Ketersediaan Nitrogen Akibat Pemberian Kombinasi Berbagai Bahan Organik Terhadap Tiga Jenis Tanah Dan Efeknya Pada Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

  

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat dan Ciri Tanah Entisol

  Entisol adalah tanah yang belum berkembang dan banyak dijumpai pada tanah dengan bahan induk yang sangat beragam, baik dari jenis, sifat maupun asalnya. Beberapa contoh entisol antara lain berupa tanah yang berkembang dari bahan alluvial muda berlapis-lapis tipis, tanah yang berkembang di atas batuan beku dengan solum dangkal atau tanah yang bekembang pada kondisi yang sangat basah atau sangat kering (Munir, 1995).

  Dalam Hardjowigeno (1985) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan entisol adalah sebagai berikut: − Iklim yang sangat kering, sehingga pelapukan dan reaksi-reaksi kimia berjalan sangat lambat − Erosi yang kuat dapat menyebabkan bahan-bahan yang dierosikan lebih banyak dari yang dibentuk melalui proses pembentukan tanah. Banyak terdapat dilereng-lereng curam

  − Pengendapan terus menerus menyebabkan pembentukan horizon lebih lambat dari pengendapan. Terdapat misalnya di daerah dataran banjir disekitar sungai, delta, lembah-lembah, daerah sekitar gunung berapi, bukit pasir pantai

  − Immobilisasi plasma tanah menjadi bahan-bahan inert, misalnya flokulasi bahan-bahan oleh karbonat, silika dan lain-lain Entisol mempunyai permeabilitas dan infiltrasi yang cepat sampai sangat cepat dan menahan air sangat rendah. Hal ini karena kemantapan agregat pada partikel terdapat daya ikat dan bahan organik yang rendah sehingga unsur haranya juga rendah (Brady, 1984).

  Menurut Soepardi (1983) bahwa ciri umum Entisol adalah tidak adanya perkembangan profil yang nyata. Entisol memiliki kejenuhan basa bervariasi dari asam, netral sampai alkalin, kapasitas tukar kation < 20, tekstur kasar berkadar bahan organik dan N lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus, hal ini disebabkan oleh karena kadar air yang rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik dari pada tanah yang lebih halus. Meskipun tanah ini kaya akan unsur hara kecuali N akan tetapi unsur ini belum mengalami pelapukan. Untuk mempercepat pelapukan diperlukan pemupukan bahan organik, pupuk kandang dan pupuk hijau.

  Sifat dan Ciri Tanah Inceptisol

  Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang dari pada entisol (inceptum, permulaan). Umumnya mempunyai horson kambik, karena tanah belum berkembang lanjut kebanyakan tanah ini cukup subur. Tanah ini dulu termasuk alluvial, regosol, gleihumus, latosol dan lain-lain.Penyebaran liat ke dalam tanah tidak dapat diukur. Kisaran kadar C-organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam inceptisol dapat terbentuk hampir disemua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub hingga tropika (Hardjowigeno, 2003).

  Proses pedogenesis yang mempercepat proses pembentukan tanah Inceptisol adalah pemindahan, penghilangan karbonat, hidrolisis mineral primer menjadi formasi lempung, pelepasan sesquioksida, akumulasi bahan organik dan menghambat pembentukan tanah Inceptisol adalah pelapukan batuan dasar menjadi bahan induk (Smith et al, 1973).

  Reaksi tanah ada yang masam sampai agak masam (pH 4,6 – 5,5) dan agak masam sampai netral (pH 5,6 – 6,8). Kandungan bahan organik sebagian rendah sampai sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kandungan bahan organik paling atas selalu lebih tinggi daripada lapisan bawah dengan ratio C/N tergolong rendah (5 - 10) sampai sedang (10 - 18). Kandungan P potensial rendah sampai tinggi dan K potensial sangat rendah sampai sedang. Kandungan P potensial umumnya lebih tinggi dari pada K potensial, baik lapisan atas maupun lapisan bawah (Damanik dkk, 2010).

