsan.
Komponen ihsan adalah ranah mencari nilai lebih (domein transenden), dimana setiap pribadi
muslim mendapat kesempatan yang sama melalui pengelolaan lingkungan dengan persaingan
yang baik dalam rangka being to know/to learn, being to be, dan being together; [Qur'an, S 2: 30,
48; S 6: 165]. Pada ranah ini setiap pribadi muslim membentuk kepribadiannya dengan
berbudaya (berakhlak) mulia [Q S 49: 13], dan dalam kebersamaan kaum muslimin mewujudkan
kebudayaan Islam yang sebaik-baiknya [Q S 3: 110].
Komponen keislaman dan komponen keimanan memiliki nilai yang absolut dalam pengertian
tidak boleh dirubah. Seandainya pun ada hal-hal yang lain, acuannya tetap harus disesuaikan
dengan keterangan al Qur’an dan as Sunnah sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur'an atau
pun as Sunnah harus ditolak. Komponen keislaman merupakan dasar dari syari'ah; dan
komponen keimanan merupakan kualitas kekuatan yang disebut akidah. Sinergi dari keduanya
disebut ibadah —ibadah dalam pengertian yang luas— diwujudkan dalam ranah ihsan. Dalam
ranah ihsan inilah hendaknya diwujudkan 'kebudayaan Islam". Maka al Islam pun merupakan
'sistem social kebudayaan' dengan Catatan antara lain:
# komponen keislaman merupakan formalitas materil
# komponen keimanan baru merupakan pengakuan
# komponen keihsanan merupakan institutionisasi dari dua komponen lainnya.
Untuk mendapatkan kebebasan bergerak dalam mewujudkan kebudayaan Islam perlu
diperhatikan antara lain;
a. Norma dasar yang terdiri dari perihal halal, sunnah, mubah/boleh, makruh, dan haram; Nabi
saw. Bersabda, 'Yang halal jelas, dan yang haram juga jelas’, pergerakkan akal adalah sebatas di
antara keduanya; tepatnya domein mubah/boleh.
b. Musyawarah sebagai pranata kebudayaan sehingga keputusan yang diambil tetap bernilai
'ihsan'; menjadi ‘badah ghair makhdlah'.
Memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam terletak pada ranah Ihsan dimana manusia
dengan kekuatan akalnya melaksanakan peranannya sebagai pengelola bumi yang ditempatinya;
dalam rangka 'menyempurnakan akhlak'.
2. Budaya dan kebudayaan akan bernilai ibadah selama muncul seutuhnya dalam koridor al
Islam; merupakan totalitas akhlak/budaya sebagai wujud integral dari syari'ah, aqi'dah, dan
ibadah.
3. Budaya dan kebudayaan dalam wawasan al Islam berpusat pada Sang Maha Pencipta yaitu
Allah SWT.; sedangkan budaya dan kebudayaan dalam wawasan ahli antropologi berpusat pada
diri pribadi manusia.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah:
Agama Islam bukan komponen dari kebudayaan melainkan kebudayaan itulah yang merupakan
komponen dalam al Islam. Berbudaya dan berkebudayaan Islam tidak lain hendaknya

merupakan perilaku-perilaku yang pantas untuk persembahan (ibadah dalam arti yang luas,
ihsan) kepada Allah SWT.
Tiga Type Kebudayaan menurut al Qur'an.
Memperhatikan firman Allah SWT. dalam al Qur'an. Surat al Baqarah ayat 2 sampai dengan ayat
20 dapat difahami bahwa ada tiga type pokok kebudayaan.
1. Kebudayaan Takwa, dijelaskan melalui ayat 2 sampai dengan ayat 5 yang ciri-cirinya antara
lain percaya kepada yang gaib, mengerjakan salat, membelanjakan sebagian rizki yang
diterimanya, mengacu kepada kitab suci, dan meyakini adanya kehidupan akhirat.
2. Kebudayaan Kafir, dijelaskan melalui ayat 6 dan ayat 7 dengan ciri utamanya yaitu menolak
keberadaan Allah SWT. sebagai Khalik; dapat disebut sebagai kebudayaan materialistik.
3. Kebudayaan Menyimpang, dijelaskan melalui ayat 8 sampai dengan ayat 20 dengan ciri-ciri
antara lain kemunafikan, penghianatan, konspirasi kejahatan, mengambil muka, dan adanya
segala penyakit hati pada para pendukungnya; hilangnya keseimbangan psikoligis, dan
timbulnya kebudayaan yang menyimpang (deviant subculture).
Bila direnungkan ternyata perubahan kebudayaan yang dijalani umat manusia seperti pendulum
yang bergerak dari kutub "takwa" ke arah kutub ''kafir" dan kebalikannya dengan melalui type
kebudayaan diantara keduanya; dalam proses yang berkesinambungan. Untuk mengetahui
sedang pada titik manakah 'kebudayaan' Indonesia sekarang; tinggal memproyeksikannya pada
ketiga type kebudayaan tersebut.
Apabila mengambil pengertian ihsan dari Rasulullah saw. sebagai mana bunyi hadits di atas patut
ditanyakan. 'Sudah pantaskah, setiap perilaku berbudaya dan berkebudayaan dalam mengisi
dan mencapai mencapai cita-cita kemerdekaan disebut sebagai ungkapan syukur dan beribadah
kepada Allah SWT? Pertanyaan ini mudah-mudahan bergema dalam hati setiap muslim Indonesia
terutama para pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa yang bertanggungawab dalam membuat
kebijakan dan mengambil keputusan untuk menyelenggarakan proses perubahan kebudayaan.
Proses yang akan terus berlangsung berkesinambungan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; yang diharapkan dalam suasana 'Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur’ sampai
akhir zaman. Amiin!
Penulis adalah Guru SMA Negeri 17 dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Bandung
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004