  Jumlah basa-basa dapat tukar diseluruh lapisan tergolong sedang sampai tinggi. Kompleks absorbs didominasi ion Mg dan Ca, dengan kandungan ion K relatif rendah. Tanah Inceptisol didominasi oleh kandungan liat yang relatif tinggi

  

sehingga fiksasi kalium sangat kuat yang mengakibatkan konsentrasi kalium pada

larutan tanah berkurang. Kapasitas tukar kation (KTK) sedang sampai tinggi

  disemua lapisan. Kejenuhan basa (KB) rendah sampai tinggi. Secara umum disimpulkan kesuburan alami Inceptisol bervariasi dari rendah sampai tinggi (Damanik dkk, 2010).

  Sifat dan Ciri Tanah Ultisol

  Kata Ultisol berasal dari bahasa Latin Ultimus yang berarti terakhir atau dalam hal tanah yang paling terkikis dan memperlihatkan pengaruh pencucian terakhir (Foth, 1994).

  Ultisol adalah tanah yang berada pada daerah temprate sampai tropika mempunyai kendala dalam pemanfaatannya seperti kemasaman tanah, kejenuhan Aldd yang tinggi, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa-basa yang rendah serta kadar mineral lapuknya yang sangat rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pelapukan dan pembentukan ultisol berjalan lebih cepat pada daerah-daerah beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan yang tinggi. Sehingga tanah mengalami proses pencucian yang sangat intensif (sangat peka terhadap erosi) (Munir, 1995).

  Ultisol termasuk lahan marginal dengan produktivitas rendah karena sifat fisik dan kimianya kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman, antara lain pH masam, kelarutan Al dan Fe, Mn relatif tinggi yang dapat mengikat unsur P menjadi tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Makin tinggi kandungan Oksida besi dan Oksida Al maka makin besar daya tambat P tanah tersebut. Begitu pula dengan kandungan Alddnya yang semakin tinggi dapat menambat P semakin besar. Oleh karena itu ultisol sangat masam dan umumnya mempunyai daya tambat P yang tinggi (Hakim dkk, 1986).

  Dari data analisis tanah Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4.1 – 4.8). Kandungan bahan organik lapisan atas tipis (8 - 12 cm), umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5 - 10). Selain kandungan P, kandungan N juga relatif rendah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

  

Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian

basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol

  

bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi

kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation

hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,

peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah

(ameliorasi), pemupukan dan pemberian bahan organik (Munir, 1995).

  Unsur Hara Nitrogen

  Nitrogen merupakan unsur hara esensil (keberadaannya mutlak ada untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan tanaman) dan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak sehingga disebut unsur hara makro. Tanah mengandung N total sekitar 0.02% (sub soil) hingga 2.5% (tanah organik). Tiga sumber utama N tanah berasal dari: (1) bahan organik tanah, (2) fiksasi N

  2 biologis, dan (3) pupuk

  anorganik. Sumber N terbesar adalah gas N

  2 yang dijumpai sekitar 78% dari komposisi gas diudara (Hanafiah dkk, 2009).

  Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk ion NO atau NH dari

  3

  4

  tanah. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan tanaman adalah 2% - 4% berat

  • kering. Tanaman di lahan kering umumnya menyerap ion nitrat NO

  3 relatif lebih

  • besar dari NH 4 (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

  Secara umum, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme bila kahat nitrogen untuk membentuk bahan seperti asam amino, protein, enzim-enzim serta bahan penghasil energi seperti ADP, ATP dan khlorofil. Selain itu pertumbuhan tanaman harus cukup mengandung N untuk membangun sel-sel baru. Proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat, namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein, asam nukleat dan sebagainya bila N

  Kekurangan nitrogen dapat menyebabkan seluruh tanaman berwarna pucat kekuningan, pertumbuhan lambat dan kerdil, perkembangan buah tidak sempurna dan masak sebelum waktunya. Dalam keadaan kekurangan yang parah daun menjadi kering dari daun bagian bawah ke bagian atas (Suriatna, 1992).

  Selain itu, kelebihan N juga akan meningkatkan masa vegetatif dan memperpendek masa generatif yang justru menurunkan kualitas produksi.

  Tanaman yang kelebihan N akan menunjukan warna hijau gelap, peka hama penyakit dan mudah roboh (Winarso, 2005).

  Kadar N anorganik pada tanah ditambah bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik. Hal ini menunjukkan adanya proses mineralisasi atau pelapukan (Winarso, 2005).

  Pelapukan bahan organik didaerah tropik sangat cepat mengakibatkan N juga cepat terlepas dalam bentuk N anorganik yang mudah tersedia bagi tanaman dan mudah tercuci (Hanafiah dkk, 2009).

  N dalam tanah dan tanaman bersifat sangat mobil sehingga keberadaan N dalam tanah cepat berubah bahkan hilang. Kehilangan N akan lebih kecil apabila tekstur tanah makin halus, yaitu dengan urutan pasir, pasir berdebu, liat (Winarso, 2005).

  Kehilangan hara Nitrogen dari dalam tanah dalam bentuk gas (N

  2 , N

  2 O,

  NO, dan NH

  3 ), akibat pencucian dan panen. Dalam bentuk gas, N hilang dalam reaksi denitrifikasi dan volatilisasi amonium (Damanik dkk, 2010).

  Semua bentuk N dalam tanah akan dikonveksikan atau dioksidasi menjadi

  • NO

    3 yang selanjutnya menjadi subjek reaksi denitrifikasi, erosi dan pencucian.

  terbentuk jika N dalam bentuk ion NH

  

4 . Ion NH

4 lebih stabil dari NO 3 , sebab

  dapat terikat dalam tapak jerapan pada liat organik dan anorganik (Winarso, 2005).

  Bahan Organik

  Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang/ dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman, binatang dan juga manusia yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi sumber makanan bagi jasad mikro.

  Jasad mikro akan mendekomposisi bahan organik jika faktor lingkungan mendukung terjadinya proses tersebut sehingga senyawa kompleks akan menjadi senyawa sederhana. Hasil dekomposisi berupa senyawa lebih stabil yang disebut humus. Makin banyak bahan organik maka akan semakin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah (Agrica, 2008).

  Bahan organik penting artinya bagi kesuburan tanah. Peranannya yang terpenting terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis dan dapat membuat unsur hara dari bentuk tak tersedia menjadi bentuk lebih tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara N tidak diperoleh dari hasil pelapukan batuan, melainkan sumber utama N berasal dari hasil dekomposisi bahan organik. Selain unsur N, hampir semua unsur hara seperti P, K, Ca dan S serta unsur hara mikro diperoleh dari pelapukan bahan organik (Hasibuan, 2009). Peranan bahan organik terhadap perubahan sifat kimia tanah, meliputi: − Meningkatkan hara tersedia dari proses mineralisasi bagian bahan organik yang mudah terurai − Menghasilkan humus tanah yang berperanan secara koloidal dari senyawa sisa mineralisasi dan senyawa sulit terurai dalam proses humifikasi − Meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar daripada koloid anorganik − Menurunkan muatan positif tanah melalui proses pengkhelatan tterhadap mineral oksida dan kation Al dan Fe yang reaktif, sehingga menurunkan fiksasi P tanah

  − Meningkatkan ketersediaan dan efisiensi pemupukan serta melalui peningkatan N dan pelarutan P oleh asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik (Madjid, 2007).

  Pupuk Kandang Ayam

  Pupuk kandang didefinisikan sebagai buangan dari hasil limbah binatang peliharaan seperti ayam, sapi, kerbau dan kuda yang dapat menambah unsur hara bagi tanah dana tanaman, serta memperbaiki sifat fisik dan biologi tanaman. Pupuk kandang padatan yaitu kotoran ternak baik yang telah dikomposkan maupun belum dikomposkan mengandung unsur hara yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah terutama unsur nitrogen.

  Menurut hasil penelitian Sastrosupadi dan Santoso (2005) pupuk kandang ayam memiliki kandungan N yang cukup tinggi dibandingkan dengan kotoran hewan ternak besar dengan kadar hara tiap tonnya yaitu 65,8 kg/ton N, kotoran yang sama mengandung 22 kg/ ton N, 2,6 kg/ton P dan 13,7 kg/ton K. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Sutedjo (2002) yang mengemukakan bahwa pupuk kandang ayam mengandung nitrogen tiga kali lebih besar dari pada pupuk kandang yang lainnya. Lebih lanjut dikemukakan kandungan unsur hara dari pupuk kandang ayam lebih tinggi karena bagian cair (urine) bercampur dengan bagian padat.

  Menurut Sarief (1985) yang menyatakan bahwa kotoran ayam selain dapat menyumbangkan hara makro yang tinggi (terutama N dan K) juga dapat menyumbangkan hara mikro seperti Fe, Zn dan Mo serta kotoran ayam mengandung kadar air dan nisbah C/N yang rendah, sehingga akan mempercepat proses mineralisasi dan memperkecil tekanan nitrat di dalam tanah. Dengan demikian ketersediaan unsur hara yang diperoleh dari kotoran ayam lebih cepat.

  Selain itu, penggunaan pupuk kandang dapat menaikkan kandungan humus, menggemburkan tanah, mempercepat pembentukan agregat, menaikkan kapasitas menahan air, mempermudah pergerakan udara dan mendorong kehidupan jasad- jasad renik di dalam tanah.

  Kompos Kulit Kakao

  Kompos adalah bahan organik mentah yang telah mengalami proses dekomposisi secara alami. Proses pengomposan memerlukan waktu yang panjang tergantung pada jenis biomassanya. Percepatan waktu pengomposan dapat ditempuh melalui kombinasi pencacahan bahan baku dan pemberian aktivator dekomposisi (Goenadi, 1997).

  Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium dan nitrogen.

  Penelitian yang dilakukan oleh Goenadi dan Away (2004) yang menemukan bahwa kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81% N, 26,61% Corganik, 0,31% P

  2 O 5 , 6,8% K

  2 O, 1,22% CaO, 1,37% MgO dan 44,85 cmol/kg KTK (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004).

  Kulit buah kakao (shel fod husk) merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao. Berdasarkan penelitian, kulit kakao atau biasa kita sebut kulit cokelat mempunyai kandungan gizi yaitu 22% protein, 3 – 9 % lemak, bahan kering (BK) 88%, protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,15 dan TDN 50,8%, metabolisme energi (Kkal) 2,1 dengan pH 6,8. Dari penjelasan tentang kandungan gizi dapat disimpulkan bahwa kulit kakao ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi limbah yang bernilai jual tinggi. Sehingga kita dapat membahas tentang pendayagunaan limbah kulit kakao menjadi pupuk yang diolah terlebih dahulu menjadi kompos.

  Pengomposan kulit buah kakao dilakukan dengan cara memotong-motong kulit buah kakao secara manual. Bersamaan dengan pekerjaan memotong dibuat tempat pengomposan berupa kotak dari papan, yang alasnya dan sekelilingnya ditutup dengan kain terpal. Potongan kulit buah kakao dimasukan ke dalam kotak pengomposan setinggi 25 cm, kemudian ditaburi dengan bioaktivator (Orgadek, bahan aktif Trichoderma sp). Setelah itu ditambahkan kembali kulit buah kakao setinggi 25 cm dan ditaburi bioaktivator. Dilakukan berulang sampai lima lapis tumpukan kulit buah kakao. Kemudian kotak ditutup dengan kain terpal, dan

  Tanaman yang diberikan pupuk dari limbah kulit kakao sangat baik pertumbuhannya. Biasanya para petani menggunakannya untuk memupuk tanaman kakaonya kembali atau digunakan untuk memupuk tanaman lainnya.Dengan pemberian pupuk yang terbuat dari limbah kulit kakao itu dapat meningkatkan produktivitas tanaman kakao dan tanaman tanaman-tanaman lainnya. Dengan demikian petani tidak perlu lagi terlalu tergantung dengan pupuk yang terbuat dari bahan kimia yang dijual dipasaran (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004).

  Kompos Jerami

  Badan Litbang Pertanian (2010) telah melakukan serangkaian penelitian untuk mengetahui sejauh mana potensi pemanfaatan jerami padi. Sebagai sumber hara tanaman, jerami ternyata mengandung N, P, K, S, Si, Ca, dan Mg. Disamping itu jerami juga sebagai sumber bahan organik dan pembenah tanah, bahan kompos, konservasi lahan, media jamur merang, bahan bakar dan biogas, pelengkap pemeliharaan ikan/udang, bahan baku industri, bahan penyerap logam berat dalam air dan pakan ternak. Salah kelola jerami padi seperti membakar, menyebarkan jerami mentah pada lahan sawah, pemberian pakan ternak langsung, dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran jerami dan juga kurang menyehatkan ternak.

  Salah satu tindakan usahatani padi tanpa limbah (UPTL) yang dianjurkan adalah mengubah jerami mennjadi kompos dengan bantuan mikroba pengompos (decomposer microbes) seperti EM4, starbio, sehingga diperoleh beberapa keuntungan dari pemanfaatan jerami sebagai bahan organik dan sumber hara bagi

  Sumbangan hara jerami padi ke tanah bergantung pada bobot, komposisi hara jerami, pengelolaan dan rejim air tanah (Ponnamperuma, 1984). Bobot biomass jerami juga bergantung pada rejim air, musim, kultivar, kesuburan tanah dan nisbah gabah/ jerami. Misalnya, jumlah jerami padi gogo jauh lebih rendah dibandingkan jerami padi sawah irigasi. Penggunaan jerami sebagai bahan organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N, memperbaiki kesuburan tanah dengan menyediakan unsur hara terutama K, selain itu dapat memperbaiki sifat fisik tanah (Adiningsih et al. 1999). Rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N, 0,02% P, 1,4% K dan 5,0% Si.

  Jerami padi mengandung 40% - 43% C. Senyawa C - N merupakan substrat bagi metabolism mikroorganisme meliputi, gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pectin, lignin, lemak dan protein. Pengomposan jerami padi sudah lama dikenal di Indonesia dan banyak diteliti di berbagai negara. Tujuan pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N sehingga meningkatkan kualitas kompos. Salah satu syarat pengomposan adalah tersedianya N dalam jumlah yang cukup. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kompos adalah pH, aerasi, suplai air dan suhu. Suhu 30 - 40 merupakan kondisi yang ideal untuk pengurai dan pelapuk jerami (Litbang Departemen Pertanian, 2010).

  Tanaman Jagung

  Tanaman jagung merupakan tanaman semusim (annual), siklus hidup jagung diselesaikan dalam 80 - 150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi taanaman jagung sangat bervariasi. Tanaman jagung dapat tumbuh hampir gembur dan kaya akan humus dan dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1300 mdpl (Daniarti, 1999).

  Hal-hal yang harus diperhatikan tentang tanah sebagai syarat yang baik untuk pertanaman jagung adalah pH tanah netral atau mendekati netral diperlukan untuk pertumbuhan optimal pada tanaman jagung yakni berkisar antara pH 5,5 – 6,5 tanah dan tempat pertanaman hendaknya memperoleh sinar matahari dan udara yang cukup, drainase yang baik akan membantu usaha pengendalian pencucian tanah, pada tanah yang tinggi akan membantu dalam penyediaan hara (Purwo dan Hartono, 2005).

  Menurut Novizan (2005) yang menyatakan bahwa adsorbsi N oleh tanaman jagung berlangsung selama pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhan akumulasi N dalam tanaman relatif lambat dan tanaman berumur 4 minggu akumulasi N sangat cepat, pada saat pembungaan (bunga jantan muncul) tanaman jagung telah banyak mengadsorsi N sebanyak 50% dari seluruh kebutuhan. Tanaman jagung mengadsorbsi P dalam jumlah relatif sedikit daripada adsorbsi hara N dan K.

  Dosis pupuk yang dibutuhkan tanaman jagung sangat bergantung pada kesuburan tanah dan diberikan secara bertahap. Anjuran dosis rata-rata tanaman jagung untuk setiap hektarnya adalah pupuk Urea 200-300 kg, pupuk TSP sebanyak 75-100 kg dan pupuk KCl sebanyak 50-100 kg (Hasanuddin, 1998).

  BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu

  Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kasa, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2012 – November 2012.

  Bahan dan Alat

  Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah Entisol dan Inceptisol Kuala Bekala, tanah Ultisol Kebun Percobaan USU Tambunan, Benih jagung, Pupuk Kandang Ayam, Kulit Kakao yang telah dikomposkan, Jerami yang telah dikomposkan, pupuk Urea, SP36 dan KCl sebagai pupuk dasar, Air untuk memenuhi kebutuhan tanaman serta bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis tanah dan tanaman

  Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkul, pisau, ayakan, karung, polibag, timbangan, ember, meteran, alat tulis dan buku untuk penulisan data serta Alat-alat laboratorium lainnya yang digunakan untuk keperluan analisis tanah dan tanaman

  Rancangan Penelitian

  Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor perlakuan I adalah Jenis Tanah (T) dengan 3 jenis tanah dan faktor perlakuan II adalah Penggunaan berbagai macam Bahan Organik (B) percobaan 3 x 3 x 4 = 36 unit percobaan. Bagan penelitian tertera pada Lampiran 1.

  Faktor Perlakuan Jenis Tanah (T) : T a = Entisol T b = Inceptisol T c = Ultisol

  Faktor Perlakuan Bahan Organik (B) : B o = Kontrol B a = Kompos Kulit Kakao + Pupuk Kandang Ayam B b = Kompos Jerami + Pupuk Kandang Ayam B c = Kompos Jerami + Kompos Kulit Kakao Kombinasi Perlakuannya adalah : T a B a T b B o T c B c T a B c T b B b T c B a T a B o T b B a T c B b T a B b T b B c T c B o

  Metode Analisis

  Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Linear Rancangan Acak Kelompok Faktorial: Y ijk i + T j + B k + (TB) jk + E ijk

  = µ + β Y ijk = Respon pengaruh ulangan taraf ke-i, jenis tanah ke-j dan kombinasi bahan organik ke-k

  µ = Rataan pengaruh ulangan taraf ke-i, jenis tanah ke-j dan kombinasi bahan organik ke-k

  i = Pengaruh ulangan ke-i

  β T j = Pengaruh berbagai jenis tanah ke-j B k = Pengaruh pemberian bahan organik ke-k (TB) jk = Pengaruh Interaksi antara berbagai jenis tanah ke-j dengan pemberian bahan organik ke-k E ijk = Galat Perlakuan

  Untuk pengujian lebih lanjut terhadap masing-masing perlakuan di uji dengan uji Duncan (DMRT) pada taraf 5%

  Pelaksanaan Penelitian Persiapan Tanah dan Media Tanam

  Diambil tanah dengan menentukan berbagai titik yang mewakili daerah tersebut, kemudian tanah dikompositkan. Tanah dikering udarakan, diayak, kemudian dilakukan analisis awal tanah (Lampiran 2) serta dilakukan pengukuran kadar air tanah (%KA) dan kapasitas lapang (KL) untuk selanjutnya dimasukkan kedalam polybag setara dengan 5 kg tanah kering oven.

  Aplikasi Perlakuan dan Inkubasi

  Diaplikasikan pupuk dasar dengan dosis berbeda yaitu 0.75 g/polybag Urea, 0.25 g/polybag SP36 dan 0.125 g/polibag KCl. Kemudian ditambah kombinasi kompos jerami, kompos kulit kakao dan pupuk kandang ayam sebagai perlakuan dengan dosis total kombinasi 50 g/polibag bersamaan dengan dilakukan analisis kompos (Lampiran 3). Diinkubasi selama 3 minggu dan dilakukan penanaman benih jagung.

  Penanaman

  Ditanam pada masing - masing polybag 2 biji benih jagung, Penjarangan dilakukan pada 1 MST dengan memotong bagian pangkal bibit yang pertumbuhannya kurang baik dan meninggalkan bibit terbaik.

  Pemeliharaan Tanaman

  Dilakukan pemeliharaan dengan penyiraman setiap hari dalam keadaan kapasitas lapang dan pembersihan gulma - gulma yang tumbuh dalam polybag dengan cara mencabut gulma dengan menggunakan tangan.

  Pemanenan

  Sebelum dilakukan pemanenan pada akhir masa vegetatif (6 MST), dilakukan pengukuran tinggi tanaman dimulai dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi. Kemudian tanaman jagung dipanen dengan memisahkan tanaman bagian atas dan bawah. Bagian yang akan dianalisis dimasukkan kedalam amplop yang selanjutnya akan di oven. Selain tanaman, panen yang dimaksud adalah pengambilan contoh tanah (diambil pada daerah dekat perakaran) untuk dilakukan analisis

  Parameter yang Diukur 1.

  Analisis Tanah:

  − pH H − C-organik (%) menggunakan metode Walkley & Black − N total (%) dengan metode Kjedhal

  − Tinggi tanaman (cm) dengan pengukuran pada saat pemanenan

  o

  C − Bobot kering tanaman (g) dengan pengovenan selama 48 jam pada suhu 70 kemudian ditimbang − N daun (%) dengan metode dekstruksi basah − Serapan N (mg N/ tanaman)

Dokumen yang terkait

Aplikasi Kotoran Ayam Dan Dolomit Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Fosfor Pada Tanah Inceptisol Kwala Bekala Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

6 81 61

Ketersediaan Nitrogen Akibat Pemberian Kombinasi Berbagai Bahan Organik Terhadap Tiga Jenis Tanah Dan Efeknya Pada Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

0 49 48

Pengaruh Pemberian Rock Fosfat dan Beberapa Jenis Bahan Organik Pada Ultisol Terhadap P-Tersedia Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays)

3 56 72

Pengaruh Pemberian Kombinasi Pupuk NPK Dan Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Jagung (Zea Mays L.)

1 70 76

Ketersediaan Hara-P Dan Respon Tanaman Jagung (Zea Mays L) Pada Tanah Ultisol Tambunan-A Akibat Pemberian Guano Dan Mikroorganisme Pelarut Fosfat (MPF)

0 25 49

Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Penyakit Pada Beberapa Varietas Tanaman Jagung (Zea Mays L) Di Lapangan

1 57 59

Ketersediaan Dan Serapan Hara N Pada Tanaman Kedelai Dan Jagung Akibat Pemberian Pupuk Biologi Ndan Bahan Organik Pada Tanah Ultisol

0 18 97

Aplikasi Kotoran Ayam Dan Dolomit Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Fosfor Pada Tanah Inceptisol Kwala Bekala Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

0 0 13

Aplikasi Kotoran Ayam Dan Dolomit Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Fosfor Pada Tanah Inceptisol Kwala Bekala Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

0 0 18

Aplikasi Kotoran Ayam Dan Dolomit Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Fosfor Pada Tanah Inceptisol Kwala Bekala Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea Mays L.)

0 0 11